Chapter 2 : Insiden Kecil saat MOS

1
0
Deskripsi

Padahal aku penasaran dengan jalannya MOS hari kedua. 

***

post-image-661d1cb2ca781.jpg

Ini hari kedua aku ikut MOS. MOS itu sendiri singkatan dari masa orientasi siswa. Saat-saat kita harus melalui satu tahapan agar bisa dianggap sepenuhnya sebagai seorang murid SMP. Kurang lebih seperti itulah MOS untuk seorang Noel. 

Di hari kedua, tetap sama. Seluruh murid kelas satu dikumpulkan dalam satu ruangan. Belum dibagi ke dalam dua kelas, walaupun tidak jumlah muridnya di atas seratus. Begitulah yang aku dengar dari Bang Nabit, yang berkulit agak gelap

Oh, Bang Nabit ini dulunya alumni SD Marius beberapa tahun yang lalu. Saat aku kelas 4 SD, Bang Nabit duduk di kelas 6 SD. Aku ingat, pernah menyalami Bang Nabit saat acara perpisahan SD di tahun 1999. Acara perpisahan di tahun itu cukup meriah. Bagiku--yang kali pertama menghadiri acara perpisahan sekolah, itu sudah cukup meriah. Aku sangat menyukai ayam goreng yang merupakan salah satu hidangan di acara tersebut. 

Aku menengok ke arah kanan aku. Ada salah seorang remaja laki-laki yang lebih tinggi dari aku. Kulitnya gelap, tapi lebih gelap Bang Nabit, kurasa. Ia tersenyum balik ke arah aku. Aku lalu menyapanya. 

“Nama gue Noel,” ucapku yang mengajaknya bersalaman. 

Ia menyalami aku balik dan berkata, “Jemi Bangun Marbun.”

Aku mengernyitkan dahi. Hampir saja aku tertawa terbahak-bahak. Terpaksa aku tahan. Aku tak mau memberikan kesan negatif di awal perkenalan. Bisa saja Jemi ini kelak menjadi teman sekelas aku. 

“Kenapa?” tanya Jemi nyengir. 

Eh, malah Yosua yang menimpali. “Nggak pernah tidur lu, Jem?”

Jemi ikut tertawa terbahak-bahak. “Bisa aja.”

Aku mau tak mau ikut tertawa. 

Salah seorang mentor yang tahun ajaran ini berada di kelas 3 memelototi kami. Ujar si mentor, “Disimak, dong, waktu Pak Nelson nerangin. Biar kalian makin tahu dunia SMP itu kayak gimana.”

Aku, Yosua, Jemi, dan beberapa murid di sekitar kami bertiga hanya mengangguk dan kembali mengalihkan pandangan ke arah Pak Nelson yang sedang menjelaskan ke kami semua apa saja yang akan kami pelajari nanti. Pak Nelson ini mengaku ia merupakan seorang guru Matematika. Ia pun mengaku tidak galak. 

“Yah, kalau kalian nggak bikin masalah, Bapak nggak akan ngomel-ngomel. Bapak juga punya alasan buat marah.” ujar Pak Nelson sembari memberikan mimik yang membuat seluruh murid kelas 1 tertawa terbahak-bahak. Bahkan para mentor ikut tertawa. 

Sekonyong-konyong aku merasa ada yang tidak beres dengan perutku. Ah, kenapa harus sesakit ini? 

Aku memegangi perutku. Dahiku mulai berkeringat. Aku menelan air liur saking sakitnya. Mungkin saja wajahku terlihat cukup pucat. Yosua sampai memperhatikan aku dengan cemas. 

“Kenapa lu?” tanya Yosua yang menyentuh dahiku. 

“Masih lama?” tanyaku balik. 

“Yah, iyalah.” kata Yosua setengah bercanda, setengah iba. “Lu baik-baik aja, kan?”

Kakak mentor tadi menghampiri aku. Ia menyentuh punggungku dan berkata, “Kamu nggak apa-apa?”

Astaga, seperti ada sesuatu yang mau keluar dari perut aku. Mulut ini pun terasa aneh sekali. Makanan yang tadi aku makan saat sarapan pagi sepertinya akan keluar. Benar saja. Tanpa bisa aku cegah, aku memuntahkan sesuatu yang membuat perut aku bergejolak hebat. Aku muntah di hadapan kakak mentor yang menurut aku cantik tersebut. Hilang juga rasa malu aku. Rasa malu yang sirna karena kondisi tubuhku yang entah mengapa turun begitu saja. Aku spontan menundukkan kepala dan sepertinya badan ini mau ambruk. Sempat aku memperhatikan muntahan tadi mengenai rok si kakak mentor. Kataku dalam hati, maaf, Kak

Sayup-sayup aku mendengar ia memanggil teman-temannya yang sesama mentor. Mereka secepat kilat langsung menghampiri aku. Dengan pandangan yang mulai agak kabur, sepertinya tubuhku ini digotong oleh beberapa orang. Yang aku dengar tubuhku ini akan dibawa menuju ruang UKS. 

“Pelan-pelan bawanya,”

“Anak orang hati-hati bawanya,”

“Kenapa, Jem?”

“M-muntah, P-pak. Hampir mau pingsan juga."

“Tapi, Bu Iyah yang jaga UKS belum datang.”

“S-sekarang, g-gimana, Pak?"

“Taruh di kantin dulu saja. Rebahkan di kursi panjang. Ada yang bawa minyak angin? Olesin badannya pakai minyak angin."

Setelah itu, aku kurang begitu tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Yang aku tahu, kini aku sudah berada di kantin dalam kondisi setengah duduk. Punggung dan perut ini terasa hangat. Sepertinya juga punggung ini sedang dikerik. Begitu aku membuka mata, ternyata ada seorang ibu berambut panjang dan bermata sipit sedang mengerik punggung aku dengan koin Rp 100. Aku mulai merasa sedikit lebih baik. 

“Sudah bangun, Dek?” tanya si ibu yang menyodoriku teh hangat. “Minum dulu, biar agak enakan. Tadi pagi belum sarapan memang?”

Aku mengangguk dan sebentar meminum teh hangat yang ditawarkan kepada aku. Jawabku, “Tadi udah, sih. Sarapan nasi goreng yang agak pedas begitu, Tante.”

Si ibu itu terkekeh-kekeh. “Wah, pagi-pagi kok makan yang pedas-pedas?!”

Aku tidak menjawab dan meminum teh hangat tadi. Aku membiarkan punggungku masih dikerik oleh ibu tadi. Ibu ini pun mengaku ia merupakan orangtua dari siswi kelas 1 yang bernama Fani. Aku lalu ingat, kemarin, saat upacara pembukaan tahun ajaran baru, di deretan murid-murid kelas 1, ada yang bernama Fani. Kuingat pula, saat itu, Fani sedang mengobrol dengan teman lamaku Patricia--yang sesama lulusan SD Marius. 

Kakak kelas aku--yang dulu rutin menjadi juara krlas--menghampiri aku dan berkata, “Masih kuat, Noel?”

“Kayaknya biar dia pulang saja ke rumah.” kata ibunya Fani. “Rumah kamu jauh?”

“Ah, dekat, Tante, rumah dia. Dia tinggal di perumahan yang ada di dekat sini.” jawab Jemi. Jemi langsung menyentuh dahiku. “Mending lu pulang aja, Noel. Nanti gue bikinin surat izin.”

“Tante setuju. Nanti Tante antar pulang pakai mobil Tante.” timpal ibunya Fani. “Kamu pucat gitu wajahnya. Nggak mungkin kuat sampai jam satu nanti.”

Ternyata aku baru sadar ada beberapa ibu lagi di dekat aku. Ibu yang lain ikut menyarankan aku untuk pulang saja. 

“Rumah ada orang, kan?" tanya Jemi. 

Aku mengangguk. 

“Sudah, begini saja, kamu minta surat izin saja ke guru.” kata ibunya Fani yang aku perhatikan memasukkan kembali minyak angin ke dalam tas tangannya. 

Jemi mengangguk. “Yah, udah, bentar, saya ke ruang guru dulu buat minta surat izin.”

Mendadak pandangan mataku terasa berat. Aku mengantuk. Tanpa sadar aku akhirnya tertidur dan yang aku rasakan sepertinya ada yang membaringkan aku di kursi kantin yang panjang. Aku kurang begitu tahu sudah berapa lama aku tertidur. Saat bangun, ternyata aku sudah berada di dalam sebuah mobil sedan. Yang menyetir adalah ibunya Fani. Di dekatku, duduklah Nabit dan Jemi. Jemi terlihat sedang mengarahkan ibunya Fani menuju rumahku. Ah, pasti Jemi bisa tahu lokasi rumah aku dari sekretaris SMP Marius, yang bertugas untuk mengeluarkan surat izin keluar sekolah. 

Beberapa menit keluar, tiba di depan rumah. Papa sedang berada di kursi teras, yang sedang membaca koran favoritnya. Ia segera menghampiri aku yang dipapah oleh Nabit dan Jemi. 

“Muntah-muntah tadi di ruang kelas. Sampai pingsan begitu, Om.” jawab Nabit. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 3: Ternyata Roni Penggemar Harry Potter
1
0
Roni ini hafal sekali alur ceritanya novel Harry Potter. Sepertinya itu novel yang menarik. ***Ada buku menarik dari penulis Evi Sri Rezeki. SEJARAH KEMATIAN DAN CINTA YANG BERDARAH
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan