Dragon Ball memang menarik. Tak heran, Roni dan Rio cukup antusias dengan ceritanya.
***
Widari Village
Anto 0899-8941-337
Bel sekolah berbunyi. Berakhir sudah mata pelajaran Agama. Erick dipanggil lagi oleh Pak Monang untuk memimpin doa. Murid-murid kelas 1 yang beragama Kristen, menurut saja, hingga Seviane memberikan aba-aba agar murid-murid memberikan salam perpisahan kepada Monang.
“Terima kasih, Pak Guru!” seru seluruh murid kepada Pak Monang nyaris dengan kompak.
Pak Monang bergegas meninggalkan ruangan. Selanjutnya, sekitar tiga menit kemudian, murid-murid kelas 1 yang beragama Kristen, meninggalkan kelas. Yang pertama meninggalkan ruangan adalah Zaenal dari kelas 1-2. Lalu, menyusul Zaenal adalah Duo Chandra, Duo Ryan, dan Roni.
Aku cukup memperhatikan Roni, murid kelas 1-2 yang berkacamata, yang saat MOS, ia cukup antusias menunjukkan bakatnya bermain bola basket. Roni ini juga, yang mengobrol dengan aku perihal Harry Potter. Roni benar tentang Harry Potter. Saat aku bertanya kepada Kak Irma, novel Harry Potter akan dibuat versi film layar lebar. Selanjutnya aku coba membaca novel Harry Potter yang seri pertama. Judulnya itu "Harry Potter and the Sorcerer Stone". Jujur saja, novel yang masih tak terlalu tebal itu cukup menarik. Aku yang selama ini lebih suka membaca buku-buku bergambar, sepertinya mulai menyukai membaca buku-buku tanpa gambar, yang salah satunya novel. Mungkin ke depannya, setiap hari sabtu diajak berjalan-jalan ke mal (lalu berlanjut ke toko buku), aku bisa menyempatkan diri untuk memilih buku-buku tanpa gambar.
Di dalam rak buku, koleksi buku aku lebih banyak komik, majalah, serta tabloid. Untuk komik, ada Doraemon, Ninja Hatori, Purman, Paman Gober, hingga Dragon Ball. Untuk majalah, majalah Donal Bebek, Bobo, Ami, serta Ganesha (yang untuk yang terakhir, aku suka sekali membaca majalah Ganesha, yang sarat pengetahuan, terutama persoalan Sejarah). Lalu, untuk tabloid, ada Fantasi, Hopla, dan Tablo.
Aku ikut meninggalkan ruang kelas. Ketika sudah berada di ruang kelas, aku melihat Yan sedang menuju ruang kelas 1-1. Tampaknya ia sudah selesai dengan pembelajaran Agama Buddha-nya. Lalu, murid-murid kelas 1 yang beragama Islam, yang rata-rata beragama Islam, dari tadi sudah keluar dari ruangan kelas 1-2. Terakhir, yang kulihat itu Nur, perempuan yang agak tinggi dan gemuk. Kelihatannya Nur dan beberapa murid perempuan kelas 1-2 akan bergegas ke kantin sekolah. Kantin sekolah Marius berada di bawah dan tak jauh dari gedung SLB-C. Kantinnya berukuran kecil, tapi setiap jam istirahat, sering dikunjungi oleh murid-murid sekolah Marius dari tingkat apa pun. Entah itu murid SD, SMP, hingga SMA serta SMK, rata-rata dari mereka pasti akan mengunjungi kantin sekolah. Yang aku baru sadar, jarang sekali ada murid yang tidak langsung ke kantin ketika jam istirahat datang. Pasti akan langsung ke kantin atau lapangan bola basket.
Seperti yang terjadi di ruang kelas 1-2 ini. Hanya ada lima orang murid yang betah di dalam kelas dan tidak ikut bergegas ke kantin sekolah. Salah satunya itu Roni. Aku masuk ke dalam ruang kelas 1-2 bersama Sandi dan Santo. Ramot yang biasanya langsung ke kantin, ia pun masuk ke dalam ruang kelas 1-2. Saat Santo menghampiri murid perempuan berambut panjang dan bertubuh mungil--yang bernama Sheila, aku mendekati Roni yang terlihat sedang membaca komik sembari makan roti tawar berselai meises dan mentega. Aku amati ternyata komik yang ia baca adalah Dragon Ball volume 40.
“Suka Dragon Ball?" tanya aku tersenyum. “Sampai nggak ke kantin?”
Roni menghentikan aktivitas membacanya. Ia menoleh ke arah aku dan tersenyum. Ia bahkan menyempatkan diri untuk menyodori aku satu tangkap roti yang belum ia makan. Aku merasa tidak enak dan menolak pemberiannya.
“Lebih enak makan bekal dari rumah, Noel,” jawab Roni sambil mengunyah roti, lalu minum air putih yang ditaruh di dalam botol minuman yang tampaknya bekas botol minuman berenergi. “Bisa sambil baca komik juga. Seru sih Dragon Ball. Apalagi yang di atas volume 34.”
Roni benar. Komik Dragon Ball memang makin lama menarik alur ceritanya. Setiap ke toko buku, pasti selalu menyempatkan diri untuk membeli komik Dragon Ball, yang akhirnya sampai juga memiliki volume terakhir, yaitu volume 42. Seingatku, itu tentang usaha Son Goku dan Bezita dalam mengenyahkan monster berwarna merah jambu, Bhu.
“Gue juga baca komik Dragon Ball," ujar aku tersenyum. “Bahkan gue nonton kartunnya setiap jam sembilan pagi.”
“Lebih seruan komiknya, sih,” balas Roni. “Saking serunya, gue susah banget cari yang volume 42. Katanya, itu volume terakhirnya Dragon Ball, yah.”
Aku mengangguk. “Gue punya yang volume 42.”
“Serius?” tanya Roni terperanjat. Ia terlihat antusias.
Aku tak menyangka akan menemukan penggemar Dragon Ball saat sudah menjadi murid SMP. Padahal, saat masih SD, teman-teman lebih menyukai Crayon Shinchan atau Detective Conan. Mungkin saat itu hanya aku satu-satunya penggemar Dragon Ball.
Lalu aku hanya mengangguk.
Roni makin terlihat antusias. Dengan mata berbinar-binar, ia berkata, “Besok bisa bawa nggak ke sekolah? Gue pinjam, dong. Nanti pasti gue balikin.”
“Hari senin aja,” jawab aku. “Gue cari dulu komiknya.”
“Eh, lu tinggal di perumahan yang sama kayak gue, kan?” tanya Roni yang kelihatannya sangat antusias untuk membaca Dragon Ball volume 42. “Lu tinggal di blok apa? Gue di blok B.”
“Blok C.” jawabku, yang dalam hati cukup senang dengan antusiasme Roni ini.
“Gue ke rumah lu, yah, Noel,” kata Roni.
Di saat itulah, Sandi menghampiri aku dan Roni. Kata Sandi, “Ngomongin apaan, kalian? Asyik banget kayaknya.”
“Si Noel ternyata punya volume terakhir Dragon Ball.” jawab Roni.
Sandi menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala. “Gue kira apaan, ternyata Dragon Ball. Masih lebih bagus Detective Conan. Kalau lu punya volume terbaru Detective Conan, gue pinjam, dong, Noel. Eh, lu baca Nube juga, nggak?”
Aku menggeleng. Untuk Detective Conan, sebetulnya aku sempat tertarik untuk membaca komik detektif tersebut. Aku mulai tertarik saat melihat Dean asyik membaca komik itu saat jam istirahat sekolah. Dua tahun lalu, sebelum kelulusan sekolah, banyak teman yang membicarakan Detective Conan. Aku ingat adik kelas aku, Ikbal, sempat bertanya apakah aku mengoleksi Detective Conan juga. Kujawab saja tidak.
“Nanti sore, sekitar jam tiga, habis Ashar, gue ke rumah lu, yah, Noel,” seru Roni. “Rumah lu nomor berapa?”
“Nomor sepuluh.” jawabku.
“Oke, gue ke rumah lu jam tiga nanti,” kata Roni untuk yang kali terakhir.
Sekonyong-konyong masuklah Rio dan Maulana. Rio segera menghampiri aku, Roni, dan Sandi. Katanya dengan ekspresi yang menyebalkan, “Lu ngapain si Noel, Ron?”
Roni terkekeh-kekeh. “Nggak ada masalah apa-apa, Bro. Gue cuma mau minjem komik Dragon Ball volume 42. Ntar sore, mau main ke rumah dia.”
“Eh, Noel, gue juga mau dong main ke rumah lu,” kata Rio. “Mau minjem komik Dragon Ball. Ada nggak lu yang volume 25? Itu yang tentang manusia buatan.”
Aku mengangguk. “Ada, yang volume 25.”
“Wah, serius?” tanya Rio terperanjat. “Pinjam, dong.”
Sandi menghela nafas. “Apa serunya sih Dragon Ball? Seruan juga Detective Conan.”
Bel sekolah berbunyi. Siapa sangka waktu cepat sekali bergulir. Baru saja keluar kelas karena bel istirahat berbunyi, eh, harus masuk ke dalam ruang kelas lagi. Setelah ini, ada mata pelajaran Kesenian. Gurunya adalah Bu Situmorang. Bu Situmorang juga mengajar Komputer. Nanti di jam satu, ada kelas praktek mata pelajaran Komputer.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰