Chapter 20: Buku Catatan Kasus

1
0
Deskripsi

Hanya sebuah tebal berkaver warna hijau. Namun, buku itu sudah menjelma menjadi buku catatan kematian untuk seluruh murid SMP. 

*****

Twinailash Studio Siantar

0821-6713-8400

post-image-664d541333787.jpg

Aduh, berisik sekali pagi ini. Berisik begini, entah mengapa aku malah ingin tidur. Aku pun bingung mengapa teman-teman tidak bisa mengobrol dengan suara sedikit lebih pelan. Yang kulihat juga, masing-masing dari mengobrol. Entah apa yang mereka obrolkan. 

Yang ada di sekitar aku sih, salah satunya seperti Santo yang asyik mengobrol mengenai telenovela itu lagi. Itu, loh, telenovela dari Meksiko berjudul Amigos tersebut. Karena bulan lalu sering dibicarakan oleh teman-teman sesama penghuni kelas 1-1, aku sampai ikut menonton telenovela Amigos. Wah, ternyata seru juga. Tidak salah jika Santo menceritakan episode di kemarin selasa dengan cukup berapi-api. 

“Si Pedro balik ke Meksiko dari Amerika Serikat,” tutur Santo kepada Mareta yang duduk di samping dirinya. “Ibu tirinya jahat banget. Wajahnya jutek gitu.”

“Itu ibu tiri?” tanya Niki mengernyitkan dahi. 

Mareta yang menimpali, “Itu ibu tiri, Nik. Lu nonton nggak, sih? Amanda itu ibu tirinya Pedro. Pedro anak adopsi.”

Niki menggeleng dan berkata, “Kemarin mau nonton, tapi abang gue malah setel MTV, sih. Pengin lihat video klip dari band kesukaannya. Pengin minta ganti channel, takut ribut-ribut.”

Aku lalu mengalihkan pandangan ke arah belakang aku. Segera aku menggeleng-gelengkan kepala, melihat kejahilan Yoshi yang asyik menggoda Patricia. Buku tulis Patricia direbut Yoshi, dan iseng dituliskan sesuatu yang mengganggu Patricia. Yang sudah hampir sebulan ini, tidak hanya Yoshi, teman-teman yang lainnya sepertinya sibuk mencomblangi Patricia dengan Erick. Lagi-lagi, ide menjahilinya masih berasal dari telenovela Amigos. 

Kupalingkan pandangan ke arah yang lain. Erick malah asyik mendribel bola basket di dalam kelas. Suara pantulannya lumayan berisik, sebetulnya. Cukup kencang, dan aku yakin kelas sebelah pasti terganggu. Mana Erick memantulkan bola tersebut ke dinding. Astaga, kalau terkena jendela, bagaimana? 

“Rick,” seru Yuli dengan mata melotot. “kalau kena jendela, gimana? Mau ganti lu? Ntar satu kelas yang kena getahnya, gimana?”

“Nyantei, sih,” ujar Erick sembari mempraktikkan aksi ala pemain-pemain NBA. Bola itu dimainkan oleh kedua tangannya. Meliuk-liuk gerakannya, dan harus aku akui itu indah kelihatannya. “Nggak bakal kena kaca, Yul. Gue yang bikin kelas kita juara lomba basket, kan. Nggak bakal kena kaca juga.”

DUG! 

Yang ditakuti Yuli menjadi kenyataan. Tanpa sengaja bola basket itu membentur jendela. Untungnya, hanya mengenai kayu-kayu di sekitar kacanya. Jika membentur kacanya, sudah pasti pecah. Bukan tidak mungkin suaranya akan terdengar hingga ruang guru yang berada di lantai dasar. Yang aku dengar, suara pecahan kaca memang lumayan kencang terdengar. 

“Tuh, kan, Erick,” ucap Yuli menghela nafas. “udah, lah, berhenti main basket dalam kelas. Kan, bisa waktu istirahat.”

Fani mengangguk dan berkata, “He'eh, Rick. Simpan bola basket lu. Nggak capek apa diomelin guru mulu?!"

Sekarang ini seharusnya jam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tadi, di jam tujuh pagi, jam mata pelajaran Komputer. Bu Situmorang menjelaskan materi tentang Wordstar. Wordstar adalah program komputer khusus untuk ketik mengetik. Kurang lebih, menurut aku, Wordstar alias WS itu seperti Microsoft Word yang berada di dalam komputer di rumah aku. Kuno sekali, yah, materi pembelajaran Komputer di sekolah Marius. Komputer di rumah aku saja sudah menggunakan Microsoft. Yang di sekolah Marius, masih seputar Wordstar, DOS, dan beberapa hal lainnya, yang tidak ada sama sekali programnya di dalam komputer yang berada di rumahku. 

Terdengar suara derap langkah. Aku terburu-buru menoleh ke arah pintu kelas. Ternyata itu Pak Nelson yang datang. Pak Nelson mengenakan seragam safari berwarna coklat. Beliau membawa semacam buku berwarna hijau yang agak besar. Segera beliau duduk di bangku guru, yang sebelumnya memelototi Erick yang masih saja bermain bola basket di dalam kelas. Erick hanya cengar-cengir tak keruan. 

“Bapak catat aksi kamu itu, Rick!” seru Pak Nelson galak. “Biar orangtua kamu tahu kelakuan kamu di kelas!”

Erick terlihat mengemis-ngemis dan berkata, “Yah, jangan, dong, Pak. Lagian, Bapak kok tumben masuk. Guru Matematika-nya bukan Bapak. Pak Effendi yang jadi guru Matematika.”

“Bapak ke sini bukan sebagai guru Matematika,” seru Pak Nelson yang pandangannya langsung beredar ke seluruh penjuru ruangan kelas 1-1. Beliau segera mengangkat tinggi-tinggi buku besar berwarna hijau tersebut. “Kalian tahu ini apa?”

Tak ada yang bersuara. Yang aku amati, murid-murid kelas 1-1 hanya mengangguk dan penuh kebingungan

“Di sinilah masa depan kalian akan ditentukan,” seru Pak Nelson tegas. “Ini salah satu penentu kalian akan naik kelas atau tinggal kelas. Jadi, kalian tidak hanya memikirkan soal nilai, kalian pun harus memikirkan soal kelakuan kalian selama di kelas dan sekolah.”

Jangankan aku, teman-teman yang lain pun tak kalau bingung. Aku dan yang lainnya malah semakin bingung. Belum ada pula yang berani membuka mulut. 

“Seviane,” panggil Pak Nelson kepada Seviane. Seviane segera berdiri dan menghampiri Pak Nelson. “Ini, kamu pegang dulu buku catatan kasus ini. Nanti, setiap hari, kamu pilih secara absensi, murid yang bertugas buat mencatat teman-temannya yang bikin gaduh di dalam kelas.”

“Siap, Pak!” seru Seviane menerima buku yang di kemudian hari akan menjadi momok seluruh murid SMP Marius. Setelah dipersilahkan, Seviane segera duduk di bangkunya. 

“Jadi, buku yang tadi itu akan berisi daftar kenakalan kalian selama di sekolah dan kelas,” ujar Pak Nelson menjelaskan. “Semakin sering nama kalian masuk ke dalam buku itu, yah, bersiap-siaplah kalian akan disuruh menghadap kepala sekolah bersama orangtua kalian. Dan, tolong, Seviane, catat dulu kelakuan Erick tadi. Bikin gaduh di kelas dengan cara main basket dalam kelas.”

Seviane langsung nyengir tak keruan ke arah Erick. Erick sepertinya gemetar saat namanya dicatat di dalam buku yang Pak Nelson bilang sebagai Buku Catatan Kasus. Seviane segera menuliskan seperti apa yang disuruh oleh Pak Nelson. 

“Giliran pertama, itu dimulai dari Ari,” ujar Pak Nelson setelah melihat daftar absensi murid yang selalu diletakkan di atas meja guru yang dilapisi oleh taplak meja motif bunga. Di atas meja guru, ada pot bunga dan setangkai bunga yang pastinya imitasi. Ada pula kemoceng, kotak kapur tulis, dan penghapus. “Kasihkan dulu ke Ari, buku itu.”

Seviane berdiri dan berjalan ke arah Ari. Ia lalu menyerahkan buku itu ke Ari, yang duduk di barisan belakang. Ari duduk tak jauh dari jendela. Setelah itu, Seviane duduk ke bangkunya lagi. 

“Selepas Bapak keluar, kamu langsung catat teman-teman kamu yang berulah di dalam kelas,” ujar Pak Nelson yang masih duduk di atas bangku guru. 

“Siap, Pak!” seru Ari dari arah bangkunya. 

“Oh iya, hari ini Bi Iyah izin tidak ke sekolah,” ujar Pak Nelson. “Ada anaknya yang masuk rumah sakit. Kena demam berdarah. Kalian juga hati-hati. Lagi musim penyakit sekarang.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Episode Pertama: Akibat Mengikuti Orang Lain (Pelajaran dari Mobile Legends)
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan