"Bajingan! Dasar cowok bajingan! Apa semua cowok seperti si Iman itu? Aku benci sekali sama kamu. Kamu ke mana, Iman? Sudah lebih dari dua minggu, tak ada kabar dari kamu." seorang perempuan muda dengan perut membusung terlihat mengomel-ngomel di depan sebuah rumah yang cukup mewah.
Hantu perempuan ber-chinese suit itu mulai bercerita.....
*****
Bajingan! Dasar cowok bajingan! Apa semua cowok seperti si Iman itu? Aku benci sekali sama kamu. Kamu ke mana, Iman? Sudah lebih dari dua minggu, tak ada kabar dari kamu. Tiap aku ke rumah kamu, hanya ada pembantu kamu yang keluar dan berkata, "Iman lagi nggak ada di rumah."
Selalu saja bilangnya seperti itu. Apa maksud dari semua ini?
IMAAAAAAAN!
Kamu di mana? Di ujung bumi mana kamu berada? Telepon tak diangkat. Selalu di-reject. SMS dan chat tak kunjung dibalas. Padahal aku butuh kepastian. Aku butuh tanggung jawab dari kamu. Iya, kamu harus tanggung jawab. Karena, yang di perutku ini bayi kamu.
Nak, maafkan papa kamu, nak. Dia menghilang bagaikan hantu. Seenaknya sendiri saja. Nanti, andaikan kamu dewasa, jangan jadi seperti papa kamu, yah. Jadilah lelaki yang lebih menghargai seorang perempuan. Juga, jadilah lelaki yang sangat bertanggung jawab.
*****
Hantu pemuda kurus kerontang itu mulai jengah. Ia coba menantang hantu perempuan ber-chinese suit itu. "Aku akui nama aku memang Iman. Tapi, seingatku, aku nggak pernah macarin perempuan murahan macam kamu. Perek sialan! Dan, mungkin itu juga bukan anak aku. Jangan ngelindur di tengah malam."
"Cih!" Hantu perempuan itu mendadak merasa jijik. "Apa di sini itu memiliki kebiasaan amnesia? Apa kamu cuma pura-pura amnesia?"
Si malaikat hanya duduk tenang. Dia tersenyum kecil. Sementara hantu bocah cilik dengan leher hampir putus itu sedari tadi tertawa kencang sambil loncat-loncat di bangkunya. Hantu bapak tua mata satu berusaha menenangkan hantu bocah. Terakhir, hantu remaja perempuan berambut pirang itu terkikik-kikik. Sumpah, tawa si hantu remaja perempuan itu seperti kuntilanak saja.
"Mungkin kamu salah orang. Bagaimanapun nama Iman itu banyak, kan. Ayolah, berwajah manis sedikit ke aku. Sejak bertemu aku yang pertama kali, aku nggak pernah lihat kamu tersenyum. Selalu masam." bujuk si hantu pemuda kurus kerontang.
"Aku nggak akan sudi ramah-ramahan sama cowok pengecut yang nggak mau bertanggung jawab!" Lengkingan hantu perempuan ber-chinese suit itu makin kencang saja.
Si hantu bocah tersebut jadi menutup telinganya. Hampir saja leher si hantu bocah benar-benar putus. Sementara hantu bapak mata satu itu mulai bangkit untuk menenangkan situasi. Kalau ia harus kehilangan mata lagi, tak apa. Lebih baik kehilangan kedua mata daripada melihat keributan yang seperti ini. Sejak dia masih hidup, hantu bapak mata satu itu tak pernah suka huru-hara. Hanya si malaikat yang tetap tenang saja. Bagaimanapun dia malaikat, kan. Levelnya berbeda dengan hantu. Malaikat memiliki beberapa ciri yang tak akan pernah bisa disamai oleh makhluk manapun. Ketenangan berpikir dan bersikap, salah satu contohnya. Dia hanya cengar-cengir tak bersuara menyaksikan pertengkaran hantu pemuda kurus kerontang dan hantu perempuan ber-chinese suit. Pikirnya, entah saat masih hidup, entah saat sudah meninggal, kenapa manusia selalu saja begitu, selalu ribut tak karuan.
Selain si malaikat pencabut nyawa, hantu remaja perempuan berambut pirang terus saja tertawa ala kuntilanak. Sebetulnya itu sangat mengganggu juga. Entah apa yang menyebabkan dia hobi tertawa. Semenjak datang ke dunia orang mati, hantu itu terus tertawa cekikikan. Jangankan manusia, hantu saja bergidik mendengar cekikikannya.
"Ya sudah," tukas si hantu pemuda kurus kerontang. "Aku juga nggak masalah nggak berteman sama kamu. Lagian, sewaktu aku masih hidup, aku sudah biasa dimusuhi. Kamu bukan yang pertama."
Tiba-tiba saja si hantu perempuan ber-chinese suit itu meluntur amarahnya. Suasananya yang berasa seperti neraka itu mendadak berubah menjadi surga. Mungkin si hantu perempuan kaget mendengar pengakuan si hantu pemuda kurus kerontang tersebut. Suaranya mulai melembut. "Apa maksudnya?"
"Nak, hentikan tawa kamu itu," Hantu bapak bermata satu itu mulai risih dengan cekikikan si hantu remaja perempuan. "Di sini ada yang tengah bertengkar. Tak bagus ada yang tertawa."
Hantu remaja perempuan itu terus menerus terkikik-kikik sebelum akhirnya menjawab, "Kek, mau tahu, nggak, kisah yang sangat menarik?"
******"
Bang," ujar Helen tegang. "Kenapa, sih, abang menghindar terus dari Kak Hanna?"
"Len, kamu udah tahu alasannya. Abang malas cerita lagi." tukas Iman yang membakar rokok untuk kesekian kali. Sudah ada enam puntung rokok di asbak.
Helen terbatuk-batuk. "Soal bayi itu, kan?"Iman hanya membuang napas. Mungkin itu artinya jawaban "Ya".
Mata Iman masih terus menghindari Helen. Iman berusaha tetap tenang. Sebab, di rumah, ada kedua orangtuanya. Bagaimana jika mereka mendengarnya. Darah tinggi papanya bisa kumat lagi.
"Yah, kenapa abang nggak nyamperin aja Kak Hanna? Mungkin Kak Hanna nggak berbohong. Mungkin dia betulan hamil, dan itu anak abang."
Iman meradang. Mau tak mau ia menatap adiknya, Helen. Dengan suara yang diusahakan tetap tak kencang, Iman mengajukan protes, "Len, abang kasih tahu yah, bisa jadi Hanna berbohong. Abang nggak percaya dia hamil. Kalau hamil, abang nggak yakin itu anak abang. Ckck, asal kamu tahu, Len,..... Hanna itu bukan perempuan baik-baik. Satu kampus udah pada tahu kasusnya yang keluar motel bareng om-om."
"Terus, kenapa abang macarin dia?" Helen tertawa mendengarkan alasan abangnya tersebut. Kentara sekali Iman berbohong. Helen tahu ciri-cirinya Iman berbohong. Salah satunya, bola matanya selalu ke mana-mana. Iman memang pembohong yang bodoh.
"Yah,..... yah,.....yah,....." Iman bingung menjawabnya. "Ya udahlah, yang jelas, kalau dia hamil, bukan abang yang hamilin. Mungkin sama selingkuhannya itu. Jujur aja, Len, abang masih kesal pas dikasih tahu teman abang ceritanya."
"Kak Hanna kan udah minta maaf." Helen terus membela Hanna. Bukan karena sesama perempuan, melainkan karena Helen lumayan akrab dengan Hanna. Keduanya pernah terlibat di tim cheerleader sekolah.
"Udah, Len, abang capek dengarnya," Iman bangkit. Rokok itu disundutkan ke asbak. "Abang mau pergi dulu."
"Jangan minum alkohol lagi, Bang." Helen mengingatkan. Helen sudah berhasil membaca kebiasaan abangnya akhir-akhir ini. Kalau kalah debat, Iman selalu pergi, lalu pulang larut malam, dan jalannya sering sempoyongan.
Iman tak menggubris. Dia terus berjalan untuk mengambil kunci motor. Mungkin benar dugaan Helen. Tampaknya Iman kembali mengunjungi tempat bilyar favoritnya. Pasti pulangnya larut lagi.
*****"
"Mbak, bangun," Mbok Anin menggedor-gedor pintu. "Udah jam delapan malam. Nanti Mbak Hanna sakit kalau nggak makan. Kasihan si dedek bayi."
Hanna itu anak tunggal. Kedua orangtuanya tengah berada di Australia. Yang tahu Hanna tengah hamil di rumahnya yang mewah ini hanyalah pembantu rumah tangganya yang sudah bekerja selama sepuluh tahun lebih. Sisanya, di luar rumahnya, hanya teman-teman dekatnya yang mengetahui kehamilan Hanna yang berkulit putih.
Karena tak kunjung dibalas setelah digedor, Mbok Anin coba masuk. Ternyata tak dikunci. Mbok Anin mulai masuk ke dalam kamar Hanna. Spontan bulu kuduk pembantu asal Madiun itu berdiri. Karena sudah terbiasa dengan sesuatu bersifat takhayul, Mbok Anin merasa tak enak sendiri. Jantungnya berdegup kencang. Semoga saja Mbak Hanna ndak apa-apa, pikir wanita tua yang suka berkonde ini.
Dari tadi Mbok Anin terus melihat Hanna tertidur nyenyak. Entah mengapa wanita berusia enam puluh itu merasa tidur Hanna tak wajar. Perlahan demi perlahan dirinya mendekat. Mbok Anin mulai menyadari tak ada aliran udara di sekitar wajah Hanna. Langsung saja Mbok Anin memegangi denyut nadi. Dia kaget sekali. Kekagetannya makin parah setelah melihat ada bercak-bercak darah di sekitar selangkangan Hanna.
*****
Mamanya Helen sangat panik mendengarnya. Ada teman Iman yang mengabari bahwa Iman sudah dinyatakan meninggal. Iman meninggal karena hobi minum minuman beralkoholnya. Karena pusing dengan berita Hanna hamil, Iman malah tak fokus bermain bilyar. Setiap disemangati teman-temannya, alkohol lagi yang kembali dinikmatinya. Dia terlalu asyik mabuk bersama teman perempuannya yang masih SMA. Pada akhirnya, Iman sangat teler. Jalannya terhuyung-huyung sampai rekan mabuknya yang bernama Janice harus memapahnya. Sintingnya Iman sibuk menggodai Janice hingga tanpa sadarkan diri, kaki Iman terpeleset dari elevator. Tangan Iman menarik erat Janice. Kedua orang itu mati terjatuh dari ketinggian yang cukup lumayan.
Entah harus marah, entah harus kasihan, entah harus meraung. Yang jelas, aura di rumah itu mendadak suram. Tanpa pikir panjang lagi, kedua orangtua Iman langsung menuju rumah sakit di mana Iman dibawa.
*****
Hantu remaja perempuan terkikik-kikik. "Begitu, Kek, cerita sebenarnya."
Selama si hantu remaja perempuan itu bercerita, hantu Iman dan hantu Hanna terus saja gontok-gontokan. Mereka berdua tak menghiraukan bahwa keduanya tengah dibicarakan. "Dasar pasangan bodoh!"
"Maksudmu--kamulah selingkuhan si laki-laki kurus kerontang itu?" tanya hantu bapak bermata satu. Dia bingung sendiri kenapa kehidupan cinta generasi setelahnya begitu memilukan dan sangat penuh drama. Seolah-olah hidup ini hanya tentang cinta saja. Bukankah pula hantu remaja perempuan ini sedikit aneh dan jahat?
"Iya, Kek." jawab hantu remaja perempuan berambut pirang tersebut.
"Aku heran sama dia. Sebetulnya dia percaya pacarnya hamil. Dia cuma takut bertanggung jawab aja. Dia sendiri yang mengatakan ke saya, dirinya sering berhubungan seks sama pacarnya."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰