CERITA TENTANG PERSELINGKUHAN BAB 6-10

16
1
Deskripsi

LUI

Lui sama sekali tidak mengerti mengapa keluarganya begitu tidak menyukai Aldi. Baginya Aldi adalah lelaki sopan dan manis. Namun berbeda dengan cara pandang keluarganya.

Sejak mereka berhubungan, dengan kompak seluruh keluarga menentang. Alasan mereka jelas, Aldi tidak jelas asal usulnya. Selain itu dia "bukan apa-apa" sehingga begitu kedua sejoli itu berpacaran, keluarga Lui menyimpulkan ada yang diharap lelaki pemimpi itu pada Lui.

RENA

Dia sedang menunggu, saat-saat lelaki itu menyatakan...

BAB 6 – MENIKAHLAH DENGANKU, JANGAN SAMPAI…

Alarm disamping ranjangnya berbunyi.

Dengan mata tertutup Lui mematikan alarm. Kemudian dia mengulet sejenak. Sepertinya dia tidur begitu nyenyak sampai bermimpi. Sebentar, dia bermimpi Aldi menelpon dan melamarnya semalam.

Ada apa dengan Aldi? Apa dia tidak punya waktu yang lebih romantis untuk melamar? Mengapa harus tengah malam?

Perempuan itu bangkit menuju kamar mandi. Mencuci mukanya yang sembab. Setelah itu beranjak ke luar kamar menuju meja makan.

Panji abang Lui satu-satunya sudah ada disana sedang menikmati nasi goreng dengan telur mata sapi.

Dia melirik sekilas sang adik yang mengoles roti dengan selai strawberry.

"Lu,"

Lui mengangkat mukanya.

"Kamu masih berhubungan dengan lelaki penghayal itu?"

Roti yang baru ditelan seraya berhenti di tenggorokan Lui. Dia memandang abangnya dengan sengit.

"Bukan urusanmu, terserah aku berhubungan dengan siapa saja," katanya emosi.

Panji menghela nafas.

"Gila kamu, dia itu tidak cocok untuk kamu. Orangnya terlalu bergantung alias memanfaatkan kamu banget," kata Panji.

"Mas, aku tidak merasa dimanfaatkan. Lagi pula dia sudah sukses sekarang,"

"Biar bagaimana pun tidak ada satu orang pun dalam keluarga kita yang setuju. Kamu harus berpikir ulang," ujar Panji.

Dia menyelesaikan makannya. Bangkit dan melempar serbet ke atas meja dengan geram. Lui menghentakkan gelas susunya. Tidak kalah geramnya.

Setiap hari Lui harus bertengkar dengan keluarganya. Kalau tidak dengan Panji, biasanya dia akan bertengkar dengan mami atau papi. Sudah lima tahun kondisi tidak berubah. Dan dia merasa mulai lelah.

Lui sama sekali tidak mengerti mengapa keluarganya begitu tidak menyukai Aldi. Baginya Aldi adalah lelaki sopan dan manis. Namun berbeda dengan cara pandang keluarganya.

Sejak mereka berhubungan, dengan kompak seluruh keluarga menentang. Alasan mereka jelas, Aldi tidak jelas asal usulnya. Selain itu dia "bukan apa-apa" sehingga begitu kedua sejoli itu berpacaran, keluarga Lui menyimpulkan ada yang diharap lelaki pemimpi itu pada Lui.

Dulu, Lui berpikir kesuksesan Aldi akan merubah pola pikir keluarganya yang sangat ortodog. Namun pikirannya salah. Tak heran hubungan Lui dengan keluarganya semakin hari semakin jauh. Bahkan Lui cenderung memusuhi keluarganya.

Setiap ada acara keluarga yang harus dihadirinya, Lui memilih untuk tidak datang. Dia bersumpah akan datang bila diizinkan membawa Aldi. Tetapi ternyata keluarganya memilih Lui tidak perlu datang bila membawa lelaki "bukan apa-apa" itu.

"Gue males pulang, hari ini abang gue ultah," pernah dia curhat pada Dina. "Boleh gue main ke rumah elo?"

Dina tidak keberatan.

Sahabatnya yang lembut itu selalu menyiapkan kamar untuk Lui. Dan Lui memang betah berlama-lama di rumah Dina. Anak tunggal Dina yang baru berumur setahun itu sangat lucu, dan Lui betah bermain dengan bocah lucu itu.

"Sampai kapan elo terus berhubungan secara rahasia dengan Aldi? Kenapa elo nggak kawin lari aja," tanya Dina suatu saat.

"Gue belum berani. Lagipula gue belum sanggup ninggalin keluarga gue kendati gue benci banget sama mereka," jawab Lui.

"Apakah Aldi sudah mencoba melakukan pendekatan?" Tanya Dina.

Lui menggeleng.

"Nggak. gue nggak pernah mengizinkan Aldi kerumah sejak kedatangannya yang terakhir lima tahun yang lalu. Gue nggak tega kalau dia dimaki tau bahkan dibogem Panji,"

"Tetapi harusnya ada usaha. Apa kek. Masa terus-terusan begini,"

"Gue belum punya keberanian untuk itu. Gue lagi menunggu keberanian. Semuanya harus matang jangan sampai konyol," kata Lui serius.

Dina terdiam.

"Din, gue yakin kalau Aldi lahir sebagai anak orang kaya atau bangsawan keluarga gue bakalan langsung setuju. Mereka itu payah, feodal, dan bahkan ortodog," umpat Lui emosi.

Biasanya setelah curhat begitu Lui akan merebahkan kepalanya di pangkuan Dina. Menangis sesenggukan sampai akhirnya tertidur kecapean. Dina adalah orang yang tahu pasti bagaimana beratnya hidup Lui sejak Lui berhubungan dengan Aldi.

Diam-diam Dina salut melihat dua sejoli itu. Berhubungan lima tahun secara sembunyi-sembunyi. Sungguh tidak masuk akal untuk usia di atas 30 tahun seperti Lui.

"Sebenarnya dia bisa saja kawin lari, toh polisi tidak bisa menangkap Aldi karena laporan orang tua," kata suami Dina yang notabene adalah seorang pengacara.

"Maksud mas?"

"Yah, Aldi dan Lui kan sudah sama-sama dewasa. Aku mau kok membantu mereka," balas lelaki itu serius.

Dina tertawa.

Dan sekarang, tanpa hujan tanpa angin apalagi petir, Aldi melamarnya. Kepala Lui seperti ditinding batu yang berat.

Aldi sayang, masa kamu belum mengerti juga kalau kondisinya belum mengizinkan...

Dengan gontai dia mandi. Berangkat ke kantor. Tiba di kantor ada keinginannya untuk menelpon Aldi.

Tetapi dia yakin kekasihnya itu pasti masih tidur.

Siangnya barulah Lui menelpon. Aldi ternyata sudah di kantor majalah remaja itu.

"Kita makan siang yuk," ajak Lui. "Biar aku saja ke tempatmu."

Keduanya bertemu di kantin tempat kerja Aldi tepat jam 13.00. Aldi memesan nasi dan gado-gado untuk mereka berdua.

"Aku pikir kamu masih tidur," kata Lui.

Aldi menggeleng dengan wajah lelah.

"Aku memang masih mengantuk, tetapi ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Makanya aku ke kantor,"

Lui mengunyah gado-gadonya. Dia melirik Aldi yang gelisah. Mata kekasihnya itu sepertinya bergerak dengan liar. Ada kekhawatiran disitu.

"Kamu baik-baik aja kan cinta?" Tanya Lui hati-hati.

Aldi mengangguk. Gugup.

"Kamu menunggu seseorang?"

Iya. Aku takut gadis yang bernama Rena itu datang kesini dan bermanja-manja di depan Lui. Aku tidak bisa membayangkan apa akibatnya... mengapa aku sebodoh itu sehingga ini bisa terjadi?

"Nggak, aku cuma kurang tidur aja. Bagaimana kabarmu sayang?"

Lui tersenyum.

"Tadi pagi aku bertengkar lagi dengan Panji. Biasa, soal kita," kata Lui. "Sudahlah jangan dibicarakan, membosankan."

Aldi mengenggam jemari Lui.

Semalam kamu belum memberi jawaban. Kamu mau menikah denganku?"

Lui menatap Aldi dengan tatapan penuh selidik.

"Kok tiba-tiba kamu melamarku begini. Ada masalah ya?"

Aldi menelan ludah yang ditenggorokannya terasa bagai aliran duri.

Sayang, aku ingin segera menikah denganmu. Aku takut nanti kita tidak bisa kawin lagi. Aku takut tergoda pada perempuan lain...Aku takut...

"Aldi?"

"Aku cuma ingin kita menikah. Punya dua anak. Aku sudah tua. Kamu juga sudah berumur. Ini saat yang paling tepat untuk kita menikah,"

Lui menghela nafas. Selera makannya pada gado-gado hilang seketika itu juga. Belum pernah Aldi se-ngotot ini mengajaknya menikah. Biasanya ajakan untuk menikah hanya dilakukan sambil lalu. Karena

Aldi tahu sekali kondisi Lui yang serba tertekan.

"Persoalannya tidak segampang itu sayang,"

"Ayolah Lui, menikahlah dengan aku. Kita kawin lari saja bila keluargamu tetap tidak mengizinkan. Ini kesempatan kita,"

Lui diam.

Matanya terasa panas. Tanpa disadari setetes air mata turun membasahi pipinya yang halus. Dia sedih karena tidak bisa berkata apa-apa. Dia merasa tercabik-cabik karena ajakan menikah dari lelaki yang dicintainya tidak bisa dijawab lugas.

Tidak seperti pasangan lain yang begitu antusias.

Tangan Aldi menghapus air mata itu. Hati lelaki itu trenyuh.

"Maafkan aku Lu. Seharusnya aku tidak memaksa kamu begitu," kata Aldi pelan. "Seharusnya aku lebih sabar dan mengerti kondisimu,"

"Aku mau menikah denganmu Al, tetapi tolong beri aku waktu untuk mengumpulkan keberanian. Aku cukup tertekan dengan keluargaku. Aku minta kamu bisa mengerti," kata Lui. Suaranya serak dan gemetar.

Aldi mengangguk. Tangannya kembali menghapus air mata di pipi kekasihnya.

BAB 7 – SAKSI BISU

Lita memarkir mobil mungilnya di depan sebuah café. Dia sudah terlambat untuk pertemuan dengan kliennya.

Lui pasti akan mengamuk kalau tahu gue terlambat begini. Apalagi kalau tahu gue kelamaan di salon.

Dia membetulkan letak blazer dan rambutnya yang baru saja di-creambath. Kemudian dengan high heelsnya dia berlari masuk ke dalam café yang lampunya temaram.

Tidak sulit mencari orang yang akan ditemui. Ada lima orang eksekutif muda yang bekerja di salah satu bank terkemuka di kota. Mereka akan melakukan re-posisioning logo bank mereka, dan membutuhkan humas.

"Maaf, saya terlambat. Maklum macet dimana-mana," kata Lita berdiplomasi.

Kelima eksekutif muda itu mangut-mangut. Lita langsung mengerti kelima calon kliennya itu sudah memaafkannya. Tidak rugi gue udah berdandan habis-habisan gumam Lita tersenyum dalam hati.

Rapat –sekaligus refreshing karena di café—itu dimulai. Lita memang ahli dalam menarik perhatian, semua presentasinya diterima untuk dipertimbangkan. Mereka bahkan sudah menentukan rencana rapat selanjutnya.

Setelah pertemuan itu Lita tidak langsung pulang. Dia sudah punya janji kencan. Sambil menunggu teman kencannya, Lita duduk di kursi pojok memperhatikan suasana café yang semakin malam semakin ramai.

Tak sengaja matanya terpaku pada sepasang lelaki dan perempuan. Sosok lelaki itu begitu familiar di mata Lita. Loh, bukannya itu adalah Irawan? Dokter Irawan suami Erin. Kalau begitu perempuan yang membelakanginya itu pasti Erin.

Dengan penuh keyakinan Lita bangkit. Ingin membuat kejutan dengan menepuk bahu sahabatnya itu. Menyenangkan sekali bisa bertemu di tempat seperti ini.

Siapa tahu kita bisa double date. Gue dengan cowok gue dan Erin dengan suaminya...

"Hayo...lagi kencan ya. Duh romantisnya yang sudah punya dua anak," Lita menepuk bahu perempuan itu. Kemudian dia syok berat.

Perempuan yang ditepuknya menoleh. Dan itu bukan Erin sahabatnya. Sementara Irawan terlihat lebih kaget. Wajahnya langsung pucat seperti baru saja melihat hantu.

"Mmmm...Maaf. Aku pikir temanku," kata Lita.

Tidak ada tanda-tanda bahwa Lita mengenal Irawan.

Tanpa menoleh lagi Lita langsung buru-buru menuju kursinya di pojok. Diteguknya minuman dinginnya untuk menenangkan hatinya yang bergolak.

Lita kembali menatap pasangan itu. Hatinya mulai bertanya-tanya siapa perempuan yang bersama Irawan. Pasiennya kah? Saudaranya kah? Tidak mungkin. Masa mereka berduaan di café yang romantis ini. Jangan-jangan...

Berhenti Lita. Tidak mungkin Irawan selingkuh. Irawan lelaki baik. Tidak mungkin dia menyakiti Erin yang sudah begitu baik dan setia.

Tenggorokannya seperti kering saat matanya memergoki si perempuan pindah ke samping Irawan dan mencium pipi Irawan dengan mesra. Sementara Irawan menatap Lita dari kejauhan dengan panik dan ketakutan.

Oh malang nian nasib loe Erin sayang. Mengapa mesti gue yang memergoki suami sahabat sendiri sedang selingkuh. Kenapa bukan Lui atau Dina?

Dengan mata bak kucing mengincar mangsa, Lita meneliti perempuan yang sedang bersama Irawan. Cukup cantik juga perempuan itu. Selera berpakaiannya boleh juga. Sepertinya orang berada.

Dandanannya juga tak kalah okenya. Mungkin dia langganan di sebuah salon terkemuka. Potongan dan warna rambutnya sangat trendy.

Sangat berbeda dengan Erin sahabatnya yang sederhana. Yang sehari-hari sibuk mengurus anak-anaknya hingga ke salon saja tidak sempat.

Selagi Lita sibuk berpikir, sebuah tepukan mendarat di bahunya. Ternyata teman kencannya yang sudah ditunggu sejak tadi. Namun Lita ternyata sudah kehilangan selera untuk berkencan.

Hanya setengah jam perempuan itu bertahan untuk sekedar ngobrol. Kemudian dengan dalih sakit kepala, Lita pergi. Kepergiaannya diiringi tatapan mata Irawan.

Jujur saja Irawan khawatir pertemuannya itu akan sampai di telinga Erin. Tetapi kekhawatirannya tidak terbukti.

Sepulangnya dari café itu bersama Hesty, Erin tetap menyambutnya secara wajar. Menyediakan air panas dan membuatkan kopi.

"Anak-anak sudah tidur?"

Erin mengangguk.

"Sepertinya kamu capek Mas, banyak pasien ya hari ini,"

Irawan mengangguk. Kaku. Andai saja istrinya tahu kalau sejak siang hingga sore dia menghabiskan waktu bersama Hesty?

Seperti biasa Irawan tidak banyak bicara. Dia langsung tidur. Matanya memang tidak terpejam, sehingga saat Erin naik ke ranjang.

Tidak lama istrinya langsung terlelap. Dengkurannya terdengar halus. Sementara kantuk sepertinya sudah melarikan diri dari Irawan.

Lelaki itu sedang berpikir keras, apakah Lita akan menceritakan semua yang dilihatnya pada Erin? Kalau iya, apa yang akan dilakukan? Apa dia memiliki alasan membiarkan pipinya dikecup perempuan lain?

Hesty.

Pertemuannya di klinik tempat praktiknya ternyata berbuntut panjang. Mereka mulai berjanji ketemuan di setiap waktu luang. Untungnya belum sampai kebablasan karena Irawan sangat hati-hati.

Pertemuan beberapa kali dengan hesti ternyata kembali menumbuhkan benih cinta di hatinya yang sudah lama mati. Hidupnya jadi lebih bersemangat. Dan itu karena Hesty.

Setiap bersama Hesty, Irawan malah tidak ingat apa-apa lagi. Termasuk Erin dan anak-anak mereka. Dia merasa Hesty adalah sumber kebahagiaan yang selama ini hilang.

Dan malam ini dia merasa mulai cemas. Bagaimana pun dia mengenal Lita sebagai salah satu sahabat Erin. Malah yang paling dekat.

Tidak mungkin Lita menutup mulut soal perselingkuhannya itu. Sudah jelas Lita akan lebih peduli pada nasib Erin, ketimbang suksesnya hubungan perselingkuhannya dengan Hesty.

Ketika dentang jam menunjukkan tiga kali, barulah Irawan bisa memejamkan mata.

Paginya Irawan bangun terlambat.

Irawan saat itu sedang sarapan saat Lita datang. Perempuan itu tetap bersikap wajar di depan Irawan.

Erin menyiapkan setangkup roti panggang keju kesukaan Lita.

"Minumnya susu kesukaan Mas Irawan?" Tanya Erin.

"Nggak usah. Gue kopi yang biasa elo minum aja," kata Lita tanpa menoleh.

Erin keheranan.

"Tumben. Ini loh mas, biasanya Lita cuma mau minum susu rendah lemaknya mas. Nggak mau yang lain," kata Erin sambil membelai rambut suaminya mesra.

Lita menghela nafas. Mencoba tersenyum.

Matanya secara tidak sengaja bertabrakan dengan mata Irawan. Lelaki itu melengos. Sementara Lita buru-buru mengunyah rotinya.

"Rin, gue nunggu di mobil ya? Elo udah siap kan?"

Erin mengangguk.

"Mas, aku berangkat duluan ya," Erin memberi kecupan di pipi Irawan. Sebelum mengambil tas tangannya dan menyusul Lita yang sudah berjalan lebih dulu.

Lita banyak terdiam selama perjalanan ke kantor. Biasanya dia selalu berceloteh.

"Elo sakit ya Lit?" Erin curiga dengan kependiaman Lita yang mendadak.

Lita mengeleng.

"Gue nggak apa-apa, Cuma capek aja," kata Lita. Tangannya mengenggam jemari Erin. Hatinya begitu sedih. Kalau tidak ingat Erin akan syok, dia akan mendamprat Irawan di depan Erin tadi.

Sepanjang hari Lita lebih banyak diam. Gerak geriknya gelisah. Bahkan dia tidak konsentrasi saat melakukan presentasi di depan klien bersama teman-temannya. Sehingga melakukan banyak kesalahan yang konyol.

"Kenapa dia? Mau datang bulan ya?" Lui menyenggol Erin.

Erin mengangkat bahu.

Setelah selesai bertemu klien, Lui mendekati Lita.

"Elo sakit ya?"

Lita menggeleng lesu.

"Kurang vitamin atau semalam kebanyakan begadang?"

Nah yang terakhir itu baru benar. Gue semaleman nggak tidur. Sibuk mikirin suami si Erin selingkuhan. Dan gue nggak tahu mesti bilang ke dia atau nggak.

"Loe dengerin gue nggak sih. Kok jadi tablo gitu," tegur Lui kehilangan kesabaran.

Lita menyeringai.

"Kalo boleh gue mau pulang aja dulu. Gue mau istirahat. Besok pasti fresh lagi. Gue janji," katanya.

Lui memandang sahabatnya ini tajam. Belum pernah dia seaneh itu. Bahkan setelah belasan tahun mereka bersahabat.

"Loe nyembunyiin sesuatu ya?"

"Nggak kok. Loe udah kaya polisi yang interogasi penjahat,"

Lui cemberut.

Kesempatan itu diambil Lita untuk segera mengambil tasnya.

"Dag..."

Tiba di dalam mobilnya, Lita sadar kalau dirinya tidak punya ide mau kemana. Pulang? Jelas tidak mungkin. Sampai di rumah dia juga tidak tahu mau melakukan apa. Ke café? Terlalu cepat. Ini masih tengah hari terik.

Akhirnya tanpa tujuan dia menyetir mobilnya. Berputar-putar sambil melamun. Matahari hari ini bersinar sangat terik dan Lita bersyukur mobilnya sangat nyaman dengan AC yang dingin.

Di sebuah pasar tradisional dia menghentikan mobilnya. Teringat masa kecilnya saat dia sering ditraktir ibunya makan cendol di sana. Udara panas dan tenggorokannya yang kering membuat dirinya mendadak haus.

Cendol... sudah lama juga dia tidak mencicipi minuman tradisional itu. Setelah selama ini kebanyakan minum minuman import yang lebih banyak membuat mabuk ketimbang kenyang.

Gerobak cendol itu terparkir di seberang jalan. Lita harus menyeberang. Dengan rok mini dan sepatu high heelsnya dia berlari kecil menyebrang jalan yang lumayan ramai. Dasar tak berpengalaman, sebuah sepeda motor ugal-ugalan menyerempetnya. Lita jatuh ke aspal.

Untungnya perempuan itu tidak pingsan. Hanya kakinya yang berdarah. Untuk menghindari keramaian yang mendadak mengerubutinya, Lita memutuskan untuk bangkit dan menghampiri mobilnya. Sementara penabraknya sudah menghilang entah kemana.

Sambil meringis, Lita melarikan mobilnya ke rumah sakit terdekat. Sambil lukanya dibalut, Lita menelpon teman-temannya.

"Lebih baik Anda berbaring saja, istirahat sejenak. Bagaimana pun Anda menderita syok juga," kata dokter jaga di rumah sakit itu ramah.

Dokter itu sebaya dengan dirinya. Orangnya simpatik dengan tahi lalat di dagunya.

Lita menurut. Dia berbaring dengan mata nyalang ke langit-langit kamar Unit Gawat Darurat (UGD). Dia bertanya-tanya mengapa bisa mengalami kesialan dua hari berturut-turut. Mulai dari memergoki Irawan selingkuh hingga keserempet motor.

Lita melirik betisnya yang terbalut perban tebal. Luka akan sembuh, tetapi bekasnya pasti tetap menghiasi. Dia tidak akan semulus sebelumnya!

Mungkin udah waktunya gue pensiun dari kehidupan malam gue... pikirnya berkesimpulan dengan gundah.

Lamunannya buyar saat Erin, Lui dan Dina menerobos masuk. Mereka terlihat begitu cemas dan khawatir.

"Apanya yang sakit Lit? Kok bisa elo pake ketabrak segala? Emang elo mau kemana?" Mereka menyerbunya dengan belasan pertanyaan.

Yang jelas gue sampe mati pun nggak akan mengaku kalo ketabrak saat mau beli cendol...

"Gue nggak apa-apa gals. Biasa, lagi apes," kata Lita diplomatis bak menghadapi kliennya.

"Tapi nggak geger otak kan?"

"Nggak ada yang perlu dioperasi kan?"

Lita langsung cemberut.

Dokter jaga yang membalut lukanya masuk. Membawa resep obat yang harus ditebus. Erin tersenyum

lebar melihat sang dokter.

"Donnie... kamu kerja disini ya?"

Donnie adalah sahabat Irawan suami Erin. Lelaki itu tersenyum melihat Erin.

"Jadi Lita ini temanmu ya Rin?"

Erin mengangguk.

"Dia tidak apa-apa, Cuma betisnya agak luka. Kita usahakan biar tidak berbekas ya," kata Donnie.

Lita melihat sang dokter mengerdipkan mata kearahnya.

Dan saat dirinya terpincang-pincang dipapah

Dina meninggalkan ruangan, Donnie menyelipkan selembar kertas di tangan Lita. Yang pasti kertas itu bukan resep obat.

Baru didalam mobil dia membuka kertas itu. Meskipun tulisan Dokter Donnie acak-acakan, Lita bisa membacanya dengan jelas.

Kamu nggak keberatan kan aku ajak makan malam? Sekaligus nge-cek luka kamu itu. Ini nomerku 0813766xxxx

Lita tersenyum.

BAB 8 – GALAU


Rena merasa jatuh cinta.

Kedekatannya dengan Aldi membuat hatinya berbunga-bunga. Aldi sekarang bukan saja sering mengantarnya pulang, tetapi juga mulai dekat dengan keluarganya.

Dia bahkan sering makan bersama abang dan kakak iparnya di rumah Rena. Dan sepertinya keluarga tidak menentang hubungan Rena dengan Aldi.

Kalau tidak di rumah, mereka akan nonton bioskop dan diakhiri dengan makan malam yang romantis.

Aku tidak salah, penulis idolaku itu memang lelaki yang paling romantis.

Dia sedang menunggu, saat-saat lelaki itu menyatakan cintanya. Mungkin butuh waktu, karena dia memliki kekasih juga. Tetapi mereka sudah begitu dekat.

Bukannya ciuman mesra keduanya sudah membuktikan kalau hubungannya dengan Aldi bukan hubungan iseng?

Ya, yang dibutuhkan Rena cuma waktu.

Waktu untuk bisa mendapatkan cinta Aldi sepenuhnya.

Dia semakin optimis, karena Aldi selalu bercerita kalau kekasihnya yang sekarang tidak pernah mau bila diajak menikah. Hubungan mereka selama lima tahun dilakukan secara rahasia.

"Aku capek Ren, aku ingin segera menikah dan punya anak. Tetapi Lui sepertinya masih ragu-ragu karena keluarganya," kata Aldi suatu saat pada Rena.

Rena mangut-mangut.

Aldi sayang, kalau kamu mengajak aku menikah sekarang aku tidak keberatan. Aku akan memberikan kamu anak yang banyak. Lagi pula usiaku masih muda...

Bagi Aldi, Rena memang masih muda tetapi dia sangat dewasa. Apalagi keduanya memiliki latar belakang yang hampir sama, yaitu tidak dibesarkan oleh kasih sayang orang tua karena sudah meninggal.

Perlahan-lahan rasa sayang muncul di hati Aldi. Dia menjadi lebih bersemangat setelah lima tahun dilanda tekanan batin.

Dengan Rena dia bisa berkunjung ke rumahnya kapan saja. Menjemputnya langsung di rumah, dan tidak perlu sembunyi-sembunyi.

Mungkin aku akan menyakiti Lui, tetapi aku harus mengambil keputusan yang baik menurutku. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk bicara pada Lui.

Dan tiga bulan setelah perkenalan ini Aldi menyatakan perasaannya dengan Rena. Dia mengajak Rena untuk menikah.

"Tetapi Mas kan punya Mbak Lui," kata Rena meskipun hatinya senang bukan kepalang.

Aldi membelai pipi gadis muda di depannya.

"Aku akan memutuskan hubungan dengannya. Kita akan langsung menikah," katanya mantap.

Rena tersenyum. Dia memeluk lelaki di depannya.

"Janji ya Mas," bisik Rena.

Aldi mengangguk.

"Tetapi untuk sementara, jangan ada yang tahu dulu. Termasuk Lui. Aku akan cari waktu yang tepat untuk bicara dengannya,"

Rena tersenyum manis. Dia mengangguk.

"Kalau Mbak Lui mau, dia bisa kok tetap berteman dengan Mas meskipun kalian sudah putus. Aku nggak apa-apa kok asal Mas menikah denganku," kata Rena lagi.

Betapa dewasanya calon istriku ini. Padahal umurnya masih sangat muda. Aku memang belum siap kehilangan Lui meskipun ada Rena sekarang.

Ternyata berkata lebih mudah daripada mengkonkritkan kata-kata itu. Aldi selalu kehabisan kata-kata setiap dia berhadapan dengan Lui. Rasa cintanya pada Lui yang meskipun sudah agak memudar ternyata tidak langsung membuatnya bisa memutuskan hubungan mereka.

Lui terlalu baik. Sehingga dia tidak punya alasan untuk menyakiti hati perempuan yang sudah lima tahun dipacarinya.

Tetapi dia juga terikat janji pada gadis muda itu. Setiap hari Rena selalu bertanya apakah hubungannya dengan Lui sudah berakhir? Bahkan belakangan ini Rena mulai cemburuan bila Lui menelpon atau mengajaknya bertemu.

"Ren, kan aku sudah bilang kita butuh proses. Kamu harus sabar dong," kata Aldi suatu saat.

"Tetapi aku cemburu mas. Aku takut Mas nanti berubah pikiran dan tidak jadi putus dengan Mbak Lui," kata Rena.

Aldi tersenyum.

"Bagaimana pun aku tidak boleh menyakiti hatinya. Lui tidak mungkin menikah denganku. Kamu tenang saja,"

Rena mengangguk.

Dia setuju bersabar untuk memiliki Aldi seutuhnya.

Kenyataannya Rena memang harus ekstra sabar karena dia harus menunggu lama. Aldi benar-benar tidak memiliki cara untuk mengungkapkan perasaannya kepada Lui.

"Al, kamu cinta aku nggak?" Tanya Lui suatu saat setelah mereka selesai bercinta.

"Kok kamu tanya itu?"

Lui tersenyum.

"Nggak apa-apa. Aku cuma takut saja kehilangan kamu. Maklum aku sudah ribut dengan orang tuaku demi kamu. Dan aku merasa tenang di dekat kamu. Aku janji begitu aku punya keberanian, kita akan kawin lari,"

Aldi merasa ada tombak panjang yang membelah dadanya.

Perasaannya memang semakin berdosa dan salah tingkah setiap Lui menggenggam tangan Aldi dan mengucapkan betapa dirinya sangat mencintai Aldi. Ada rasa sakit. Tetapi ada juga keinginan untuk segela bebas dari kungkungan segenap persoalan yang sedang mengikatnya.

Aldi pesimis Lui akan mendapatkan keberanian dalam waktu dekat. Sementara dia sudah merencanakan akan menikah secepatnya dengan gadis lain. Sudah mempersiapkan gaun pesta dan bahkan juga cincin kawin. Dia tidak mungkin mundur lagi.

Kondisi ini membuatnya menjadi sangat stress.

"Kadang-kadang aku bosan hidup. Aku ingin mati saja," kata Aldi pada Lui.

"Kenapa sayang. Kamu kan sudah sukses. Lagi pula ada aku disamping kamu. Apa lagi yang kurang?"

Aldi membisu.

Andai kamu tau Lu. Bahwa ada perempuan lain selain kamu. Perempuan itu akan aku kawini begitu hubungan kita berakhir. Maafkan aku Lu, aku ingin menikah dan punya keluarga. Sementara kamu tidak pernah memberi aku kesempatan itu.

"Kamu sepertinya stress, atau perlu liburan?"

Aldi menggeleng.

"Jangan marah-marah. Kalau ada masalah kamu bisa cerita. Aku juga stress dengan hubungan kita ini. Aku ditekan oleh keluarga dan juga oleh kamu. Tolonglah kamu bersabar," kata Lui.

Aku juga bilang Rena untuk bersabar sampai aku bisa memutuskan kamu dan menikah dengannya...

Lui membelai rambut Aldi. Tanpa disadari olehnya air matanya jatuh, membasahi rambut Aldi. Sudah hampir sebulan ini Aldi selalu marah-marah tak tentu arah. Bahkan Lui juga tidak tahu apa salahnya.

Sementara itu di rumahnya kondisi semakin panas. Pertengkaran terus terjadi dan puncaknya Lui nekad tidak pulang ke rumah dan mengungsi sementara ke rumah Dina. Meskipun biasanya Dina selalu memberi tumpangan, pelarian Lui kali ini membuatnya cemas. Karena ada satu tas besar yang dibawa.

"Gue numpang sebentar sebelum mencari kontrakan. Boleh kan Din?"

Dina mengangguk.

"Loe berantem lagi sama keluarga loe?"

Lui mengangguk. Air matanya mengalir tanpa bisa dicegah.

"Mereka bilang sampai kapan pun mereka tidak akan menyetujui hubungan gue sama Aldi. Menurut mereka Aldi itu tidak sebaik yang gue kira. Mereka bilang Aldi sudah punya pacar lain yang mau dikawini,"

"Ha?"

"Gue jelas tidak percaya. Dari mana coba kabar itu. Mereka paling Cuma mau bikin gue benci Aldi.

Makanya gue memutuskan untuk pergi saja,"

"Sebentar, Aldi tahu loe kabur dari rumah?"

Lui menggeleng. "Gue nggak mau nambah beban dia. Dia udah stress selama ini. Kerjaannya marah-marah melulu. Biar gue aja yang nanggung,"

Dina menggeleng-gelengkan kepalanya. Prihatin.

Malam itu makin gelap dan hujan turun gerimis.

Dibalik selimut Lui menekan nomer telpon Aldi.Lama telpon itu baru terjawab. Suara Aldi terdengar begitu jauh.

"Al, ini Lui. Kamu sudah tidur ya?"

"Baru saja mau. Apa apa? Tumben menelpon malam-malam?"

Lui mengerutkan keningnya heran.

Tumben? Bukannya mereka sering menelpon tengah malam? Bahkan Aldi pernah menelpon pukul 03.00 dini hari.

"Sorry aku pasti menganggu kamu ya. Tapi ada hal yang harus aku katakana padamu," ujar Lui serius. "Dan aku tidak mau menunggu sampai besok."

Suara di seberang masih terkantuk-kantuk.

"Aku sudah mengambil keputusan Al. Minggu depan kita kawin yuk. Kawin lari. Kamu mau kan?"

Tidak ada suara di seberang.

Lui tidak pernah tahu kalau di sana Aldi terpaku. Dia sampai bangkit dari ranjangnya. Keringat dingin turun di sekujur tubuh lelaki itu yang telanjang dan hanya ditutupi selimut.

Aldi melirik ke samping. Rena masih tertidur dengan nyenyak.

Sementara suara Lui masih memanggil-manggil di telpon yang digenggamnya

"Al.. kamu masih disana kan?"

BAB 9 – PERNIKAHAN SIRI


Perkawinan itu sederhana.

Tidak ada janur atau pun resepsi meriah di gedung mewah. Bahkan tidak ada karangan bunga, kecuali untaian bunga melati yang dipakai pengantin perempuan. 

Meskipun sangat sederhana dan terkesan rahasia, kedua pengantin kelihatan sangat berbahagia. Yang lelaki begitu rapi dengan jas hitam dan kupiah hitam bersulam. Sementara yang perempuan begitu cantik dengan kebaya model masa kini warna pink.

Cuma ada sepuluhan orang yang hadir di rumah pengantin perempuan yang sangat mewah. Orang-orang itu terpilih karena konon bisa menjaga rahasia. Ya, ini adalah pernikahan siri yang notabene tidak diketahui oleh orang banyak. 

Termasuk istri dari pengantin pria.

Dan acaranya memang cuma 15 menit. Setelah itu, kedua sejoli yang ternyata Irawan dan Hesty resmi menjadi suami istri.

"Akhirnya kita bisa menikah juga," bisik Hesty setelah tamu mereka pulang. Saat itu keduanya sedang beristirahat di sofa rumah Hesty.

"Hmmm..." Irawan hanya bergumam.

"Aku tidak pernah menyangka mimpi bisa jadi kenyataan. Kamu senang juga kan Mas?"

Irawan mengangguk. Diteguknya kopi dingin yang tersisa di cangkirnya.

"Memang kita cuma menikah secara sederhana. Tetapi aku bahagiaaaaa sekali," kata Hesty.

Irawan tersenyum. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hesty melihat kejanggalan itu. Karena sebelumnya Irawan begitu bergairah dengan pernikahan mereka. Bahkan Irawan yang selalu membujuknya untuk mau segera dikawininya meski cuma secara siri.

Sebelumnya Hesty sempat menolak. Menikah secara siri bukan cita-citanya. Dia ingin dinikahi Irawan secara sah. Namun Irawan tidak punya cara untuk memberitahu istrinya.

Dan setelah berpikir ulang akhirnya Hesty setuju. Sekarang, Irawan sepertinya memikirkan istrinya. Hesty tidak mau Irawan terbebani dengan istrinya pada malam pertama mereka.

Hesty mendekati lelaki itu. Disandarkannya kepalanya di bahu suami barunya.

"Kamu mikirin istrimu ya?" tanyanya.

Irawan mengangguk. Entah mengapa setelah pernikahan ini usai wajah Erin dan anak-anaknya menari-nari di pelupuk matanya. Padahal sebelumnya Irawan begitu yakin dengan jalan yang telah dipilihnya.

Hesty mengelus pipi Irawan.

"Erin pasti akan syok berat kalau tahu aku kawin lagi," kata Irawan, nyaris tanpa suara.

"Mungkin suatu hari kamu kamus berterus terang padanya. Sehingga kita tidak perlu bermain kucing-kucingan begini," ujar Hesty serius.

Terus terang? Tiba-tiba Irawan merinding. Dia sedang membayangkan apa reaksi Erin bila dia berterus terang sudah menikah lagi. Dia pasti akan sedih dan mengamuk. 

Belum lagi tanggapan ayah ibunya dan juga mertuanya. Bisa-bisa dia dikucilkan dari keluarga karena dianggap penghianat. Bukankah pernikahan mereka karena perjodohan?

Ini alamat dua keluarga akan bersitegang karenanya.

"Mas, kita istirahat yuk. Besok kan mas harus kerja," kata Hesty menarik Irawan berdiri.

Seperti kerbau dicucuk hidungnya Irawan bangkit. Mengekor di belakang Hesty menuju kamar pengantin mereka yang sudah dihias dengan warna krem emas.

Begitu melihat Hesty melepaskan kebayanya selembar demi selembar, mendadak semua persoalan di kepala Irawan lenyap tak berbekas. Dia bahkan tidak ingat apa-apa lagi saat Hesty memeluknya erat sambil membuka kancing jas Irawan satu demi satu...

--00—

Tiga puluh kilo meter ke arah utara...

Piring di tangan Erin jatuh ke lantai. Suaranya keras dan pecahan kacanya berceceran di kaki Erin.

Erin terpaku.

Dadanya berdegub begitu kencang sementara ada firasat buruk yang tiba-tiba muncul di dalam hatinya yang paling dalam.

Malam memang sudah larut. Erin sedang membersihkan dapurnya yang kotor. Kedua anaknya sudah sejak tadi terlelap. Sementara suaminya tadi siang sudah menelponnya, memberitahukan bahwa dia tidak pulang karena ada konferensi dokter di luar kota selama tiga hari.

Sesudah membersihkan pecahan kaca, Erin terduduk di kursi makan. Dicobanya untuk minum susu dingin. Tetapi pikirannya tetap tidak bisa tenang. Mendadak dia memikirkan Irawan. Sedang apa suaminya sekarang? Kok tumben dia tidak memberi kabar setibanya di tujuan?

Perempuan itu menekan nomer telpon Irawan. Telepon itu ternyata tidak aktif. Dicobanya berulang kali. Hasilnya tetap sama.

Erin meletakkan handphonenya dengan gelisah. Dia berharap tidak ada yang terjadi pada Irawan? Tuhan, lindungi dia... Mas Irawan punya anak dan istri. Jangan sampai dia kenapa-kenapa.

Dia mematikan lampu dapur. Dan beranjak ke kamarnya dan mencoba untuk tidur. Erin memang tidak tidur nyenyak. Dan terbangun berkali-kali karena mimpi buruk yang berbeda-beda.

Dia mimpi kehilangan kalung emasnya.

Dia mimpi dikejar bayangan hitam yang menyeramkan.

Dia mimpi ditinggal Irawan, Irawan dibawa pergi bayangan hitam.

Dia mimpi menangis tersedu-sedu sementara ada perempuan yang dia tidak kenal tertawa terbahak-bahak di depannya.

Erin terjaga menjelang subuh dengan tubuh basah kuyup oleh keringat. Semua mimpi buruk yang dialaminya tidak berbentuk. Yang ada bantalnya basah karena keringat dan air mata.

Akhirnya Erin beranjak ke kamar Annie anak bungsunya. Kemudian dia meringkuk di kaki Annie. Mencoba untuk tidur kembali diantara kehangatan kaki Annie. Dan baru terbangun saat asisten rumah tangganya masuk ke kamar itu untuk membangunkan Annie yang akan sekolah.

Seperti biasa, dia mengurus kedua anaknya yang akan bersiap sekolah. Melayani mereka makan dan juga menyiapkan mereka bekal untuk sekolah. Sesaat dia melupakan kegalauan hatinya.

Baru ketika rumah menjadi sepi, mimpi buruk itu menghantui. Erin merasa tubuhnya begitu berantakan karena kurang tidur dan mimpi buruk. Dia berencana akan tidak masuk kantor karena merasa meriang. 

Tak heran saat Lita menjemputnya, Erin masih mengenakan daster lusuh.

"Elo sakit Bu?"

Erin mengangguk. Disodorkan setangkup roti keju bakar kesukaan Lita.

"Gue meriang, semalaman gue susah tidur dan mimpi buruk," katanya.

Lita berhenti mengunyah.

"Elo mikirin Irawan?" tebaknya tanpa sadar.

Erin menatap Lita kaget. Bingung melihat kejituan Lita menebak.

"Tau dari mana?"

Lita kelihatan salah tingkah. "Ya, gue cuma nebak aja," katanya pelan. "Emang benar?"

"Begitulah," Erin mendesah. "Kemarin Mas Irawan bilang mau ke luar kota selama tiga hari, tapi sampai sekarang tidak ada kabarnya,"

Lita mengunyah roti yang mendadak menjadi begitu keras bak lembaran tripleks.

"So?"

"Gue cuma cemas aja. Takut ada apa-apa,"

Lita menghela nafas. Dia sedang menimbang apakah harus menceritakan penemuannya beberapa minggu yang lalu pada sahabatnya. Dia seperti sedang menghadapi dilemma.

Bila dia menceritakan soal itu, bisa jadi perempuan yang ditemuinya itu hanyalah teman Irawan.

Tetapi bagaimana kalau lebih dari teman? Bagaimana kalau alasan Irawan ke luar kota ternyata untuk berdua-duaan dengan perempuan itu?

Akhirnya Lita mengambil keputusan kedua.

"Rin, gue mau bicara. Tapi loe dengerin dulu sampai habis cerita gue ini ya. Jangan lo potong dulu," kata Lita.

Erin menghentikan makannya.

"Maksud elo?"

"Loe harus denger dulu. Gue ini sahabat elo. Gue nggak mungkin punya maksud jahat ke elo. Jadi sebelumnya gue minta maaf kalo ternyata yang gue lihat itu salah," kata Lita.

Erin mendadak tersenyum pahit. Ada firasat buruk dengan gaya Lita kali ini.

"Elo mau ngomong apa sih. Jangan berbelit-belit dulu dong," potongnya.

Setelah menghela nafas, Lita mulai bercerita apa yang dilihatnya di café beberapa minggu yang lalu. Bagaimana pertemuannya dengan Irawan dan perempuan itu.

Bagaimana perempuan itu mencium Irawan dan mereka begitu mesra. Selama Lita bercerita, Erin merasa jantungnya makin pelan berdetak. Keringat dingin keluar dan mendadak membuat dia kedinginan.

"Gue minta elo selidiki aja. Loe bisa tanya suster-suster Irawan di tempat praktiknya. Mereka pasti tahu kalau ada perempuan yang datang." Kata Lita sambil mengenggam tangan Erin yang gemetar.

"Elo yakin itu Mas Irawan?" Tanya Erin masih mencoba tidak mempercayai.

"Gue ngeliat Irawan dalam radius 1 meter sayang. Nggak mungkin gue salah. Dia pura-pura nggak kenal gue," ujar Lita.

Erin merasa matanya begitu panas. Dan air matanya menetes deras. Lita yang melihatnya menghela nafas. Dia bangkit dan memeluk Erin yang masih duduk di bangkunya.

"Jangan nangis Rin. Kita cari bukti dulu. Siapa tahu gue yang salah. Kan bisa aja," kata Lita.

Lita pasti benar. Dia tidak mungkin berbohong. Dan mimpiku juga tidak mungkin salah karena itu juga firasat buruk...

Tangis Erin makin keras.

Dan hati Lita seperti dicabik-cabik.

BAB 10 – TERTANGKAP TANGAN


Lui tidak tahu berada di mana. Tetapi ada mobil Aldi di depannya. Lui mencari Aldi. Mengintip ke dalam mobil itu. Interior mobil yang masih baru ternyata penuh karat. Besinya terlihat kekuning-kuningan. Dan...dia melihat ada seekor kalajengking raksasa di dalam mobil Aldi.

Kalajengking itu begitu besar, kepalanya nyaris dua kali telapak tangannya. Binatang itu memamerkan sengat di ekornya kepada Lui. Oh Tuhan, Aldi harus tahu, kalau tidak dia pasti akan tersengat dan mati. Lui menjerit...

Lui terbangun.

Tubuhnya penuh keringat. Matanya nanar. Dari balik jendela yang tidak ditutup gorden dia melihat langit masih gelap. Malam memang masih tua.

Dengan gemetar, Lui bangkit. Keluar kamar untuk mencari segelas air putih hangat. Dia duduk di ruang makan sambil melamun. Teringat mimpinya yang sangat mengerikan itu. Bahkan di Animal Planet Channel sekali pun dia belum pernah melihat sengat kalajengking sebesar itu.

Semoga tidak ada hal yang membahayakan terjadi pada Aldi. Semoga...

Lui bangkit. Dia kembali ke kamar dan menyalakan i-podnya. Mencoba untuk kembali terlelap sambil mendengar lagu-lagu kesayangannya. Dia memang harus tidur, karena pukul 08.00 pagi nanti mesti rapat untuk proyek besar yang sedang ditanganinya. Setelah itu di siang hari dia punya janji ketemu dengan Aldi.

Aldi.

Menyebut nama itu membuatnya merasa hangat. Aldi memang satu-satunya lelaki yang menghangatkan hatinya disaat kepenatan pekerjaan dan tekanan dari keluarganya. Meskipun beberapa waktu ini sikapnya pada Lui agak aneh.

Aneh?

Ya, sering Lui memergoki Aldi berbicara dengan berbisik-bisik. Atau mengirim SMS panjang-panjang kepada seseorang. Lui bahkan tidak bisa meminjam handphone Aldi. Aldi sangat cermat untuk yang satu itu. Padahal dulunya, dia biasa meletakkan ponselnya sembarangan.

Bukan hanya soal itu, Lui juga sering memergoki Aldi melamun dan sepertinya sangat tertekan.

"Kamu ada masalah serius ya?" Sering Lui bertanya hati-hati.

Jawaban Aldi selalu gelengan.

Kalau sudah begitu Lui akan diam. Lima tahun berhubungan telah mengajarkan Lui banyak hal tentang Aldi. Lelaki itu tidak suka diinterogasi atau dicereweti. Bila sudah tiba waktunya, Aldi akan bercerita sendiri. Lui percaya cinta Aldi padanya.

Minggu lalu saat Lui mengajaknya menikah, di luar dugaan Aldi menolak. Alasannya dia tidak mau memisahkan Lui dengan keluarganya.

"Kamu itu anak bungsu kesayangan keluarga. Aku tidak mau membawa lari dirimu. Nanti keluargamu menderita," kata Aldi waktu mereka bertemu setelah malamnya Lui mengutarakan keinginannya kawin lari.

Lui keheranan.

Loh bukannya kemarin justru Aldi yang mengajaknya kawin lari. Dan sekarang saat dia sudah mau nekad, kenapa laki-laki itu menolak?

"Aku serius Di. Suatu saat mereka juga akan menerima kita. Apalagi kalau kita sudah punya anak," kata Lui. Matanya berkaca-kaca sewaktu mengucapkan kata-kata itu.

Aldi diam. Dia mempermain-mainkan bibir gelas jus jeruknya dengan gelisah.

"Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita menikah. Saat ini aku sudah memiliki segenap keberanian. Bahkan pengacara bila orang tuaku menuntut," sambung Lui melihat kebisuan Aldi.

Di luar dugaan Aldi menggeleng.

"Sayang, untuk sementara rencana ini kita tunda dulu. Berikan aku waktu berpikir ya,"

Saat itu Lui merasa dirinya akan meledak oleh emosi yang mendadak muncul. Bagaimana mungkin saat keberaniannya muncul, Aldi malah bersikap dingin dan tak acuh begitu. Padahal andai dia tahu bagaimana usahanya untuk bisa punya nyali melawan orang tuanya?

"Kamu kenapa sih jadi berubah begitu?"

"Lui, saat ini aku tidak punya keinginan untuk menikah lagi. Kita tunggu sampai aku siap lagi," kata Aldi tenang.

"Ha?"

"Sekian lama aku mengajakmu menikah, tetapi kamu tidak pernah menerimanya. Aku jadi pesimis akan bisa menikah lagi,"

Ada suara petir di telinga Lui. Sehingga Lui merasa telinganya tuli.

"Waktu itu aku belum berani. Aku kan minta kamu menunggu. Bukan minta kamu mengurungkan niatmu," katanya pelan.

"Sekarang aku mau menikah bila keluarga kamu setuju. Aku ingin restu. Tidak mau sembunyi-sembunyi. Kamu kan tahu aku ingin sekali punya keluarga,"

"Kita bisa punya keluarga. Kamu dan aku. Kemudian nanti anak-anak kita. Soal keluargaku nanti saja kita urus," potong Lui tak bisa menyembunyikan kegeramannya.

Aldi tetap menggeleng.

"Kalau ada lelaki lain yang lebih baik untukmu, aku rela kok," kata lelaki itu.

"Ha? Kamu bicara apa itu. Kamu pikir cuma dirimu aja yang frustrasi? Jangan begitu dong Di," Lui merasa hatinya sakit.

Pembicaraan mereka terputus sampai disitu. Lui sama sekali tidak tahu apa yang terjadi kini pada hubungan mereka. Dia mencoba instropeksi diri, tetapi dia tidak menemukan kesalahannya. Yang didapat hanyalah bahwa dia sudah menjalani hubungan mereka selama lima tahun dan mencobanya menjaga hubungan itu setulus hati.

Dan hubungan mereka memang menjadi jalan di tempat lagi.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kami. Aldi sepertinya berubah. Tetapi aku tidak tahu berubah karena apa," kata Lui pada Dina saat keduanya menikmati makan siang bersama.

"Dia tetap tidak mau menikah?"

Lui mengangguk.

"Kadang aku pikir, aku sudah mati-matian berusaha untuk hubungan ini. Aku merasa tidak diperlakukan adil. Bayangkan saja saku harus melawan keluargaku untuk terus berhubungan dengan Aldi. Sementara Aldi? Dia hanya tertekan karena aku waktu itu belum punya keberanian," keluh Lui sambil mengaduk-aduk gado-gadonya tanpa selera.

Dina menghela nafas.

Meski tidak terima dengan keputusan Aldi, perasaan Lui pada Aldi memang tidak pernah berubah. Cintanya pada lelaki itu begitu mengental, sehingga sikapnya tidak berubah.

Dan siang ini mereka berdua berjanji akan bertemu di restoran kegemaran mereka. Lui sudah membelikan Aldi sebuah dasi baru yang dibungkus rapi. Hadiah untuk sang kekasih.

Sudah lama aku tidak pernah memberikan dia hadiah. Sekedar menyatakan bahwa aku sangat menyayanginya. Meski kami tidak bisa menikah.

Lui tiba setengah jam lebih awal. Dan dia harus menunggu lebih dari sejam karena Aldi terlambat.

Acara makan siang mereka berlangsung dengan hangat dan romantis. Lelaki itu begitu senang dengan hadiah yang dibawa oleh Lui dan menyadari kalau sudah tiga bulan ini dia tidak pernah memberikan apa-apa untuk Lui.

Dering ponsel Aldi menghentikan canda mereka.

Aldi melirik ponselnya. Rena.

"Sebentar ya sayang, aku harus mengangkat telpon ini," Aldi bangkit menjauh.

Lui menatapnya keheranan. Biasanya Aldi selalu mengangkat telpon di depannya karena tidak ada rahasia diantara mereka. Tetapi mengapa dia menjauh?

Lui mencoba menghilangkan kecurigaannya. Dia memanggil waitres untuk menghitung makan siang mereka. Kemudian berjalan menuju toilet.

Langkahnya surut. Dibalik dinding tak jauh dari toilet dia mendengar suara Aldi. Suara itu begitu jelas dan Lui bisa menangkap semua pembicaraan Aldi.

"Sayang, aku kembali sebentar lagi ya? Iya...Cuma makan siang aja kok. Jangan cemburu begitu dong... Aku kan mau menikah denganmu. Iya...Iya...Aku akan selesaikan semuanya dengan Lui..."

Klik. Aldi menutup ponselnya dan berbalik untuk kembali ke mejanya.

Namun jantungnya nyaris copot begitu melihat Lui sudah berdiri di depannya. Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tatapannya begitu tajam dan terluka. Sepertinya dia mendengar hampir semua pembicaraannya dengan Rena.

"Jadi ini alasan kamu menolak menikah denganku?" Tanya Lui.

Suara perempuan itu gemetar .

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CERITA TENTANG PERSELINGKUHAN BAB 11-12
15
2
 LUIKamu jahat sekali Al. Disaat aku sedang berjuang untuk kita di depan keluargaku, ternyata kamu malah menyakitiku, katanya serak. Dia memandang lelaki di depannya dengan tatapan seekor harimau yang terluka.Aku sudah tua. Seharusnya diusiaku aku sudah memiliki tiga orang anak, kata Aldi membela diri.Ohh tutup mulut. Dulu sewaktu kita pacaran kita berjanji akan selalu bersama kendati tidak pernah menikah. Cepat sekali kau berubah. Mungkin karena kamu sudah menjadi orang sukses dan kaya, potong Lui.Jadi kamu mau apa sekarang?Lui menghapus air matanya.Aku minta kamu putuskan perempuan itu. Setelah itu kita kawin,Aldi menggeleng.=== ERINIrawan bangkit menuju kamar mandi. Sementara Erin membongkar pakaian kotor suaminya dalam tas. Membawanya ke mesin cuci. Tangannya sempat gemetar saat melihat ada bekas lipstick dan parfum perempuan di salah satu kemejanya.Tenang Erin tenang. Apa pun yang terjadi kamu mesti kalem. Jangan tunjukkan dulu kemarahan dan kecurigaanmu...Bermainlah dengan cantik. Secantik permainan suamimu...Dengan menelan ludah, Erin memasukkan semua pakaian kotor Irawan ke mesin cuci. Dibiarkan mesin cuci itu bekerja, sementara dia mati-matian menahan matanya yang panas.Irawan muncul setengah jam kemudian. Wajahnya tampak segar dan rambutnya yang lurus terlihat basah. Biasanya Erin sangat suka penampilan Irawan seperti itu. Namun entah kenapa saat ini Erin merasa jijik pada suaminya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan