Eighteen's Bed - My Breaking Point (16.5)

4
0
Deskripsi

BAB 16.5

Go Yohan memang pembohong sejati.

Tanpa sadar, aku menatapnya yang tertidur dengan santai di tempat tidurku. Apa dia hanya pura-pura tidur? Namun, aku segera mengusir keraguanku. Tidak mungkin dia hanya berpura-pura. Tidur Go Yohan terlalu sunyi, nyaris seperti mayat.

Dia tidur tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, seperti binatang liar yang sedang bersembunyi.

Kebohongan terakhir yang diucapkannya? Tentang dia selalu tidur di kamar tamu. Kapan tempat tidurku berubah menjadi kamar tamu? Barusan saja aku turun ke kamar mandi di lantai satu karena tidak mau memakai shower yang dia gunakan, dan saat aku kembali, aku menemukan pemandangan ini.

Aku terkekeh pelan melihat cara tidurnya yang sedikit bergeser ke kiri.

Apakah dia melakukannya dengan sengaja, atau hanya kebetulan?

“Kebetulan atau tidak, tetap saja ini perangkap yang tak bisa mengikatku.”

Tidak perlu sengaja menempuh jalan yang sulit. Aku membawa ponsel dan keluar dari kamar—berniat tidur di kamar tamu.

Namun sayangnya, aku justru melewati malam dengan mata terbuka. Seperti setelah meminum kopi, kedua mataku tetap terjaga, tak menunjukkan tanda-tanda kantuk. Saat terjebak dalam suasana dini hari, manusia cenderung melakukan hal-hal bodoh.

Aku menatap langit-langit gelap dan melontarkan doa sia-sia.

Tolong buat hidupku berjalan dengan baik. Aku sudah cukup menderita, bukan? Apa sebenarnya yang harus kupelajari dari semua cobaan ini? Sial, jangan bilang kalau jawabannya adalah mencintai sesama. Tolong, setidaknya buat jawaban yang masuk akal.

Tuhan selalu membantuku setengah-setengah. Begitu aku menyadari bahwa pada akhirnya akulah yang harus menyelesaikan semuanya, keputusasaan pun kembali menyelimuti. Hidup ini seperti roda gigi, terus berputar dalam pola yang sama. Aku bisa berjanji tak akan terjebak dalam situasi ini lagi, namun nyatanya aku tetap jatuh dalam kesalahan yang sama.

Kenapa angka yang mengandung "1" begitu sulit dikendalikan? Peringkat 1 sekolah, peringkat 12, bahkan masa remajaku di usia belasan—semuanya terasa begitu berat. Satu-satunya hal yang bisa kukendalikan dengan mudah hanyalah angka tanpa "1" di dalamnya.

Pagi ini, aku membuka mata pada pukul 5. Atau lebih tepatnya, aku tidak pernah benar-benar tidur.

Sebelum Go Yohan terbangun, aku sudah lebih dulu mengenakan seragam yang telah kupersiapkan sebelumnya dan keluar dari rumah. Saat itu, waktu menunjukkan pukul enam pagi. Aku berjalan menyusuri jalanan yang masih sepi, lalu tiba-tiba saja, aku naik ke dalam bus pertama yang kulihat. Mungkin aku hanya ingin melarikan diri dari realitas hidupku yang semakin memburuk. Nilai akademikku hancur, lingkaran sosialku pun berantakan.

Sekilas, aku bahkan berpikir betapa mudahnya jika aku bisa menghilang begitu saja. Entah ke mana tujuan bus ini, yang jelas, aku bisa pulang kapan saja dengan naik taksi. Satu-satunya hal yang masih kumiliki hanyalah uang.

Tentu saja, uang selalu memberiku kesempatan kedua. Tapi saat itu, aku belum memahami betapa alam memiliki jalannya sendiri.

Alasan aku kembali menggunakan surat izin pulang lebih awal dari wali kelasku tak lain adalah karena Go Yohan. Aku tak ingin terlihat terlalu dekat dengannya di depan orang lain. Aku tidak ingin terseret dalam kesalahpahaman yang sama. Itu hanya akan menjadi jurang yang tak berujung.

Pada akhirnya, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah mengirim pesan pada Go Yohan untuk menjelaskan semuanya.

「Aku harus pergi dulu karena ada urusan di rumah sakit. Minta tolong pada bibi untuk menyiapkan sarapanmu.」

Huek, lihat saja aku berpura-pura akrab seperti ini. Jijik sekali. Sekarang aku mengerti kenapa anak-anak tidak menyukaiku. Aku menjulurkan lidah sedikit dan berpura-pura muntah. Memang menjijikkan.

Setelah itu, aku terus melihat pemandangan di luar jendela sambil bus melaju. Sekitar pukul tujuh, saat kupikir Go Yohan sudah bangun, akhirnya dia mengirim balasan.

「Bagaiama rasanya makan pagi di depan bibi yang tidak kau kenal?」

Benar. Aku tidak peduli. Aku bahkan tidak membaca pesannya dan langsung mematikan ponsel.

Yang mengejutkan, tempat di mana aku akhirnya tidak tahan dan turun dari bus adalah tepat di depan gerbang utama Universitas Korea. "Pemberhentian berikutnya adalah gerbang utama Universitas Korea." Begitu mendengar pengumuman singkat itu, aku merinding dan langsung berdiri. Sial, apa ini semacam lelucon? Kenapa aku bisa sampai di sini? Aku terlalu kesal hingga tanpa berpikir panjang, aku langsung turun.

Tentu saja, saat melihat jalanan yang sepi, aku segera menyesalinya. Aku benar-benar tidak punya pilihan lain selain mencari taksi.

「Maaf. Bisa tolong bilang ke wali kelas kalau aku akan terlambat?」

Pada akhirnya, aku mengirim pesan ke Shin Jaehyun. Seperti kata Go Yohan, aku mencoba melakukan internet dan bersosial. Meskipun itu hanya hubungan yang egois, aku tetap harus mencobanya.

“Tapi seperti biasa, tidak ada balasan.”

Aku memang sudah menduga tidak akan ada balasan. Menyadari bahwa Shin Jaehyun adalah tipe orang yang selalu memperhatikan pandangan orang lain justru membuatku merasa lebih tenang. Ya, pada akhirnya, dia juga hanya seorang anak SMA. Tidak peduli seberapa istimewa seseorang terlihat, kalau kau menggali lebih dalam, mereka semua sama saja. Itu menjadi semacam penghiburan bagiku.

“Memang wajar kalau dia tidak mau terlalu dekat dengan orang sepertiku. Ya, sudahlah.”

Setelah kembali ke dekat sekolah dengan taksi, aku menghabiskan waktu di kafe selama beberapa saat, cukup lama agar tidak menimbulkan kecurigaan. Segala sesuatunya terus berulang seperti biasanya. Sama seperti hari itu.

Atap datar yang menutupi pintu masuk sekolah, jendela di dekatnya. Dari jendela itu, jika melompat sedikit, aku bisa sampai di atas atap. Dan seperti biasa, di sana aku bertemu Kim Minho, yang tengah memanjat dinding bata cokelat yang kasar untuk naik ke atas.

“Oh? Sialan!”

Begitu melihatku, Kim Minho langsung mengumpat. Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaannya.

“Sialan, Kang Jun! Kamu bolos lagi, ya? Gila, dasar berandalan!”

“Bukan bolos, aku baru saja dari rumah sakit.”

“Jangan bohong, dasar brengsek. Emangnya rumah sakit tempat yang bisa dikunjungi seperti warnet? Gila.”

Telapak tangannya yang tebal terangkat mengancamku. Tapi aku sama sekali tidak berkedip. Kim Minho memang sering bercanda kasar seperti ini dengan orang-orang di sekitarnya.

Justru aku malah merasa agak bingung. Biasanya, dia hanya bercanda seperti ini dengan orang yang benar-benar dekat dengannya.

Dengan kata lain, aku sedang kebingungan dengan sikap Kim Minho yang tiba-tiba bertingkah seolah kami akrab.

Kenapa tiba-tiba dia bersikap seperti ini padaku?

"Kau masih simpan surat izin pulang dari wali kelas, kan? Pasti kau pakai itu buat keluyuran. Ah, sialan. Harusnya aku mengadu. Biasanya anak yang gila belajar sepertimu tiba-tiba bisa jadi sinting. Orang dewasa tuh gampang banget percaya sama bocah sepertimu, makanya tidak curiga sama sekali. Tapi coba perhatiin, khhhek! cuih! Sialan, dahaknya banyak sekali."

Ugh. Aku mengernyit jijik melihat cairan kuning yang menempel di tanah. Menjijikkan. Aku memandang wajah Kim Minho dengan perasaan mual yang sama. Ah, menjijikkan juga.

"Lagipula, nilai semester ini tidak masuk dalam perhitungan rapor, jadi percuma saja mengadu."

"Lihatkan! Berarti kau sudah tidak peduli lagi! Eh, tunggu. Semester dua ini emang tidak masuk rapor?"

"Iya. Di sekolah kita, memang begitu."

"Ah, serius? Sialan! Aku baru saja mood buat belajar."

Seolah-olah. Orang yang selama ini selalu di peringkat bawah, mau berusaha segimanapun, hasilnya tetap sama.

"Lanjutkan saja usahamu. Kalau nilai ujian masuk bagus, masih ada harapan."

"Naaah, teerusiiin ajaa usaahaaamuu. Kaalauu niilaaii ujiaan maasuk baguus, masiiih adaa haraapaaann~"

"......Aku naik ke kelas sebelum bel berbunyi."

Bibir bawahnya maju ke depan, menirukan cara bicaraku dengan menjijikkan. Memikirkan bahwa dulu aku pernah bersaing dengan orang seperti ini demi duduk di sebelah Go Yohan membuatku merasa sangat hina. Aku otomatis mengecap lidahku, merasa jijik pada masa laluku sendiri. Tak ingin melihatnya lebih lama, aku membalikkan badan, bersiap naik ke tangga.

"Hei, sebentar, sebentar. Sini dulu."

Kalau aku mengabaikannya sekarang, aku pasti akan digosip habis-habisan di belakang nanti. Aku tahu betul cara kerja hierarki sialan dalam kehidupan sekolah ini, jadi mengabaikannya bukan pilihan.

Aku hanya memutar badan sedikit dan menatapnya, bertanya lewat tatapan mata. Kenapa?

Kim Min-ho berdiri dengan satu kaki menumpu, menggoyangkan pergelangan tangannya, lalu menendang-nendang lantai seakan sedang ragu. Akhirnya, ia mengulurkan tangannya dan—dengan kasar—mencengkeram seragamku, menarikku mendekat. Lalu, meskipun tahu tak ada orang di sekitar, ia tetap menurunkan suaranya dan bertanya,

"Mereka menggosip tentangku di belakang, kan?"

"Siapa yang kau maksud?"

"Siapa lagi, sialan. kau pasti langsung tahu siapa yang aku maksud. Orang yang jika mendengar namanya saja sudah langsung ketahuan. Tidak perlu mikir lama, langsung muncul di otakmu, kan?"

Aku bisa merasakan cengkeraman Kim Minho semakin kuat, meremas seragamku. Kain yang terjepit di antara jari-jarinya mulai terasa mengganggu, namun sebelum aku bisa bereaksi, ia bertanya lagi.

“Mereka menggosip tentangku di belakang, kan? Kau dengar sendiri, kan? Benar, kan?”

"Menggosip tentangmu…? "

Tiba-tiba, aku dihadapkan dengan pilihan yang sama sekali tidak kuinginkan. Apa yang harus kukatakan di sini? Jika aku mengonfirmasi bahwa mereka memang membicarakan Minho, dia bisa saja langsung mendatangi mereka dan bilang kalau aku si tukang gosip yang membocorkannya. Tapi kalau aku menyangkalnya, Minho jelas tidak akan percaya. Cara dia bertanya seakan jawabannya sudah ditentukan sejak awal.

Aku berpikir keras, mencari jawaban terbaik. Dari semua kemungkinan yang muncul di kepalaku, yang paling masuk akal adalah ini:

"Aku tidak yakin ... Tapi aku mendengar sekilas. Sepertinya mereka tidak membicarakanmu begitu parah."

Melemparkan tanggung jawab ke pihak yang tidak jelas. Seseorang yang bahkan tidak dia ketahui.

“Jadi, kau tidak dengar langsung dari mereka?”

"Ya."

"Jadi, sebenarnya mereka bilang apa? Ceritakan lebih detail."

"Entahlah... Aku juga tidak tahu pasti. Hanya saja suasana obrolan mereka terasa agak aneh."

"Sial, siapa yang mengatakannya? Di mana kau mendengar itu, hah?"

"Aku hanya kebetulan mendengar di dekat kantin. Aku tidak tahu pasti siapa yang mengatakannya."

"Brengsek, kau ini tahu apa, hah? Setiap ditanya, jawabannya selalu tidak tahu? Apa kau benar-benar tidak ingat apa pun?"

"Lalu aku harus mendengar dari mana? Sialan."

Aku mulai kesal. Betapa menyebalkannya dia, terus-menerus menanyai hal yang sama. Jika dibiarkan, dia pasti akan semakin menempel seperti lintah. Pada akhirnya, aku harus mengeluarkan kartu yang paling tidak ingin aku gunakan.

"Siapa juga yang akan bercerita padaku? Saat itu, tidak ada satu pun yang mau mengajakku bicara, dasar brengsek."

Jika diartikan secara halus, ini berarti: Kau sudah membuatku seperti ini, jadi jangan berharap mendapatkan apa pun dariku, brengsek. Aku sengaja memilih kata-kata yang kasar. Kelihatannya seperti perlawanan, tapi sebenarnya, ini hanyalah bentuk penyerahan diri. Pada akhirnya, aku mengakui bahwa aku memang dikucilkan.

Sepertinya Kim Minho tidak menyangka aku akan merendahkan diriku sendiri untuk membalasnya seperti ini. Dia hanya bisa menggumamkan suara-suara aneh seperti, "Uh, ah, eh, tsk," sambil bergumam pelan. Tapi yang lebih lucu adalah kata-kata yang keluar dari mulutnya setelah itu.

"Ah, ya! Sial, aku juga punya alasan, tahu! Dasar bajingan, kau bikin aku jadi canggung begini. Aku pikir saat itu kau memang melakukan kesalahan! Ya ampun, kau ini gila atau apa? Kenapa kau harus bertengkar dengan Go Yohan? Kalau kau tidak bertengkar, semua ini tidak akan terjadi, kan? Padahal sebelumnya kalian bertingkah seperti sahabat sejati yang menjijikkan."

Seharusnya aku bisa menjawabnya dengan enteng, "Ah, ya, begitulah." Tapi entah kenapa, mulutku tidak mau bergerak sesuai dengan pikiranku. Di lubuk hatiku yang terdalam, amarah karena ketidakadilan sudah lama menumpuk.

"Kau sendiri, kira-kira tidak akan kesal kalau diperlakukan seperti itu?"

"Oh, Kang Jun sedang marah, ya?"

"Marah...? Ha, pokoknya ada beberapa hal yang terjadi."

"Yah, memang si Go Yohan itu menyebalkan sih."

Aku sedang berusaha menutupi emosiku agar tidak semakin terbuka, tapi tiba-tiba saja Kim Minho setuju dengan perkataanku. Dia kemudian meletakkan lengannya yang besar di bahuku dan menyeretku ke sudut tangga . Karena tubuhnya lebih besar, aku tidak bisa menolak dan akhirnya ikut terseret.

Saat itulah aku mendengar sesuatu yang sama sekali tidak pernah kuduga akan keluar dari mulut Kim Minho.

"Aku sebenarnya tahu, bagaimana kau akhirnya berdamai dengan si bajingan itu."

"…Apa maksudmu? Kau bicara soal Go Yohan? Kau tahu alasan aku dan dia berdamai?"

"Lalu, siapa lagi bajingan itu kalau bukan si Go?"

"Bagaimana kau bisa tahu alasan aku dan dia berdamai?"

"Damai apanya? Sebenarnya kalian bahkan tidak benar-benar berdamai, kan? Suasananya masih tegang. Saat Go Yohan berteriak di depan pintu masuk dan membuat kekacauan, kabar itu langsung menyebar ke seluruh sekolah. Kang Jun, kau tidak bisa terus seperti ini. Kalau begini terus, kau akan habis di tangan Go Yohan. Kau juga tahu, kan, bagaimana dia memperlakukan orang-orang yang tidak disukainya? Lihat saja Han Junwoo, si bajingan itu. Anak gay itu bahkan tidak bisa datang ke sekolah lagi. Semua karena dia takut pada Go Yohan."

Han Junwoo sebenarnya tidak datang ke sekolah bukan karena takut pada Go Yohan, tapi karena dia terlalu tergila-gila pada pria. Tapi hanya aku dan Han Taesan yang tahu kebenaran itu.

"…Sepertinya kau terlalu melebih-lebihkan."

"Melebih-lebihkan? Kang Jun, kau ini ternyata lebih polos dari yang aku kira. Aku pikir kau itu bajingan menyebalkan, tapi ternyata aku salah menilaimu. Gila. Dasar bodoh. Aku sampai kasihan padamu, tahu apa? Berapa kali harus kukatakan, kabar tentangmu sudah menyebar ke seluruh sekolah? Lengan dan kakimu yang babak belur itu … Itu semua karena Go Yohan, kan?"

"Apa…?"

Saat aku semakin mengerutkan dahi, Kim Minho yang salah paham dengan reaksiku malah semakin bersemangat membuka mulutnya.

"Benar, kan? kan, kan, kan! Sialan, aku sudah tahu dari awal! Hei, anak-anak lain juga bilang begitu. Mereka semua berkata kalau Kang Jun sudah kena batunya, bahwa Go Yohan yang menghajarnya sampai babak belur. Bukannya dia itu memang orang gila? Kau juga tahu, kan? Go Yohan si fanatik. Gila, sinting, bajingan. Tapi lihatlah aku, betapa baiknya aku ini. Karena aku cukup dekat denganmu, aku juga tahu sedikit tentangmu. Aku bilang ke mereka kalau kau ini terlalu baik, jadi kau tidak akan langsung menuduh Go Yohan dan malah memilih diam serta menahan semuanya. Kau pasti sedang menyusun rencana besar, kan? Berbeda dengan si pengecut Han dan yang lainnya, karena kau ini sudah punya posisi sendiri. Kau beda dari Han Taesan, kan? Nah, aku pun berkata begitu! Lalu, aku langsung menghentikan semua rumor buruk tentangmu. Aku benar-benar hebat, kan?"

"Apa…?"

Dan dengan begitu, rasa penasaranku terjawab dalam sekejap. Ini sungguh mengejutkan. Kim Minho. Orang yang membelaku ternyata adalah Kim Minho.

"Kau yang melakukannya…?"

"Ya, tentu saja!"

Perasaan apa ini sebenarnya? Seperti tumbal peringkat ke-12 milikku, benih-benih ‘kebaikan’ yang pernah kutabur kini kembali dengan liar dan tak terduga. Seandainya aku di masa lalu sedikit lebih bijak, apakah aku bisa menebak ini semua? Tidak, sama sekali tidak. Aku takkan pernah menyangka bahwa Shin Jaehyun—yang bahkan aku tak tahu keberadaannya—dan Kim Minho—orang yang paling kubenci—akan menjadi perisaiku.

"Aku tetap berterima kasih karena kau mengatakan hal itu. Tapi ini bukan ulah Go Yohan. Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa bisa muncul rumor seperti itu."

"Kenapa bisa ada rumor begitu?"

Kim Minho tak bisa menahan tawanya. Ia terkekeh pelan, lalu tiba-tiba menampar pantatku dengan keras.

"Mana mungkin tidak ada?"

"Heh, kau ini…."

Belum sempat aku mengeluarkan sumpah serapah, Kim Minho malah mengusap telapak tangannya di pahanya seolah merasa jijik. Lalu, setelah melirik sekeliling untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan, ia kembali mendekatkan wajahnya padaku.

"Lee Seokhyun, Kim Seokmin, dan si Park Dongcheol itu tahu tidak seberapa sering mereka membicarakan orang di belakang? Bisa-bisa gigi mereka terkikis habis karena terlalu banyak menggosip. Mereka yang menyebarkan semua rumor itu ke mana-mana. Makanya aku langsung sadar kalau mereka pasti juga membicarakan aku. Sialan, mereka memang terkenal punya mulut yang ringan."

"……."

"Kau tahu apa yang mereka katakan? Mereka bilang Go Yohan sering memperhatikanmu dengan cara yang aneh. Sialan! Uwek!"

"Apa? Hei, itu omong kosong! Mana mungkin…!"

"Hei, hei, dengarkan dulu. Tapi masalahnya, ini bukan omong kosong. Ada benarnya juga! Dengar dulu, dengarkan dulu! Sialan, dengarkan dulu! Aku juga sempat merasa ada yang aneh, kau tahu? Ini kejadian waktu kita kelas satu. Kau ingat saat di kantin? Saat itu si bajingan itu menunjukmu dan bertanya siapa kau. Aku waktu itu mengira dia bertanya tentang Han Junwoo, jadi aku bilang itu Han Junwoo. Tapi gara-gara itu, Go Yohan malah menatapku dengan tajam dan membuatku sangat malu. Sialan, itu benar-benar memalukan…. Tapi tahu tidak, setelah itu dia bilang apa?"

"…Tunggu, tunggu sebentar."

"Mau maki-maki, kan? Bajingan itu bilang aku melakukan sesuatu yang memalukan! Tapi dia sama sekali tidak mau bilang apa yang aku lakukan. Tapi saat itu, siapa lagi yang berdiri di sebelah Han Junwoo selain kau? Sudah jelas dia sedang membicarakanmu. Sialan, dulu aku kira itu hanya bercanda, tapi setelah melihat situasi sekarang, ternyata bukan."

Ingatan tentang foto diriku di ponsel Go Yohan tiba-tiba muncul di benakku, sejalan dengan ucapan Kim Minho. Dua foto. Foto-foto yang diambil saat aku masih kelas satu. Kenangan itu menahanku untuk berbicara.

"Hei, merinding tidak? Sepertinya sudah saatnya kau mulai berhati-hati. Tapi, tidak apa-apa. Sekarang kita punya cara."

"Cara? Maksudmu apa?"

"Aku berencana melakukan sesuatu terhadap si bajingan itu. Jangan tanya terlalu banyak, ya? Dia meremehkanku terlalu lama."

Sial, Shin Jaehyun benar. Kim Minho menyeringai saat melihat aku kehilangan kata-kata.

"Aku benci Seokhyun, Seokmin, dan si pecundang Park Dongcheol. Mereka semua tidak tahu takut dan sok berkuasa. Dan lihat saja mereka, menjilat habis-habisan pantat Go Yohan itu. Uwek! Sial, menjijikkan. Tapi menurutku, kau berbeda. Kau punya keberanian."

Mata badai mulai terbuka.

Sepanjang masa sekolah, aku selalu takut akan kehancuran yang mungkin menimpaku. Satu-satunya keputusasaan yang bisa menghancurkan masa depanku yang cerah adalah seleraku sendiri. Aku selalu berhati-hati, terus-menerus waspada. Namun, ternyata ketakutanku hanyalah kekhawatiran yang berlebihan.

Orang ini, yang dengan seenaknya melindungiku, bahkan membela luka-luka yang bukan diberikan oleh Go Yohan. "Park Dongcheol itu bajingan." Hanya satu kalimat itu. Sulit dipercaya, tapi karena satu tindakan kecil yang pernah kulakukan, aku ternyata sudah dilindungi tanpa kusadari.

"……."

Dulu aku pernah mendengar bahwa udara panas selalu naik ke atas. Panas yang mencekik ini perlahan naik, mendaki piramida hingga berubah menjadi badai yang semakin besar.

"Kau kan punya banyak uang. Dengan kondisi keluargamu, kau tidak akan kalah dari Go Yohan, kan?"

Namun, tiba-tiba Kim Minho menyelipkan kalimat itu, membuatku kesal. Uang? Niatnya terlalu jelas.

"Kau tinggal di lingkungan yang sama dengan Go Yohan, bukan? Di sana kan tempatnya orang-orang kaya."

"Jangan bilang kalau maksudmu aku harus menutup masalah yang kau buat dengan uangku?"

"Apa sih yang kau bicarakan? Sial, bikin orang jadi kesal saja. Maksudku bukan begitu! Bukan kau yang harus menanggung semuanya, tapi kita bermain di tim yang sama! Aku punya kekuatan, kau punya uang. Otakmu, koneksiku. Ayo kita gabungkan. Dengarkan baik-baik, aku sudah memikirkan rencana yang sangat bagus."

Lengan Kim Minho semakin erat menekan leherku. Aku hampir terbatuk, seakan-akan napasku akan terlepas kapan saja. Waktu yang sangat buruk—baik bagiku maupun bagi Kim Minho.

Di tengah kesunyian sekolah, bel berbunyi keras, menandakan akhir dari jam pelajaran.

"Ah, sial. Kenapa momennya selalu payah begini? Hei, nanti kita lanjutkan."

"…Nanti kapan?"

"Oh, lihat siapa yang bertanya. Ternyata kau tertarik juga, ya? Benar kan? Kau juga penasaran, bukan?"

"Bukan begitu…! Aku hanya ingin mendengarkan dulu."

"Gila? Hanya ingin mendengar? Tidak bisa. Kalau kau hanya mendengar dan menyebarkan rencanaku, bagaimana denganku? Hmm, hmm, itu tidak boleh terjadi."

"……."

"Jangan jadi pengecut dan pura-pura tidak tertarik. Kalau memang mau, jawab dengan tegas, dasar brengsek."

Sialan. Bahkan umpatan yang terus-menerus keluar dari mulutnya pun membuatku kesal. Aku mendorong Kim Minho dengan sekuat tenaga menggunakan lenganku, menunjukkan bahwa aku tidak akan kalah begitu saja.

"Hei, kalau mau bicara, bicaralah dengan masuk akal. Bukankah tadi sebelum bel berbunyi kau memang mau mengatakan sesuatu padaku? Dan kalau aku harus memutuskan untuk ikut atau tidak, setidaknya aku harus tahu dulu apa isi pembicaraannya. Bagaimana aku bisa memutuskan sesuatu tanpa tahu apa yang sedang dibahas?"

"Sial, dasar brengsek. Kau membuatku tidak bisa berkata-kata."

Pipi Kim Minho yang terlihat cemberut tampak menggembung ke bawah. Alisnya yang tebal perlahan berkerut ke tengah, menunjukkan ekspresi tidak puas.

Saat itu juga, suara gaduh dari koridor dan tangga semakin memenuhi sekolah, membuat seluruh gedung bergetar seakan dipenuhi hiruk-pikuk siswa. Aku dan Kim Minho langsung menyadari bahwa pembicaraan kami tak bisa dilanjutkan lebih jauh untuk saat ini.

Tatapan kami bertemu dalam keheningan—sebuah kesepakatan tak terucap yang langsung dipahami.

"Baiklah, sekarang memang tidak ada waktu. Kita lanjutkan nanti setelah pelajaran selesai."

"Sialan, jangan lama-lama! Begitu selesai makan, langsung keluar!"

"Makan siang berdua saja setelah ini akan terlihat sangat mencurigakan."

"Kalau tidak ketahuan, tidak masalah, brengsek."

"Dengan begitu banyak mata mengawasi, kalau kau bisa bertemu denganku tanpa ketahuan, silakan coba."

"Dasar bajingan, aku benar-benar..."

Kim Minho mengangkat tangannya seolah ingin memukulku, tapi aku tidak menghindar. Aku tahu dia tidak akan benar-benar melakukannya. Dia membutuhkanku sekarang, dan kalau aku terlihat takut serta menghindar, itu tidak akan menguntungkanku sama sekali. Aku harus menunjukkan bahwa aku tidak kalah darinya.

Sesuai dugaanku, Kim Minho menurunkan tangannya dengan canggung setelah melihatku tetap diam tanpa berkutik.

"Kalau begitu, setelah pelajaran selesai, hubungi aku segera, mengerti? Kalau kau kabur, kau akan jadi orang tolol seumur hidup."

"Ya, ya, sekarang cepat pergi."

"Ya! Aku mengerti!"

Ckakh, pheh! Kim Minho meludah ke lantai tanpa alasan, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku dan berjalan menuruni tangga.

Aku sempat berpikir, apakah dia benar-benar tidak mengikuti pelajaran? Tapi aku sendiri juga sering bolos, jadi aku tidak punya hak untuk menghakiminya.

Karena aku mengenal Kim Minho di tahun kedua ini, aku bisa menebak ke mana dia pergi. Mungkin sekarang ada ulangan matematika kecil, dan jumlah jawaban yang salah akan dihukum dengan menulis ulang soal. Seperti biasa, Kim Minho pasti berpura-pura sakit perut dan kabur ke ruang kesehatan. Bagaimanapun juga, pelajaran matematika tidak punya kewajiban untuk peduli pada siswa seperti dia yang bahkan tidak mencoba mengerjakan soal.

Memang begitulah sekolah ini.

Sebaliknya, aku justru mendapat terlalu banyak perhatian. Wali kelasku adalah contoh yang paling nyata.

Begitu aku menaiki tangga dan melangkah ke koridor, mataku langsung bertemu dengan tatapan wali kelas yang sedang mengamati kelas 1 dari jendela. Dia berdiri sambil memegang daftar hadir, lalu menyambutku dengan senyum yang tampak agak canggung. Tatapannya segera beralih ke tasku.

“Oh? Joon, kau terlambat lagi?”

“……Halo, Bu.”

“Kau pergi ke rumah sakit lagi hari ini? Apa kata dokter? Masih belum sembuh?”

Aku bahkan tidak pergi ke rumah sakit, tapi apa boleh buat. Aku tak tahu harus berkata apa, jadi hanya bisa tersenyum kikuk dan mengalihkan pembicaraan.

“Maaf, aku sering bolos kelas akhir-akhir ini.”

“Tak perlu minta maaf. Kesehatan adalah yang paling penting. Lagipula, sekarang nilai ujian masuk universitas-lah yang paling menentukan… Ah, tidak. Kau kan bisa mengandalkan jalur seleksi prestasi. Nilaimu selalu bagus, jam kerja sosialmu tinggi, dan kau juga aktif di berbagai kegiatan di dalam maupun luar sekolah. Kau tidak perlu khawatir.”

Inilah yang kumaksud dengan perhatian berlebihan. Aku hanya menyapanya, tapi entah bagaimana pembicaraan malah beralih ke prestasi akademikku. Tampaknya wali kelasku lebih terkejut dibandingkan aku sendiri.

“Mungkin aku sudah terlalu malas akhir-akhir ini.”

“Malas apanya?!”

Wali kelasku berseru dengan nada sedikit terkejut. Kaget dengan suaranya sendiri, dia buru-buru melirik sekeliling. Beberapa murid yang berada di koridor sempat menoleh ke arah kami, tetapi perhatian mereka segera teralihkan kembali. Mungkin karena wali kelasku segera menepuk pundakku sambil berkata, “Jangan menyalahkan dirimu sendiri seperti itu.”

Situasinya jelas bisa dimengerti dalam sekali lihat—bahkan bagiku sendiri, ini terasa seperti adegan yang membosankan.

“Setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa sulit,” lanjutnya.

Jadi, aku memang benar-benar sedang mengalami masa sulit, ya? Entah kenapa, kata-katanya malah terasa seperti konfirmasi yang tak disengaja.

“Sekarang mungkin rasanya seperti kesalahan besar, tapi setelah setahun berlalu, kau akan menyadari bahwa banyak hal ternyata bukan masalah besar.”

“Bahkan kalau aku gagal masuk universitas?” tanyaku, setengah mengejek.

“Tentu saja. Universitas bukanlah segalanya dalam hidup.”

Aku sama sekali tidak bisa mempercayai atau memahami ucapannya. Tidak tahu harus menjawab apa, aku hanya diam saja. Wali kelasku tersenyum tipis dan menepuk lenganku pelan.

“Saat ini mungkin kau belum bisa memahami. Aku juga begitu ketika masih di SMA. Tapi nanti kau akan mengerti. Atau mungkin, karena kau anak yang pintar, kau akan menyadarinya lebih cepat dari yang lain.”

“Ah, ya…,” sahutku asal.

“Hmm, kalau begitu…” Dia tampak ragu sejenak sebelum melanjutkan, “Bisakah kau ikut aku ke ruang guru sebentar?”

“Hah?”

“Bukan apa-apa, hanya saja aku ingin meminta bantuanmu sebentar. Aku sudah membeli makan siang sebelumnya, jadi kalau kau lapar, kau bisa makan di ruang guru denganku. Tapi kalau kau merasa keberatan, kau boleh mengambil makanannya dan kembali ke kelas.”

Tiba-tiba, wali kelasku bertingkah aneh. Yah, sebenarnya, orang dewasa memang sering seperti ini. Mereka tetap tersenyum seperti biasa, tetapi ada sesuatu dalam sikap mereka yang terasa berbeda. Namun, berdasarkan pengalamanku yang sudah terbiasa membaca gelagat orang dewasa, biasanya lebih baik menurut ketika mereka bersikap seperti ini.

"Baik, aku ikut," jawabku akhirnya.

"Benar? Kalau begitu, bawa tasmu juga."

Kenapa aku harus membawa tas? Saat itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Sesampainya di ruang guru, wali kelasku mengambil beberapa bungkus roti yang sepertinya didapat dari suatu tempat. Kemudian, dengan ramah, dia menarik kursi di depan laptopnya ke belakang dan memberi isyarat padaku.

"Duduklah di sini."

"Ah, baik."

Begitu aku duduk dengan sedikit canggung, sebuah tampilan yang cukup familier muncul di layar laptop.

[Kelas 3.1 – Kang Jun]

Di bawahnya, terdapat sepuluh nama. Namun, satu nama tidak ada dalam daftar—Go Yohan.

Wali kelasku menggerakkan mouse dan mengklik dua kali pada namaku. Seketika, judul asli dari file tersebut muncul di layar.

[Catatan Kehidupan Siswa]

Wali kelasku tersenyum agak canggung sambil memutar layar laptop ke arahku.

"Ini, lihat saja di sini, dan kalau ada yang ingin kamu tambahkan atau ubah, tuliskan saja. Nanti ibu yang akan memperbaikinya."

"Hah? Tapi, Bu, ini..."

"Ah! Jangan khawatir. Bukan hanya kelas kita yang melakukan ini. Beberapa siswa dari kelas unggulan di kelas 3 juga melakukannya."

"…Oh."

"Ini perintah dari wakil kepala sekolah dan kepala sekolah, jadi tidak perlu khawatir."

Aku ragu-ragu, tetapi akhirnya meletakkan tanganku di atas keyboard. Kursor yang berkedip-kedip tampak jelas di depan mataku.

Wali kelasku mulai berbicara lebih panjang dari biasanya, dan suaranya terdengar anehnya pelan di dalam ruang guru yang sunyi karena tidak ada orang lain.

"Hari ini, cukup periksa saja dulu. Kalau ada yang mau kamu ubah, kamu bisa datang lagi besok untuk memperbaikinya."

"Hah?"

"Kalau sulit, lusa juga tidak apa-apa."

Aku ingin bertanya, Apakah ini benar-benar tidak apa-apa? Namun, aku tahu jawaban yang akan kudengar pasti hanya, Tentu saja tidak masalah. Jadi, aku memilih untuk diam. Saat itulah aku mulai menyadari sedikit tentang kekuatan dari menara yang telah susah payah kubangun. Mengejutkan sekali, aku mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku seperti ini. Dunia memang sepicik dan sekotor ini.

Setelah jam istirahat siang berakhir dan jam pelajaran kelima—yang hanya diisi dengan waktu belajar mandiri—selesai, aku kembali ke kelas. Go Yohan tidak ada di sana, tetapi Shin Jaehyun ada. Sepertinya Go Yohan sedang ke toilet.

Ini saat yang tepat.

Aku membasahi bibirku yang mulai kering dengan lidah, lalu dengan sedikit ragu, aku berjalan menuju Shin Jaehyun. Karena datang terlambat, aku merasa perlu menjelaskan alasan kenapa aku baru saja keluar dari ruang guru. Tentu saja, aku berbohong. Aku merasa gelisah seolah-olah kakiku sendiri yang berduri.

"Nilaiku turun."

"Hah? Ah, jadi tadi ke ruang guru karena itu?"

"Yeah, hmm... aku semacam konsultasi. Anak-anak lain juga ada yang bolak-balik, kan?"

Sambil berkata begitu, aku diam-diam mengamati ekspresi Shin Jaehyun.

"Berapa orang ya? Aku kurang tahu pasti, tapi tadi pagi ada dua orang dari kelas kita yang pergi ke ruang guru dan kembali dengan buku latihan. Kalau melihat siapa saja yang mendapatkannya—anak-anak dengan nilai bagus—sepertinya itu semacam keistimewaan bagi murid kesayangan guru."

Secara alami, semua mata di kelas langsung tertuju pada tanganku. Lebih tepatnya, pada buku latihan yang sedang kugenggam. Aku sendiri pun tak bisa mengalihkan pandangan darinya. Itu adalah buku yang diberikan oleh wali kelas sebelum aku keluar dari ruang guru.

Shin Jaehyun juga menatap buku itu, membuatku merasa tidak nyaman. Aku buru-buru menyembunyikannya dengan telapak tangan, berusaha agar tidak terlalu mencolok.

"Kau juga dapat, ya," katanya.

"Ah, iya."

"Eh? Tunggu sebentar! Baeseok-ah! Kau belum mengembalikan buku pelajaranku!"

Belum sempat aku menanggapi lebih lanjut, Shin Jaehyun sudah beralih fokus. Seperti biasa, dia dengan mudahnya melewatkanku dan memanggil seseorang yang kebetulan lewat. Aku tidak berniat mengejar percakapan ini lebih jauh. Malah, aku merasa lega karena bisa menghindari pertanyaan yang lebih dalam. Aku tidak ingin kesalahanku terbongkar.

Namun, pikiranku masih tertuju ke koridor. Aku khawatir tentang Go Yohan. Aku terus menoleh ke luar, cemas kapan dia akan kembali. Saat itulah, aku hampir bertabrakan dengan Ahn Jisu yang baru saja keluar dari pintu kelas 2. Karena kaget, aku tak sengaja menjatuhkan buku latihan dari tanganku.

"Ah, maaf."

"Tidak apa-apa... Oh, ini."

Ahn Jisu menunduk, mengambil buku latihan yang jatuh, lalu tiba-tiba mengangkat kepalanya untuk menatap mataku. Setelahnya, dia tersenyum bangga.

Pada saat itu, kami merasakan semacam ikatan—meski hanya sesaat dan tidak begitu berarti, tetap saja ada. Setidaknya, itulah yang kurasakan. Dan mungkin Ahn Jisu juga merasakannya. Alasannya sederhana: dia dengan ramah menepuk-nepuk sampul buku dengan telapak tangannya sebelum mengembalikannya padaku.

"Nih, hati-hati. Jangan sampai jatuh lagi," katanya dengan nada santai.

"Oh, terima kasih."

“Baiklah, sampai ketemu lagi nanti.”

 

 

 

Maafkan saya yang pelupa ini yeorobun. 
Ahn Jisoo/Ahn Jisu adalah orang yang sama ya, kalau-kalau sebelumnya aku buat Jisoo dan sekarang Jisu. Harap maklum saja hehe. 

Enjoy guys…

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Eighteen's Bed - My Breaking Point (16.6)
3
1
BAB 16.6
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan