Episode : Mati di Kampung Gaib

2
0
Deskripsi

“Mereka semua aneh, walau lebih ke arah pucat. Nggak heran, sebetulnya. Aku cuma bingung.”

*****

“Suara, dengarkanlah aku. Apa kabarnya, pujaan hatiku? Aku di sini menunggunya, masih berharap di dalam hatinya…” 

Aku bersenandung di tengah-tengah hutan yang cukup lebat ini. Lagu ini mengingatkan aku dengan dia, yang mana hubungan percintaan kami sudah kandas. Aku memergoki dia selingkuh dengan laki-laki lain di sebuah mal ibukota. 

Sepertinya aku tersesat. Aku kira tidak akan pernah tersesat. Aku hanya menjelajahi Gunung Tangkuban Perahu ini saja. Masa sampai tersesat? 

Aduh, konyolnya aku. Tak sekadar tersesat, aku bahkan terpisah dari rombongan. Aku ke daerah Cikahuripan ini bersama teman-teman aku yang sesama anak pecinta alam. Jalu yang menjadi pelopor dari upaya penjelajahan alam kali ini. Temanku itu juga, dulu, sebelum lulus kuliah di 2012, dia itu mantan ketua organisasi pecinta alam di kampus. 

Nama organisasi itu Edelweiss, dan Jalu sempat menjadi ketuanya, dan aku lumayan aktif di Edelweiss. Yang ikut dalam upaya penjelajahan alam kali ini pun ke semuanya adalah anak-anak Edelweiss. Lebih tepatnya lagi, mantan anak-anak Edelweiss. Ada dua puluh orang yang ikut serta dalam reuni berkedok penjelajahan alam di daerah Cikahuripan, Lembang ini. 

Namanya juga anak-anak pecinta alam. Hobi aku dan sembilan belas orang lainnya adalah yang berhubungan dengan alam. Bahkan untuk beberapa dari dua puluh orang itu, menjelajahi alam itu bukan sekadar hobi. Rudi pernah bilang, menjelajahi alam itu sudah seperti passion. Ah, enaknya menjadi Rudi. Saat mendengar kabar dari Jalu, sekarang ini Rudi sering menjelajahi hutan, gunung, dan tempat-tempat eksotis lainnya, dan itu disponsori. Aku pernah menyimak akun Instagram Rudi. Foto-foto di bagian feed Instagram-nya penuh dengan foto-foto dia sedang menjelajahi alam. Ada yang sedang di Danau Kelimutu, Gunung Merbabu, hutan di Pulau Madura, hingga perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Boleh dibilang, Rudi adalah salah satu eks anggota Edelweiss yang tersukses. Aku iri dengan kamu, Rudi. 

Aku mengambil handuk kecil berwarna ungu. Kusapu dahiku yang berkeringat dengan handuk ungu ini. Lalu, aku meminum air dari botol minum yang juga berwarna ungu. Aku menggelengkan kepalaku. Kuentak-entakkan kedua kaki ini saking gemas dengan diriku sendiri. 

Ayolah, Paulus, kamu mantan anak pecinta alam, masa bisa sampai terpencar dan tersesat? Ini di mana pula? Aku mulai memperhatikan ke arah sekeliling aku. Tampaknya juga malam akan datang. 

Yang aku ingat, tadi aku minta izin ke Jalu. Kukatakan ke Jalu, aku hendak buang air kecil. Jalu memberikan izin dan pergi bersama yang lainnya, walau jarak antara aku dan rombongan tidak terlalu jauh. Begitu selesai buang air kecil, entah mengapa aku merasakan adanya keanehan. Aku hanya sebentar buang air kecil, namun,…

argh

Aku menendang dedaunan yang terjatuh. Kesalnya aku. Rasa-rasanya aku tak percaya teman-teman aku meninggalkan aku. Hanya sepuluh menit, masa aku ditinggalkan, lalu tersesat. Konyol sekali ini. 

Aku buang napas. Posisi berdiri aku setengah duduk. Segera aku ambil kompas yang berada di salah satu saku ransel aku. Astaganaga, gila, sejak kapan? Iya, sejak kapan kompas ini menjadi rusak? Tadi sebelum berangkat ke Lembang, kompas ini masih dalam kondisi seratus persen sempurna. Sejak aku lulus kuliah di 2012, kompas ini belum pernah kugunakan lagi. Setelah lulus, aku sibuk mencari lowongan pekerjaan, ikut beberapa job fair, mendatangi sederetan tes wawancara, dan, sekarang, aku sibuk bekerja sebagai legal staff di sebuah toko pakaian. Lima-enam tahun sudah tidak digunakan lagi, dan terakhir kali digunakan saat aku dan kawan-kawan menjelajahi kawasan hutan lindung di Sumatera, yang aku lupa namanya. 

Kutekan-tekan, tetap saja kompas ini rusak. Ah, sialan, hampir saja mau kubanting kompas ini. Kenapa harus rusak di saat-saat seperti ini? Seingatku, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat kompas ini harus menghentikan masa baktinya sebagai sebuah penuntun arah. 

Sebentar,… 

Aku mendengar seperti ada yang sedang mendekatiku dari arah belakang. Mungkin Jalu atau Rudi. Atau, teman-teman aku yang lainnya. Walau demikian, aku bingung mengapa jantungku berdetak-detak lebih kencang dari biasanya. Kuberanikan diri untuk menoleh. 

Aku menghela napas. Kupicing-picingkan mata. Kakek-kakek ini benar-benar aku perhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bukan apa-apa, aku takut dia tidak nyata. Perlahan-lahan, di sekeliling aku, mulai kekurangan sinar matahari. Kegelapan akan datang. 

Wah, ternyata kakek-kakek ini masih menapak. Kedua kaki si kakek masih menapaki tanah. Syukurlah, dan aku mengelus-ngelus dadaku. Mungkin kakek ini salah satu penduduk lokal daerah ini. 

Punten,” ucap si kakek dengan ekspresi yang menurut aku nyaris datar. 

Mangga, Kek,” jawabku menundukkan kepala. 

Naon anu anjeun lakukeun di dieu?” tanya si kakek yang mengenakan penutup kepala yang menurut aku seperti penutup kepala suku Baduy. 

Aku kurang fasih berbahasa Sunda, walau dulu pernah mempelajari bahasa Sunda di sekolah dasar. Akan tetapi, aku duga si kakek bertanya aku sedang apa. Kosa kata yang aku tahu dari perkataan si kakek itu hanya ‘di dieu’ dan ‘naon’.

Abdi, tersesat, kasasar,… nyasar,…” jawabku berlepotan. “Abdi, Kek, nyasar,”

“Nyasar? Leungit, maksudna? Kumaha bisa kitu? Duh, bahaya. Kumaha anjeun leungit?” tanya si kakek yang sepertinya mengajak aku ke suatu tempat. Mungkin rumah si kakek. 

Sok atuh, leuwih hadé mampir heula ka imah aki. Bahaya neruskeun lalampahan peuting. Cenah, di ieu leuweung loba demit anu resep ngaganggu.” lanjut si kakek yang aku belum menanyakan namanya. 

Entahlah, aku bingung dengan situasi yang tengah kuhadapi. Bagaimana bisa aku sekonyong-konyong membiarkan tanganku dibawa si kakek menuju suatu tempat. Kedua mataku mengedarkan pandangan ke sekeliling aku. Jalan-jalannya masih tetap sama. Hanya saja… 

Ieu imah aki, bujang,” tunjuk si kakek ke sebuah rumah yang agak kecil, yang mana bahan-bahan rumah itu terbuat dari kayu. Sangat tradisional. Mengingatkan aku ke cerita rakyat Sangkuriang atau Tangkuban Perahu. 

Aku membiarkan diriku seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Terus saja berjalan menuju rumah si kakek. Ternyata si kakek tinggal bersama istrinya. Si kakek mengaku kepada aku, dia bekerja sebagai seorang petani merangkap sebagai nelayan di danau-danau kecil yang berada di sekitar Gunung Tangkuban Perahu. Si nenek bekerja menjual hasil berkebun dan memancing ke pasar. Aku bisa tahu dengan cara meraba-raba. Dari gestur mereka. 

Setelah selesai makan malam dengan menu hanya nasi dan ikan yang aku bingung itu ikan apa tadi, aku memutuskan untuk tidur. Aku benar-benar sudah tak tahu jam berapa. Ponselku mendadak baterainya nol persen. Tak bisa dihidupkan sama sekali. Padahal, saat bersama rombongan, daya ponselku di atas tujuh puluh persen. Aneh sekali. 

Ah, nanti saja aku selidiki lebih lanjut. Lebih baik aku tidur. 

*****

Di dalam sebuah pekarangan dari rumah tua nan megah. 

“Yah, seperti itulah kisahku, teman-teman,” ujar hantu yang mengenakan flanel berwarna hijau. “Aku juga bingung kenapa aku bisa jadi seperti ini. Apa penyebab kematianku, aku pun tidak tahu.”

Sebagian dari hantu-hantu yang berkumpul di dalam rapat malah tertawa. Hanya si pemimpin yang tidak tertawa sama sekali. 

Ujar si pemimpin, “Kamu tidak sengaja memasuki kampung gaib. Mungkin kamu melanggar aturannya. ”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Episode : Sebuah Gangguan sebelum Terbang ke Brazil
2
0
“Aku berani sumpah, saat aku memeluk gadis kecil itu, aku tidak bernafsu. Itu karena aku sangat mencintai anak-anak, bukan karena nafsu birahi.” ujar Michelangelo Jackthorn dalam pikirannya sendiri. *****
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan