Chapter 4: Tentang Alvin, Temanku yang Dulu Tinggal Kelas

1
0
Deskripsi

Seharusnya aku dan Alvin bisa lulus bersama dan ikut MOS di tahun yang sama. 

***

Khusus wilayah Siantar dan sekitarnya, OPEN MIE GOMAK ANDALIMAN! 

post-image-661f25455bd8c.jpg

MOS sudah terlewati. Hanya tiga hari, aku menjalani MOS, yang merupakan singkatan dari masa orientasi siswa. Namun, menurut pengakuan Nabit, tahun lalu, tidak disebut sebagai MOS. Seharusnya murid-murid kelas 1 sekarang beruntung. Sebab, saat Nabit masih kelas 1, masa perkenalan siswa lebih parah. Harus kuat mental dalam menghadapi tekanan dari para kakak kelas, yang malah datang di masa perkenalan siswa. 

Aku beruntung, karena mendapatkan libur tambahan sebanyak tiga hari. Eh, sebentar, apakah hari minggu dihitung juga, walau hari minggu memang hari libur secara nasional? 

Mulai berjalan aku memasuki gerbang sekolah Marius. Sekonyong-konyong aku ditepuk dari belakang oleh seseorang yang aku kenal. Dia Alvin, mantan teman sekelasnya. Konyolnya aku. Mana ada istilah mantan teman. Bilang saja, dulu Alvin pernah satu kelas dengan aku. Saat kelas 4 SD, Alvin datang ke kelas sebagai seorang murid pindahan. Dari penampilannya, kusangka, ia itu anak baik-baik. Kulitnya putih nan terawat. Potongan rambutnya pun sangat mencerminkan bahwa Alvin besar dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan. Aku pun masih beranggapan bahwa anak-anak dari keluarga Tionghoa itu rata-rata memiliki sifat yang terpuji. 

“Hei,” sapa Alvin. “Masih ingat gue, nggak?”

Aku terkekeh-kekeh. “Masih, dong.”

“Enak, yah, bisa jadi murid SMP juga, Noel.” ucap Alvin yang memperhatikan penampilan aku dari ujung rambut hingga ke sepatu kets berwarna hitam yang aku kenakan. “Eh, Noel, Ebtanas itu susah, nggak?”

“Yah, susah-susah gampang.” jawabku sekenanya. 

“Oh,” kata Alvin yang entah kenapa kedua matanya memandangi kaus kaki berlogo sekolah Marius. “Murid-murid SMP Marius pakai kaus kaki begitu?”

Aku mengangguk. 

“Gue kira masih bebas kayak kita dulu masih SD." kata Alvin. “Eh, harusnya kita juga lulus bareng yah bulan Juni kemarin.”

Aku hanya terkekeh-kekeh. Iya, seharusnya aku dan Alvin menjalani Ebtanas bersama di bulan Mei yang lalu. Kita pernah sekelas di kelas 4. Sayangnya, di tengah-tengah, Alvin berulah. Tak hanya bermasalah dengan beberapa guru, entah mengapa juga nilai-nilainya mendadak anjlok. Padahal di caturwulan pertama, Alvin merupakan murid yang tak bisa dibilang bodoh. Ingat, Alvin itu anak Tionghoa, dan aku sering beranggapan jarang ada anak-anak Tionghoa yang keteteran dalam hal pelajaran di sekolah. Sayangnya, anggapan aku keliru. Aku pun heran mengapa nilai-nilai di sekolah di caturwulan berikutnya anjlok. Sudah anjlok, sering membuat masalah si sekolah, tak heran Alvin harus tinggal kelas. 

“Mungkin kalau gue dulu nggak bikin masalah, gue nggak perlu tinggal kelas, kali.” kata Alvin menghela nafas. “Tinggal kelas itu nggak enak banget, Noel. Hahaha.”

Aku masih tertawa terkekeh-kekeh. 

“Sekarang kita jadi beda begini, yah, Noel," kata Alvin yang masih memperhatikan penampilan aku. 

Sekonyong-konyong Alfa lewat dan menepuk punggung Alvin. Kata Alfa, “Mau ngapain lu? Nggak usah gangguin Noel lagi, lah, kayak waktu itu. Nggak takut tinggal kelas lagi apa? Ujung-ujungnya, bisa dikeluarin dari sekolah, mau lu?”

“Apaan sih, Alfa?” Alvin nyengir. “Gue cuman ngobrol-ngobrol biasa aja sama Noel. Nggak ngapa-ngapain dia.”

“Udah kapok lu?” tanya Alfa terkekeh. “Makanya, dulu itu jangan bandel-bandel, Vin. Nggak enak, kan, tinggal kelas.”

Alvin tertawa terbahak-bahak. 

Aku pun ikut tertawa. 

“Teman-teman kita banyak yang pindah, yah, Alfa?” tanya Alvin. 

Sementara aku, Alvin, dan Alfa duduk di bangku panjang yang tak jauh dari gerbang sekolah. Duduk santai dulu sebelum bel berbunyi. Baik itu SD maupun SMP Marius, sama-sama memulai jam belajar di jam tujuh pagi. 

“Yah, gitu, deh,” jawab Alfa yang minum air mineral. “Willy ke Kalimantan. Udah tahu?”

Alvin mengangguk. “Iya, udah tahu, kok. Kedua adik kembarnya juga udah nggak sekolah di sini lagi.”

“T'rus, Vina yang langganan tiga besar, pindah juga ke SMP 1, Vin.” ucap Alfa. 

“Wuih!” seru Alvin terperangah. “Nggak heran, sih. Vina kan pintar yah dulu itu. Dulu gue ingat sering minta contekan PR ke dia.”

Alfa tertawa. “Beda sama lu, yah, Vin.”

“Udah, dong, Alfa, jangan ngeledekin gue mulu. Gue udah nebus kesalahan gue selama setahun juga.” ujar Alvin yang aku perhatikan dirinya terlihat malu saat menceritakan masa lalunya yang pernah bermasalah dengan guru-guru hingga harus tinggal kelas. 

“Eh, udah mau lima belas menit lagi,” kataku memperingatkan Alfa dan Alvin.

“Kita duluan, yah, Vin,” kata Alfa nyengir. “Belajar yang benar buat Ebtanas. Baru sadar gue, lu sekarang pakai kacamata, yah?"

“He'eh.” kata Alvin tersenyum. “Minus gue nambah.”

“Gara-gara kebanyakan baca buku pelajaran atau hobi main PS?” goda Alfa nyengir. 

“Dua-duanya." jawab Alvin tertawa terbahak-bahak. 

“Wah, lu sama Ikbal, masih suka ke rental PS, yah?” tanya Alfa menduga-duga, nyengir. 

“Kayak lu nggak aja, Alfa.” ucap Alvin nyengir. “Sebelum Ebtanas, gue suka lihat lu, Nando, dan Ferly suka main WE di rental.”

“Tapi, ujung-ujungnya kita lulus SD, Vin. Dan, nggak ada yang nggak lulus di antara kita semua. Pada lulus semua. Senakal-nakalnya Nando, dia lulus juga ternyata. Termasuk Rio yang pernah lu tantang berantem dulu.” tutur Alfa mengingat-ingat apa yang terjadi di antara kami bertiga. 

Alfa sebentar melihat ke arah aku sebelum berkata, “Beneran semuanya lulus? Nggak ada yang nggak lulus?"

Aku mengangguk untuk membenarkan. 

“Wah, hebat. Yang peringkat pertamanya siapa? Willy, kan, pasti? Atau, Vina?” tanya Alvin yang cukup terperangah dengan cerita Alfa tentang hasil Ebtanas yang sudah berlalu. 

“Willy yang peringkat pertama. Baru, kedua itu Vina. Patricia di peringkat ketiga. Sodo di peringkat keempat. Yang kelima, dia, nih.” jawab Alfa. Untuk kata-kata terakhir yang diucapkan Alfa, ia memandang nakal ke arah aku sembari nyengir. 

Aku mendadak merasa malu sendiri. Sontak aku menundukkan kepala. 

“Wah, selamat yah, Noel.” kata Alvin yang mengajak aku bersalaman. “Gue udah tahu sih, dia memang pintar, walau pemalu begini. Di SMP nanti, sering-sering ngomong, Noel.”

“Benar, tuh, Noel,” ucap Alfa yang ikut memberikan semangat. “Yah, udah, yah, kita ke kelas dulu.”

“Sama, gue juga belum ngerjain PR IPA. Sempat nggak yah nyalin PR?” kata Alvin terkekeh-kekeh. 

“Astaga, Vin. Gue kira lu udah berubah. Ternyata, masih aja suka nyalin PR teman.” ucap Alfa berdecak dan nyengir. 

Alvin tertawa. “Bego lu, Alfa. Hari pertama sekolah, mana dikasih PR. Haha.”

Alfa malu sendiri saat menyadari kebodohannya. “Oh iya, yah, hari ini kan hari pertama sekolah, yah.”

“Eh, minggu lalu MOS-nya gimana?” tanya Alvin. 

Jawab Alfa, “Asyik acara MOS-nya. Tahun depan juga, lu bakal ngerasain MOS. Belajar yang benar makanya buat Ebtanas nanti. Jangan keseringan nyalin PR orang."

“Sial” sembur Alvin nyengir. “Mentang-mentang udah pada SMP, lu berdua.”

Sekonyong-konyong bel sekolah berbunyi. Aku, Alfa, dan Alvin saling berpamitan. Aku dan Alfa bergegas ke gedung SMP. Kelas kami berada di lantai tiga. Sementara Alvin berlari-lari kecil menuju ruang kelas 6 SD. 

Meskipun kami bertiga sudah berbeda jenjang pendidikan, nyatanya masih terjalin rasa persahabatan yang cukup hangat. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #26 Tentang Champions League
1
0
Hasil dua pertandingan semi-final Champions League.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan