“Aku berani sumpah, saat aku memeluk gadis kecil itu, aku tidak bernafsu. Itu karena aku sangat mencintai anak-anak, bukan karena nafsu birahi.” ujar Michelangelo Jackthorn dalam pikirannya sendiri.
*****
Namanya Michelangelo Jackthorn. Ia seorang penyanyi. Bisa dibilang penyanyi kelas atas. Walau debutnya sudah dimulai sepuluh tahun yang lalu, ketenarannya belum luntur. Ia masih bisa bersaing dengan penyanyi-penyanyi lainnya yang lebih muda dari dirinya.
Saat ini Michel--begitu panggilannya--sedang berada di apartemennya. Apartemen ini pun sekaligus tempat kerjanya. Di dalam sebuah ruangan, Michelangelo merebahkan diri di atas sofa. Tangannya jahil memilah-milah saluran yang ada. Tak sampai lima menit, ia sudah berganti saluran.
Andrew tertawa dan melemparkan koran ke arah Michel.
“Apa?” protes Michel nyengir. Michelangelo tahu apa maksud dari cengiran Andrew.
“Baca halaman kedua dari belakang, Kawan,” ujar Andrew yang bergegas ke arah dapur. Andrew membuka kulkas dan mengambil kopi kaleng.
Michelangelo mengikuti apa yang disuruh oleh Andrew. Di halaman ke delapan belas, ada sebuah artikel. Itu tentang dirinya. Masih saja dibahas. Michelangelo tertawa terbahak-bahak. Andrew yang menghampiri Michelangelo untuk duduk di sebelah Michelangelo, ikut tertawa terbahak-bahak. Andrew menggeleng-gelengkan kepala, lalu memukul pelan bahu Michelangelo.
“Lain kali berhati-hatilah dalam berbuat, Kawan,” kata Andrew memberikan saran. “Hampir saja karirmu berantakan, atau menurutku hancur, hanya karena pemberitaan-pemberitaan ini. Hey, Kawan, apa tahu juga betapa aku dan yang lainnya cukup kerepotan dalam menghadapi wartawan dan penggemar? Mereka selalu bertanya, apakah Michelangelo Jackthorn itu seorang pedofilia. Itu terus yang mereka tanyakan.”
Michelangelo hanya tertawa kecil dan menyesap kopi kaleng yang juga dibawakan Andrew untuk dirinya.
“Jaga sedikit berbicaramu di hadapan publik, Jackie,” Jackie adalah nama panggilan Andrew untuk Michelangelo. “Ingat, kamu bukanlah Michelangelo yang dua puluh tahun yang lalu, hanyalah penyanyi yang dibayar di bawah seratus dolar. Dari kafe ke kafe. Kamu itu Michelangelo Jackthorn, penyanyi fenomenal, yang dansa jalan mundur kamu, kerap diikuti oleh orang-orang. Kamu bukan sudah beberapa kali main film layar lebar. Tampil di acara-acara televisi.”
“Aku mengerti, Andrew,” Michelangelo meminum kembali kopi kalengnya. Ia masih saja nyengir seolah-olah itu bukan masalah besar. Pemberitaan yang menyebutkan bahwa Michelangelo Jackthorn adalah seorang pedofilia. “Santai sedikit, Kawan.”
“Bukan seperti itu permainannya, Jackie. Cara kerjanya tidak seperti itu. Kalau kamu tidak suka, buatlah sendiri industrimu.” cerocos Andrew yang sesekali meminum kopi kalengnya.
Michelangelo hanya tersenyum, mengangguk sedikit, dan memijat-mijat pelipisnya. Itulah Michelangelo. Ia selalu berusaha tersenyum di setiap masalah yang ia hadapi. Tetap tersenyum, tapi obat-obatan masih saja dikonsumsi. Bukan narkotika, melainkan obat-obatan dari tim dokter pribadinya untuk menenangkan syarafnya. Akhir-akhir ini tekanan ke otaknya makin menjadi-jadi saja. Alhasil, ia menjadi susah tidur.
“Oh, kamu ingat, kan, besok kita ke Brazil?!” tanya Andrew untuk mengkroscek.
“Tentu saja, ide untuk video klip ini dari aku, Kawan. Tak mungkin aku lupa.” jawab Michelangelo tertawa kecil lagi.
“Sebetulnya aku kurang setuju dengan idemu itu. Agak frontal. Terlalu menarik perhatian. Kamu belum lupa, bukan, dengan omongan direktur perusahaan rekaman itu?” Andrew menghabiskan kopi kalengnya, dan coba melemparkan kalengnya ke arah keranjang sampah yang berasa tak jauh dari televisi ukuran 21 inch layar datar.
Michelangelo tersenyum dan merangkul manager pribadinya tersebut. “Tenanglah, Kawan. Kamu itu terlalu berpikir berlebihan. Semuanya akan baik-baik saja.”
“Karena bukan kamu yang mengurusnya.” tukas Andrew agak kesal, namun masih coba untuk tersenyum. “Omong-omong, bagaimana dengan tidur? Masih kesulitan tidur? Dan, masih juga suka bermimpi buruk?”
Michelangelo sekonyong-konyong terbatuk. Hanya sekali, dan itu cukup kencang. Entah mengapa Michelangelo merasakan nyeri yang sangat di dadanya.
Andrew memang manager yang luar biasa. Bagi Michelangelo, Andrew tak sekadar manager. Andrew itu sudah seperti sahabat sekaligus (mungkin) bagian dari keluarga besar Jackthorn. Managernya itu sigap mengelus-elus punggung Michelangelo untuk meringankan rasa sakit yang Michelangelo alami.
“Sebentar,” Andrew beranjak berdiri. “Aku tadi sempat mengambil obatnya. Minumlah sekarang juga, dan langsung tidur. Ingat, besok kita akan ke Brazil. Aku ambil penerbangan yang jam empat pagi.”
Kali ini Michelangelo tidak lagi coba tersenyum. Ia terpekur dan meremas-remas kaleng yang sebetulnya masih berisi. “Bro, beberapa hari yang lalu, saat aku sedang berlibur dengan anakku, aku merasa diikuti lagi. Kukira itu hanya perasaanku. Ternyata tidak. Ah, sialan, mereka sangat provokatif sekali. Ingin sekali kuhajar bedebah-bedebah itu, namun aku sadar sedang berada di keramaian. Lapor polisi, kurasa, itu juga tak mungkin. Aku tahu pasti polisi tidak akan semudah itu menerima laporannya. Aku juga tidak ingin membuat drama lagi.”
“Nah!” Andrew kembali lagi dan memasang raut muka tegang “Apa kubilang? Sudah kuperingatkan dari awal, berhati-hatilah, Jackie. Menurut rumor yang kudengar, mereka ada di mana-mana. Jangan terlalu dilawan. Mulai sekarang, kumohon, Kawan, berhati-hatilah dalam mengeluarkan opini ke publik, khususnya ke para wartawan. Juga, jangan lupa untuk tidak lagi membuat karya-karya yang teramat mencolok. Kurangi, setidaknya. Tidak hanya kamu yang bisa dalam bahaya, aku juga, Steve, Maria, Donald, dan anakmu."
Michelangelo menggigit bibir bawahnya. Begitu mengingat kembali peristiwa tersebut, Michelangelo langsung berwajah tegang. Ia terlalu takut seandainya mereka berhasil menyakiti putrinya. Yang ia ingat, putrinya agak berwajah sedih.
“Aku akan ke bawah sebentar untuk mengambil obatnya yang masih ada di dalam mobil. Minumlah segera, agar tenang pikiranmu, dan supaya tidurmu nyenyak. Nanti, setelah tiba di Brazil, usahakan untuk tidak lagi bertindak mencolok. Ingat, Jackie, kamu--maksudnya kita semua--sedang diawasi. Bukan hanya karirmu saja yang dipertaruhkan, nyawamu juga, Kawan.”
Dua jam kemudian,
Begitu Andrew kembali dari mobil sedan berwarna merah marun, Michelangelo segera menerima obatnya lagi. Itu hanya obat, yah kamu bisa bilang itu obat penenang syaraf, yang sudah Michelangelo konsumsi sejak dua-tiga tahun yang lalu. Michelangelo makin sering mengonsumsi obat itu sejak kasus ia dituduh sebagai seorang pedofilia (padahal cerita aslinya, tidak seperti yang diberitakan oleh beberapa media).
Michelangelo menelan satu tablet dan segera meminum air putih. Ia bergegas menuju tempat tidurnya. Tanpa butuh waktu lama, Michelangelo Jackthorn langsung tertidur. Tampaknya juga, obat itu tak bisa melindungi Michelangelo dari mimpi buruk. Yang kali ini bukanlah mimpi buruk. Lebih tepatnya, sebuah mimpi aneh.
Yang ia mimpikan adalah seorang berambut pirang dan mengenakan jubah kebesaran serba putih. Sepertinya sosok itu sedang memperingatkan Michelangelo, walau ia kurang mengerti bahasa yang digunakan si sosok misterius tersebut. Michelangelo juga yakin sosok ini cukup bersahabat dan tak seperti orang-orang aneh nan misterius yang masih saja suka membuntuti dirinya. Cukup lama Michelangelo tertidur dan bermimpi sebelum…
NGUING!
Michelangelo pun terbangun. Andrew dan yang lainnya juga. Dari luar, terdengar suara alarm mobil yang suaranya luar biasa mengganggu. Sudah lewat tengah malam juga. Jam tiga nanti, Michelangelo dan tim harus bersiap untuk berangkat ke Brazil.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰