Broken Down bab 19 - 21

11
2
Terkunci
Deskripsi

File ini berisi Broken Down bab 19 - 21

19. Amarah

20. Sayang?

21. Obrolan

Selamat membaca ♡

2,707 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
50
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Kategori
Broken Down
Selanjutnya Moichido (Tamat)
22
7
Moza pernah melakukan kesalahan fatal, hingga Jojo tak sudi lagi melihat wajahnya. Keluarga besar yang selalu memanjakannya, berbalik menyalahkan dan menghakimi. Tak ada pilihan terbaik selain membentangkan jarak dan mengasingkan diri. Delapan tahun kemudian, Ibu memintanya pulang. Momo dilema. Seberapa banyak tahun yang ia lalui, rasanya tak pernah mampu melunturkan lukanya. Akankah semuanya baik-baik saja? Entahlah.Luke bilang, ia hanya perlu melangkah. Semua orang sudah bahagia. Momo juga pantas mendapatkannya. Benarkah? Tapi bagaimana saat seseorang penyebab obsesi di masa lalu kembali berdiri tegak di hadapannya? Akankah Luke mampu menjadi tiang penyangganya?Momo tak yakin.Gunakan kode voucher: Happy1212 untuk mendapatkan diskon Rp. 6000 (berlaku sampai 15 Desember saja)*** Bab 1Malam ini Ibu kembali menghubungiku, seperti kebiasaannya hampir tiap hari. Meski seminggu ke belakang, kami hanya saling mengirim chat tanpa panggilan suara maupun video. Katanya, di rumah sedang sibuk acara pernikahan Tia, sepupuku dari pihak Ayah. Ah, aku jadi menyesal karena lagi-lagi tidak bisa hadir di acara besar keluargaku. Walaupun aku juga tidak yakin, mereka akan mengharapkan kehadiranku.Kupikir telepon Ibu malam ini hanya untuk menanyakan kabar, atau bercerita apapun sampai kami aku tertidur dengan sambungan belum terputus. Nyatanya, ini akan sangat panjang. Aku juga tidak tahu kenapa tiba-tiba Ibu membahas ini, setelah sekian tahun.Pulang ya, Mo. Hm? Ibu kembali memohon, setelah beberapa menit aku tidak menanggapi kalimatnya tadi.Bu, Momo lagi meniti karir di sini. Hanya itu alasan yang bisa kuutarakan, meski tidak terlalu tepat karena bahkan kelulusanku sudah dua tahun lalu.Dua tahun cukup untuk kamu belajar karir di sana, Sayang. Ibu berucap lirih. Aku menghela napas sambil memandangi lampu-lampu jalanan yang menghiasi kota yang menjadi latar film Kimi no Na wa ini. Memang salah, kalau Ibu mau berkumpul sama anak perempuannya?Bu. Aku menelan ludah. Kan Ibu sama Ayah bisa ke sini, semisal kangen Momo.Ibu dan Ayah sudah tua, Sayang. Agak kesulitan kalau sering bolak-balik lintas negara.Aku terdiam. Baru menyadari betapa egoisnya aku selama ini. Mungkin Ibu dan Ayah mengabulkan keinginanku untuk kuliah dan bekerja di negara ini, juga mengasingkan diri dari semua orang selama delapan tahun. Tapi harusnya aku tahu, dalam diamnya mereka, ada ketidakrelaan di sana. Keberadaan Bang Naufal dan anak istrinya di rumah pun, mungkin juga belum cukup bagi mereka.Aku menghela napas, sekali lagi. Momo pikirin lagi ya, Bu.Jangan cuma dipikir, tapi diusahakan.Iya, Ibu. Memang, apa yang bisa kukatakan? Ayah belum pulang, Bu? Kok nggak ada suaranya?Udah, tapi sekarang lagi di rumah Pakdhe Harun.Mendengar nama itu, aku seketika terringat sosok yang berusaha kukaburkan dari ingatan. Sosok yang membuatku menjadi seorang asusila di masa lalu. Seorang Momo remaja yang begitu naif dan meyakini bahwa segala cara bisa dilakukan untuk mendapatkan orang yang dicintai. Tak peduli itu jalan salah yang bisa berbalik menyakiti semua orang.Kamu sudah makan? Pertanyaan Ibu membuyarkan isi pikiranku yang melanglang buana.Belum.Kok belum? Jangan terlambat makan, Sayang. Atau karena Ibu telepon, makannya makan malam kamu tertunda?Enggak, Ibu. Aku terkekeh. Luke mau datang, makanya Momo minta dia sekalian beliin ramen. Bentar lagi dia pasti-Suara bel menginterupsi kalimatku. Aku meninggalkan balkon apartemen dan berjalan menuju pintu. Melalui interkom, aku bisa melihat Lucas tengah berdiri sambil melambaikan tangan di kamera. Segera, aku membukakan pintu.Luke sudah datang, Bu.Lucas yang baru masuk dan melepas sepatu, mendongak. Matanya tertuju ke arah ponsel yang kutempelkan di telinga. Dia lalu menatapku sambil bertanya dengan bahasa Indonesia yang kaku. Apakah itu Ibu?Aku mengangguk. Segera mengulurkan benda di tanganku padanya, dan beralih mengambil ramen instan yang dia bawa. Aku berlalu ke dapur, meninggalkannya yang sudah terlibat obrolan seru dengan Ibu. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk menyeduh dan mengolah ramen hingga siap disantap. Saat kembali ke ruang tamu, Lucas baru saja berpamitan dengan Ibu. Kutaruh satu mangkuk penuh kepulan menggoda perut, di depannya.Ibu bilang apa? tanyaku sambil meniupi mangkuk bagianku agar panas dalam kuahnya sedikit berkurang.Tidak banyak. Dia menatapku intens. Hanya mengatakan jika dia ingin agar kamu pulang.Aku menelan mi dalam mulutku dulu sebelum menjawab, Aku bilang, mau pikirin lagi.Jangan hanya dipikirkan, Moza. Aku juga setuju jika kamu kembali tinggal bersama keluargamu.Aku mendongak. Kamu tahu alasannya, Lucas.Lucas kemudian diam dan memilih menyantap makanannya. Artinya, dia tidak ingin bicara dulu. Aku pun ikut memakan ramenku dengan pelan. Kami makan dalam diam, sampai mangkuk benar-benar tandas, baru pria di depanku ini mengembalikan tatapan padaku.Dear. Dia menaruh sumpit, lalu mengusap lengan atasku. Aku memiliki berita penting, untukmu.Berita apa? Ekspresi Lucas benar-benar serius. Artinya, berita itu memang sangat penting.Aku dipindahkan ke Jakarta.Aku seketika mematung. Cuma sebentar, sebelum akhirnya aku tertawa. Jangan bercanda, Luke. Aku nggak percaya.Aku sedang tidak bercanda, Moza.Tawaku lenyap. Mataku memanas. Kamu bohong, kan? Please, kamu bohong!Lucas mendekat dan menarikku ke dalam dekapannya. Tangannya mengusap-usap punggungku. Manajer hotel yang memberitahuku tadi siang. Cabang Amor di Jakarta membutuhkan EHC, segera. Dan mau tidak mau, aku harus menerima.Ya udah, aku di sini aja.Aku tidak mungkin meninggalkanmu tanpa penjagaan. Oke, teman-temanmu banyak di sini. Tapi tidak ada yang benar-benar bisa kupercayai. Ayah dan Ibu pun, hanya mempercayaiku saja. Kami tidak akan mengambil resiko besar membiarkan kamu sendiri di negara ini.Tapi Luke, aku nggak siap.Sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah siap jika belum mencobanya. Kepalaku diusapnya lagi. Ada aku. Ada Ibu dan Ayah. Ada Naufal. Kami semua akan selalu berada di sisimu.Aku menggeleng. Tapi ... gimana kalau aku ketemu dia? Gimana kalau aku nggak mampu? Lucas, please.Percaya aku, dear. Lucas melepas pelukan, lalu membingkai wajahku dengan kedua telapak besarnya. Senyumnya terbit tipis. Dia sudah dengan hidupnya sekarang. Semua orang juga sudah bahagia dengan hidupnya sendiri. Sekarang, giliranmu untuk menjalaninya. Kamu, pantas hidup bahagia. Sudah saatnya kamu keluar dari masa lalu yang selama ini mengikatmu. Hadapi, Sayang.Aku menggigit bibir. Bayangan masa lalu berputar-putar seperti tayangan drama di kepalaku. Seperti baru kemarin semua itu terjadi. Rasanya menyesakkan. Selama apapun waktu yang kugunakan untuk lari, seperti tidak akan pernah cukup. Aku harus bagaimana?***Bab 2Lucas pergi ke Jakarta sebulan sebelum aku. Itu karena aku harus menyelesaikan pekerjaan di sini sebelum benar-benar resign. Sore ini, Sheila menjemputku di bandara. Dia langsung menyambut dengan pelukan panjang dan akting menangis tersedu yang membuat orang-orang memusatkan perhatian ke arah kami. Aku segera mendorongnya menjauh sebelum dianggap tidak normal.Lebay banget sih kamu!Kan kangen, Mo. Dia cemberut.Hampir seminggu tiga kali kita video call. Nggak usah berlebihan.Kan nggak ketemu langsung. Sheila mencebikkan bibir. Kamu nggak ngebolehin aku tiap Paklik dan Bulik ke sana. Jahat.Aku tertawa, merangkul bahu adik sepupuku ini sambil mengajaknya keluar dari bandara. Dia memang manja dan gampang tersentuh. Jadi ya maklumi kalau dia agak berlebihan dalam menyambutku. Walau begitu, dia satu-satunya sepupu yang memercayai di titik terendah. Makanya aku sangat sayang dia.Ke rumah Eyang ya, Mo. Sheila berkata begitu, setelah mobilnya meninggalkan bandara.Aku menoleh bingung. Lho?Sheila tersenyum. Satu tangannya yang tidak memegang kemudi, meremas tanganku di pangkuan. Semua orang mau nyambut kamu.Mataku terbelalak. Seketika, telapak tanganku berkeringat dingin. Bayangan-bayangan tatapan penuh penghakiman kembali berputar-putar di kepalaku. Seperti, semua orang memaki-maki sambil mengelilingi tubuhku yang terperosot di lantai setelah mendapat tamparan dari laki-laki pertama yang kucintai di dunia ini. Dan mendadak, napasku sesak.Mo.Aku menutup muka dengan kedua tangan. Sosok mungil yang bersimbah darah itu seperti nyata jika aku membuka mata. Tidak. Tolong, pergi.Momo, astaga!Aku merasakan mobil berhenti. Lalu secepat mungkin, tubuhku sudah berada di rengkuhan Sheila. Dia mengusap-usap kepalaku, ketika aku hanya bisa menggeleng. Tolong, aku butuh kekuatan.Mo, tenang. Aku mengerjap saat Sheila menangkup pipiku. Dipaksanya aku untuk membalas tatapannya. Bibirnya bergetar. Dan aku juga. Tenang, Mo, tenang. Mereka sangat sayang kamu. Mereka ... nggak akan nyakitin kamu lagi. Mereka mau nyambut kepulangan kamu.Tapi ... tapi-Itu hanya ketakutan kamu, Momo. Sheila memotong dengan nada lembut. Mereka sayang kamu. Aku sayang kamu. Kami nggak akan menghakimi kamu lagi. Itu cuma masa lalu, oke?Shei....Ada Luke. Dia menatapku tegas. Nanti Luke datang. Aku janji.B-bener?Sheila mengangguk yakin. Jadi jangan takut. Oke, Sayang?Maka di sinilah aku sekarang. Di depan rumah dengan arsitektur adat Jawa yang kental. Rumah berbahan baku kayu yang terlihat asri, meski ini sudah malam. Seketika, aku teringat masa kecil membahagiakan di sini. Kami para saudara sepupu saling berlarian, bermain di bawah langit yang dihiasi bintang. Sayang, semua tak lagi sama. Kenangan menyenangkan itu berubah jadi bayangan buruk.Ayo, Mo. Sheila menggenggam tanganku erat.Shei, aku pulang ke rumah Ayah aja ya.Paman sama Bibi di sini, Mo. Sheila tersenyum lembut. Nggak akan ada yang terjadi. Ayo.Mengembuskan napas berat, aku mengangguk pelan. Kubiarkan kakiku melangkah bersama Sheila, memasuki pintu depan rumah almarhum Kakek yang terbuka lebar. Rasa gugup kembali menyerangku. Bercampur dengan takut dan cemas. Andai ada Lucas, mungkin aku bisa sedikit lebih tenang. Setidaknya, pria itu tahu bagaimana cara mengendalikan ketakutanku.Sheila membawaku ke halaman belakang. Tempat terluas di rumah ini, yang sering dijadikan kami saling berkumpul. Dan di sanalah, aku bisa melihat semua orang sedang berbincang. Pakdhe Harun dan Budhe Indri-orang tua Sheila. Ayah dan Ibu. Bang Naufal, Mbak Rana dan si kecil Keira. Bulik Rani dan Reni-dua adik perempuan Ayah yang kembar-beserta suami dan anak-anak mereka. Semuanya lengkap. Duduk di tikar yang dihamparkan di atas rerumputan.Permisi. Sheila membuka suara, dan aku menegang sesaat.Mereka menoleh serentak. Bisa kurasakan genggaman Sheila mengerat, pertanda dia sedang menyalurkan kekuatan padaku. Yang kulihat dari mataku, mereka bangkit dam berseru memanggil namaku. Lalu yang pertama menggapaiku ke dalam pelukan adalah Bulik Rani.Ya Allah ini Momo? Moza Aurelia?Aku tersenyum kaku. I-iya, Bulik.Dia mengecupi keningku lama sekali. Momo kesayangan Bulik. Kamu ke mana aja, Sayang? Kenapa baru pulang? Bulik kangen sekali sama kamu.Air mataku menetes tanpa bisa dicegah. Momo juga kangen.Kemudian, pelukan itu berpindah ke Bulik Reni, Tia, Lika, Pakdhe Harun dan ... Budhe Indri. Ibu Sheila itu memelukku erat sekali sambil terisak-isak. Sesekali, tangannya mencubiti lenganku.Dasar anak nakal! Budhe Indri mengelus-elus pundakku. Pergi ke mana kamu selama ini? Kenapa kamu bikin semua orang khawatir? Menghilang bertahun-tahun, beginikah caramu menghukum kami? Anak bandel!Aku tak bisa menghentikan tangis dan terus menggumamkan maaf. Kemudian barulah aku memeluk Ibu, Ayah, dan Bang Naufal. Semua ketakutanku hilang tak berbekas. Kupikir, mereka masih akan menghakimi dan menyalahkanku atas apa yang terjadi. Nyatanya, keluarga memang satu-satunya tempat kembali. Lucas benar.Woah, siapa ini yang datang? Keju mozarella?Aku terkesiap. Saat berbalik, kutemukan sesosok pria berkulit putih nyaris pucat dengan jeans dan jaket belel bersedekap tangan. Matanya berkilat. Sebuah seringai jahil terulas di bibirnya.Hei, my partner in crime!Dito! Aku langsung masuk ke dalam rentangan tangannya.Kakak Sheila ini tergelak membalas pelukanku. Hanya singkat, karena setelahnya dia lepas tubuhku dan menghunuskan tatapan marah.Dasar cewek jahat! Dia acak-acak rambutku secara brutal. Kalau mau kabur itu ngomong aku, dong! Kan aku bisa ngintil.Sembarangan! Budhe langsung memukuli bahu anak laki-lakinya itu.Aku terkekeh. Emangnya aku masih bocah SMA yang kemana-mana harus diintilin kamu?Dito tergelak. Iya juga ya. Lalu matanya memindai penampilanku dari atas ke bawah. Bibirnya bersiul. Kamu tumbuh dengan baik. Ma, aku rela deh dijodohin. Tapi sama si keju, ya.Mama yang nggak rela. Momo cantik begini kok mau dikasih ke anak susah diatur macam kamu!Dito hanya tertawa mendengar omelan ibunya. Tangannya merangkul bahuku, bersikap santai seperti yang dia lakukan saat kami masih remaja.Kangen banget sama kamu. Aku mendongak mendengar bisikannya. Lalu raut wajahnya berubah sendu. Maaf, dulu aku nggak ada saat kamu butuh.Udah berlalu, jawabku sambil tersenyum tipis. Ya, seandainya dulu Dito ada bersamaku, mungkin aku tidak akan melakukan kejahatan itu.Jo, baru pulang?Aku tersentak, karena ucapan Lika. Mereka menoleh ke satu obyek di belakang tubuhku. Sedangkan aku masih mematung. Nama itu. Kenapa aku tidak mempertimbangkannya tadi? Kenapa aku bisa lupa bahwa dia bisa juga ada di sini?Iya.Kedua tanganku spontan terkepal kuat. Napasku mulai sesak. Kenapa kepalaku pusing? Oh, apa karena jetlag? Mungkin saja, kan?Pergi. Aku nggak sudi lihat muka kamu lagi.Kuurut pelipis setelah menggelengkan kepala. Tidak. Kalimatnya itu tidak boleh memengaruhiku lagi. Aku tidak mampu lagi untuk lari. Seperti kata Lucas, aku harus menghadapinya.Mo.Aku tersentak. Membuka pejaman mata, aku menemukan sosoknya sudah menjulang di hadapanku. Matanya tertuju padaku. Tatapannya terasa asing, sangat berbeda dari delapan tahun lalu atau tahun-tahun yang kulalui di masa remaja. Tak ada ekspresi berarti di wajah-tapi kemudian dia tersenyum miring. Sejujurnya, aku tak tahu arti senyumnya itu.Selamat datang.Menatap tangannya yang terulur, aku mengernyit. Selamat datang, katanya? Samakah orang ini dengan dulu? Atau ... dia benar-benar orang asing?Mo!Bisikan serta senggolan Dito di bahu, membuat mataku mengerjap. Semua orang sedang menatap kami, aku tahu itu. Hal yang membuat perasaanku makin campur aduk. Dengan ragu, aku membalas uluran tangannya. Menjabatnya sedikit takut.Te-terima kasih, ucapku, berusaha untuk tidak terdengar ketakutan.Tapi aku rasa gagal. Karena secara refleks kutarik cepat-cepat tanganku dan mengusapkan telapak di tepi kardigan. Itu berkeringat. Aku tidak ingin dia tahu ketakutanku. Apalagi, kini matanya menajam. Jadi karena tak kuat, aku menoleh ke arah lain. Bertepatan dengan seseorang yang datang dari ruang dalam bersama Bang Naufal.Luke. Tanpa sadar, aku sudah berjalan mendekat menyambutnya dengan senyum.Hello, dear. Lucas tersenyum lembut. Bagaimana perjalanannya? Lelah?Banget.Lucas terkekeh. Lalu pandangannya beralih ke belakangku, pada orang-orang yang ternyata sudah menatap penuh tanda tanya.Selamat malam. Perkenalkan, saya Lucas.Wah. Lika menatap kami berdua penuh seringai menggoda. Siapa ini? Kamu pacar Momo, ya?Tidak ada jawaban apapun dari mulut Lucas. Dia hanya menatapku, penuh kasih sayang.*** Bab 3Tiga hari ini, aku hanya menghabiskan waktu di rumah. Bersama Ibu, Mbak Rana dan Keira, keponakanku. Menebus waktu yang kubuang sia-sia selama satu windu lamanya. Hingga agak sulit mengakrabkan diri dengan putri tunggal Bang Naufal itu, karena sejak lahir, dia memang belum pernah bertemu denganku. Sayang, Bang Naufal dan Ayah harus kerja dari pagi sampai sore sehingga kami mengobrol banyak hanya saat malam saja.Dasar sepupu nggak ada akhlak.Mendengar celetukan pria di sebelahku, aku tertawa kecil. Kutonjok lengan atasnya main-main. Masalahnya, aku nggak mau dituduh pengaruhin kamu buat ikut kabur juga. Kayak Shei tuh, yang dari dulu dikira otak polosnya keracunan aku.Layaknya Dito di masa remaja, dia terbahak mendengar alasanku. Matanya menatap Sheila yang sedang bermain dengan Keira di rerumputan. Tapi emang bener kan, kamu suka ngajak Shei ngelabrakin cewek-cewek di sekolah sama kampus.Aku menatapnya sengit. Tapi tidak bisa mengelak, karena itu benar. Jadi aku hanya diam, berusaha menepis semua kenangan masa lalu yang sudah kubuang jauh-jauh.Kok diem? Dito mengernyitkan kening, menoleh padaku. Jangan-jangan kamu tersinggung?Nggaklah. Aku mengibaskan tangan, sambil tertawa.Siang ini, Dito datang ke rumah bersama Sheila. Kakak beradik beda setahun itu memang sering ke sini, kata Ibu. Tentu saja Sheila mampu mengobati di saat-saat di mana Ibu merondukanku, tapi belum bisa terbang lintas negara. Memang, hanya Ayah, Ibu, Bang Naufal dan Mbak Rana saja yang selama ini tahu di mana aku tinggal. Aku sengaja meminta mereka merahasiakannya dari semua orang, termasuk tidak memberikan akses komunikasi pada keluarga yang lain. Kecuali Sheila, karena dia sangat cengeng. Itulah kenapa tadi Dito begitu protes karena katanya aku pilih kasih.Kamu berubah.Nada suara Dito berubah serius. Aku tersenyum kecil mendengarnya. Rasanya, lebih dari ribuan kali aku mendengar dua kata itu dari Bang Naufal maupun Sheila.Semakin bertambahnya umur, perubahan itu pasti ada, Dit.Aku nggak berubah tuh. Dito menaik-turunkan kedua alis, dan aku hanya menggeleng pelan. Dia tertawa lirih. Padahal aku nunggu ejekan kamu.Senyumku terbit lagi. Dulu, aku memang jago dalam mengejeknya. Selain karena kami sangat dekat dan akrab sejak kecil, itu juga karena menurutku dia pantas diejek. Gayanya yang urakan dan suka melanggar peraturan sekolah kemudian berakhir mendapat hukuman dari Pakdhe, selalu jadi bahan olokan untukku. Tapi untuk sekarang, rasanya malas saja.Oh ya, yang kemarin itu pacar kamu beneran?Siapa? Lucas?Dito mengangguk. Dia tersenyum aneh. Pacar kamu, kan?Pernah sih.Pernah? Dia melotot. Berarti sekarang mantan?Iya.Mana ada mantan masih deket, kelihatan kayak sayang gitu? Mantanku aja semuanya kalau ketemu aku, macam liat kuman.Serius, mantan. Cuma beberapa bulan sih, karena setelah itu kita berdua ngerasa nggak cocok. Apalagi, ternyata Luke saudara aku. Ya udah-Ha?! Dito makin melotot.Apa?Tadi kamu bilang apa? Saudara? Ngelindur atau gimana sih ini cewek!Aku tertawa kecil. Ingat nggak sih, dulu Ibu pernah cerita kalau sku dititipin selama sebulan di rumah sahabatnya yang bayinya baru aja meninggal? Waktu itu aku kan baru umur setahun.Iya ingat. Terus?Nah, Lucas itu ternyata anaknya sahabat Ibu. Kata Ibu, dulu Lucas umur empat tahun pas aku di rumahnya.Dito memutar bola mata. Hanya karena itu, bukan berarti kalian saudara, dong.Bukan itu, emang. Tapi karena selama sebulan itu, aku disusui sama ibunya Lucas. Jadi kan aku sama dia saudara sepersusuan.Wah. Dito berdecak takjub. Miris banget, ya. Kalian patah hati, dong. Ka-si-han.Nggak, tuh. Aku mengedikkan bahu.Dulu, aku dan Lucas memutuskan menjalin hubungan karena rasa nyaman saja. Suatu hari Ayah dan Ibu datang, bertepatan dengan kedatangan orang tua Lucas. Dua sahabat yang bertahun-tahun tidak bertemu lagi itu saling melepas rindu, dan kami jadi tahu bahwa ternyata aku dan Lucas adalah saudara sepersusuan. Kemudian kami putus. Setelah beberapa bulan, ternyata kami sadar, lebih nyaman hanya sebagai sahabat atau saudara saja.Kamu sendiri, mana calonnya? balasku, setelah beberapa menit kami diam.Belum ada yang cocok. Santailah, baru dua sembilan ini. Kamu tuh yang kapan? Shei aja beberapa bulan lagi nikah lho.Baru dua delapan, ini. Aku terkekeh saat Dito mendengus karena aku mengikuti jawabannya tadi.Dua delapan buat cewek itu udah rentan, tahu. Yang remaja udah nikah aja banyak.Mending telat tapi tepat, daripada buru-buru cuma buat kepuasan orang lain.Iya deh iya, Momo yang sudah dewasa. Dito mengacak-acak rambutku. Tiba-tiba ekspresinya berubah serius. Dia menunduk dalam-dalam sebelum kembali menatapku intens. Kenapa ... nggak coba sama Jojo aja? Dia juga masih sendiri, tuh.Mendengar pertanyaannya, aku spontan berdiri. Aku terkejut karena reaksiku, Dito pun sama. Telapak tanganku mulai berkeringat.Maksud kamu apa? tanyaku, datar.Nggak ada. Dito bangkit, meraih pergelangan tanganku. Maaf.Jangan pernah membahas tentang hal yang sama lagi soal dia, Dit. Kulepas pegangannya, meski kulihat dia menyesal. Hanya dengan mikirin itu aja, aku merasa jadi kriminal. Lagi.Kemudian aku berbalik dan berderap melangkah menuju pintu penghubung halaman dan bagian dalam rumah. Tak kuhiraukan panggilan panik Dito. Telapak tanganku mulai banyak memroduksi keringat. Aku butuh Lucas. Secepatnya. Sebelum-Mo.Aku mematung. Dia berdiri di ambang pintu, menatapku heran dan ... asing. Nama yang diungkit Dito tadi.Moza?Aku mengerjap. Tenggorokanku kering. Rasa ingin menangis kembali menyeruak. Dito benar-benar keterlaluan.Permisi.Aku melewatinya, melalui celah yang disisakan tubuh tegapnya. Kubawa kakiku menaiki anak tangga dan mengunci diri di dalam kamar. Lucas sedang bekerja. Aku harus bisa menenangkan diri sendiri.***  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan