
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dilengserkan pada tanggal 23 Juli 2001. Berdasarkan Sidang Istimewa MPR RI, 23 Juli 2001 melalui Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2001. Saat itu, aku sudah duduk di bangku kelas 1 SMP. Jatuh pada hari senin. Dan…
***
Les Privat Mikhael
Onsite / Online
0877-7554-9072

Kali ini aku sedang liburan sekolah. Bukan karena bolos, karena agak sulit aku bolos dan memang bukan tipe murid yang suka bolos sekolah. Sampai-sampai Sandi Malau pernah seperti meledek aku sebagai seorang murid teladan. Aku tahu itu ledekan. Sandi Malau memang seperti itu. Ia sering meledek seseorang secara halus sekali. Terdengar seperti sebuah pujian. Padahal itu ledekan. Yang bukan hanya aku korbannya. Beberapa orang murid kelas 1 SMP Marius pernah mendapatkan perlakuan serupa.
Ha-ha-ha.
Aku menggelengkan kepala. Lalu kembali bermain permainan komputer. Kali ini tidak bermain The Sims dulu. Kubiarkan Dennis Hasselbaink dengan aksi playboy-nya. Semenjak aku menggunakan kode cheat ‘rosebud' itu, Dennis Hasselbaink perlahan berubah menjadi playboy. Sedahsyat itukah kekuatan uang?
Untuk hari ini, aku bermain Age of Empires. Permainan simulasi perang dengan berlatar sejarah. Ada banyak peristiwa sejarah di dalam permainan ini. Berkat permainan ini, aku mengetahui tentang Joan of Arc, Salahudin, Yi Sun-shin, hingga King Friedrich I Barbarossa. Seru juga bagaimana mempersiapkan suatu masyarakat atau peradaban dengan baik. Pelan-pelan aku mulai mengerti perang bukanlah sekadar perang. Ada otak-otak jenius di balik terciptanya beberapa perang yang pernah terjadi di muka bumi ini. Ambil contoh adalah Salahudin.
Nama lengkapnya adalah Salahuddin Yusuf bin Ayyub. Beliau merupakan tokoh cukup berperang dalam Perang Salib yang berlangsung cukup lama. Panglima perang yang luar biasa. Aku cukup mengagumi strategi-strategi militernya, yang sanggup menahan gempuran para tentara Salib yang katanya dikomandoi oleh pihak Vatikan.
Oh iya, selain bukan karena bolos, hari ini--juga besok--tidak masuk sekolah, itu bukan karena sakit. Kondisi kesehatan aku perlahan-lahan membaik. Perutku tidak diare lagi. Sudah tidak demam. Aku tidak masuk sekolah karena ada praktik Ujian Akhir Sekolah di SMP Marius.
Yah, sekarang namanya bukan Ebtanas lagi. Bye, bye, Ebtanas. Namanya kini adalah Ujian Akhir Nasional. Alias UAN. Begitulah Pak Silaban dulu menyebut ujian penentu kelulusan tersebut. Disingkat sebagai UAN.
Sekonyong-konyong aku teringat dengan momen itu lagi.
***
Suara gemuruh tepuk tangan membangunkan aku dari lamunan aku yang sedang asyik bernostalgia. Pak Silaban turun dari podium kecil tersebut. Sesuai dugaan aku tersebut, Pak Johannes, yang kata Santo merupakan Kepala Yayasan, naik ke atas podium kecil. Ternyata beliau juga akan berceramah ke setiap murid SMP Marius. Ceramahnya lebih berisi nasehat agar kami lebih serius belajar, tidak membuat masalah, menjaga nama baik sekolah Marius, serta… untuk murid-murid kelas 3, agar lebih serius dalam mempersiapkan UAN. Beliau menginginkan kelulusan yang seratus persen. Setiap murid kelas 3 SMP harus lulus dan diterima di SMA-SMA favorit.
“Pokoknya kita tidak boleh jago kandang,” seru Pak Johannes Rajagukguk bersuara lantang. “Buktikan, sekolah ini juga tidak kalah. Buktikan sekolah ini juga bukan sekolah yang lebih sering menerima murid-murid yang tidak diterima di mana-mana. Saya harap kalian lebih serius belajar. Kurangi main-mainnya. Jangan membuat ulah di sekolah lagi. Kurang-kurangi nongkrong di warung dekat sekolah itu. Satpam sekolah sering bilang ke saya, ada beberapa murid ketahuan merokok di warung itu.”
Lalu, sekonyong-konyong beberapa murid saling pandang.
***
Aduh, entah apa pula maksudnya Pak Silaban. Namun, apa boleh buat. Kudengar, memang terjadi perubahan sistem pendidikan. Pemerintahannya pun berbeda. Berganti dari Abdurrahman Wahid menjadi Megawati Soekarnoputri yang merupakan anak dari Proklamator Indonesia, Insinyur Soekarno.
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dilengserkan pada tanggal 23 Juli 2001. Berdasarkan Sidang Istimewa MPR RI, 23 Juli 2001 melalui Ketetapan MPR RI No. II/MPR/2001. Saat itu, aku sudah duduk di bangku kelas 1 SMP. Jatuh pada hari senin. Dan…
***
Aku tersandung salah satu anak tangga.
Alfa terkekeh-kekeh. “Tuh, kan, jatuh lu Noel. Santai, sih. Baru hari pertama sekolah. Telat sedikit, nggak diapain juga, kali.”
Aku ikut terkekeh. Alfa membantu aku untuk berdiri. Lututku agak terluka. Alfa langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah plester.
“Nih,” Alfa menyerahkan plester ke arah aku. “Gue nggak bawa obat merah, tapi mending plester dulu buat mengurangi pendarahannya.”
“Thank's,” jawabku yang segera membalut lututku yang berdarah karena tersandung anak tangga.
Alfa--yang sama seperti Yosua--merupakan temanku sejak aku bersekolah di SD Marius. Ia anak yang cerdas sebetulnya, meskipun agak nakal juga. Senakal-nakalnya Alfa, belum senakal Yoga, yang sampai harus dikeluarkan dari sekolah. Selain itu, Alfa ini dikenal sebagai Pepaya beberapa tahu yang lalu. Apa-apa menangis. Diganggu sedikit oleh anak nakal, sudah langsung menangis. Padahal seharusnya bisa dibalas oleh Alfa. Eh, julukan Pepaya itu disematkan oleh wali kelas di kelas 2 SD, Ibu Rohani.
Sekonyong-konyong seorang guru lewat. Perawakannya sudah tua. Rambutnya sudah banyak yang berguguran. Yang hanya menyisakan rambut di sisi-sisi rambutnya. Untuk bagian tengah, plontos. Guru ini sedikit pendek dan gemuk. Bahkan guru ini lebih pendek dari Alfa. Kadang aku bingung cepat sekali tinggi Alfa bertambah. Namun, saat aku tahu, Alfa sering bermain bola basket bersama Yosua di salah satu lapangan komplek, aku mulai paham mengapa tinggi badannya cepat meroket. Mungkin aku harus bermain basket agar tinggiku bertambah.
“Kenapa dia?” tanya si guru berkepala plontos di tengah.
Alfa yang menjawab, “Kesandung anak tangga, Pak.”
“Wah, hati-hati kamu,” ucap si guru plontos terkekeh. “Habis mikirin perempuan, yah, kamu?”
Alfa tertawa. “Tuh, Noel, dijawab pertanyaan si Bapak.”
Aku hanya cekikikan dan tak kusangkal berwajah merah karena selorohan si guru plontos.
“Kalian kelas berapa?" tanya si guru plontos tersebut.
“Kelas 1-1," jawab Alfa. “Buruan, Noel, jalannya.”
Aku mengikuti langkah mereka dari arah belakang.
“Nama Bapak siapa?" tanya Alfa yang sepertinya tidak terlalu takut atau segan dengan guru plontos tersebut. Harus aku akui, Alfa ini tidak sama seperti aku. Pembawaan Alfa cukup supel. Dia pintar berbicara juga. Aku ingat, saat kelas 4 SD dulu, Alfa sempat menjadi penengah di tengah perkelahian antara Alvin dan Rio, yang dibantu oleh Yoga dan kawan-kawan.
“Nama saya Hadi,” jawab si guru plontos tersenyum. Oh, Pak Hadi ini membawa tas cukup besar di salah satu lengannya. “Kebetulan jam pertama saya mengajar di kelas 1-1. Saya guru Biologi.”
“Oh, Bapak guru Biologi,” ucap Alfa mengangguk-anggukan kepala. “Pak, susah nggak Biologi itu?”
“Justru Biologi lebih menarik buat dipelajari. Kalian jadi lebih mengerti seluruh makhluk hidup sama bermaknanya dengan manusia. Kita ini, kan, juga sama-sama ciptaan Tuhan yang maha esa.” jelas Pak Hadi, yang aku cukup terkesan dengan cara Pak Hadi menjawab pertanyaan Alfa.
Tak terasa aku, Alfa, dan Pak Hadi sudah berada di depan pintu ruang kelas 1-1. Pak Hadi berhenti sebentar di pintu kelas. Mendadak kedua mata Pak Hadi melotot. Aku bergidik. Alfa pun sama.
“Kali ini, saya maafkan atas keterlambatan kalian,” sahut Pak Hadi dengan suara yang sepertinya agak dikencangkan. Kepada murid-murid kelas 1-1, ia pun melotot. "Besok-besok, yang telat datang waktu jam pelajaran saya, saya setrap kalian.”
“Siap, Pak!” seru Alfa sembari memberikan tanda hormat.
“Eh, kamu, ikut saya ke meja guru sebentar,” pinta Pak Hadi. Ternyata hanya Alfa yang diminta untuk bergegas ke meja guru. Di sana, Alfa diminta Pak Hadi untuk memijat punggung Pak Hadi.
***
Sekonyong-konyong aku teringat dengan kejadian itu lagi. Benar-benar hari pertama aku belajar sebagai murid SMP. Ternyata hari aku berkenalan kali pertama dengan Pak Hadi itu bertepatan dengan pergantian presiden Indonesia dari Gus Dur ke Ibu Megawati. Yang aku ingat lagi, Papa sempat pulang cepat. Sorenya, ada Sidang Istimewa MPR. Sepertinya juga, yang aku ingat, hampir setiap stasiun televisi menayangkan Sidang MPR tersebut. Keesokan harinya--hingga beberapa hari ke depan, banyak media memberitakan Sidang Istimewa MPR dan pergantian kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia.
Ah…
***
Alvin tertawa terbahak-bahak.
Aku pun ikut tertawa.
“Teman-teman kita banyak yang pindah, yah, Alfa?” tanya Alvin.
Sementara aku, Alvin, dan Alfa duduk di bangku panjang yang tak jauh dari gerbang sekolah. Duduk santai dulu sebelum bel berbunyi. Baik itu SD maupun SMP Marius, sama-sama memulai jam belajar di jam tujuh pagi.
“Yah, gitu, deh,” jawab Alfa yang minum air mineral. “Willy ke Kalimantan. Udah tahu?”
Alvin mengangguk. “Iya, udah tahu, kok. Kedua adik kembarnya juga udah nggak sekolah di sini lagi.”
“T'rus, Vina yang langganan tiga besar, pindah juga ke SMP 1, Vin.” ucap Alfa.
“Wuih!” seru Alvin terperangah. “Nggak heran, sih. Vina kan pintar yah dulu itu. Dulu gue ingat sering minta contekan PR ke dia.”
Alfa tertawa. “Beda sama lu, yah, Vin.”
“Udah, dong, Alfa, jangan ngeledekin gue mulu. Gue udah nebus kesalahan gue selama setahun juga.” ujar Alvin yang aku perhatikan dirinya terlihat malu saat menceritakan masa lalunya yang pernah bermasalah dengan guru-guru hingga harus tinggal kelas.
“Eh, udah mau lima belas menit lagi,” kataku memperingatkan Alfa dan Alvin.
“Kita duluan, yah, Vin,” kata Alfa nyengir. “Belajar yang benar buat Ebtanas. Baru sadar gue, lu sekarang pakai kacamata, yah?"
“He'eh.” kata Alvin tersenyum. “Minus gue nambah.”
“Gara-gara kebanyakan baca buku pelajaran atau hobi main PS?” goda Alfa nyengir.
“Dua-duanya." jawab Alvin tertawa terbahak-bahak.
“Wah, lu sama Ikbal, masih suka ke rental PS, yah?” tanya Alfa menduga-duga, nyengir.
“Kayak lu nggak aja, Alfa.” ucap Alvin nyengir. “Sebelum Ebtanas, gue suka lihat lu, Nando, dan Ferly suka main WE di rental.”
“Tapi, ujung-ujungnya kita lulus SD, Vin. Dan, nggak ada yang nggak lulus di antara kita semua. Pada lulus semua. Senakal-nakalnya Nando, dia lulus juga ternyata. Termasuk Rio yang pernah lu tantang berantem dulu.” tutur Alfa mengingat-ingat apa yang terjadi di antara kami bertiga.
Alfa sebentar melihat ke arah aku sebelum berkata, “Beneran semuanya lulus? Nggak ada yang nggak lulus?"
Aku mengangguk untuk membenarkan.
“Wah, hebat. Yang peringkat pertamanya siapa? Willy, kan, pasti? Atau, Vina?” tanya Alvin yang cukup terperangah dengan cerita Alfa tentang hasil Ebtanas yang sudah berlalu.
“Willy yang peringkat pertama. Baru, kedua itu Vina. Patricia di peringkat ketiga. Sodo di peringkat keempat. Yang kelima, dia, nih.” jawab Alfa. Untuk kata-kata terakhir yang diucapkan Alfa, ia memandang nakal ke arah aku sembari nyengir.
Aku mendadak merasa malu sendiri. Sontak aku menundukkan kepala.
“Wah, selamat yah, Noel.” kata Alvin yang mengajak aku bersalaman. “Gue udah tahu sih, dia memang pintar, walau pemalu begini. Di SMP nanti, sering-sering ngomong, Noel.”
“Benar, tuh, Noel,” ucap Alfa yang ikut memberikan semangat. “Yah, udah, yah, kita ke kelas dulu.”
“Sama, gue juga belum ngerjain PR IPA. Sempat nggak yah nyalin PR?” kata Alvin terkekeh-kekeh.
“Astaga, Vin. Gue kira lu udah berubah. Ternyata, masih aja suka nyalin PR teman.” ucap Alfa berdecak dan nyengir.
Alvin tertawa. “Bego lu, Alfa. Hari pertama sekolah, mana dikasih PR. Haha.”
Alfa malu sendiri saat menyadari kebodohannya. “Oh iya, yah, hari ini kan hari pertama sekolah, yah.”
“Eh, minggu lalu MOS-nya gimana?” tanya Alvin.
Jawab Alfa, “Asyik acara MOS-nya. Tahun depan juga, lu bakal ngerasain MOS. Belajar yang benar makanya buat Ebtanas nanti. Jangan keseringan nyalin PR orang."
“Sial!” sembur Alvin nyengir. “Mentang-mentang udah pada SMP, lu berdua.”
***
Omong-omong, kenapa aku mendadak teringat Alvin, temanku yang seharusnya satu kelas dengan aku tersebut?
Langsung saja, tanpa pikir panjang, aku bangkit dari bangku komputer dan bergegas menghubungi nomor telepon rumah Alvin. Berharap dia libur. Ingin aku menanyakan persiapannya dalam UAN tahun ini. Tahun ini dia seharusnya sedang bersiap-siap dalam ujian yang menentukan kelulusannya. Anak yang dulunya suka berulah itu apakah bisa lulus SD? Ke manakah dia akan melanjutkan sekolah setelah lulus SD? Jangan-jangan ke SMP Marius pula?
Ternyata diangkat. Wajar saja, sih. Sekarang sudah jam satu siang. Lama juga aku bermain permainan komputer. Sejak Christy sedang bersiap-siap ke sekolah hingga sekarang.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
