Sebelum Berpisah | Part 10

111
2
Deskripsi

Sebelum Berpisah | Part 10

Tindakan Agnita membuat Sankara sedikit lepas kendali, pria itu marah dan melampiaskannya. Dan itu membuat Agnita makin membenci Sankara. Dia bahkan mengancam untuk memenjarakan Sankara atas tuduhan pelecehan.

Bagian Sepuluh : Sebelum Berpisah

"Tanpa sadar, kita selalu merasakan duka, dari orang yang kita beri luka."

"Jadi sebelum berpisah, mari saling mengobati."

***

Sankara mengurung tubuh Agnita dengan tubuhnya, menindih kedua tangan perempuan itu sehingga tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Dicekramnya kedua pipi sang wanita, sementara satu tangan masih setia memeluk pinggang ramping tersebut. Ciumannya masih belum berakhir, pangutan bibirnya kian meliar, mencecap setiap sudut dari perempuan itu, yang entah kenapa kini seakan menjadi candu. Bukan hanya karena pengaruh obat, melainkan seperti sudah mendamba lama. 

Sankara tidak pernah seliar ini, tangannya tak pernah senakal itu, menjelajahi punggung wanitanya yang telanjang. Perasaan marah kembali timbul kala mengetahui bahwa tiap harinya punggung mulus itu selalu dipamerkan oleh sang empunya melalui baju-baju minim kurang bahan. "I never liked you dresses like this, you know that right?" bisik Sankara di sela-sela cumbuannya. Suaranya begitu berat, hembusan napasnya terasa panas, menerpa permukaan kulit sang wanita, membuat tubuh Agnita ikut meremang.

Agnita tak memiliki kesempatan untuk menjawab. Namun tatapan matanya saja sudah cukup untuk memberi balasan. 

Sankara mengangguk, "Of course, you only care about what you want," ucap pria itu. Ia sedikit menarik wajahnya menjauh, memerhatikan hasil karyanya.

Agnita yang biasanya terlihat begitu berkuasa, kini dibuat mengenaskan olehnya. Lipstick yang berantakan, rambut sedikit acak-acakan dan dress yang sudah tersingkap naik, sehingga berhasil mengekspos paha mulus wanita itu.

"So what should i do to punish this selfish little girl?" lanjut Sankara. Entah hal gila apa yang merasukinya malam ini, yang jelas keinginan pria itu untuk menundukkan wanita di hadapannya jauh lebih besar ketimbang logikanya sendiri. 

"Fuck you!" umpat Agnita. Tatapannya memancarkan kebencian yang luar biasa.

Sankara kembali tersenyum. "I will, sayang," ucapnya. Tangannya mulai bergerak turun, menuju resleting dress tersebut.

"Don't you dare," kata Agnita memperingati.

Tatapan Agnita begitu tajam, namun itu tidak membuah Sankara berhenti, justru malah makin merasa tertantang. Dia ingin membuktikan kepada Agnita bahwa dirinya menuruti semua keinginan wanita itu selama ini bukan karena dia tak ada pilihan, apalagi takut, melainkan karena Sankara menghormati apa yang diinginkan wanita tersebut. Dan jika Agnita tidak bisa melakukan hal yang sama, maka Sankara pun juga bisa menghapuskan segala rasa hormatnya.

"Sakit jiwa lo! Ini udah masuk tahap pemerkosaan," ujar Agnita saat tangan Sankara dengan entengnya menurunkan resleting dress-nya. "I can sue you!"

"Try then," balas Sankara. Pria itu kembali mendekat melumat singkat bibir Agnita sebelum akhirnya turun ke bawah menyecap leher perempuan itu, membuat tanda kemerahan di sana. Tangan kanannya mulai berani menyentuh paha Agnita, mengelus hingga naik ke atas.

"Bangsat! Brengsek lo! Berhenti!" umpat Agnita. Wanita itu kembali memberontak saat tangan Sankara mulai makin dekat. "Gue bilang stop, Sankara!"

Detik itu juga Sankara berhenti. Tatapannya kembali terarah ke manik mata wanita tersebut. Di tengah sisa kewarasannya, pria itu berkata, "Beg me." Sankara begitu serius dengan ucapannya. Dia akan melepaskan Agnita dan membiarkan dirinya menyelesaikan sendiri semua hawa napsu dan kemarahannya ini, asal wanita itu memohon kepadanya. Setidaknya itu akan sedikit mengobati harga dirinya.

Namun tentu Agnita tidak akan mau. Lihat saja disaat mata wanita itu sudah berkaca-kaca, tatapannya masih sama, begitu percaya diri seolah tak membuat salah. Bahkan wanita itu sengaja mengatupkan bibirnya rapat-rapat sebagai tanda bahwa ia tidak akan pernah memohon pada pria itu.

Sankara menggeleng, dikuatkannya pelukannya saat Agnita kembali meronta, "Just say it," pinta pria itu. 

"Lepas bangsat!" Agnita kembali memaki. 

Kepala Sankara terasa pening, akibat pengaruh obat sialan yang wanita itu berikan. Ditambah dengan emosi yang meluap karena sikap Agnita yang tak mau sedikit pun merendah. Padahal Sankara hanya minta sekali, itu pun karena kesalahan yang Agnita perbuat. Namun Agnita nampaknya tetap tak ingin kalah, walau pun jelas saat ini wanita itu sudah tak bisa apa-apa. Sekali tarik, Sankara bisa saja melucuti dress perempuan itu, menghancurkan harga diri yang selalu ia agung-agungkan itu. 

Akan tetapi ketika tatapannya bertemu, ketika ia melihat dengan jelas airmata yang sudah memenuhi pelupuk mata sang wanita. Sankara sadar bahwa usahanya itu sia-sia. Bahkan disaat tubuhnya sudah begitu ketakutan, wanita itu masih saja bertahan pada sikap congkaknya. Agnita tidak mau menurunkan egonya sedikit pun, meski dia tahu konsekuensi apa yang akan dia tanggung. Sankara bisa saja melakukan semuanya, melampiaskan seluruh gairah serta amarahnya pada tubuh Agnita.

Iya, dia harusnya bisa melakukan hal itu. Namun bodohnya langkah selanjutnya yang ia lakukan adalah menggeser tubuhnya ke samping lalu berkata dengan pelan namun penuh penekanan, "Leave now." 

Agnita langsung bangkit, masih dengan sisa energi serta keberanian yang dia punya, Agnita menatap nyalang pria itu. "I will sue you!" ucapnya dengan lantang sebelum akhirnya berlalu pergi, meninggalkan Sankara yang jauh lebih berantakan darinya.

***

Kejadian malam tadi benar-benar mimpi buruk bagi Agnita. Seumur hidupnya, tak pernah ada satu pria pun yang berani merendahkan dirinya seperti itu. Bahkan jika ada yang berani mencoba, Agnita pastikan pria itu akan terlebih dahulu mendekam di rumah sakit. Namun sialnya malam tadi, ia benar-benar tak bisa melawan, tenaga Agnita yang bisa dibilang sangat kuat untuk ukuran wanita, ternyata kalah telak jika dibanding dengan Sankara. Padahal sebelumnya ia selalu bisa dengan mudah membuat pria itu menjauh dari dirinya. Bahkan dengan sekali tarikan saja, cekalan pada tangannya selalu berhasil terlepas.

Ternyata selama ini ia ikut tertipu dengan ketenangan pria itu. Sankara yang tadinya dia pikir hanyalah sebatas anjing jinak, dalam semalam seketika berubah menjadi singa buas yang siap menerkam. Begitu kuat dan mendominasi, Sankara yang semalam ia lihat benar-benar tak pernah terpikirkan oleh Agnita sebelumnya. Ia tidak mengira jika pria yang tampak begitu tenang, bisa berlaku seagresif tadi malam. 

Sialan kilas memori itu kembali datang kala ia mendapati sosok Sankara yang terlihat begitu santai menikmati kopinya, seolah tidak ada yang terjadi tadi malam. Padahal Agnita masih harus mengenakan turtle neck untuk menutupi jejak dari aksi bejat pria itu. 

"Penjahat kelamin," ucap Agnita pelan, namun cukup untuk sampai pada telinga Sankara. Tadinya ia tak mau berkata apapun, ia hanya ingin sarapan sejenak, lalu segera pergi ke kantor. Namun sungguh Agnita tak bisa menahan kesal saat melihat wajah tanpa dosa Sankara tersungguhkan di sana. Bahkan setelah melecehkannya seperti itu, Sankara masih berani untuk menampilkan wajah di depannya. Benar-benar cerminan predator seks kelas kakap. Apa jangan-jangan sebelum Agnita, sudah ada banyak korban lain yang Sankara begitukan? Ah, sepertinya ini sangat pantas untuk dikupas tuntas, sebagai bukti tambahan yang akan memberatkan pria itu di pengadilan nanti.

Sembari otaknya secara liar menciptakan segala kemungkinan untuk menjatuhkan pria tersebut, Agnita seperti biasa melangkah ke arah pantry. Ini memang sudah rutinitas yang selalu wanita itu lakukan. Turun dari kamar sekitar jam tujuh, kemudian mengambil makanan yang sudah siap di atas meja —tunggu dulu, kemana jatah makannya saat ini?

Tatapan Agnita kembali tertuju pada Sankara. Merasa begitu dongkol lantaran pria itu tak menyiapkan sesuatu untuknya. Tidak, Agnita tidak pernah meminta, tetapi Sankara lah yang berinisiatif melakukannya. Membuat wanita itu terbiasa dengan kondisi meja pantry yang berisikan sarapannya.

Bahkan sebesar apapun pertengkaran mereka —yang selalu didominasi dengan umpatan dari Agnita, Sankara tidak pernah sekalipun berhenti memasakan sarapan untuknya. Lalu kenapa sekarang pria itu malah bersikap seperti ini? Seolah ia sedang terang-terangan melangsungkan perang dingin kepadanya. Kalau pun mau perang dingin, yang harusnya memulai adalah Agnita, bukan dirinya. Ayolah bukan Sankara yang menjadi korban kemarin, jadi pria itu tidak punya alasan untuk marah.

Agnita menendang pelan kursi yang berada di sana, sengaja untuk menimbulkan suara agar menyita perhatian Sankara. Namun nampaknya pria itu sama sekali tidak tertarik dengan keberadaan Agnita. Bahkan ketika perempuan itu menimbulkan keributan yang lebih parah, lantaran berusaha mencari-cari bahan makanan di dalam kulkas, Sankara sedikit pun tidak menoleh.

"Apaan sih, ini? Kulkas anak konglomerat kok ga ada isinya? Ga ada makanan sama sekali, kayak sampah!" umpat Agnita saking jengkelnya. Dengan sembarangan, perempuan itu mengacak-acak isi kulkas yang selalu ditata rapi oleh Sankara. "Sumpah, gue tinggal sama kambing apa gimana sih? Isinya daun-daunan semua," gerutu Agnita sebal. Wanita itu masih berusaha mengobrak-abrik isi kulkas, sampai akhirnya ia menemukan beberapa butir telur dan sosis. Setidaknya hal tersebut tidak akan sulit untuk diolah.

Dengan bermodal nekat dan sok tahu, akhirnya Agnita mengambil wajan yang terdekat dari jangkauannya. Seumur hidup bahkan wanita itu tidak pernah menuangkan minyak ke atas wajan, namun akibat rasa dongkolnya dan rasa ingin membuktikan bahwa ia juga bisa membuat sarapan, Agnita memberanikan diri untuk menghidupkan kompor, setelah mengisi wajan tersebut dengan minyak yang hampir setengahnya.

"It's not that hard," gumam wanita itu pelan. Kemudian ia menunggu sejenak, membiarkan minyak tersebut sedikit panas, lalu tanpa pikir panjang langsung mencemplungkan sepotong sosis yang baru saja ia keluarkan dari kulkas dalam kondisi yang masih beku. Minyak yang tadinya tenang pun mulai sedikit meletup-letup, membuat Agnita seketika langsung melangkah mundur, "Shit! Bisa kalem dikit ga sih?" Agnita malah berdialog sendiri.

"Oke, Agnita, you can do it!" Kembali Agnita berkata untuk menyemangati dirinya sendiri. Didekatinya wajan berisi minyak yang sudah lebih tenang itu, lalu langsung ia pecahkan sebutir telur di atas sana. "Fuck! Panas sialan!" umpat Agnita kala tangannya terkena cipratan minyak berkat aksi asal-asalannya itu. "Anjing ini kenapa gamau diem? Brengsek, Sankara bantuin!" Saking paniknya, tanpa sadar Agnita justru malah menyebut nama pria itu. 

Sedangkan yang dipanggil sama sekali tidak terlihat ingin memberi pertolongan. Pria itu masih sibuk dengan laptop miliknya.

"Woi! Sini dulu! Ini masakan gue gosong! Kalau dapur lo konslet terus meledak gimana? Gue gamau mati konyol di rumah lo!" omel Agnita. "Lo tuh—" 

Perkataan Agnita tiba-tiba terhenti akibat wanita itu tanpa sengaja menyenggol gelas kaca di dekatnya, sehingga menyebabkan bunyi nyaring diikuti dengan ringisannya. "Aww ... " Agnita mengaduh saat salah satu pecahan kaca itu berhasil menancap di kaki kanannya.

Sankara berdecak. Pria itu akhirnya mau tak mau bangkit dari duduknya.

Hal tersebut pun membuat Agnita tanpa sadar tersenyum. Entah kenapa ada rasa bangga ketika melihat Sankara yang marah, masih saja tidak bisa menolak untuk membantunya. Ditatapnya pria yang langsung mematikan kompor tersebut dengan penuh kemenangan. Bahkan tanpa tahu diri tangan Agnita terulur ketika tatapan keduanya bertemu. "Gendong!" 

Sankara bergeming selama beberapa saat.

"Tolongin ..." Kali ini nada suara Agnita sedikit melembut, dilengkapi dengan raut wajahnya yang dibuat memelas. Tentu semua ini atas dasar kepura-puraannya.

Sankara pun tahu akan hal itu. Namun entah kenapa pria itu selalu terjebak tiap kali Agnita merengek kepadanya, bahkan saat ini pun demikian, padahal jelas Sankara masih begitu marah akibat kejadian kemarin. Lihat saja mimik wajah pria itu, begitu mencekam seolah jika Agnita salah sedikit ia sudah siap untuk menikam.

Pria itu melangkah, kemudian tanpa mau berbasa-basi ia mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya menuju sofa. Tentu Sankara tidak kesulitan untuk mengangkat Agnita, bahkan tubuh itu terlampau enteng baginya, jadi jika mau Sankara tentu bisa saja mencelakai wanita itu dengan mudah. Mungkin hal itu mustahil terjadi di masa lalu, karena Sankara masih memegang tiap janji yang ia keluarkan, namun tidak ada yang tahu di masa mendatang aksi apa yang bisa dilakukan oleh Agnita untuk kembali memacu gilanya Sankara.

Sankara langsung pergi begitu ia menurunkan Agnita di atas sofa. Namun beberapa saat kemudian, ia kembali dengan kotak P3K di tangannya. Tidak, Sankara tidak memiliki keinginan untuk mengobati wanita itu. Dia hanya meninggalkan kotak tersebut di atas meja, lalu berbalik pergi.

Akan tetapi Agnita malah menahan tangannya. "Eh, mau kemana lo?" tanya wanita itu tak terima.

Sankara tak menjawab, pria itu masih saja membisu.

"Seriusan lo mau ninggalin gue dalam kondisi kayak gini? Minimal kalau lo ada rasa kemanusiaan, lo obatin dulu lah!" Masih saja, Agnita berlaku sengak, membuat Sankara akhirnya menarik tangannya dengan kasar.

"Eh, eh, jangan ngambek ih!" Agnita kembali menarik tangan Sankara. "Iya, iya, gue salah ngomong tadi, tapi ini bantuin dulu!" pintanya. Kali ini Agnita merubah nada bicaranya, bahkan selanjutnya ada nada manja yang wanita itu selipkan. "Look, kacanya nancep di sana, gue ngga berani ngobatinnya. Lo tau sendiri gue risih banget liat luka kayak gini."

"Sankara ..." rengeknya. Entah sejak kapan Agnita jadi mulai suka menyebut nama itu.

Sankara cukup lama menatap wajah wanita itu. Agnita memang benar-benar rumit. Tingkahnya tak pernah berhenti membuat Sankara hilang akal. Disaat suasana benar-benar buruk kemarin, bahkan disaat Sankara telah meminta, Agnita sama sekali tidak mau memohon, jangankan memohon, menurunkan nada bicaranya saja wanita itu enggan. Namun lihatlah apa yang wanita itu lakukan sekarang, tak hanya memohon, ia bahkan merengek sembari menggoyang-goyangkan tangan Sankara agar diobati.

Sankara menghela napas, sebelum akhirnya duduk di sebelah wanita itu.

"Yes!" Tanpa sadar seruan itu keluar dari bibirnya, yang langsung ia katupkan akibat tatapan Sankara yang cukup mengerikan, "Sori, keceplosan," ucap Agnita sambil menyengir.

Sankara tampak tak berminat meladeni tingkah tengil Agnita. Pria itu lebih memilih untuk mengambil beberapa kapas di dalam kotak P3K di sana. Tentu tanpa perlu diminta, Agnita langsung menaruh satu kakinya di atas pangkuan Sankara. Seolah wanita itu benar-benar yakin bahwa Sankara tak akan menyakitinya.  Ya untuk yang satu itu sejauh ini memang benar, lantaran Sankara memang sering kali alih profesi menjadi dokter dadakan, akibat Agnita yang entah darimana sering sekali mendapatkan luka. Entah karena pemakaian heels, tergores di lokasi syuting, bahkan sampai terkena air panas saat hendak membuat kopi. Wanitanya itu memang sangat ceroboh.

"Tahan sebentar." Akhirnya suara pria itu terdengar, disaat ia hendak menarik serpihan kaca yang tertancap di telapak kaki Agnita. Sankara tahu betul setakut apa Agnita pada rasa sakit, lihat saja perempuan itu tanpa sadar sudah meremas lengannya dengan kuat.

"Pelan-pelan," cicit Agnita.

Dengan begitu hati-hati, pria itu menyingkirkan serpihan kaca tersebut, berusaha untuk tidak menambah rasa sakit, walaupun tetap saja akhirnya Agnita mengeluh sakit.

"Gue bisa aja ngga nuntut lo atas insiden kemarin." Di tengah fokus Sankara pada lukanya, Agnita akhirnya kembali bersuara. "Asal lo mau minta maaf secara tulus dan tanda tangan gugatan gue," ucap wanita itu.

Tentu hal tersebut tidak mendapatkan respon dari Sankara.

"Oke, gue emang salah kemarin, tapi apa yang lo lakuin itu ngga bisa dibenarkan. Walaupun kita udah nikah, tetep aja gue masih punya kuasa atas tubuh gue sepenuhnya. Lo ga bisa seenaknya main paksa gitu aja, apa yang lo lakuin itu pemerkosaan, dan ada hukum pidananya," ujar Agnita bersikukuh.

"Gue bisa aja laporin lo, tapi karena selama ini kita hidup saling berdampingan, makanya gue berbaik hati mengajukan negosiasi."

"Gue ga minta ganti rugi atas tindakan lo itu. Asal lo mau tanda tangan, gue beneran ga bakalan ngungkit itu lagi."

"Atau kalau lo ga percaya, gue bisa ngasi pernyataan tertulis untuk itu."

Hening, tak ada balasan dari lawan bicaranya.

"Lo tuh dengerin gue ga sih?" Agnita jadi gregetan sendiri.

Bukannya menjawab, Sankara justru malah menyingkirkan kaki wanita itu darinya, setelah selesai membalut luka tersebut dengan kain kasa. Ia kemudian membereskan peralatan tadi dan menaruhnya semula ke dalam kotak P3K, sebelum akhirnya bangkit.

"Sumpah ya, lo tuh, nyebelin banget!" gerutu Agnita kesal. Walaupun masih terasa sakit, ia memaksakan dirinya untuk bangkit dan berjalan. Mau bagaimana lagi, hari ini dia harus pergi apapun yang terjadi. Kerjaannya sudah benar-benar menumpuk.

"Gue serius sama penawaran gue," ujarnya lagi. "Jadi daripada orang pemerintahan kayak lo berurusan sama aparat kepolisian, mending nurut deh sama gue." Agnita menuju rak sepatu di dekat sana, mengambil salah satu heels miliknya.

Baru saja ia hendak memakai, Sankara yang sejak tadi tidak memberikan respon, kini malah mengarahkan tatapan tajam kepadanya.

"Iya, iya, ngga yang ini," ujar Agnita seolah paham arti dari tatapan tersebut. Wanita itu kemudian mengganti heels yang hendak ia kenakan itu dengan flat shoes miliknya. 

Sebelum benar-benar berangkat, Agnita sempat-sempatnya mencuri sebungkus roti milik Sankara dari meja makan. "Thanks rotinya!" seru perempuan itu, lalu cepat-cepat beringsut pergi.

Sankara tak menggubris. Pria itu masih melangkah menuju kamarnya, seolah pencurian Agnita tak membuatnya jengkel. Lagi pula dia juga tak begitu suka dengan roti keju seperti itu.

Lantas kenapa Sankara membelinya? Entahlah, mungkin hanya sekedar iseng atau salah pilih?

 

[nonamerahmudaa]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sebelum Berpisah | Part 11
120
2
Sebelum Berpisah | Part 11Akibat frustasi dengan situasinya, Agnita akhirnya memutuskan untuk pergi minum-minum di bar. Di sana dia tanpa sengaja bertemu dengan Baskara, dan berakhir diajak mabuk. Sankara yang mengetahui itu pun langsung menjemput Agnita. Namun semuanya menjadi makin di luar batas, karena Agnita yang terpengaruh oleh alkohol meminta sesuatu yang tak semestinya kepada Sankara.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan