Chapter 1: Mereka Begitu Cepat Membaur

1
0
Deskripsi

Begitu keluar dari mobil Kijang berwarna biru, aku sedikit menghela nafas. Aku membenarkan dasi biru ini. 

Ini hari pertama aku menjadi murid SMP. Terasa beda sekali saat aku masih menjadi murid SD. Dasinya saja berbeda. Seingat aku, dasi merahku tidak seperti ini. Lebih mudah digunakan. Tidak seperti dasi biru ini. Ribet sekali. 

“Noel!” seru seseorang yang aku kenal. 

Aku langsung menoleh ke arah belakang. Ternyata sudah ada beberapa teman lama aku. Akhirnya, mereka memutuskan untuk bersekolah di SMP Marius juga. Kukira selama ini mereka akan memilih untuk bersekolah di SMP lain. Ternyata masih di SMP Marius. 

Yang tadi menegur aku tadi bernama Yosua. Ia tinggal di perumahan yang sama dengan aku. Sama seperti aku, Yosua ini satu alumni dengan aku. Aku dan dia sama-sama lulusan SD Marius. Meskipun demikian, teman-teman yang lain pun sama. Fernando, Alfa, serta Ari ini pun. Mereka bertiga lulusan SD Marius pula. 

“Lu jadi lanjutin sekolah di SMP Marius juga?” tanya aku kepada Yosua. Yang kudengar beberapa bulan sebelum Ebtanas, Yosua sempat ingin mencoba peruntungan di sebuah sekolah swasta Katolik yang letaknya agak lebih jauh dari SMP Marius ini. Apa Yosua membatalkan diri? 

Yosua terkekeh-kekeh dan mengangguk. “Nggak keterima gue di sana, Bro. Mungkin kalau lu, gue yakin bisa. Kenapa waktu itu lu nggak coba tes masuk di sana?”

“Masih nyaman aja di Marius.” jawabku sekenanya. Sebenarnya saat itu aku tidak tahu ada tes masuk di SMP Katolik tersebut. Sungguh perhatian aku lebih tertuju ke persiapan Ebtanas. Aku terlalu takut tidak lulus Ebtanas. Lagi-lagi karena mata pelajaran Matematika. Mungkin di SMP nanti, Matematika akan tetap menjadi momok untuk seorang Noel Irawan. 

“Banyak yang pindah, yah, Yos?!” kata Alfa yang agak gemuk dan berambut keriting. “Teman-teman kita di SD, banyak yang pindah sekolah.”

“Si Willy jadi ke Kalimantan?” tanya Yosua mengernyitkan dahi. 

Malah Ari yang cadel, yang menjawab pertanyaan Yosua. “Pindah dia bareng dua adik kembarnya. Satu keluarga pindah ke Kalimantan. Katanya, bokapnya dimutasi ke sana.”

“Mutasi apaan, sih?" tanyaku mengernyitkan dahi. 

“Dipindahkan, Noel, artinya.” Malah Alfa yang menjawab. “Eh, langsung ke lapangan, teman-teman. Tadi dengar, kan?"

Peringatan Alfa beralasan. Terdengar suara agak kencang yang menyuruh calon murid baru SMP Marius untuk berkumpul di lapangan basket. Aku dan teman-teman aku segera menuju lapangan basket. Di sana, ternyata sudah berkumpul murid-murid baru lainnya. Banyak juga jumlahnya. Ini bahkan lebih banyak daripada teman-teman sekelas aku di SD Marius dulu. Saat aku masih SD, kelasnya hanya satu, lalu satu kelas hanya terdiri dari 29 murid. Harusnya ada 30 murid. Sayangnya, salah seorang murid perempuan meninggal dunia enam bulan sebelum pelaksanaan Ebtanas. Murid perempuan itu adalah Mayang. 

Sekonyong-konyong aku merindukan Mayang. Andai Mayang tidak meninggal karena kanker darah putih, kurasa, dia pasti masuk ke SMP Marius pula. Walau tidak begitu pintar, Mayang merupakan teman yang menyenangkan. Dia senang sekali membicarakan apa saja. Aku pun sudah mulai merasa klop dengan Mayang. 

Perhatian aku tertuju kepada seorang laki-laki berkacamata yang tadi kulihat sedang bermain bola basket. Begitu upacara penyambutan murid baru akan dilangsungkan, murid berkacamata itu segera memasukkan bola basket ke dalam keranjang yang diletakkan tak jauh dari ruang guru. 

Yosua menghampiri murid berkacamata tersebut. “Jago lu main basketnya. Oh iya, kenalin, gue Yosua. Nama lu siapa?”

Si laki-laki berkacamata membalas jabat tangan Yosua. Sembari terkekeh-kekeh, ia menjawab, “Roni, nama gue. Waktu SD, gue memang udah demen main basket."

“Nanti sepulang sekolah, sparring basket sama gue.” ucap Yosua terkekeh-kekeh pula. 

“Boleh, boleh.” kata Roni, yang sok sekali gayanya. Belum apa-apa dia sudah melemparkan pose seperti sedang menembak ke arah Yosua. “Senang gue. Ternyata di sini masih ada juga murid yang demen main basket.”

“Nih, orang juga hobi main basket.” tunjuk Yosua ke arah Rio yang baru saja datang. 

Aku hanya termangu-mangu mendengar obrolan antara Yosua dan Roni. Sparring itu apa, aku bingung sendiri. Tak kusangka, teman-teman aku ternyata tak sebodoh yang aku kira. Aku benar-benar kebingungan dengan pemilihan kata yang mereka gunakan. Mutasi-lah, sparring-lah. Nanti apa lagi? 

Mendadak perhatian aku tertuju ke murid baru yang bernama Roni tadi. Aku melihat dari ujung kaki ke ujung rambut. Roni ini cukup tinggi untuk ukuran seseorang yang baru masuk SMP. Sepertinya ia berkata jujur saat berkata dirinya sangat menyenangi permainan bola basket sejak masih SD. Selain itu, aku geli melihat perawakan Roni. Ia yang kulihat-lihat seperti tokoh fiksi dari novel bertema dunia sihir tersebut. 

Roni menoleh ke arah aku dan berkata, “Kenapa? Ganteng, yah, gue?”

“Nggak apa-apa.” Aku menggeleng. “Lu mirip kayak yang di novel yang baru keluar itu. Harry Potter itu.”

“Oh,” Roni tergelak. “Suka baca, yah?"

Aku mengangguk. “Tapi, nggak gitu juga, sih.”

“Itu novel kesukaan gue, salah satunya.” jawab Roni nyengir. 

Sepertinya Roni ini benar-benar teman yang menyenangkan. Semoga bisa sekelas dengan dirinya. 

“Disuruh baris ke lapangan. Yok!” ajak Alfa yang berjalan lebih dulu ke lapangan basket. 

Aku menghela nafas. Lalu kedua mataku mengedarkan pandangan ke sekeliling aku. Betapa kaget aku setelah menyaksikan teman-teman lama aku cukup pintar bergaul. Belum apa-apa, ada satu-dua orang yang sudah bisa akrab dengan murid-murid baru, yang baru saja tiba dari sekolah lain. Maksud aku, mereka bukan lulusan dari SD Marius, yang masih satu yayasan dengan SMP Marius. 

Tampak salah satu teman perempuan aku, Patricia, sudah terlihat asyik mengobrol dengan salah seorang murid baru yang sesama perempuan. Yang tadi sempat kudengar, dua perempuan murid baru tersebut bernama Fani dan Yuli. Ada pula Rio yang terlihat akrab dengan Maulana. Ternyata baik Rio dan Maulana sebelumnya pernah satu kursus Matematika. 

Sementara aku masih malu-malu untuk memulai obrolan dengan seseorang yang baru kenal. Tadi saja bukan aku yang mengajak berkenalan dengan Roni. Yosua dulu yang membuka obrolan dengan Roni. Terkadang aku iri dengan cara bergaul teman-teman lama aku. 

Karena tidak terlalu tinggi, aku berdiri di baris depan. Yang paling depan. Di samping aku, berdiri seorang anak laki-laki yang berwajah mirip dengan seorang artis cilik dari film layar lebar tersebut. Anak laki-laki itu tersenyum ke arah aku dan mengajak aku berkenalan, “Sandi.”

“Noel.” jawabku takut-takut. 

“Nyantei, lah, sama gue. Nggak usah malu-malu. Alumni mana, ngomong-ngomong?" kata Sandi. 

“Marius." jawabku yang masih malu-malu. 

“Oh, dari sini juga. Gue dari SD 7. NEM gue sebetulnya cukup tinggi, tapi telat daftar ke mana-mana."

“Oh."

Beberapa menit kemudian, guru-guru mulai merapikan barisan. Yang tidak menurut, terkena sabetan kemoceng, yang pastinya sakit sekali. Setelah setiap barisan dirasa sudah rapi, barulah dimulai upacara pembukaan tahun ajaran baru. Upacaranya berjalan selama kurang lebih lima belas menit. Acara selanjutnya, setiap murid baru dibawa ke arah lantai tiga. Aku dan lainnya dikumpulkan dalam satu ruangan. Yang lagi-lagi kulihat, teman-teman lama aku sudah cukup membaur dengan murid-murid baru lainnya. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #16 Tentang Keluarga Aku Sendiri
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan