Episode: Mau Tidak Aku Bukakan Mata Batinmu??

1
0
Deskripsi

“Si dia memang begitu. Aneh orangnya. Suka banget ngomong yang gaib-gaib.”

*****

Ingat Toyota, Ingat Ajie Su! 

0813-8354-2951

Pemandangan di sini memang bagus. Sayangnya aku sepertinya tidak diberikan kesempatan untuk menikmati barang sedetik pun.

"He, he, he,..." Napasku terengah-engah. Sedikit kubungkukkan badan.

Belum apa-apa salah seorang teman sepelatihan sudah menepuk punggungku. Aku sedikit meringis. Kuintip siapa yang memukulku. Ternyata itu Rifai, yang lebih tinggi dari aku. Ia nyengir dan berhenti sejenak.

Ujar Rifai, "Jangan  berhentilah, Mas. Sedikit lagi. Itu posnya juga, kan?"

Aku melihat ke arah yang ditunjuk oleh Rifai. Rifai benar. Pos berikutnya tinggal sedikit lagi. Aku mulai mengambil nafas. Kupijat-pijat sebentar sebelah kaki. Pemanasan sebentar.

"Ayo, Mas Doni, bertahanlah. Lari lagi." seru Rifai yang sudah berlari di depanku.

Aku paksakan saja kedua kaki ini untuk terus berlari. Dalam hati, kukatakan kepada kedua kaki, agar apa pun yang terjadi, tetap berlari. Lalu, kuambil handuk kecil yang terkalung di leher aku. Kuelap keringat yang begitu menghiasi wajahku. Minum sebentar, mungkin diperbolehkan. Oke, aku siap berlari.

Sialnya hujan mendadak turun. Awalnya rintik, lalu gerimis, dan deras sudah air hujan turun untuk membasahi bumi. Medannya menjadi cukup sulit ini. Maksudku, jalanannya menjadi agak sedikit tidak enak untuk dilalui. Pasti becek di mana-mana. Berlari-lari di atasnya menjadi tidak begitu mudah. Harus hati-hati agar tidak terjatuh.

Aku membungkuk sedikit. Sial, siapa lagi yang menepuk punggung aku. Aku menoleh ke arah yang menepuk punggung aku. Murid akademi yang lainnya. Agak bertubuh gempal dan namanya adalah Setiawan.

"Loyo betul, Bang?!" sindir Setiawan. "Tadi awal-awal kayak jagoan. Sering-sering berhenti, bisa kena tegur nanti."

Aku tertawa terkekeh-kekeh.

"Semangat, Bang. Tuh, lihat, udah diteriakin." seru Setiawan yang melanjutkan aktivitas larinya.

Aku sebentar untuk menyeka keringat. Selanjutnya aku berlari lagi. Masa aku kalah dari Setiawan yang bertubuh sedikit gemuk dari aku. Orang dengan ukuran tubuh tidak gendut dan tidak kurus harusnya bisa lebih semangat dan semakin unjuk kemampuan. Kuberlari dan terus berlari. Berlari menuju pos yang ditunjuk oleh Rifai. Rasa-rasanya tadi Rifai bilang jaraknya sudah begitu dekat. Pada praktiknya, tidak benar-benar dekat. Yang ada, aku malah makin ngos-ngosan.

Aduh, aku tersandung. Kotor sudah celanaku. Sepertinya juga lututku terluka. Masa bodoh, lah. Lebih baik aku berdiri dan terus berlari. Kali ini memang tinggal sebentar lagi. Padahal sejak kecil, aku senang berlari. Namun baru kali ini aktivitas berlari menjadi semenantang ini. Walau demikian, harus kuakui, memang kali pertama ini, aku berlari di daerah pedesaan yang terdapat lanskap pegunungan. Ada sawah pula. Selain itu, ada hutan kecil dan sungai yang tidak terlalu deras.

"Ayo, ayo, ayo," seru salah seorang mentor yang sudah menunggu di pos akhir. Kedua mata si mentor menyeringai. Cara dia berseru tadi cukup membakar semangat agar aku terus berlari. Meskipun aku lebih ke arah takut daripada termotivasi untuk terus berlari.

*****

Tak terasa sudah jam sebelas malam. Namun, mata ini sulit dipejamkan. Padahal besok sudah harus beraktivitas lagi. Kabarnya, aktivitas besok jauh lebih padat daripada aktivitas hari ini. Masih tetap sama. Ada aktivitas berlari dari pos ke pos lagi. Rencananya, tadi mentor itu bilang, kita akan dibawa ke hutan lindung. Latihan berikutnya adalah menjelajahi alam di hutan lindung tersebut.

"Bang," ujar Setiawan yang tidur di bawahku.

Aku menengok ke arah Setiawan yang kelihatannya sedang membaca sebuah majalah. Aku berkata sembari nyengir, "Baca apa kamu, Wan?"

"Loh, kamu belum tidur, toh, Bang?!" tanya balik Setiawan yang langsung menaruh majalah tersebut di sampingnya.

Aku menggeleng. "Bingung aku. Mata ini sepertinya susah diajak kompromi."

"Padahal kita besok harus sudah bangun empat pagi. Sehabis salat, ikut apel pagi, terus lari pagi." kata Setiawan yang tidak tampak keberatan dengan kegiatan besok yang lebih padat dari kegiatan kemarin.

Aku mengangguk. "Semoga aku masih kuat, Wan."

"Yo, harus kuat, dong, Bang. Aku saja yang gendutan, kuat berlari jauh tadi." kata Setiawan, lalu terkekeh-kekeh.

"Tadi kamu baca apa?" Aku nyengir.

"Majalah misteri, Bang. Mau baca? Barangkali bisa langsung tidur, begitu baca. Aku baca tadi, biar cepat tertidur." jawab Setiawan yang masih terkekeh-kekeh.

"Wuedan kamu, Wan!" seruku agak nyaring. Untungnya, tidak sampai membangunkan murid-murid lainnya di akademi ini. "Aku, kalau baca yang horor-horor, malah nggak bisa tidur. Bisa bolak-balik ke kamar mandi terus-terusan."

"Aku udah biasa. Di kampung aku, malah jauh lebih seram dari apa yang ada di majalah. Eh, Bang Doni bisa lihat demit?"

Aku mengernyitkan dahi dan bulu-bulu tangan aku langsung berdiri. "Jangan nakutin aku, Wan. Udah mau jam dua belas malam. Aku juga mau tidur."

Setiawan tertawa terkekeh-kekeh. "Wah, ternyata kamu nggak bisa lihat, toh. Yo, maaf, aku nggak ada maksud menakutimu, Bang. Lagian, di sini juga nggak terlalu angker. Tahu, kalau di tempat yang bakal kita datangi besok."

"Memang kamu bisa lihat apa, Wan?" pancingku, yang sebetulnya agak ketakutan. Sejak kecil, aku kurang suka dengan hal-hal yang berbau mistis. Aku lebih suka menonton gulat daripada acara uji nyali. Walau katanya hantunya itu bohongan, tetap saja aku gemetar setengah mati.

"Dari kecil, aku sudah dilatih agar bisa buka-tutup, Bang. Makanya, kalau lewat yang angker-angker, dan, nggak sengaja kebuka, t'rus ada penampakan makhluk gaib, aku sudah tidak takut lagi." katanya sedikit bercerita tentang dirinya yang memiliki pengalaman dengan hal-hal berbau mistis.

"Oh." Hanya itu jawabanku. Sumpah, Setiawan hanya berkata seperti itu saja, dan belum sampai bilang di samping aku ada makhluk tak kasatmata, belum apa-apa, aku sudah merinding.

Eh, si gendut Setiawan ini malah menertawakan aku. "Maaf, deh, Bang. Eh, Bang, mau aku bukain nggak?"

"Maksud kamu apa, Wan? Jangan ngomong yang bukan-bukan!" hardikku dengan mata melotot. Aku semakin merinding. Entah ada hubungannya atau tidak, udara di sekitar aku mendadak dingin yang tak biasanya.

"Wah, baru saja dibicarakan, sudah datang saja." kata Setiawan yang kulihat, ia langsung bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ransel yang ditaruh di dekat lemari baju.

"Kamu mau ngapain?" tanyaku agak panik. Aku teringat kata-kata Setiawan tadi. Dalam pikiran aku, yang ia mau ambil itu buku Yasin.

"Ambil Autan, lah." kata Setiawan yang menunjukkan Autan yang baru saja dikeluarkan dari ransel. "Nyamuk di sini ganas-ganas, Bang. Aku takut kena Malaria. Mau juga, Bang?"

Itulah Setiawan. Kami, para murid akademi, menyukainya karena kepribadian dan cara bicaranya yang cukup mengocok perut. Selain itu, entah benar, entah tidak, ia bisa melihat makhluk-makhluk tak kasatmata. Walaupun sebetulnya, bagian yang itu, ada benarnya pula. Malam ini, ia malah membicarakan hal-hal ke arah sana.

"Oh iya, Bang, maksud kata-kata aku tadi, membuka mata batin. Mau nggak aku bukakan, Bang?" ucap Setiawan.

"Udahlah, nggak usah nakutin aku." ujarku yang lalu menyelimuti tubuhku. Segera aku menutup mata dan mengucapkan doa agar malam ini tidak ada gangguan dari hal-hal tidak kasatmata.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Episode: Ada Rapat Lagi di Rumah Tua
1
0
Si perempuan SMA itu mengikik. Tawanya seperti seorang kuntilanak yang menurut gosip, karena calon anaknya keguguran. Ia lalu menyanyikan lagu cinta nan maut tersebut di tengah-tengah rapat para hantu. / Mengapa pergi begitu saja / Kau tinggalkan aku / Padahal 'ku masih merindukanmu / Betapa susah cari yang seperti dirimu / Tapi, mereka tetap bukan dirimu /*****Gloria Allianz0818-8589-44
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan