Aneh. Ini pengalaman yang sangat aneh. Makin tambah aneh lagi, saat ibuku berkata, “Bantu dulu cuci piring. Sudah tadi asyik-asyikan kau jalan-jalan entah ke mana, pulang-pulang langsung tidur. Bantu dulu aku cuci piring.”
Cerpen ini juga menjadi bagian dari novel aku yang lainnya, ME DÉJÀVU, yang terbit di Fizzo. Di Fizzo, ditulis dengan muatan isi yang sedikit berbeda dengan yang tertulis di KaryaKarsa.
*****
Gadis itu cantik. Iya, yang berdiri di depan aku. Saat ia menoleh ke arah aku, di saat itulah aku bisa tahu wajah si gadis lumayan cantik.
Aku terpesona. Jelas aku terpesona. Aku ini seorang laki-laki tulen. Masih menyukai pesona yang dikeluarkan oleh kaum hawa.
Eh, dia menoleh lagi. Bukannya aku terlalu percaya diri, hanya saja aku merasa si gadis ini sepertinya sedang memata-matai aku. Bisa saja dia bilang dirinya melihat ke arah lain. Atau, dia berkata, yang kulihat poster film di sana, kok. Atau juga, aku lihat si satpam, kok. Akan tetapi, aku tahu firasatku tidak pernah meleset, gadis ini memang sedang melihat ke arah aku.
Antreannya mulai bergerak. Si gadis yang kini berdiri di depan loket. Karena jaraknya tak terlalu jauh dari aku, aku bisa menebak ia akan menonton film apa. Astaga, kebetulankah ini? Gadis cantik ini menonton film yang sama dengan aku? Entah kenapa saat ia memilih film impor ini, aku merasa salah satu mata sipitnya sedang melirik ke arah aku. Ayolah, Perasaan, jangan bekerja secara berlebihan. Karena kamu bekerja secara berlebihan, aku menjadi berdebar-debar. Ingat, aku dan gadis ini baru kali pertama ini berjumpa di bioskop ini.
Aku lalu maju. Si gadis segera melipir. Sekonyong-konyong aku menelan air liur. Perasaan yang sungguh aneh. Situasi ini pun sangat aneh. Ini hanya perasaan aku, atau si gadis memang masih sempat-sempatnya melirik ke arah aku sembari melengos begitu saja? Aku ingin perasaan yang menang. Namun, logika membuat aku harus segera sadar untuk terus menginjakkan kaki ke realita.
Tak mungkin aku mengubah jadwal hanya karena seorang perempuan. Aku ke bioskop ini bukan karena perempuan. Memang aku ingin menonton film ini. Diangkat dari sebuah fairy's tale. Dari omongan beberapa orang di media sosial, film ini versi remake dari versi-versi sebelumnya. Aku harus menonton, karena menurut beberapa orang, grafik film ini sangat luar biasa.
Aku memesan film yang sama dengan gadis misterius tadi. Lagipula, memang aku ingin menonton film ini. Andai aku yang berdiri di depan dia, aku yakin gadis itu akan memilih film yang sama. Perasaan aku, atau mungkin intuisi aku, begitu kuat sekali. Memang si gadis sedang memata-matai aku. Aku yakin sekali gadis ini dari sejak aku dan dia bertemu di depan pintu masuk mal, memang bertujuan untuk memata-matai aku, entah apa alasannya. Gerak-gerik si gadis, menurut insting aku, sudah sangat mencurigakan.
Tiket filmnya sudah aku kantongi. Jantungku berdebar kencang. Gadis ini sedang menunggu apa? Perasaan aku saja, atau ia sesekali melirik aku sembari memperhatikan poster sebuah film animasi dari Jepang? Aku iseng saja mendekati dia. Aku dan dia sama-sama memperhatikan poster film yang sama. Aku menelan air liur lagi. Tuh, kan, ujung matanya ke arah aku lagi. Ayolah, ini ada apa? Apa maksudmu memperhatikan aku? Kamu--sejak awal--memang memata-matai aku, bukan? Untuk apa? Hei, aku--di sini--risih.
Aku hanya bisa menganalisisnya di kepala tanpa berani untuk menanyakan langsung ke dia. Bahkan aku bingung untuk memulai obrolan dengan gadis ini. Aku dan dia pun baru kali ini berjumpa. Sejak kecil, aku memang kurang pandai berbasa-basi.
Si gadis melewati aku lagi. Aku perhatikan dia berjalan menuju ke toilet bioskop. Bahkan, dia berjalan ke arah toilet bioskop, perasaan ini belum hilang. Aku merasa dia seperti menoleh sebentar ke arah aku, entah apa maksudnya.
Aku menghela napas dan berjalan ke arah salah satu sofa bioskop. Di sana, aku duduk untuk meredakan ketegangan pikiran. Aku amat-amati tiket ini. Hari biasa memang hanya seharga Rp 35.000. Semoga filmnya bagus. Selanjutnya, aku tak sadar malah tertidur. Hanya sebentar. Sekitar sepuluh menit. Ini juga bisa ketiduran karena udara di dalam bioskop begitu dingin.
Bangun-bangun dari tidur ayam, kedua mataku mulai terpicing ke arah sesuatu. Dia lagi. Gadis itu duduk tak jauh dari aku. Dia terlihat asyik bermain gawai, entah sedang apa. Aku memperhatikan si gadis secara seksama. Gadis itu lumayan cantik. Rambut si gadis panjang. Kulitnya putih seperti perempuan Tionghoa. Kalau aku tak salah ingat, si gadis lebih tinggi dari aku. Intinya, kesimpulan aku, dia cukup cantik.
Perasaan aku ini makin menjadi-jadi. Eh, maksud aku intuisi. Atau, insting, yah. Entahlah, pokoknya aku merasa sepertinya ditatap balik oleh si gadis Oriental ini. Astaga, dia tersenyum balik ke arah aku. Dipandangi balik oleh seorang gadis cantik (walau tak terlalu dikenal), itu (tetap) membuat jantung aku berdegup-degup kencang. Walaupun demikian, kecurigaan aku masih tetap ada. Aku merasa gadis ini memang memata-matai aku, entah apa maksudnya.
Kini, aku dan si gadis saling menatap. Mata kami berdua saling beradu. Aku iseng saja tersenyum. Eh, dia tersenyum balik. Oke, aku senang, memang. Jujur saja, tapi, ini situasi yang sangat canggung. Jelas saja aku merasa canggung. Pertama, dia memang cantik. Kedua, aku masih laki-laki tulen, bukan gay. Kalau tidak canggung, apa namanya?
Ingin sekali aku menghampiri. Hanya saja aku takut. Aku pun bingung cara menyampaikan isi hati aku kepada si gadis. Kecanggungan ini begitu membunuh aku. Sangat, sih, sebetulnya. Sisa waktu menunggu pintu studio dibuka ini dihabiskan dengan cara saling menatap antara aku dan si gadis. Tak ada yang memulai. Aku dan dia hanya terus menerus bertatap-tatapan. Seolah-olah itu komunikasi terbaik. Dengan saling menatap, isi pikiran masing-masing saling tertransfer ke pikiran yang lainnya.
Pintu studio sudah dibuka, ternyata. Aku mau lihat apa yang akan terjadi jika aku yang masuk lebih dahulu. Penasaran apakah gadis ini juga memilih bangku yang berdekatan dengan aku. Aku bergerak cepat ke arah petugas bioskop. Kuserahkan tiket aku, dan perempuan petugas segera menyobek tiketku tersebut. Tanpa pikir panjang, aku berlari kecil menuju bangku yang sudah kupesan. Aku memilih untuk duduk di deretan paling atas. Itu bangku favorit aku, setiap menonton film di bioskop.
Sementara itu, ternyata benar dugaan aku. Si gadis memilih tempat duduk yang tak jauh dari aku. Dia duduk di kolom yang sama. Bangkunya hanya lima baris dari bangku aku. Kecanggungan aku makin menjadi. Terkadang aku merasa ngeri, walau wajah si gadis lumayan cantik.
Pintu bioskop mulai ditutup. Lampu-lampunya dimatikan. Itu pertanda filmnya akan segera dimulai. Aku dan para pengunjung lainnya menonton trailer beberapa film terlebih dahulu. Samar-samar aku seperti mendengar suara si gadis. Renyahnya. Yah, suara si gadis cukup renyah.
Film ini berdurasi selama hampir dua jam. Genrenya cinta. Sebuah kisah cinta klasik. Diangkat dari sebuah cerita rakyat lokal, dan sudah dibuat ke dalam berbagai versi. Entah itu versi film layar lebar, versi drama televisi, versi drama panggung, maupun versi animasi. Dasar aku, yang kelewat menyukai ceritanya. Setiap versi dari ceritanya itu selalu ditonton oleh aku.
Begitu film selesai, aku kaget. Loh, gadis itu ke mana? Aku memang aneh. Kenapa aku malah harus mencari ke mana-mana si gadis?
Kutemukan gadis itu. Aku benar-benar bingung. Apakah dia keluar dari studio di tengah-tengah pemutaran film. Cepat sekali dia berjalan hingga sudah berada di depan pintu masuk mal. Di luar mal ternyata sedang hujan deras. Lagi dan lagi, aku dan si gadis kembali bersitatap. Aku tersenyum, dia tersenyum balik. Lalu...
Astaga, yang tadi itu mimpi atau bukan? Kenapa bangun-bangun aku sudah berada di atas tempat tidur aku? Ke manakah si gadis? Pengalaman aku berjumpa dengan si gadis itu, apakah hanya sekadar mimpi?
Tunggu sebentar, yang kupegang di tangan kiri ini apa? Sebuah tiket bioskop? Judul filmnya "Cinderella". Waktu penayangannya itu hari ini. Di pukul 13:00. Sekarang juga sudah pukul 19:00.
Aku benar-benar bingung, deh. Gadis bermata sipit dan berambut panjang tadi itu hanya ada di alam mimpi, kah? Atau, aku benar-benar berjumpa dengan si gadis di dunia nyata?
Aneh. Ini pengalaman yang sangat aneh. Makin tambah aneh lagi, saat ibuku berkata, "Bantu dulu cuci piring. Sudah tadi asyik-asyikan kau jalan-jalan entah ke mana, pulang-pulang langsung tidur. Bantu dulu aku cuci piring."
Nah, loh, yang tadi itu pengalaman nyata? Namun, entah mengapa sisi lain dari aku berkata itu hanya mimpi. Mana yang benar?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰