Drama di sebuah Dapur

0
0
Deskripsi

"Yang jelas, kalau lu masih mau jadi chef, ya nurutlah sama yang dibilang Chef Rama. Telmi lu dihilangin, Brother. Jangan ngerusak reputasi Chef Rama dengan segala kebodohan lu. Dan, asal lu tahu juga nih, Chef Rama udah begitu melunaknya sama lu. Dia lumayan sering maafin segala kesalahan lu. Gara-gara itu, beberapa chef sering menganggap Chef Rama terlalu memanjakan lu."

Aku mengepalkan tangan erat-erat. Kali ini aku pasti bisa. Bosan aku sering diomeli  oleh Chef Rama. Walau begitu, aku heran saja. Aku sering merasa Chef Rama seperti suka mencari-cari alasan untuk memarahi aku. Siapapun bisa melakukan kesalahan. Aku yakin Chef Rama juga sama. Dia, kan, hanya manusia. Chef Rama bukanlah dewa.

"Gue tahu lu lagi mikirin apa," sapa Ariel, yang beringsut dan langsung duduk di tempat yang masih kosong. "Lu masih kesal sama omongan Chef kemarin, yah?!"

Aku spontan mengangguk. Ujung rokok lalu kusumpalkan ke asbak yang ada di atas meja. Ruangan yang aku dan Ariel datangi ini memang smoking room. Pagi ini, masih pukul tujuh tiga lima, restoran masih sepi. Tulisan 'closed' masih terpampang di pintu masuk.

Ariel tergelak. "Sensian amat, Bos. Lagian maksud Chef Rama kan baik. Gue rasa emang salah lu juga, kok."

Aku meradang. " Maksud lu?!"

"Eits, jangan marah dulu," Ariel menengadahkan kedua tangannya ke arahku. "Lu ingat, nggak, kejadian minggu lalu? Kasihan Chef. Dia sampai dibentak habis-habisan sama produser film tersebut. Lu ngerusak jamuan makan malam si produser bareng para investornya. Padahal restoran ini favoritnya si produser, Bro. Salah siapa coba, yang masukin merica lumayan banyak ke lamb chop. Untung si produser masih bisa dibaikin. Kalau nggak, bisa tamat reputasi restoran ini."

"Yah, gue mana tau, gue kira juga rasanya bakal lebih enak kalau ditambahin merica," alibi aku. Aku mengisap rokok lagi. Untuk sekadar meredakan syaraf-syaraf yang tengah menegang.

Ariel berdecak-decak. Ia menggeleng-geleng juga. Aku tahu arti gestur dari temanku yang berambut gondrong tersebut. Bagaimanapun aku dan Ariel sudah bersahabat lumayan lama. Kami bahkan masuk ke sekolah masak yang sama selepas lulusg SMA. Beruntungnya, Tuhan begitu baik padaku. Aku dan dia seperti tak terpisahkan saja. Kami diterima bekerja di restoran yang sama, dan dimentori oleh Chef Rama Permana Kesumah, koki idola kami semenjak kami masih SMP. Tiap Chef Rama tampil di majalah atau surat kabar, aku dan Ariel langsung histeris membicarakan koki yang terkenal dengan French cuisine tersebut.

"Yang jelas, kalau lu masih mau jadi chef, ya nurutlah sama yang dibilang Chef Rama. Telmi lu dihilangin, Brother. Jangan ngerusak reputasi Chef Rama dengan segala kebodohan lu. Dan, asal lu tahu juga nih, Chef Rama udah begitu melunaknya sama lu. Dia lumayan sering maafin segala kesalahan lu. Gara-gara itu, beberapa chef sering menganggap Chef Rama terlalu memanjakan lu."

Aku terdiam. Aku tak bisa berkata apa-apa. Malah, aku baru tahu fakta yang itu. Selama ini, aku kira Chef Rama itu koki yang tak berperasaan. Tak sebanding dengan setiap cerita luar biasa tentang dirinya yang kubaca di banyak media.

"Gue tahu, Noel, lu bisa kerja di bawah naungan Chef Rama karena peranan bokap lu. Bokap lu ternyata senior Chef Rama di kampus. Tapi, bukan berarti lu bisa seenaknya sendiri. Satu dapur udah pada tahu, Bro, soal jalur belakang itu. Bahkan, Chef Mawan sering banget minta Chef Rama untuk memecat lu." ujar panjang lebar Ariel. Asap rokok dari dia sangat mengganggu. Aku sampai terbatuk-batuk.

Aku hanya menggigit bibir bawahku. Tak bisa kupungkiri, aku bisa berada di tempat seluar biasa ini memang karena hubungan pertemanan Papa dengan Chef Rama. Entah kenapa aku jadi merasa tak enak sendiri.

Ariel terbahak-bahak. Asapnya dilemparkan lagi ke arahku. "Kok diam, Bro? Tadi gue lihat dari jauh, lu ngedumel sendirian. Sempat gue dengar lu maki-maki Chef Rama."

Aku balas tertawa. Kubalas aksinya yang melemparkan asap ke arahku.

"Berubahlah, Noel. Setiap omelan Chef Rama itu demi kebaikan lu. Buktikan ke Chef Rama dan yang lainnya, lu emang layak berada di tempat ini. Lu bisa berada di sini bukan karena bantuan bokap lu. Buktikan juga bahwa nilai lu semasa kuliah dulu emang layak. Nilai-nilai lu kan lebih bagus daripada gue."

Aku menarik napas dalam-dalam. Kubuang asapnya. Rokoknya kuletakan di atas asbak. Aku melemparkan senyum  pada Ariel. Ucapku singkat, "Thank's, Brother,"

"Bagus kalau lu mulai sadar," kata Ariel nyengir. "Oh iya, Chef Rama nyuruh gue buat nyampein ke lu. Bentar."

Ia sekonyong-konyong merogoh saku celana panjangnya. Kertas kecil itu diserahkan padaku. Ah, paling itu bahan makanan yang harus kubeli pagi ini.

"Ingat, yah, jangan kayak waktu itu, belinya di Pasar Ikan Muara Angke. Sama Koh Adam, belinya. Jangan lu beli ikannya di tempat yang lain. Chef Rama kan udah sering bilang, kalau belinya nggak di sana, kesegarannya patut dipertanyakan. Untuk urusan bahan-bahan buat sea food, Chef lebih suka beli dari sana. Ngerti?"

Aku mengangguk, tersenyum pula. Harus kuakui, indra penciuman Chef Rama sangat bagus. Hanya melalui hidung, Chef Rama bahkan bisa tahu sayur mana yang tak boleh dimasak. Tak ayal nama Chef Rama begitu kondang, yang bahkan sampai ke negeri jiran. Saat kutanyakan, Chef Rama hanya berkata, "Alah bisa, karena biasa." Padahal, kutahu, Chef hanya tak mau memberitahukan alasan yang sebenarnya.

"Jangan karena kemalasan lu, Chef yang jadi korbannya." Ariel memperingati sekali lagi. "Oh ya, nanti malam doi lu mau datang, tuh, ke restoran ini."

Telingaku langsung berdiri. Entah kenapa tiap mendengar kabar Rachel mau menginjakan kaki ke restoran ini, semangatku kembali berapi-api. Aku sudah memendam rasa ke penyanyi muda itu sejak aku dan Rachel masih SMA. 

"Oh iya, lu kapan, sih, mau nembak si Rachel?" tanya Ariel dengan keingintahuan yang amat besar. "Gosipnya Rachel lagi didekati sama model yang ada di salah satu video clip-nya. Ntar ditikung, loh. Kata anak-anak juga, Rachel suka sama lu juga. Cinta pada pandangan pertama, kalau kata Grace, si mulut bebek itu."

"Seriusan lu?" Aku terperanjat. "Lu bilang gini bukan buat ngebaikin mood gue, kan?!"

Ariel mengangguk. "Gue sungguhan, emang Rachel naksir lu juga. Cinta lu terbalaskan. Penantian lu nggak sia-sia juga. Buruanlah, lu tembak si Rachel."

Aku mengangguk. "Ya udah, thank's buat informasinya, Riel. Gue berangkat dulu, takut kena macet parah."

"Oh iya, Noel, lu nggak kepikiran bikinin sesuatu buat Rachel? Soal itu, gue bisa minta ijin sama Chef Rama. Kayaknya juga Chef bakal setuju selama itu untuk restoran dan reputasi Chef sendiri. Kalau lu tertarik, Rachel suka banget sama masakan Jepang."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [Cerpen] Juan dan Stella
0
0
Tak bolehkah? Lagipula, tiap manusia bisa menangis. Saat sesuatu mengganggu jiwanya, aku rasa dia pasti menangis. Bayi laki-laki pun akan menangis saat ada bahaya mengancam. kata Juan kepada Stella. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan