
"Kalau kita patuh sama aturan lalu lintas, polisi juga nggak bakal tahu kita nggak punya SIM sebetulnya."
***
Info Lowongan Kerja
Peluang Bisnis Bagus
Fiana Oriflame
087771268455

Pernahkah kalian harus berkutat dengan angka dan simbol-simbol Matematika di saat matahari sudah di atas kepala?
Inilah yang aku rasakan hari ini. Setelah bel berbunyi pada pukul 12.30, jam pertama adalah Matematika. Gurunya bukan Pak Effendi lagi. Kembali ke Pak Nelson.
“Kalau langsung ujian, apa siap kalian?” tanya Pak Nelson nyengir.
Langsung saja murid-murid kelas 2-1 mengeluh kencang. Suasana dalam ruangan kelas sontak ricuh.
“Sssttt!” seru Pak Nelson. “Kalian pikir Bapak ini benar-benar guru killer? Yah, tidak juga. Masih ada hati nurani, Bapak ini. Baru awal tahun ajaran baru, tidak mungkin langsung ujian. Kalian bisa tanya kakak kelas kalian di jam sembilan pagi. Meski masuk siang, kalian bisa datang ke Marius jam sembilan, waktu istirahat, lalu tanya ke murid-murid kelas 3. Atau, tanyalah ke anak-anak SMA. Bapak, kan, mengajar juga di SMA."
“Yah, kita kira,” timpal Yoshi terkekeh-kekeh.
Erick pun ikut menimpali, “Lagian, malesin banget, Pak, mesti ke sini pagi-pagi banget. Waktu pulang sekolah, nyampe rumah, kayak saya nih Pak, nyampe rumah kadang bisa di atas jam delapan malam.”
“Loh, kok bisa, Rick?” tanya Pak Nelson mengernyitkan dahi. “Memangnya kau tinggal di mana?”
“Hampir ke Jakarta, Pak,” jawab Erick. “Dekat-dekat Bintaro gitu. Pulang sekolah waktu lagi macet-macetnya. Angkot-angkot pada sering ngetem. Untung aja saya bawa motor."
“Eh, hati-hati dengan polisi, Rick,” kata Pak Nelson mewanti-wanti. “Belum ada KTP sama SIM, yang Bapak lihat.”
“Diakalin, lah, Pak,” ujar Erick terkekeh-kekeh. “Lewat jalan-jalan kampung. T'rus, langsung keluarin helm, kalau lagi di jalan besar. Kalau kita patuh sama aturan lalu lintas, polisi juga nggak bakal tahu kita nggak punya SIM sebetulnya.”
“Pintar juga kau,” ujar Pak Nelson memberikan acungan jempol. “Tapi, kelihatan, lah, kau masih SMP. Celanamu itu.”
“Yah, dari Marius, ganti celana dulu, Pak,” jawab Erick terkekeh-kekeh.
Pak Nelson tertawa terbahak-bahak sembari menggelengkan kepala.
Murid-murid lainnya pun turut tertawa.
“Oh iya, Bapak dengar ada murid baru,” kata Pak Nelson yang masih duduk di bangku guru.
Spontan kedua mataku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan kelas. Baru sadar, untuk hari ini pun, Felix tak masuk sekolah lagi. Selain Felix, seluruh murid baru cukup rutin masuk sekolah. Masih ada Andri, Yongki, Johannes, dan Dani, yang seharusnya menjadi kakak kelas aku.
Erick yang menjawab, “Ada, noh. Jo, angkat tangan lu. T'rus, ini dia satu lagi.”
Segera Erick menunjuk Yongki yang duduk hanya beberapa meja dari mejanya Erick dan Yosua. Yongki duduk dua meja sebelum Erick.
Andri spontan inisiatif mengangkat tangan. Yang menyusul Dani mengangkat tabgan pula.
Seviane bertanya di sela-sela, “Pak Effendi ke mana, Pak?”
“Kena skorsing dari kepala yayasan,” jawab Pak Nelson. “Kalian pasti pernah mendengar kasusnya. Yang tahun lalu, seingat Bapak. Di kelas kalian juga, kok.”
Aku sekonyong-konyong teringat kejadian tersebut. Saat Pak Effendi melempar semacam botol ke arah jendela. Suaranya cukup nyaring terdengar hingga lantai dasar gedung. Yang kudengar, ada yang terluka dari kejadian tersebut. Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya apa alasan sebenarnya Pak Effendi bisa semarah itu.
“Makanya, Bapak lagi yang mengajar Matematika ke kalian,” ujar Pak Nelson tersenyum. “Karena Bapak ngajarnya nggak cuma di kelas ini, Bapak ngajar juga di kelas 1, ngajar kakak kelas kalian, sama ngajar juga di SMA dan SMK, Bapak mohon kerjasamanya kalian. Jangan bikin kepala Bapak penat, yah.”
“Beres, Pak!” seru Erick nyengir. Wah, Erick cukup berapi-api sekali mengucapkannya. Itulah yang aku suka dari Erick. Erick selalu optimis, terlalu percaya diri, dan dia pintar membuat suasana menjadi begitu hidup.
“Terutama kau itu, Rick,” kata Pak Nelson sedikit memelototi Erick. “Jangan sering bikin rusuh di kelas. Bapak sudah memperhatikan ulahmu sejak kau masih kelas 1.”
Erick hanya terkekeh-kekeh sembari mengupil.
“Jorok, Rick,” keluh Yuli mengernyitkan hidung.
Murid-murid lainnya tertawa terbahak-bahak. Termasuk aku sendiri. Di saat seperti ini, aku sangat bersyukur masih mengobrol di sesi pertama jam pelajaran Matematika. Mana matahari di luar sudah lumayan terasa panas. Ah, andai saja ada kipas angin dipasang di ruangan kelas ini. Sedikit lebih sejuk pastinya.
Meskipun ruangan kelas aku berada di lantai dua, dan tak jauh dari pohon nangka yang rindang, ada beberapa jendela, namanya juga kelas siang. Belajar di saat matahari sedang terik, apalagi yang dipelajari itu membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi seperti Matematika, pasti kurang menyenangkan. Masih lebih menyenangkan jika saat ini jam pelajaran pertama adalah Olahraga. Sayangnya Olahraga itu jatuh pada hari selasa dan di atas jam tiga sore.
Sekonyong-konyong aku teringat dengan Pak Effendi. Kasihan juga beliau harus diskorsing dari pihak sekolah. Aku mendadak teringat dengan kejadian sebelum Piala Dunia dan ulangan umum. Saat itu, untuk kali pertama, nilai ulangan Matematika aku mendapatkan nilai di atas 60. Padahal, yang sesuai dugaan awal aku, ulangan Matematika-nya susah sekali. Saat itu juga, aku bahkan sempat diam-diam mencontek Sandi Malau, teman aku yang semester lalu menjadi juara kelas. Dia ini lumayan jago di mata pelajaran Matematika, selain Patricia. Untungnya tidak ketahuan Pak Effendi. Wah, cambang aku bisa ditarik sekencang-kencangnya. Hukuman dari Pak Effendi selalu seperti itu, jika tidak ketahuan mencontek, tidak mengerjakan PR, dan rambut yang sedikit gondrong.
Selanjutnya, keesokan harinya, hasil ulangan dibagikan. Dugaan aku ternyata meleset. Padahal Sandi sudah mau memberikan contekan juga. Eh, tetap saja hasil ulangan Matematika parah sekali. Empat koma lima. Belum lagi Pak Effendi minta hasil ulangannya ditandatangani orangtua. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Aku sudah mendapatkan nilai merah, cambang aku ditarik kencang-kencang oleh Pak Effendi, eh, kena omelan Mama.
Saat itu, aku heran pula. Kenapa bisa dapat segini, padahal sudah mencontek Sandi Malau? Sandi saja dapat delapan puluh lima. Nilai paling tinggi diraih oleh Patricia, karena dia dapat nilai sempurna. Aduh, aku pengin sekali sejago Sandi Malau, Nozel, atau Sandi Cina dalam hal Matematika. Kok aku bego banget?
Aku tersentak. Tahu-tahu, di dekat aku, sudah berdiri Pak Nelson, yang berkata, “Apa yang kamu lamunkan, Noel?”
Nyaris seluruh murid-murid kelas 2-1 tertawa terbahak-bahak. Itu termasuk Santo, yang duduk di sebelah aku. Sayup-sayup aku mendengar Erick yang sedang berbicara ke Johannes, “Ah, dia itu emang gitu, Jo. Dari kelas 1, suka ngelamun sendiri. Ngelamunin Melati atau Yuli, Noel?”
Melati yang duduk di belakang aku, terkekeh-kekeh. Kentara sekali wajahnya memerah. Astaga, jangan bilang teman perempuan aku yang berambut pendek dan agak bau ini naksir pada aku?
Eh, Melati, maaf, maaf, saja, nih. Seleraku itu bukan kamu. Ada perempuan lain yang aku masih cari tahu kebenarannya. Berharap suatu hari nanti aku bisa berjumpa lagi dengan si perempuan itu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
