
BAB 13.1
Untung saja lengan kananku cedera. Kalau tidak, mungkin aku akan mengayun dengan gegabah dan akhirnya kalah. Go Yohan sudah banyak membantuku—dialah yang menghajar Han Junwoo hingga terjatuh hanya dengan lutut dan kakinya. Aku menahan diri dari hentakan kaki yang menghantam punggungku dan menghantamkan lututku tepat ke muka Hong Huijun.
Betisku bergesekan dengan tanah. Kain celanaku yang berlumuran tanah robek karena gesekan, dan pinggirannya compang-camping. Namun, pikiranku tak lagi peduli tentang itu.
"Dasar bocah menyedihkan! Lepaskan, dasar bajingan sialan!"
Aku tak bisa mendengar apa pun lagi. Satu-satunya yang tersisa di dalam diriku adalah racun murni. Satu tekad yang tak tergoyahkan—aku tak akan pernah tenggelam di bawah bajingan-bajingan ini. Tekad itu adalah satu-satunya hal yang membuatku terus maju.
Aku membungkukkan tubuhku serendah mungkin untuk melindungi wajahku, tetapi aku tidak dapat menghentikan tendangan yang mendarat di pelipisku, di telingaku. Yang dapat kulakukan hanyalah mengencangkan cengkeramanku di kepala Hong Huijun dan menghancurkan wajahnya dengan lututku.
"Kau—sialan—"
Wajahnya hampir terkubur di tanah. Mulutnya yang terbuka penuh dengan debu. Itulah akibatnya kalau terlalu banyak bicara. Mengabaikan protesnya yang teredam, aku menekan kepalanya lebih keras ke tanah. Kakinya bergerak-gerak, menendang-nendang tanpa henti.
Dan kemudian, tiba-tiba, dunia menjadi miring.
"Cukup! Hentikan! Apa yang kalian lakukan?!"
Seseorang mencengkeram ketiakku dan menarikku ke belakang. Sial. Sudah berakhir? Aku hampir tidak punya waktu untuk mencernanya sebelum aku sekilas melihat wajah seseorang.
Guru olahraga. Dari semua orang yang harus dilihat terakhir, pastilah dia. Sungguh sial bagiku. Lalu, semuanya menjadi gelap. Dan badanku terasa sakit sekali.
Ketika aku membuka mataku lagi, aku tidak ingat apa pun yang terjadi. Pemandangan di depanku bukanlah sekolahku. Sebaliknya, aku menatap langit-langit putih polos.
Perlahan, aku menoleh. Seluruh tubuhku terasa seperti tulang-tulangku telah hancur dan disatukan kembali.
Meja nakas. Infus.
Itu jelas.
Sebuah rumah sakit.
Dan pada saat itu, kesadaran lain menghantamku. Kang Jun, yang berusia sembilan belas tahun, telah resmi mengacaukan hidupnya.
"...Sial."
Ruangan itu sunyi senyap. Itu adalah ruangan pribadi. Mereka tidak akan memberikan ini kepada sembarang orang. Yang berarti orang tuaku sudah dihubungi. Kemungkinan besar, salah satu sekretaris mereka yang menangani semuanya.
Mengerikan.
Akhirnya hal itu terjadi. Mereka mengetahuinya.
5 bulan dan 13 hari.
Begitulah lamanya orang tuaku pergi dari rumah. Pada titik ini, aku terkadang bertanya-tanya apakah aku telah ditinggalkan. Tetapi kemudian, setiap kali panggilan video mereka masuk, aku berpikir—tidak, aku adalah putra kesayangan mereka.
Jujur saja, tidak mungkin aku bisa menyembunyikan gipsku selamanya. Tidak mungkin aku menghabiskan tiga bulan melakukan panggilan video dan hanya memperlihatkan wajahku. Jadi aku telah membuat keputusan yang matang dengan kepala dingin.
Aku mengakui kebenarannya pada orang tuaku.
Kalau aku mengaku duluan, orang tuaku tidak akan punya alasan untuk terus menanyaiku, kan? Kalau dipikir-pikir kembali, itu adalah rencana yang solid.
Jadi, hari saat aku digips, aku berbohong dan bilang aku jatuh dari tangga.
"Aneh sekali... Akhir-akhir ini kau terus terluka. Apa ada sesuatu yang terjadi?"
Tentu saja orang tuaku khawatir. Tetapi karena mereka tidak mempunyai alasan untuk meragukan aku, mereka mempercayai setiap kata yang aku katakan. Di saat-saat seperti ini, aku sungguh bersyukur karena aku selalu menjadi anak yang baik.
"Sekarang aku benar-benar dalam masalah."
Kepercayaan yang telah aku bangun—hancur. Aku meringis menahan rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuhku saat aku membalikkan badan, mencoba mencari jam.
"….."
Dan kemudian, aku melihatnya.
Go Yohan.
Berbaring di sofa, meringkuk dalam tidurnya.
*****
Kenapa bajingan itu ada di sini? Aku membeku di tempat tidur, benar-benar tertegun. Tubuhku berputar, tetapi sekarang aku kaku seperti papan. Kalau aku bercermin sekarang, mataku mungkin terbuka lebar sehingga bagian putihnya terlihat jelas.
Begitu terkejutnya aku.
Di luar, langit berwarna jingga, matahari terbenam menyinari kamar rumah sakit. Tirai bergoyang lembut. Dan di bawah mereka, Go Yohan yang berwajah pucat sedang tertidur, tangannya terselip di antara lututnya.
Tapi serius, kenapa dia tidur di sini?
Secara naluriah, aku meraih ponselku. Aku perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Menggerakkan lenganku membuat setiap sendi di tubuhku terasa seperti akan terlepas. Aku meraba-raba tempat tidur, tetapi tidak ada apa-apa.
Ya, tentu saja.
Aku mengerutkan kening dan menoleh ke arah meja nakas.
"…mungkin saja ada di sana."
Tenggorokanku kering dan serak. Pada saat yang sama, rasa ragu yang kuat muncul dalam diriku. Tubuhku sakit sekali. Namun, aku harus tahu.
Pada akhirnya, rasa ingin tahu menang. Sambil bergumam umpatan, aku mengulurkan tangan.
"Aduh."
Jariku hampir tak menyentuh gagang laci. Aku merenggangkan tubuhku lebih jauh, sambil menerjang udara.
Tuk. Tuk.
Aku memukul laci itu beberapa kali sebelum akhirnya memegangnya.
"Haah…."
Aku mendapatkannya. Aku mengembuskan napas tajam, lega. Dan kemudian, aku mengacaukannya. Sikuku terbentur tiang infus.
Gedebuk!
Tabung infus itu jatuh ke lantai dengan suara keras dan gemerincing. Rasa panik menjalar ke seluruh tubuhku. Aku buru-buru mengulurkan tangan, takut jarum itu akan terlepas dari lenganku. Untungnya, selangnya cukup panjang jadi darahku tidak muncrat ke mana-mana.
"….."
Suara berderak.
Suara bergulir.
Mungkin hanya imajinasiku saja, tetapi jika seseorang berdiri di sampingku, mereka pasti akan mendengar tulang belakangku berderit saat aku perlahan menoleh.
Untungnya, Go Yohan masih tertidur.
Dia belum bangun.
Aku mendesah lega.
"Haah…."
Sambil memegangi tiang infus, aku duduk dengan hati-hati. Seluruh tubuhku mengerang sebagai bentuk protes. Pandanganku kembali tertuju pada Go Yohan.
Dan tepat pada saat itu—Matanya yang panjang dan sipit terbuka. Seakan-akan dia telah menatapku, meski matanya terpejam. Pupil matanya yang kecil terpaku padaku.
"….."
"….."
Keheningan yang lebih dingin dari es memenuhi udara.
"Kau."
Go Yohan setengah memejamkan matanya, lalu menyeringai.
"Kau benar-benar berhasil melakukannya."
Tangannya masih terselip di antara lututnya. Suaranya pelan, tenang. Dia pasti belum sepenuhnya bangun.
“Hidung Hong Huijun patah.”
"….."
"Kau berhasil melakukannya."
Dia terkekeh pelan, tawanya hanya terdengar seperti bisikan. Meregangkan punggungnya, tubuhnya yang melingkar dibentangkan hingga panjang penuh. Kakinya, yang tadinya menjuntai di sofa, terayun malas di tepi sofa. Aku menyipitkan mataku. Cih. Beruntung sekali. Kakinya jenjang.
"Aku-"
Aku mulai berbicara, namun mulutku tertutup. Aku berdeham dengan kasar. Lalu, aku mencoba lagi.
"...Apakah aku menang?"
"Kau tidak kalah."
Jawabannya jelas. Aku mengembuskan napas berat.
"Aku kacau."
"Selamat. Kekacauanmu resmi menjadi sangat indah."
Apakah bajingan ini sedang mempermainkanku sekarang? Aku mengernyitkan alis dan memejamkan mata.
Jujur saja, ya. Kalau tidak, kenapa Go Yohan datang jauh-jauh ke sini? Untuk menekan dan mengabaikanku seperti yang dilakukan Han Junwoo? Atau apakah dia punya motif lain? Biasanya, aku akan menutup mulutku dan menundukkan kepala, tetapi kenyataan bahwa aku tidak kalah dari Hong Huijun telah membuatku sombong. Setengahnya adalah keberanian, dan setengahnya lagi mungkin adalah obat penghilang rasa sakit yang menggangguku. Singkatnya, aku telah mendapatkan keberanian yang tidak berguna.
"Kenapa kau ada di sini?"
Terdengar tawa pelan darinya. Go Yohan mengetuk-ngetuk kulit sofa tamu pelan-pelan dengan ujung jarinya. Entah mengapa, tindakan kecil itu membuatku jengkel.
"Apa kau datang untuk mengejekku? Orang bodoh macam apa yang bahkan tidak bisa berkelahi, beraninya berkelahi, hah?"
"….."
"Apakah kau ke sini untuk menamparku, seperti Han Junwoo?"
Kali ini, Go Yohan tidak berkata apa-apa. Tidak ada tawa juga. Dia perlahan membuka matanya, mengangkat tangannya, dan hanya menatap kuku-kukunya dengan tatapan kosong. Aku tertawa mengejek dan terus melanjutkan.
"Atau kau sudah menamparku saat aku tidur? Pipiku perih, jadi mungkin aku sudah dipukul."
"Mengapa kau berkelahi dengan Hong Huijun?"
"Apa kau bercanda? Kaulah yang mengatur panggungnya, dan sekarang kau bertanya padaku?"
Suaranya terdengar serius, tetapi dia terdiam lagi. Aku mengejeknya terang-terangan. Dia mengangkat pandangannya dari kuku-kukunya dan menatapku sambil bertanya:
"Apakah Hong Huijun mengatakan itu?"
"Dia mengatakan sesuatu, ya."
"Begitukah? Bajingan sialan. Kau menghajarnya habis-habisan."
Tertawa lagi. Dia mengabaikanku, lalu marah, dan sekarang dia tiba-tiba ada di sini, melakukan hal-hal yang tidak bisa kumengerti.
"Serius, kenapa kau datang ke sini?"
Saat aku bertanya, Go Yohan berkedip perlahan dan menegakkan tubuh. Ugh. Dia mendengus pelan saat duduk dengan benar di sofa, mengusap rahangnya perlahan. Kemudian, setelah melirikku sebentar, dia mengalihkan pandangannya ke udara dan berkata:
"Kembalilah ke sekolah segera setelah keadaanmu membaik."
"Apa kau sudah gila? Apa, jadi aku bisa dipermalukan lagi?"
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
"Mengapa?"
"….."
"Kenapa kau mau melakukan itu?"
"Tidak ada."
Go Yohan menggenggam kedua tangannya. Jari-jarinya yang panjang saling bertautan. Suaranya terdengar aneh dan lembap.
"Tidak ada alasan."
Dia memiringkan kepalanya untuk menatapku. Mata sipitnya terasa aneh dan tidak nyata. Aku mendapati diriku tidak dapat mengalihkan pandangan darinya. Masih berbaring di atas bantal, aku mengerjapkan mata pada versi Go Yohan yang aneh ini. Kamar rumah sakit, yang diwarnai dengan rona jingga hangat, perlahan-lahan tenggelam dalam kegelapan malam. Aku perlahan membuka bibirku.
"Tidak. Aku akan pindah."
"Ha, sekolah gila macam apa yang mau menerima murid pindahan di tahun seperti ini?"
"Entahlah. Uang bisa menyelesaikan segalanya, pasti ada yang akan melakukannya. Keluargaku punya banyak uang. Lagipula, orang tuaku adalah tipe orang yang tidak akan tinggal diam dan melihat putra tunggal mereka berakhir seperti ini—"
"Tidak."
Hening sejenak. Alisku berkerut sendiri. Apa yang baru saja kudengar? Namun, sebelum aku sempat bertanya, Go Yohan sudah berbicara terlebih dahulu.
"Jika kau pindah, aku akan ikut denganmu."
"Apa kau benar-benar gila?"
Go Yohan benar-benar gila.
"Lagipula, bukannya kau akan pergi ke luar negeri?"
Namun, mengatakan hal itu dalam situasi ini mungkin membuatku sama gilanya. Sungguh waktu yang aneh untuk membicarakan hal ini. Aku selalu penasaran tentang hal itu, hampir sampai pada titik obsesi. Aku melirik sekilas ke udara kosong. Ketika aku berbalik, Go Yohan sedang mengangkat satu alis. Itu adalah kebiasaan yang sudah lama tidak kulihat.
"Siapa yang bilang?"
Kenapa dia pura-pura bodoh? Aku kesal dan menanggapinya dengan sedikit ketus.
"Kau."
"Apa yang sedang kau bicarakan?"
"Kau tidak?"
"Tentu saja tidak. Aku tidak melakukan hal pengecut seperti melarikan diri."
"Kakakmu sedang belajar di luar negeri, di Amerika."
"Itulah maksudku."
Go Yohan, yang sedang asyik mengutak-atik kuku jarinya, menyeringai tipis. Dia bahkan tidak mau mendongak. Aku langsung mengerti maksudnya. Dia sedang mengejek kakaknya. Aku menoleh ke langit-langit dan mendesah pelan tanpa arti.
"Di Korea, 'Universitas Korea lebih baik daripada Harvard', kan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, mengapa pewaris perusahaan terbesar di negara ini harus mengulang ujian masuk tiga kali hanya untuk bisa masuk ke Universitas Korea?"
"Apakah masih lebih sulit untuk masuk ke Universitas Korea daripada Harvard?"
"Jika Kau punya uang, Kau bisa saja membuat kegiatan ekstrakurikuler dan menyusun portofolio yang layak. Harvard lebih mudah."
"Mudah untuk diucapkan."
Seakan aku tidak tahu betapa sulitnya hal itu sebenarnya. Aku mendengus dan menatap langit-langit. Go Yohan masih menatap kuku-kukunya dengan saksama.
"Dan apakah kau benar-benar berpikir kau bisa masuk ke Universitas Korea dengan nilai-nilaimu?"
"Dengan penerimaan khusus mahasiswa asing, gimana?"
"Ha, mahasiswa asing?"
Aku bermaksud menertawakannya. Setengahnya hanya candaan, tetapi aku tetap terkejut dengan apa yang kudengar. Mahasiswa asing? Sambil menatap kuku-kukunya, Go Yohan menjawab, tidak tergesa-gesa atau lambat, hanya dengan kecepatan yang sempurna dan tenang.
"Apa aku tidak pernah memberitahumu? Nenek buyutku orang Rumania."
"...Itu nyata?"
Itu bukan kebohongan? Aku menatapnya, tercengang. Go Yohan sedikit mengernyit. Dia tampak benar-benar tersinggung. Untuk pertama kalinya, tatapannya terangkat dari kukunya dan mendarat padaku.
"Untuk apa aku berbohong soal itu?"
"Tidak mungkin, serius?"
Aku benar-benar terkejut. Tidak, aku benar-benar syok. Keterkejutan atas jawabannya sudah cukup untuk menghilangkan permusuhan dan kekesalan samar yang kurasakan terhadap Go Yohan.
"Ayahku orang Korea-Amerika, ibuku orang Rumania yang dinaturalisasi. Itu berarti tiga perempat darahku adalah orang Asia Timur."
"…benarkah?"
"Sebagai catatan, kakek buyutku orang Jerman. Kakek dari pihak ibuku orang Cina."
"Benarkah?"
"Kau menjalani seluruh hidupmu dengan tertipu atau bagaimana?"
"Kedengarannya seperti omong kosong, tidak peduli seberapa sering aku mendengarnya. Apa-apaan silsilah keluarga itu?"
"Kau benar. Aku mengarang semuanya."
"….."
Sialan. Dia berhasil menipuku lagi. Aku terjatuh kembali ke tempat tidur setelah refleks berdiri tegak. Seperti neraka aku tertipu lagi oleh tipuannya.
"Tetapi memang benar aku punya paspor Amerika."
Aku tidak percaya padamu. Aku menatapnya sinis.
"Aku lahir di New York. Orang tuaku melakukannya dengan sengaja agar aku memperoleh kewarganegaraan Amerika."
"Omong kosong."
"Aku serius. Mau aku tunjukkan pasporku?"
‘Aku hanya menceritakan ini kepadamu’. Aku bahkan tidak repot-repot menanggapi. Aku hanya memunggunginya. Keheningan kembali menyelimuti kami. Aku bisa saja membiarkan diriku tertidur atau mengambil ponselku dari laci, tetapi aku tidak melakukannya.
Karena aku tidak bisa berhenti memikirkannya.
Apa-apaan dia datang ke sini?
Aku mulai bertanya-tanya apakah mungkin aku sedang bermimpi.
Kepalaku pusing, kelopak mataku terasa berat. Mungkin ini mimpi. Itu menjelaskan mengapa aku bisa mengobrol dengan Go Yohan seperti biasa.
Aku membiarkan diriku tenggelam dalam kenyataan dan memejamkan mata.
Kesunyian.
Keheningan yang menyesakkan dan mencekik.
"Shin Jaehyun tidak datang mengunjungimu."
Go Yohan akhirnya memecah keheningan. Mataku terbuka perlahan. Aku bicara dengan suara serak. Apakah aku diberi obat penghilang rasa sakit? Atau ada sesuatu yang tercampur dalam infus ini? Apa pun itu, itu jelas bukan sesuatu yang membuatku waras. Mulutku bergerak sendiri.
"Apa hubungannya itu dengan apa pun?"
"Dia bahkan tidak bertanya mengapa kau tidak bersekolah."
"Jadi apa? Apa yang kau harapkan dariku?"
Aku duduk dan menatapnya. Lantai bergoyang. Ubin yang dingin tampak naik turun. Kepalaku berputar. Dan apa pentingnya Shin Jaehyun datang berkunjung atau tidak?
"Itu membuatmu kesal, bukan?"
Apa? Kenapa aku harus kesal? Logikanya sangat aneh sampai aku kehilangan kata-kata. Go Yohan menautkan jari-jarinya, menjalinkannya dengan santai.
"Seorang teman terluka, dan dia bahkan tidak mau datang menjengukmu…"
Apakah Shin Jaehyun dan aku berteman? Kami tidak berteman. Kami bahkan jarang berbicara. Satu-satunya yang pernah dia berikan kepadaku adalah kunci ruang seni. Kalau boleh jujur, akulah yang berutang padanya. Apa peduliku padanya? Dia juga tidak peduli padaku—itu jelas.
Dan sebenarnya, apa sih yang membuat Go Yohan begitu terpaku pada Shin Jaehyun?
"Aku tidak tahu."
Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tetapi hanya itu yang keluar. Aku mungkin bergaul dengan sampah, tetapi aku sendiri bukanlah sampah. Aku tahu kapan aku berutang pada seseorang. Aku tahu cara membayarnya.
Kadang-kadang, sedikit simpati juga dibutuhkan.
Tiba-tiba aku teringat kunci kuningan yang masih ada di sakuku. Kunci itu mungkin hanya sebuah tanda perhatian kecil.
"Dia tidak perlu datang mengunjungiku."
"….."
Bagi Shin Jaehyun, semua itu tidak berarti apa-apa. Dia hanya menghapus coretan di mejaku. Hanya memberiku sisa roti lapisnya. Hanya memberiku kunci yang kebetulan dimilikinya.
Tak satu pun yang dilakukannya merupakan sesuatu yang akan dianggap sebagai pengorbanan. Itu hanyalah contoh kebaikan hati yang biasa saja. Itu hanya kebetulan yang sedikit membantuku.
"Oh…"
Ada kalanya kau tiba-tiba memahami sesuatu yang sebelumnya tidak kau pahami.
Ini salah satunya. Aku teringat apa yang dikatakan Han Taesan kepadaku. Sakit kepala hebat tiba-tiba menyerangku, membuatku berhenti di tengah kalimat dan memegang dahiku.
"Karena kau satu-satunya yang membantuku."
"Brengsek."
Persetan. Jadi itulah yang dimaksud Han Taesan.
Perasaan jijik dan hampa karena membenci diri sendiri saat menyadari bahwa kau melakukan sesuatu yang dulu kau anggap menjijikkan. Aku hampir mengumpat keras-keras. Aku pun berpikiran sama persis dengan Han Taesan.
Apakah itu berarti aku berada dalam situasi yang sama persis dengannya?
Aku menyadari kemunafikanku sendiri, dan itu membuatku muak. Namun sebelum aku dapat mencernanya lebih jauh, sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Sentuhan ringan.
Rasa dingin menekan dahiku. Rasa panas langsung menjalar ke wajahku.
"A-apa yang sebenarnya kau lakukan?"
Terkejut, secara naluriah aku menepis kehadiran yang tiba-tiba mendekat itu.
Ketika aku mendongak, Go Yohan sedang berdiri di sana, tangannya agak memerah, tampak sama terkejutnya sepertiku.
"…Itu…"
Ia mengusap tangannya yang memerah dengan tangan satunya, menghindari kontak mata. Jari-jarinya yang panjang bergerak turun, tanpa sadar memainkan rosario. Suara denting lembut manik-manik bergema di ruangan yang sunyi saat Go Yohan tersenyum entah kenapa.
"Haruskah aku memanggil dokter atau perawat?"
Kebaikan yang tiba-tiba itu membuatku terpukul. Itu membuatku kesal, jadi aku sedikit marah.
"Tidak perlu."
"Sepertinya kau sedang sakit kepala."
"Sudah kubilang tidak perlu. Keluar saja."
"Hei."
Suaranya terdengar datar.
"Kau benar-benar menyebalkan sekarang. Kepada seseorang yang datang mengunjungimu."
"Seolah kau punya hak untuk mengatakan itu."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
