
BAB 12.2
Ruang kelas bukanlah tempat berlindung. Tidak ada yang menyakitiku secara langsung, tetapi tidak ada yang menyambutku juga. Di ruang kecil dan sempit ini, aku bagaikan sebuah pulau.
Yang benar-benar membuatku ingin mati bukanlah bisikan-bisikan atau tatapan-tatapan itu. Melainkan kenyataan bahwa roti yang telah kumakan selama berminggu-minggu—yang telah kukunyah sampai aku muak—tiba-tiba muncul di hadapanku lagi.
Waktu makan siang.
Go Yohan, sekali lagi, adalah pelakunya.
"Kau suka ini, bukan?"
Apakah dia mengejekku? Apa-apaan ini? Darahku mendidih. Mengapa aku terus memakan roti itu selama berminggu-minggu? Menurutmu siapa yang menyuruhku melakukannya? Niat di balik pemberian roti itu benar-benar jahat.
P.S. Niat dia baik kok Jun, kalian cuma butuh komunikasi ugh aarghh stres liat mereka😑
Kelas itu kosong. Tentu saja, teman sebangkuku tidak terlihat. Itu berarti aku terpaksa berhadapan langsung dengan Go Yohan. Aku bahkan tidak ingin memakan roti kering seperti spons itu. Aku meliriknya sebentar, lalu menjawab.
"Tidak."
"Kau berbohong lagi."
Mengapa dia bersikap seolah tahu segalanya? Itu membuatku kesal—perasaan ditolak secara paksa. Go Yohan mengambil roti yang telah aku singkirkan dan perlahan-lahan membuka bungkusnya. Sama seperti sebelumnya.
"Aku membawakan ini untukmu supaya kau bisa makan sesuatu yang enak, tahu?"
Tarik napas pelan. Ia bersandar di mejaku. Tangan yang memegang roti cokelat itu perlahan mendekat ke wajahku. Aroma manis yang menyesakkan itu menusukku dengan keras.
Aku menolak mengangkat kepalaku.
Siapa tahu apa yang dia lakukan pada roti itu? Mengotak-atik makanan seseorang adalah salah satu taktik intimidasi tertua dalam buku ini. Aku tidak bisa memakannya. Tetapi hal itu pasti membuatnya kesal.
"Hei."
"….."
"Apa kau mengabaikan kebaikan seseorang?"
Ancaman yang lembut. Kata-katanya penuh dengan sindiran. Aku menahan keinginan untuk berdiri dan meninju wajahnya. Sebaliknya, aku mengabaikannya.
"Ah, apa-apaan ini. Itu menyakitkan, tahu?"
Dia tertawa—setengah mengejek, setengah geli. Seolah-olah dia berpura-pura terluka.
Tapi cara dia bicara mengandung makna tersirat yang jelas bahwa kau tidak cukup berarti untuk menyakitiku.
Bajingan.
Aku bersikukuh tidak berani bereaksi, dan menolak untuk bereaksi. Tinggalkan aku sendiri. Pergilah saja. Aku teriakkan kata-kata itu dalam hati, tapi Go Yohan tetaplah Go Yohan.
"Baiklah. Kalau kau tidak menginginkannya, kurasa aku harus membuangnya."
Jari-jarinya yang ramping terentang di hadapanku. Bungkus plastik yang kusut itu menjadi rata dengan keras. Roti coklat itu, yang sekarang tidak ditopang, menjadi miring. Itu adalah gerakan yang disengaja.
Gedebuk.
Roti itu mendarat tepat di buku latihanku.
"Benarkan?"
"….."
Bajingan sialan.
Aku menatap buku kerjaku yang kini penuh noda coklat, lalu memejamkan mata. Rasa manis yang luar biasa menyerbu indraku, membuatku merasa mual.
Saat aku membuka mataku lagi, kenyataan belum berubah. Buku latihanku masih berantakan, penuh cokelat.
Sial. Aku tak tahan lagi.
"Hei, apa yang kau lakukan?"
Aku tidak menjawabnya.
Aku langsung mengambil buku latihanku dari mejaku dan berdiri. Aku tidak menoleh ke belakang saat berjalan di antara deretan meja. Saat aku melewati bagian belakang kelas, aku melihat tong sampah di dekat cermin.
"Apa yang kau lakukan?!"
Aku langsung buang buku latihan itu ke tempat sampah.
Ketika aku mengangkat kepalaku, bayanganku menatap balik ke arahku. Kang Jun selalu menjaga ekspresinya tetap tenang. Wajahku tidak memperlihatkan satu pun kelemahan.
Meski begitu aku masih terguncang oleh Go Yohan.
Meskipun hanya sepatah kata saja darinya, sudah cukup untuk membunuhku dalam hati. Wajahku tidak menunjukkan apa pun.
Bagus. Teruskan, Kang Jun.
Tak ada kesedihan. Tak ada kemarahan. Kang Jun dengan tenang meraih pintu belakang kelas. Keluar saja. Itu yang perlu kau lakukan.
Kemudian mataku bertemu dengan mata Lee Seokhyun dan Kim Seokmin yang sedang berdiri di luar kelas.
"….."
Kurasa aku belum pernah merasa sehina ini seumur hidupku. Tatapan mata mereka yang tak terbaca menatap tajam ke arahku, dan aku pun langsung berusaha meninggalkan tempat itu.
Mencoba untuk menjauh.
"Menurutmu, ke mana kau akan pergi?"
Sebuah cengkeraman kuat mencengkeram bahuku. Sebuah tangan yang kuat menarikku mundur.
Sial.
Tubuhku yang lemah tidak mampu menahan kekuatan Go Yohan. Aku berbalik melawan keinginanku dan terseret kembali ke dalam kelas. Kekuatannya merobek salah satu kancing kemejaku, memperlihatkan bahuku.
"……Ah."
Aku tidak bisa pergi, tidak peduli betapa besar keinginanku. Karena aku mempunyai tubuh yang tidak berguna dan menyedihkan yang bergerak sesuai keinginan Go Yohan.
Jika menyangkut kekuatan, akulah yang selalu lemah. Wajahku memerah karena malu. Aku buru-buru mencengkeram kemejaku yang robek, menundukkan kepala dan menggigit bibir.
Sial.
Sebuah tangan panjang terulur di bahuku. Aku secara naluriah tersentak pada gerakan tiba-tiba itu. Tangan yang melewati bahuku bergerak di udara.
Bamm.
Pintu kelas terbanting menutup.
Bahkan saat itu, aku memaksakan diri untuk mengangkat kepalaku tegak, berpura-pura tidak panik.
Aku berjuang sampai saat terakhir.
Go Yohan perlahan menutup matanya, lalu membukanya lagi. Dia menggigit bibirnya—sama sepertiku.
Lalu, dia memegang bahuku lagi. Jari-jarinya yang panjang menusuk kulitku, cukup kuat untuk meninggalkan bekas. Lalu, seolah mendesakku, dia menggoyangkan tubuhku maju mundur.
"Aku tanya kau mau pergi ke mana."
"….."
"Saat seseorang berbicara padamu, kau seharusnya menjawabnya."
"….."
"Kenapa kau mengabaikanku saat aku berbicara padamu?"
Kaulah yang mengabaikanku pertama kali.
Aku menguatkan diri, menjaga pendirianku sekuat yang kubisa. Kekuatan cengkeramannya mengguncang tubuhku. Secara naluriah aku melangkah maju untuk menjaga keseimbanganku.
Naluri bertahan hidup—hanya untuk menghindari terjatuh. Saat aku bergerak, tangan Go Yohan tiba-tiba berhenti menggenggam tanganku.
Itulah kesempatanku.
Aku memutar badanku dengan tajam, menarik bahuku agar lepas. Jari-jari Go Yohan yang seperti cakar terlepas dari kulitku.
"Hah."
Kurasa aku mendengarnya mengeluarkan suara desahan singkat. Aku langsung mundur. Berjaga-jaga kalau-kalau dia mencoba menangkapku lagi.
Aku harus memilih kata-kataku dengan hati-hati. Aku tidak boleh jatuh ke dalam perangkap Go Yohan. Bajingan itu terus menerus memikirkan cara untuk menjatuhkanku. Aku tidak tahu bagaimana dia akan mengkhianatiku—tidak, dia sudah mengkhianatiku.
Sama seperti Han Taesan, aku juga bisa berakhir seperti itu. Aku tidak bisa membiarkan dia menganggapku lemah. Sekalipun bukan itu yang terjadi, aku harus membela diriku semampuku.
Aku mengetuk-ngetukkan jariku pada pahaku.
Aku harus menjawab dengan hati-hati.
"Ini sudah berakhir sekarang, bukan?"
Pada akhirnya, aku membuat pilihan yang menyedihkan. Aku takkan pernah bisa melampaui Go Yohan.
Jadi, aku menjatuhkan diriku ke tanah.
Aku melirik ke belakangku. Melalui kaca buram, dua siluet samar tampak menjulang. Suaraku langsung berubah menjadi bisikan.
"……Apa?"
"Kau bilang sudah berakhir."
Aku mengerti. Jadi, biarkan saja seperti ini. Jangan berlarut-larut lagi.
Kumohon.
Diabaikan lebih baik daripada disiksa. Itulah hasil terbaik yang bisa kuharapkan.
"Kupikir itu artinya kita akan kembali menjadi orang asing."
Jadi, jangan ganggu aku lagi. Aku juga tidak akan memberikan perhatian yang tidak perlu kepadamu. Aku akan menjaga jarak. Aku akan menghapus diriku dari kehidupanmu.
Sama seperti aku menghapus Han Junwoo.
Jika aku bisa memutuskan Han Junwoo setelah menderita selama satu setengah tahun, memutuskan Go Yohan setelah hanya enam bulan seharusnya mudah.
"Aku mohon padamu, berhentilah mencari masalah denganku. Kumohon. Tidak bisakah aku menundukkan kepala dan hidup tenang?"
"……Ha!"
Go Yohan yang sedari tadi diam mendengarkan, tiba-tiba tertawa sinis. Dia tidak tampak geli. Itu adalah tawa karena tidak percaya, karena kelelahan belaka.
Melihat senyum aneh dan bengkok di wajahnya, aku melihat sekilas sebuah keuntungan.
Aku tidak pernah menyangka akan menang melawan Go Yohan. Aku hanya ingin menyelesaikan sisa kehidupan sekolahku dengan tenang.
Aku memutar otak mencari cara agar Go Yohan tidak terus menerus menyiksaku.
Lebih baik diabaikan daripada menjadi sasaran ejekan. Jika aku dapat mempertahankan status quo, yang harus aku lakukan hanyalah bertahan hidup selama enam bulan lagi.
Aku bicara lagi, kali ini sambil memeriksa bahuku sekali lagi. Kedua sosok itu masih berada di balik pintu. Berapa lama bajingan itu berencana berdiri di sana?
Sialan.
Aku merendahkan suaraku hingga hampir tak terdengar di luar.
"Kau tahu aku membuatmu kesal."
Jadi, tinggalkan saja aku sendiri. Jika kau berhenti bersikap seperti ini, aku akan mencari cara untuk bertahan hidup sendiri. Sama seperti yang selalu kulakukan.
"Aku sudah mengerti apa yang kau inginkan. Aku akan menjauh dan menutup mulutku. Itukah yang kau inginkan?"
Kata-kata itu keluar dengan tajam, dibumbui dengan sarkasme sebelum aku bisa menghentikannya. Bahkan dalam situasi ini, harga diriku menolak untuk mati. Go Yohan seharusnya marah mendengar nada bicaraku. Tetapi dia tidak mengatakan apa pun.
Jawab saja aku, sialan.
Jari-jari kakiku melengkung di dalam kaus kakiku. Lalu, aku mendengar suara langkah kaki bergeser di luar pintu. Go Yohan diam-diam mengusap dahinya dengan jarinya.
Saat perhatianku teralihkan sejenak, dia meraih kursi di sebelahnya.
Mengapa?
Apa-apaan dia—
Brakk.
Go Yohan melemparkan kursi ke lantai.
"….."
Suara yang memekakkan telinga itu membuatku bergidik. Perhatianku kembali tertuju ke depan.
Anak-anak di luar pasti mendengarnya.
Bukan berarti Go Yohan peduli. Bahkan sekarang, dia masih menyeringai, bibirnya bergerak aneh dan bergetar. Ekspresi yang meresahkan itu membuat bulu kudukku merinding.
Sebelum aku menyadarinya, tanganku mencengkeram erat keliman kemejaku. Setelah menghela napas perlahan, Go Yohan mengangkat kepalanya.
"Ah, aku mengerti."
Apa?
"Kau melakukan ini dengan sengaja, bukan?"
"….."
"Ya. Itu benar. Kau melakukan ini dengan sengaja."
"...Apa maksudmu dengan 'sengaja'?"
Go Yohan menunjuk jari ke arahku dan tertawa lagi, sambil mundur beberapa langkah.
Lalu tangannya menyentuh lehernya.
Lalu ke dahinya.
Dia menyisir rambutnya dengan jari, lalu menyibakkannya ke belakang. Namun tatapannya—tatapannya masih tertuju padaku, penuh dengan pandangan penuh pengertian.
"Kau benar-benar tahu cara mempermainkan orang, ya? Sial, ini gila."
"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak pernah main-main denganmu."
"Lalu, apa sebutan untuk apa yang sedang kau lakukan saat ini?!"
Go Yohan tiba-tiba berteriak. Mataku terbelalak karena terkejut. Secara naluriah aku berbalik ke arah pintu. Siluet gelap masih ada di sana.
Sial.
Aku mengerutkan kening. Siapa kau berani berkata seperti itu? Sambil merendahkan suaraku sebisa mungkin, aku membentak, "Pelankan suaramu. Ada orang lain di luar sana."
"Kau? Kau khawatir orang-orang akan mendengarnya?"
Go Yohan melangkah maju. Bayangan besar jatuh menutupi wajahku.
"Sekarang? Dirimu?"
"……Ya. Jadi bisakah kau bicara pelan saja?"
Go Yohan tertawa lagi. Dari atas, dia menatapku dengan seringai menyeramkan.
"Bahkan sekarang, kau masih peduli dengan apa yang dipikirkan orang."
"….."
"Dalam situasi ini, dari semua hal... para bajingan di luar sana lebih penting daripada aku, ya?"
Ekspresi gelapnya dipenuhi dengan ejekan.
"Kang Jun."
"….."
Sialan.
Nama itu lagi.
Kang Jun. Kang Jun. Kang Jun!
Aku melotot padanya, seperti ingin membunuhnya. Rasa dendam membara dalam diriku. Bagaimana dia bisa membalikkan segalanya dengan mudahnya?
Apakah aku benar-benar semudah itu untuk dipermainkan? Aku ingin berteriak padanya. Namun harga diriku tidak mengizinkanku.
Kalau aku mendengar jawaban pertanyaan itu, aku tahu aku akan hancur dan menangis di depannya. Dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.
"Katakan padaku yang sebenarnya."
Go Yohan, yang masih tidak menyadari pikiranku yang sebenarnya, terus berbicara dengan nada mengejek itu.
"Sejujurnya, kau ingin dekat denganku lagi, bukan?"
"….."
"Situasi ini membuatmu takut, tetapi harga dirimu tidak akan membiarkanmu menyerah, kan?"
Hatiku jatuh ke lantai. Aku lupa apa yang hendak kukatakan dan hanya membuka lalu menutup mulutku seperti ikan.
Tidak. Tidak, aku tidak bisa bereaksi seperti ini. Lebih baik tidak bisa berkata apa-apa daripada terlihat seperti orang bodoh.
Aku segera menutup mulutku dan melotot ke arahnya.
"Kasihan sekali. Kau hanya perlu membungkuk sedikit."
Melihatku terdiam, Go Yohan pasti mengira dia menang. Sudut bibirnya yang gemetar melengkung ke atas secara alami. Dia membungkuk sedikit, menatap lurus ke mataku sambil berkata tanpa malu,
"Aku tahu aku benar."
Aku terjebak—terjepit di antara kehadiran Go Yohan yang menindas di hadapanku dan tekanan yang meresahkan dari dua orang yang bersembunyi di balik pintu. Aku tidak bisa membiarkan ini menjadi akhir. Aku harus membuang kartu terakhirku sebelum Go Yohan bisa mempermainkanku lebih jauh.
Aku merendahkan suaraku.
Sehingga tak seorang pun bisa mendengar—hanya dia sendiri.
"Tidak."
Tetap. Aku hampir bisa mendengar Go Yohan membeku di tempat.
"Sejujurnya, aku tidak mengerti."
Perlahan-lahan aku mengangkat kepalaku. Untuk menunjukkan wajahku padanya. Wajahku yang sempurna, tidak berubah sama sekali. Harga diriku yang keras kepala menegakkan leherku. Itu juga penyakitku.
"Kaulah yang mengatakan ini sudah berakhir, bukan? Jadi mengapa kau yang bergantung seperti ini? Kaulah yang berpura-pura menyesalinya."
Mulut Go Yohan tertutup rapat. Untuk pertama kalinya, ekspresinya tampak kosong. Dan pada saat itu—aku melihat peluangku.
Dengan Go Yohan yang membeku sesaat, aku berputar.
Aku harus melarikan diri sebelum dia dapat menangkapku. Sosokku yang semakin menjauh mungkin lebih menyedihkan dari yang kubayangkan. Tetapi itu lebih baik daripada ketahuan.
Saat aku membuka pintu, kulihat Lee Seokhyun dan Kim Seokmin menempel di jendela.
Dasar idiot.
Aku menyapukan pandanganku ke arah mereka dari kepala hingga kaki sebelum bergegas melangkah keluar ke lorong. Bahkan saat aku hendak pergi, sifat pengecutku terus menggerogoti diriku.
Bagaimana jika Go Yohan mengejarku?
Pikiran itu membuatku takut, jadi aku mempercepat langkah. Aku memaksa kakiku yang terluka untuk bergerak, hampir tersandung ke depan.
"……Sial."
Jika dia menangkapku—apa yang akan dia katakan?
Tuduhan macam apa yang akan dilontarkannya kepadaku?
Pikiran itu sendiri tak tertahankan. Apakah aku takut terjatuh? Ataukah aku lebih takut dengan kata-kata Go Yohan?
Bahkan untuk hal itu pun aku belum bisa memutuskan.
Aku khawatir cara berjalanku yang canggung dan sempoyongan membuatku tampak konyol, tetapi aku tetap tidak bisa melambat.
Lalu, saat aku mencapai ujung lorong, aku mendapati diriku menoleh ke belakang.
Untuk berjaga-jaga.
Seandainya dia ada di sana.
"….."
Tapi Go Yohan tidak.
Dia tidak mengikutiku. Tiba-tiba, ketegangan hilang dari tubuhku.
Dasar idiot, Kang Jun.
Membesar-besarkan masalah tanpa alasan.
Aku berdiri di sana, menatap lorong yang kosong. Lalu, tanpa berpikir panjang, aku melihat bayanganku sendiri di jendela.
Kang Jun di dalam kaca—
Dia tampak sedih.
Saat pertama kali melihatnya, tanganku mengepal. Kalau saja aku sedang memegang sesuatu, mungkin aku telah melemparkannya lewat jendela dan memecahkan benda sialan itu.
Aku tidak ingin melihat wajah menyedihkan itu.
Aku berpaling. Aku hanya perlu keluar dari sini.
Aku menuju tangga—ke mana pun kecuali di sini.
Namun kemudian, wajah yang familiar muncul di pandangan.
Shin Jaehyun.
Beruntung sekali. Atau mungkin bajingan yang tidak beruntung. Dia sedang menaiki tangga ketika dia mengangkat kepalanya dan melihatku.
"Oh?"
"….."
Kurasa akulah yang kurang beruntung.
Sial, akulah yang paling sial.
"……Sialan."
Aku berpegangan pada pagar, mencoba berjalan melewatinya. Dari semua hal yang bisa membuat orang tertangkap, mengapa ini?
Persetan dengan ini. Tapi yang lebih membuatku kesal adalah— Itu adalah apa yang dikatakan Shin Jaehyun saat aku berjalan lewat. Diam-diam, seolah dia benar-benar bersungguh-sungguh.
"Apa kau… menangis?"
"Tidak!"
Respons langsung keluar dari diriku. Aku menghentikan langkahku dan hampir berteriak. Lalu, aku memejamkan mataku.
Sial. Sial. Sangat memalukan.
Aku ingin jatuh dari tangga dan mati saja. Sekarang aku benar-benar tampak seperti seseorang yang habis menangis. Dan itu semua karena dia.
Brengsek.
"Aku tidak menangis."
Kang Jun di jendela tidak meneteskan air mata sedikit pun. Jadi kenapa Shin Jaehyun pikir aku melakukannya? Aku memaksakan senyum alami dan menyeka pipi yang kering.
Tidak ada apa-apa. Kering sekali. Yang pasti bukan air mata. Aku harus menutupi kesalahanku. Aku harus menyelamatkan ini.
"Kau pasti membayangkannya. Aku tidak menangis."
"Maaf."
Shin Jaehyun tampak benar-benar meminta maaf saat dia melepaskan lenganku.
"Ya... kurasa kau tidak."
"Terima kasih sudah memeriksa, tapi bolehkah aku pergi sekarang?"
"Apa kau mau aku membantumu berjalan?"
"Aku bilang aku baik-baik saja. Pergilah saja."
"Aku akan membantumu."
"Aku bilang tidak."
Rasa jengkel berkobar dalam diriku. Dia melangkahi batas yang sudah jelas kugambar. Aku mengangkat tangan dan sedikit mengernyit.
Namun, meski aku menolaknya, dia maju selangkah lagi dan meraih tanganku lagi.
Dasar idiot. Bajingan LA yang tidak tahu apa-apa.
Sekarang aku mengerti mengapa orang memanggilnya seperti itu.
Lihat saja dia. Tidak ada kesadaran sama sekali.
P.S. Gereget banget sama komunikasi mereka. Tapi Yohan emang pantes didiemin sih. Itu Jun trauma sama sentuhanmu Yohan🥺
Yohan cemburu dan kangen pasti, tapi yang dia lakuin ke Jun itu jahat, dan kejadian bola kaki beneran jadi terakhir kalinya Jun berharap sama dia. Cuma Yohan keburu kebakar api cemburu sama si Jaehyun🙂↕️
Yohan itu rumit, jadi dia mikirnya Jun bakal balik sama dia, dan dia ngira Jun deket sama Junwoo karena Junwoo di puncak piramida, makanya dia rebut itu supaya diperhatiin. Tapi perhatian Jun bikan Yohan kesel. Ah rumit masalah mereka kek lingkaran setan😑
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
