Seorang pemuda berkacamata duduk di salah satu bangku gereja. Kedua matanya sembap.
“Jangan pernah putus harapan dan kehilangan kepercayaan pada kekuatan doa, Allah akan memberikan segala sesuatu yang diinginkan selama itu baik untuk kita.”
Ibadah minggu hari ini sudah selesai. Banyak orang sudah berhamburan keluar dari ruang ibadah utama. Akan tetapi, masih ada beberapa orang tinggal di dalam ruangan tersebut. Itu seperti orang-orang yang sibuk latihan paduan suara. Satu-dua orang petugas kebersihan, yang tadi menyempatkan diri untuk ikut ibadah di jam pertama.
Salah satu dari mereka yang masih bertahan adalah seorang pemuda. Pemuda itu bukan petugas kebersihan. Pun, pemuda itu juga bukan mereka yang berlatih olah vokal. Pemuda itu hanyalah salah satu dari mereka-mereka yang tadi ikut serta dalam kebaktian jam pertama.
Pemuda masih bertahan di dalam ruang ibadah. Ia masih saja duduk di salah satu bangku panjang berwarna cokelat cerah. Sesekali kedua matanya menatap ke arah salib besar yang terbentang di belakang mimbar. Ia menatap seraya menitikkan air mata. Kembali ia menundukkan kepala dan membuka kitab suci yang ia bawa.
Ia masih apa yang dikhotbahkan pendeta tadi. Intinya, si pendeta tadi berkata seperti ini, “Jangan pernah putus harapan dan kehilangan kepercayaan pada kekuatan doa, Allah akan memberikan segala sesuatu yang diinginkan selama itu baik untuk kita.”
Tadi si pendeta coba menjelaskan apa yang dimaksud penulis kitab Yakobus. Tentang kuasa doa. Yakobus, yang merupakan murid Yesus, coba menjelaskan tentang kuasa doa.
“Doa orang benar bila dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya,” Si pemuda itu coba melafalkan kembali ayat tersebut--yang diambil dari kitab Yakobus. “Benarkah seperti itu, Tuhan? Tapi, aku merasa seperti tidak ada jalan untuk aku. Untuk keluarga aku juga. Aku seperti segalanya gelap. Tertutup rapat-rapat.”
Kitab suci itu ditutupnya. Si pemuda itu melipat tangan, lalu menundukkan kepala. Bibirnya komat-kamit tiada henti. Tanpa sadar, seseorang dari orang-orang yang berlatih vokal sedang menghampiri si pemuda.
Si pemuda kaget.
“Halo, selamat pagi,” ujar seseorang dari kelompok paduan suara. “kenalin, nih, namaku Dion. Yang kulihat, kamu sepertinya lagi ada masalah, yah.”
Si pemuda mengucek-ngucek matanya untuk membersihkan kedua matanya dari kotoran dan air mata. Ia menerima ajakan untuk berjabat tangan. Jawabnya singkat. “Aku David.”
“Boleh duduk nggak, nih?” tanya Dion.
Tanpa menjawab, David menggeser ke arah kanan. David lalu tersenyum.
“Kamu ada masalah apa, David?” tanya Dion lagi, yang sudah duduk di samping David.
*****
Hari ini giliran David yang bertugas untuk menjaga ibu kandungnya di rumah sakit. Di ruang nomor 401. David memegangi salah satu tangan ibunya tersebut. Masih dingin dan belum bersuhu normal. Dingin sekali, yang sampai-sampai wajah ibunya itu teramat pucat. Seperti mau meninggal saja.
Hanya ‘sepertinya’, dan belum meninggal betulan. Masih ada aliran napas yang keluar dari lubang hidung ibu kandung David ini. Samar-samar David juga bisa mendengar suara denyut jantung ibunya, selain dari barang-barang elektronik yang berada di ruang 401 ini.
“Mi,” ucap David yang sudah tidak bisa membendung jatuhnya air mata ke pipi-pipinya. “Ya Tuhan, tolong sembuhkan Mami. Sudah berapa hari ini, badannya dingin sekali. Kayak orang mau mati saja. Aku belum siap kehilangan ibu kandung, Tuhan. Untuk saat ini, jangan dulu.”
Dingin sekali AC-nya, keluh David. Ini hanya perasaan David atau udara yang keluar dari mesin pendingin ini lebih dingin dari biasanya. Beberapa kali David terbersin-bersin. Tahu begini, tadi, saat masih di rumah, David membawa selimut. Bukankah adiknya, Christine, sudah memperingatkan David untuk membawa selimut dan jaket (atau, minimal sweter)?
“Hatsyi!” David bersin sekali lagi. Ia mulai gelisah. Gelisah mencari mana selembar tisu untuk mengelap lendir yang keluar dari lubang hidungnya.
Untung saja, David masih menyimpan sekotak kecil tisu. Tadi, di sekitar jam siang, saat makan siang di kedai cepat saji yang berada di komplek rumah sakit tersebut, David memang menyempatkan diri untuk membeli tisu, selain membeli cemilan dan minuman bersoda kesukaannya. Tisu itu masih tersimpan rapi di salah satu rak ranselnya.
David merogoh-rogoh rak ranselnya. Oh, ada. Segera David mengambil sekotak tisu dan mengambil selembar. Ia langsung mengelap hidungnya dengan lembar tisu tersebut.
“Hatsyi!” David bersin lagi. Kali ini tak sekadar bersin. Entah mengapa bulu tangan David berdiri. Jantung David berdebar cukup kencang.
“Hatsyi!” Bersin untuk ke sekian kali.
Kali ini, makin menjadi. Mata David sekonyong-konyong mengantuk. Terasa berat sekali. Oke, sudah kedinginan, sekarang ia merasa mengantuk. David tak ingin tidur, namun seperti ada seseorang (atau, sesuatu) yang ingin memintanya untuk tertidur.
David mulai merasakan satu ketidakberesan. Ia sontak bangkit dari tempat duduk. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tak ada siapa-siapa. Di ruangan ini, hanya ada David dan ibunya yang tertidur dengan wajahnya yang amat pasi.
“Pa,…"
Samar-samar David mendengar rintihan ibunya. David terburu-buru menghampiri ibunya. Ia memegang tangan ibunya, lalu menenangkan ibu kandungnya tersebut.
“Mi, Papi lagi nggak ada di sini. Kali ini, giliran David yang ngejagain Mami.” Begitu jawab David pelan dan lagi-lagi menangis.
Jantung David kembali berdebar makin kencang. Sepertinya ada yang hendak memasuki ruangan ini. Herannya lagi, David menelan air liur.
Pelan-pelan David berjalan mundur. Ia agak menjauhi ibu kandungnya. Lambat tapi pasti, David sudah berada di dekat pintu masuk ruang 401 tersebut. David mengintip dari balik kaca pintu ruangan tersebut. Alangkah kagetnya David saat mengetahui tak ada siapapun yang berjalan di lorong rumah sakit. David makin menelan air liurnya.
Jantung David berdebar-debar. David mulai berkeringat dingin. Ia langsung mengambil ponsel. Sudah jam dua belas. Tidak tepat, dan lebih dua puluh menit. Hampir setengah satu dini hari. Mendadak David teringat film horor yang pernah ia tonton. Di film horor tersebut, dikatakan hantu-hantu sering menampakkan diri setelah melewati pukul dua belas malam. Akankah ada yang berani yang menampakkan wujudnya di rumah sakit mewah ini, yang belum pernah memiliki riwayat kisah mistis?
David lalu kembali ke ranjang di mana sang ibu sedang tidur. Dari jarak yang agak jauh, David mulai merasakan satu anomali. Jantungnya makin berdetak tidak karuan. Ini hanya perasaan David atau memang…
*****
David terbangun. Ia makin bingung. Sejak kapan ia sudah berada di dalam mobil?
Christine berkata sambil menyodorkan sebotol air mineral, “Baru bangun, Bang?”
David mengangguk dan meminum air tersebut.
“Bang, Mami meninggal,” ucap Christine basa-basi terlebih dahulu.
David terhenyak.
Christine tahu abangnya pasti tidak percaya. “Iya, Bang. Mami sudah meninggal. Tadi suster rumah sakit yang menghubungi orang rumah. Suster tadi juga bilang, abang pingsan di dalam ruangan. Untungnya, Bang David nggak kenapa-napa. Katanya, abang cuma kekurangan cairan aja. Tadi Tulang yang memapah Abang yang masih setengah sadar.”
David meminum air mineral lagi. Ia mulai menitikkan air mata.
“Bang, emangnya Abang lihat apa sampai pingsan begitu?” tanya Christine sembari memberikan selembar tisu. “Tulang bilang, Abang kayak baru aja lihat sesuatu yang nyeremin.”
Tahukah David dan Christine bahwa di dalam mobil minibus itu tak hanya David, Christine, dan seseorang yang dipanggil tulang tersebut? Ada mami mereka berdua juga--yang ditemani seseorang berjubah serba putih.
Kata arwah mami David dan Christine, “Mulai sekarang, baik-baiklah kalian berdua. Jangan sering berantem, apalagi sampai nggak omongan berhari-hari. Buat kamu, Christine, maaf, Mami nggak bisa waktu kamu wisuda tahun depan. Mami percaya kamu lulus bulan depan nanti.”
Sosok misterius berjubah putih lalu menyentuh tangan si mami, yang seakan-akan hendak mengajak si mami pergi entah ke mana.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰