
Berisi kisah manis pahit tentang masa remaja hingga dewasa. Penuh suka cita akan cinta pertama, patah hati, dan masa kesepian.
Ini adalah perjalanan hidup Emma yang broken home dalam pencarian jati diri dan cinta sejati. EMMA is kind of slice of life stories which are focused on random and mundane period on the main character's lives. Konfliknya natural dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Based on true event yang sudah ditambal sulam sedemikian rupa demi alur cerita yang menarik.

1. The Closure
Surabaya, 2006.
Aku yakin penampilanku sudah super cantik.
Bagaimana tidak, untuk datang ke pentas seni SMA Negeri 15, Surabaya, aku rela berdandan sejak subuh. Kaus tanpa lengan berwarna putih yang dipadankan jaket dan celana pendek berbahan jeans. Style-ku makin sempurna dengan sepatu sepatu loafer.
Kulit wajah putihku juga kupoles dengan riasan tipis, ssperti bedak, blush on, maskara, dan lip gloss merah muda. Soal rambut, jangan ditanya. Konon katanya, rambut adalah mahkota wanita, karena itulah aku mengeriting rambut panjang lurusku agar bergelombang bak Princess Aurora.
Susah payah membangun rasa percaya diri, seorang lelaki tiba-tiba menabrak dan menumpahkan cairan soda berwarna merah pada pakaianku.
"Mas! Gimana, sih?" sentakku.
Cowok itu tidak kalah garang. "Mbak juga jalan matanya ke mana-mana. Bukan salah saya." Ia lantas melenggang pergi begitu saja --- tanpa minta maaf. Sontoloyo!
Tapi, apa yang dikatakan cowok sontoloyo itu ada benarnya. Mataku terlalu fokus memandang sosok Ali dari kejauhan. Lelaki bertubuh jangkung itu membawa tas gitar berwarna hitam di punggung, warna senada dengan kaus dan topi yang ia kenakan.
Ali berjalan tidak acuh memecah kerumunan siswa-siswa yang memenuhi area booth makanan dan minuman yang ramai pengunjung. Seperti biasa, Ali memasang ekspresi datar yang nyaris tanpa senyum. Kedua alis yang tebal, membingkai sempurna sorot matanya yang tajam. Hidung Ali yang super mancung juga menjadi daya tarik tersendiri dari lelaki jutek itu.
Aku dan Ali bersekolah di sekolah swasta yang sama. Dia merupakan adik kelasku satu tingkat. Ada alasan kenapa aku dan Ali berada di sekolah yang bukan sekolah kami.
Ali di sini karena grup band-nya diundang sebagai band tamu. Sementara, aku ke mari karena ingin menemui first crush-ku yang bernama Hugo.
Belum sempat bertemu cinta pertamaku, kesialan justru menimpa. Sekarang, kaus putihku jadi merah menjijikkan karena terkena tumpahan soda.
Dengan sekuat tenaga, aku membersihkan noda di pakaianku dengan tangan. Semakin digosok, bukan malah hilang, warna merahnya makin kentara pada kaus putihku. Menyebalkan.
"Emma?"
Aku tersentak karena mendengar suara yang memanggil namaku.
"Emmanuella Surya, 'kan?"
Mataku membelalak. "Kak Hugo ...?" seruku. Ini bukan pertemuan yang aku bayangkan. Harusnya dia tidak melihatku dalam keadaan kacau begini.
"Beneran Emma juniorku dulu?" tanya Hugo. Matanya menelisik penampilanku dari atas ke bawah.
Maklum saja ia bertanya begitu. Aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang (kok jadi mirip lagu). Emmanuella di bangku SMP adalah siswi biasa bertubuh kurus kering, kulit putih pucat mirip mayat, dan rambut ikal menjurus gimbal.
Tidak akan ada cowok di sekolah yang melirikku, termasuk Hugo. Dulu, kami saling mengenal karena satu mobil antar-jemputan. Hugo, senior satu tingkat di atasku. Menjelang kelulusan, aku berencana mengutarakan perasaan kepadanya, tetapi, semua rencanaku pupus karena Hugo kedapatan menembak Anggia, gadis paling populer di SMP.
Rasa sakit karena patah hati, membuatku sadar bahwa cowok hanya memandang wanita dari tampilan luar semata. Entah sudah berapa kali aku bersikap seperti kacung bagi si Hugo, mulai dari membelikannya makanan di kantin saat jam istirahat, sampai menjaga tempat duduk di samping sopir mobil antar-jemputan buat ditempati si Hugo itu. Semua pengorbananku tidak ia pandang, cowok itu malah menembak Anggia, teman satu kelasku, yang sama sekali tidak mengenalnya.
"Sorry, Kak. Aku enggak bisa terima, kita berdua belum saling mengenal dengan baik." Kira-kira begitu jawaban Anggia pada Hugo.
Hari itu menjadi hari terakhirku melihat Hugo, lelaki itu lulus SMP dan berhasil masuk salah satu sekolah negeri favorit di Surabaya.
Aku belum menyerah soal Hugo. Dengan niat menggebu, aku mulai mengubah diri. Mulai dari meluruskan rambut di salon, program penggemukan berat badan, dan rutin merawat wajah di klinik kecantikan.
Tujuanku satu.
Bisa masuk ke SMA Negeri yang sama dengan Hugo, supaya dia menyesal telah mengacuhkanku dulu hanya karena aku buruk rupa. Niat yang mulia sekali, bukan? Mungkin, aku terlalu terobsesi dengan kisah-kisah balas dendam bak telenovela.
Aku lupa otakku ini otak udang. Meski sudah cantik, tetapi aku gagal masuk sekolah yang sama dengan Hugo karena terkendala nilai.
Namun, masuk ke dalam sekolah swasta tidak sepenuhnya buruk. Penampilan baruku mengundang banyak perhatian dari siswa lain, khususnya siswa lelaki. Emmanuella Surya si Upik Abu berubah menjadi Cinderella cantik di SMA. Aku adalah cewek populer di sekolah baruku.
Meski mendapat berbagai perlakuan istimewa karena 'cantik paripurna' tidak lantas membuatku melupakan Hugo. Aku masih terobsesi pada lelaki itu. Pentas seni ini satu-satunya jalan bagiku untuk bertemu Hugo lagi, dan aku berhasil. Cinta pertamaku dulu, kini sudah berdiri di depan mataku.
"Halo, Kak? Apa kabar? Kebetulan kita ketemu di sini, ya," sahutku. Bukan kebetulan, memang aku yang sengaja ke sini untuk mencarimu!
Hugo berdecak kagum. "OMG, Emm. Kamu kelihatan beda banget. Aku sampai pangling."
Aku menarik sudut bibir hingga menciptakan lengkungan ke atas. "Masa', sih?" tanyaku. Harusnya aku senang bertemu lagi dengan Hugo, tetapi, entah kenapa perasaanku malah hambar. Biasa saja.
"Sudah dua tahun kita enggak ketemu, ya, Emm?" cecar Hugo. Kedua bola matanya tidak bisa lepas memandangku.
"Iya, dua tahun." Aku justru fokus membersihkan kaus yang masih bernoda.
"Kamu kenapa datang ke Pensi sekolahku? Jangan bilang karena ingin bertemu denganku, ya?" goda Hugo sambil cengengesan.
Aku menggelengkan kepala. "Enggak, Kak. Aku punya kakak lelaki yang sekolah di sini. Dia bilang kalau dia akan tampil dengan grup band-nya, jadi, aku penasaran mau lihat dia manggung," kelitku.
"Siapa nama kakakmu?" tanya Hugo.
"Emran," jawabku singkat.
Aku tidak merasakan adanya debaran pada jantungku. Setahuku, kalau bertemu dengan orang yang kita suka, pasti akan berdebar-debar, 'kan?
"Oh, Emran! Dia seangkatanku, cuman kami berbeda kelas. Kalau tahu Emran adalah kakakmu, aku pasti akan berteman baik dengannya, Emm," kelakar Hugo.
"Oh, gitu ..." sahutku.
Hugo kembali menelisik penampilanku dari atas ke bawah. "Eh, tapi beneran, lho, kamu berbeda banget sekarang. Jadi lebih cantik, stylish, dan ... seksi."
Perasaanku mulai tidak nyaman. Ini bukan yang kuharapkan. Seharusnya aku senang setelah bertemu lagi dengan Hugo, tetapi, kenapa aku malah keki. Apa lagi dengan sorot matanya yang jelalatan.
Hugo mendekatiku dan mencoba memegang dadaku. "Mau aku bantu bersihkan, Emma?" tawarnya genit.
Aku menghindar seraya menepis tangannya. "Enggak usah!" tolakku.
"Kirain kamu butuh bantuan," kekeh Hugo. "By the way, kamu sekarang agak jual mahal, ya. Kalau dulu, seingatku kamu selalu mengikutiku ke mana-mana."
"Masa', sih?" Aku memaksakan senyum.
"Iya. Kamu enggak usah pura-pura lupa, deh, Emma. Kurasa, dulu kamu ada perasaan sama aku, ya? Bener, enggak dugaanku? Tapi, kamu harus patah hati karena aku menembak Anggia. Tapi, sekarang kamu bisa tenang, aku sudah enggak ada rasa sama Anggia." Hugo menyeringai, "Soalnya, dibanding dia, kamu sekarang jauh lebih cantik dan seksi."
Aku tidak ingat kalau Hugo adalah lelaki menyebalkan. Sepertinya, cinta membuatku buta, tai ayam rasa coklat, adalah perumpamaan yang tepat.
Aku mulai kesal sehingga tidak menghiraukan Hugo yang sibuk mengoceh. Alih-alih mendengarkan bualannya, aku justru sibuk membersihkan pakaianku.
"Emm, itu temen kamu?" tanya Hugo.
Aku mengangkat kepala dan menengok. Mataku terbelalak karena melihat sosok Ali sudah berdiri tepat di belakangku.
"Ali?" tanyaku.
Ali memandangku dengan tatapan mirip macan yang sedang mengincar seekor anak rusa.
Aku kembali melanjutkan, "Kenapa? Ada perlu sama aku?"
"Nih." Ali menyodorkan selipat kain berwarna hitam.
Aku memandang Ali penuh kebingungan. "Bu-buatku?"
"Aku tadi lihat bajumu kena soda, jadi, kamu bisa pakai kain lap ini untuk membersihkannya," kata Ali dengan mimik datar.
Aku menerima pemberian Ali dengan jantung yang berdebar tak karuan.
"Makasi, ya," gumamku.
Padahal, kami tidak akrab, tetapi, dia peduli dengan keadaanku.
"Sebenarnya itu lap untuk gitarku, tetapi kamu enggak usah khawatir itu kotor, aku sudah mencucinya kemarin."
Aku mengangguk. "I-iya. Makasi. Nanti, akan aku kembalikan di sekolah," ucapku.
"Oke." Ali kemudian berlalu pergi tanpa banyak bicara. Namun, belum sampai lima langkah, ia berbalik dan menghampiriku lagi.
Aku terkesiap. "Ada apa lagi, Li?" tanyaku.
Ali tidak menjawab. Ia justru sibuk merogoh isi di dalam waist bag yang sedang dikenakannya. Setelah beberapa saat, ia mengeluarkan satu buah cup gelas air mineral berukuran mungil.
"Buatmu." Ali menyodorkan cup air mineral miliknya untukku.
"Buatku?" ulangku.
Ali mengiakan dengan anggukkan kepala. Ekspresi lelaki itu tetap datar, dingin, dan sulit untuk dipahami.
"Thanks." Aku menerima pemberian Ali. Perlakuannya padaku sungguh tidak terduga.
Tanpa bicara, Ali lantas melenggang pergi. Kali ini, dia terus melangkah menjauh dan tidak kembali lagi. Aku memandang punggung Ali yang semakin menghilang di balik kerumunan. Semula kupikir dia adalah cowok jutek yang cuek, tetapi, sepertinya aku salah.
"Emm, Emma?" panggil Hugo. "Itu teman kamu?"
"Ya. Adik kelasku di sekolah," terangku.
Hugo mendecih. "Kind of freak, ya? Dari lagaknya seperti aneh gitu anaknya."
"Ali bukan freak. Justru, dia enggak banyak bicara dan itu keren," sanggahku.
Hugo tersentak. Ia mungkin tidak menyangka aku akan membela Ali.
"Ehm, ya sudah. Terus, sekarang kamu mau ke mana? Mau jalan keliling sekolah ini sama aku? Atau mau masuk ke auditorium untuk nonton pensinya?" tawar Hugo.
Butuh waktu lama bagiku untuk menjawab. Padahal, harusnya ajakan Hugo adalah sebuah dream comes true.
"Sorry, Kak. Aku enggak bisa," tolakku. "Aku ke sini enggak sendirian. Ada Bella, temanku, yang sedang menunggu di dalam auditorium. Sebaiknya aku kembali masuk dan menikmati acara bersamanya."
Raut wajah Hugo berubah kecewa. Lelaki itu tidak mengira aku akan menolak, mengingat aku dulu adalah asisten pribadi (tanpa bayaran) baginya.
"Ta-tapi, Emm?" sanggah Hugo.
Aku bergegas berjalan menjauh. "Sudah dulu, ya, Kak."
"Emma! Kita belum tukeran nomor!" seru Hugo.
Aku tidak menghiraukan teriakan Hugo. Ternyata, lelaki itu sudah tidak lagi memiliki tempat di hatiku. Aku tidak menganggap pertemuanku dengannya ini adalah hal yang sia-sia. Justru, perjumpaan kembali dengan Hugo menyadarkanku bahwa dia bukan sosok yang pantas untuk kusukai.
Aku tidak ingin bersama dengan lelaki dangkal yang menilai perempuan dari tampilan luar semata. Aneh. Kenapa butuh waktu dua tahun untuk aku sadar akan hal itu. Mungkin benar, cinta membuat orang menjadi buta dan bodoh.
Aku masuk ke dalam gedung auditorium yang luas. Suara keras lantunan musik dari performa band di atas panggung menyambut gendang telingaku. Sinar lampu sorot menyilaukan ruang hall yang gelap gulita. Dari kejauhan, aku menemukan sosok Bella yang duduk sendiri pada barisan kursi penonton.
"Lama nunggu, ya, Bell?" tegurku.
Bella tersentak. Ia menepuk lenganku kuat-kuat. "Dari mana aja, sih? Aku sendirian di sini seperti anak hilang!" omelnya.
Aku terkikik sambil merebahkan bokong ke atas kursi. "Sorry, Bell. Tadi pakaianku ketumpahan soda," ungkapku.
"Astaga, Emm? Bersihkanlah dengan tisu basah. Aku bawa, kok," ujar Bella seraya sibuk meraih sling bag yang ia bawa.
Aku mencegah Bella. "Enggak perlu."
"Tapi, kamu 'kan mau bertemu Hugo, cinta pertamamu itu, penampilanmu harus perfect, dong, Emm." Bella mengeluarkan selembar tisu basah dan memberikannya padaku.
Aku hanya mengulas senyum tipis. Bella belum tahu kalau aku sudah bertemu dengan Hugo. Bella juga belum tahu jika aku bertemu dengan Ali.
"Band Ali belum tampil dari tadi. Aku sudah enggak sabar," ujar Bella.
Aku meremas kain yang Ali pinjamkan.
Jika tujuanku ke mari untuk bertemu dengan Hugo, maka, tujuan Bella ke sini adalah untuk menyaksikan penampilan Ali.
Bella mengidolakan Ali.
Namun, apa jadinya kalau Bella akhirnya mengetahui bahwa aku menyukai lelaki yang juga ia sukai?
2. BOY CRUSH
Aku pertama kali mengenal Ali dari Bella. Aku masih ingat saat mataku dan lelaki dingin itu saling beradu. Bukan tersenyum balik ke arahku, Ali justru membuang muka.
"Yuris tahu kalau kamu suka sama cowok lain?" tanya Nova. Ia adalah teman satu bangkuku di kelas. Penampilan Nova paling tomboi di antara geng kami.
Bella mengibaskan tangan. "Aku cuma nge-fans sama Ali. Lagi pula dia masih kelas satu. Aku ogah sama cowok yang lebih muda," kelitnya.
"Tapi, memangnya Yuris enggak jealous gitu?" Anna ikut menimpali.
"Yuris percaya aku enggak bakal macam-macam. Kalau cuma sekedar suka dan kagum, apa salahnya, sih? Yuris juga suka lihat artis cantik di TV," sanggah Bella.
"Kamu enggak sekadar kagum. Kamu bahkan belain nonton si Ali tampil di SMAN 15 besok," sembur Nova.
Bella gelagapan, ia bergelayut manja di lenganku. "Aku ke sana untuk nemenin Emma, kaleus! Ya, 'kan, Emm?"
"Iya." Bella betul. Aku mana berani ke Pensi sekolah lain seorang diri, terlebih untuk menemui cinta pertamaku, Hugo. Aku memang mengajak Bella untuk ikut menemaniku.
Anna dan Nova saling pandang, mereka sepertinya kurang percaya dengan alasan Bella.
"Aku dengar, Masmu juga tampil, ya? Aku enggak sangka kalau ternyata Masmu punya band," kata Bella mengalihkan pembicaraan.
Aku mendengkus. "Aku juga baru tahu. Dia mana pernah cerita."
Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Saudara kandungku bernama Emran, kami hanya terpaut selisih usia setahun. Secara tidak terduga, Emran satu sekolah dengan Hugo. Memang, aku dan Emran itu seperti langit dan bumi. Kalau otakku ini pas-pasan, si Emran tergolong anak yang pintar. Dia anak kesayangan Mama, sementara aku lebih dekat dengan Papa.
"Aku jadi penasaran ingin lihat penampilan Masmu nanti," gumam Bella.
Aku menyangga dagu dengan kedua tangan. "Ih, kalau aku, sih, enggak, ya."
***
Aku memasukkan kain hitam yang Ali berikan ke dalam tas.
Sepertinya, ini bukan saat yang tepat untuk bercerita kepada Bella tentang apa yang baru saja ku alami. Bella tampak antusias menyaksikan penampilan demi penampilan di atas panggung.
"Emm, lihat," seru Bella.
Lampu sorot panggung menyala kerlap-kerlip, diiringi musik disco yang menghentak keras. Sekumpulan gadis membawa pom-pom dan mengenakan pakaian cheerleader memasuki panggung untuk menampilkan tarian.
Diantara barisan chearleader yang sedang menari, aku melihat salah satu wajah yang tidak asing. Itu Anggia!
Si Dewi Anggia ternyata bergabung dengan grup cheerleader sekolah. Gadis itu masih tetap cantik dan memukau seperti dulu. Ia tersenyum manis dengan polesan lipstik merah muda. Rambut yang diikat tinggi ke atas semakin mempertegas wajah ovalnya.
Anggia menari lincah dan enerjik. Sesekali para cheerleader itu berteriak saling memberi semangat. Sebagai penutup penampilan, mereka membentuk formasi piramida. Tentu saja, Anggia -- si paling cantik -- menjadi orang yang berdiri di tingkatan paling atas.
Formasi mereka sempurna.
Tanpa takut, Anggia menjatuhkan badan ke bawah. Tubuhnya ditangkap oleh cheerleader yang lain.
Tepuk tangan riuh dari penonton menutup tarian cheerleader. Sampai kapan pun, Anggia adalah sosok sempurna bagiku. Dia role modelku untuk menjadi cantik. Bedanya, kecantikan gadis itu natural. Bukan sepertiku yang mengandalkan riasan dan krim rebonding rambut tiap bulannya.
Dua pewara acara naik ke atas panggung, dari yang aku dengar, penampilan selanjutnya adalah band tamu dari sekolah lain. Apa maksudnya Ali?
Bella menarik lenganku penuh semangat. "Emm, kita turun ke bawah panggung, yuk!" ajaknya.
Aku mengangguk saja dan menuruti Bella. Kami bergabung dengan penonton lain yang berdiri menanti kemunculan 'band tamu' yang dimaksud. Mereka semua seolah sudah gatal ingin menari mengikuti alunan musik.
"Itu betul Ali!" Mata Bella berbinar, ia menunjuk ke arah panggung.
Ali muncul dari balik panggung, lelaki itu berjalan santai membawa gitar listrik warna merah tua. Teman satu band-nya menyusul dan mereka sibuk mengatur peralatan musik.
Diam-diam, aku memperhatikan Ali.
Ia mengenakan black shirt polos bergambar tengkorak. Celana pendek yang ia kenakan, mempertontonkan kedua kakinya yang panjang. Ali membalikkan topinya ke belakang, seluruh fitur wajah lelaki itu terekspos. Tentu saja, hidung lurus dan lancipnya menjadi daya tarik tersendiri.
Spot light membuat Ali memicingkan mata, ia mengamati sekeliling, termasuk ke arah penonton. Tatapannya tajam, seperti elang. Aku bisa mendengar penonton wanita berteriak genit menggoda Ali.
"Eh, gitaris ganteng!"
"Cowok!" pekik mereka.
Vokalis utama sadar bahwa anggotanya sudah siap. Ia maju ke arah microphone dan menyapa penuh semangat. Kalimat pembuka si vokalis disambut tepuk tangan.
Ali maju ke depan stage, tepat di samping vokalis. Ia memetik gitar listrik dengan jemarinya yang lihai. Ali memainkan intro dengan nada sempurna. Lelaki itu tersenyum menyeringai, menampakkan lesung di kedua pipinya.
Ya. Lesung pipi. Ali memiliki dua cekungan kecil pada pipi kanan - kirinya.
Mataku membulat, jantungku berdebar seperti genderang, bukan karena dentum musik, tetapi, akibat terpesona oleh wajah Ali yang super tampan. Bella benar. Wajar dia mengidolakan Ali.
Ali mendekatkan wajah ke arah microphone, ia dan si vokalis bernyanyi bersama.
"Sweet emotion ... Sweet emotion."
Ali kembali beralih pada gitarnya. Lirik selanjutnya dinyanyikan sepenuhnya oleh vokalis. Mereka membawakan lagu Sweet Emotion yang dipopulerkan oleh Aerosmith.
Ali seperti orang yang berbeda ketika di atas panggung. Wajahnya tidak lagi datar tanpa ekspresi. Lelaki itu tersenyum lebar pada penonton sambil memainkan gitar tanpa cela. Ia seperti bintang utama, mengalahkan si vokalis.
Kupingku hampir tuli karena suara memekak dari teriakan histeris Bella dan penonton wanita yang lain ketika Ali mengedipkan mata menggoda.
Herannya, aku ikutan merona.
Lagu itu akhirnya berakhir, padahal, aku masih ingin menyaksikan permainan gitar Ali lagi. Kenapa, sih, aku ini? Jangan bilang kalau aku juga suka sama Ali? Ah, enggak mungkin!
"Keren banget, sih, si Ali!" seru Bella.
Aku menjawab dengan senyum penuh keterpaksaan. Saat ini, hatiku sedang galau. Tidak mungkin aku menaruh hati pada adik kelas, apa lagi, Ali bukan tipeku. Aku tidak suka lelaki pendiam. Sikapnya padaku juga dingin dan sok jual mahal. Hampir dua tahun terbiasa jadi siswi populer, aku tidak mau jadi pihak yang mengejar-ngejar.
Bella menggandeng tanganku untuk kembali ke kursi.
"Emm, aku sudah keturutan lihat penampilan Ali. Sekarang, kita harus kembali ke rencana awal," kata Bella.
"Rencana awal? Rencana apa, Bell?"
Bella terbelalak. "Kamu lupa tujuanmu ke sini? Kita, 'kan, mau cari Hugo, kakak kelasmu waktu di SMP dulu! Gimana, sih, Emm?"
Aku mengulas senyum kecut. "So-soal itu ..." Kalimatku terhenti. Menceritakan soal Hugo, berarti aku juga harus jujur soal pertemuanku dengan Ali tadi pada Bella. Aku takut Bella marah karena cemburu atau salah paham.
"Kenapa, Emm? Ada yang kamu sembunyikan?" cecar Bella.
Aku berdeham. "Sebenarnya," kataku terbata, "sebenarnya aku sudah bertemu Hugo tadi, waktu keluar cari minum di luar."
"Hah?! Bagaimana ceritanya?!" Bella terbelalak.
"Mulanya, ada siswa yang menabrak dan menumpahkan minumannya ke pakaianku. Saat itulah aku bertemu Hugo. Kami sempat bicara sebentar, dia bahkan menawariku untuk berkeliling atau nonton pensi sama-sama," ujarku.
"Terus?" selidik Bella penasaran.
Aku mengedikkan bahu. "Aku menolak. Entah kenapa, setelah bertemu dengannya, semua perasaan sukaku lenyap. Mungkin, yang tersisa hanya rasa penasaran, aku tidak menyadari itu. Aku sudah tidak punya minat pada Hugo. Aku tidak ingin bersama dengan lelaki yang hanya menilai wanita dari penampilan luar. Apa lagi, sikap Hugo padaku tadi beda sekali dari yang dulu. Dia sangat ramah dengan mata yang jelalatan."
Bella melongo mendengar ceritaku. "Aku enggak percaya, selama kita berteman, aku yang jadi saksi sudah berapa banyak cowok di sekolah yang kamu tolak. Alasanmu, kamu masih belum bisa move on dari Hugo. Sekarang, setelah bertemu perasaan itu mendadak lenyap? Kamu yakin?"
"Manusia kadang terbawa oleh obsesinya, Bell. Tanpa sadar, bukan itu lagi yang mereka ingin dan butuhkan."
Bella menghela napas. "Iya, sih. Aku hanya enggak ingin kamu menyesal."
Aku menggelengkan kepala. "Aku sama sekali enggak ada rasa menyesal."
"Tapi, kamu sepatutnya berterima kasih sama Hugo, kalau enggak ada dia, kamu enggak akan terpacu jadi seperti sekarang." Bella merangkul bahuku. "Emma yang cantik idola satu sekolah. Biar tahu rasa itu si Hugo, enak saja dia sekarang bermanis-manis setelah dulu menyia-nyiakanmu."
Aku membalas pelukan Bella. "Thank you, ya, Bell."
Bella melepaskan pelukannya. Ia menyandarkan punggung pada kursi. "Sekarang kita tinggal menunggu penampilan Mas Emran, ya, Emm."
Aku menelan saliva. Aku harus jujur soal pertemuanku dengan Ali pada Bella.
"Bell, ada hal lain yang belum kuceritakan," kataku.
"Soal apa?" selidik Bella.
Kepalaku tertunduk, takut melakukan kontak mata. "Selain bertemu dengan Hugo, aku juga ketemu Ali tadi. Dia meminjamkan kain miliknya untuk membersihkan pakaianku yang terkena tumpahan minuman."
"Oh ya?" Bella menatapku lekat.
Aku mengangguk pelan. "Maaf aku baru cerita sekarang. Aku ..."
Bella menungguku menyelesaikan perkataan.
"Aku ..." kataku ragu-ragu.
"Kamu takut aku marah karena cemburu?" tebak Bella.
Aku terkesiap, tidak sangka Bella bisa menebak isi pikiranku.
"Kamu enggak marah, 'kan, Bell?" cecarku. Aku tidak mau persahabatanku hancur hanya karena lelaki.
Bella terbahak-bahak. Reaksi yang ia berikan sangat kontras dari bayanganku.
"Bell?" Kutatap Bella kebingungan.
Bella memegang perutnya yang kram. "Aduh, Emm!" Ia berusaha menghentikan tawa. "Sudah berapa kali aku bilang sama kalian, bahwa aku hanya mengidolakan Ali. Cinta dan sayangku cuma untuk pacarku Yuris. Aku juga sudah bilang, aku enggak tertarik sama adik kelas."
"Jadi kamu enggak marah?" selidikku. Beban di pundakku serasa terangkat.
"Ya enggaklah! Malahan, kalau kamu ternyata naksir Ali, aku enggak keberatan! Aku akan jadi mak comblang buat kalian berdua!" goda Bella.
Aku memalingkan muka. "Ih apa, sih? Aku enggak naksir Ali. Enggak ada rasa sama sekali," kelitku.
"Yakin? Hati-hati, lho, kemakan omongan sendiri," ledek Bella.
"Enggak! Ali juga bukan tipeku, dia terlalu pendiam. Kamu tahu, 'kan, aku enggak suka cowok pendiam. Sikapnya ke aku juga enggak ramah. Bukan gayaku maju duluan ke cowok," elakku.
Bella tersenyum penuh makna tersirat. "Iya, deh, iya."
Pembicaraan kami buyar ketika alunan musik keras dimainkan. Beberapa penonton yang tadinya duduk di kursi, berbondong-bondong turun ke bawah panggung. Mereka seolah sudah menanti-nanti penampilan band tersebut.
"Eh, ini pasti band favorit sekolah ini, deh. Lihat, mereka pada antusias turun ke bawah," bisik Bella.
"Iya. Ini aliran apa, ya? Kok musiknya gini?" tanyaku.
Aku dan Bella melotot karena sosok Emran sudah berdiri di depan microphone. Ini band dia?!
"Ini band Mas Emran, Emm!" seru Bella.
Penonton yang didominasi siswa lelaki mulai menari-nari sambil melompat, persis orang kesurupan. Dari jauh, mereka saling mendorong satu sama lain, ada pula yang saling membenturkan diri mereka.
Emran mulai menyanyi dengan teknik suara scream¹ dan growl².
(¹ scream ialah mengeluarkan suara dengan keras, sama halnya dengan berteriak, teknik ini memiliki nafas yang agak berat. Jadi tidak hanya asal mengeluarkan suara.
² growl ialah scream rendah, yang membedakannya adalah posisi mulut, pada teknik growl, bentuk mulut kita harus segera dibentuk menyerupai huruf "O", sehingga akan menghasilkan suara rendah.)
"Ya ampun?!" Aku terkejut bukan kepalang. Bella juga sama, ia membelalak dengan mulut menganga lebar.
Aku baru tahu, ternyata aliran musik Emran adalah Death Hardcore.
***
Sepulang dari pensi, aku menjatuhkan badan ke atas kasur. Terlalu banyak yang terjadi. Hugo, Ali, aliran musik Emran yang diluar dugaa.
Mataku secara alami terpejam. Terbuai oleh rasa kantuk yang mencuri kesadaranku.
Entah berapa lama aku tertidur, suara bising dari kamar Emran mengusik kenyamanan istirahatku. Kamar kami bersebelahan, terang saja aku bakalan mendengar kegaduhan dari teman-teman Emran yang datang berkunjung.
Percuma saja melanjutkan tidur, bunyi gelak tawa teman-teman Emran membuyarkan mimpi-mimpiku. Dengan bersungut, aku beringsut bangkit dari kasur dan keluar kamar. Saat menuruni tangga, aku berpapasan dengan Emran.
"Berisik banget, sih, temen-temenmu!" dumalku.
"Udah mau Magrib masih tidur, bersyukur, kan, suara dari temen-temenku bikin kamu bangun?" balas Emran tak acuh.
Aku mendengkus. "Emang enggak bisa, ya, nongkrong di kafe atau warkop. Nongkrong, kok di rumah!" sahutku.
"Cerewet," timpal Emran. Ia melanjutkan langkah untuk meninggalkanku.
Tidak mau kalah, aku kembali melanjutkan, "Aku tadi lihat kamu nyanyi, itu liriknya apa coba? Suara koak-koak kayak lagi ngomong di dalam air!" ejekku.
Emran berkecimus. "Orang seperti kamu mana paham aliran musik Hardcore. Jadi, percuma aku jelasin panjang lebar." Ia menyugar rambutnya yang ikal.
"Idih! Aku tahu, kok, musik Hardcore!" sungutku. "Terus, penontonnya kenapa pada saling serang? Kesurupan, ya? Karena dengar suara kamu nyanyi?" Aku cekikikan.
"Itu namanya moshing³. Enggak tahu juga, 'kan? Makanya, mainnya yang jauh, jangan cuma tahunya soundtrack Shinchan!"
(³ moshing ialah semacam slam dance, sebuah gerakan tubuh yang biasanya ditemui di konser musik. Biasanya dilakukan berupa memutar gerakan tubuh.)
Dasar Siluman Kerbau menyebalkan.
"Eh, Dek Emma!" sapa salah satu teman Emran yang menghampiri kami. "Hai, Dek."
Aku buru-buru mengulas senyum keterpaksaan. "Ha-halo ..." sahutku.
Teman Emran itu tersenyum seraya menunjuk mukanya. "Masih ingat aku, 'kan, Dek?"
Aku ingat wajah lelaki ini, ia sering main ke rumah, tapi namanya, aku sama sekali lupa.
"Ingatannya Emma itu seperti anjing laut. Dia enggak bakalan ingat namamu," ledek Emran.
Aku melotot. "Apa yang salah sama anjing laut? Anjing laut mukanya lucu!"
"Iya, tapi ingatannya cuma bertahan 18 detik," sahut Emran.
Sialan. "Dari pada kamu, Siluman Kerbau!" makiku. Siluman Kerbau adalah panggilan sayangku untuk Emran.
Aku dan Emran saling melotot. Sementara, teman Emran yang berada di antara kami mendadak canggung karena serasa berada di perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan.
"Aku ini Rizal, Emm. Jangan lupa sama namaku lagi, ya. Aku bagian drummer di band. Tadi, kamu lihat penampilan kami, 'kan?" tanya Rizal.
"Iya, lihat, kok." Aku tersenyum penuh keterpaksaan. Berbasa-basi dengan lelaki asing adalah hal yang paling kubenci.
"Menurutmu gimana?" tanya Rizal lagi.
Aneh. "Ba-bagus, kok," jawabku berbasa-basi.
Emran merangkul pundak Rizal. "Zal, Emma enggak paham aliran kita. Dia tadi bilang kalau itu lagu koak-koak," ucapnya.
Aku melotot ke arah Emran. Sementara Rizal hanya meringis.
"Nanti, kalau band kita atau latihan atau manggung lagi, sebaiknya kamu dateng, deh, Emm. Mau, kan?" tawar Rizal.
Ogah. Ngapain?! "I-iya, Mas, aku usahain, ya."
Bibir Rizal tersenyum lebar memandangku. Senyumannya justru membuat bulu di sekujur tubuhku merinding.
***
Keesokan harinya, bel penanda jam istirahat berbunyi. Tidak seperti biasa, kali ini aku tidak ke kantin bersama Nova, Bella, dan Anna.
Ada tugas Bahasa Indonesia yang mengharuskanku membuat puisi atau syair pendek. Untuk itu, aku perlu ke perpustakaan sekolah, mencari buku kumpulan puisi sebagai referensi.
Perpustakaan adalah tempat tersepi di sekolah. Selain itu, udara AC-nya juga sangat dingin, di sini rasanya seperti di kuburan. Aku menyusuri rak demi rak, mencari buku yang menari perhatian satu demi satu.
Tanganku bergerak cepat ketika menemukan buku syair karya Kahlil Gibran. Ternyata, tidak hanya aku yang berminat mengambilnya, secara bersamaan seorang siswa lelaki juga menarik buku tersebut.
"So-sorry," ucapku. Mataku melirik bet warna merah di seragamnya. Itu menandakan lelaki itu adalah kakak kelasku. "Silakan ambil aja, Kak."
Aku pergi tanpa melihat wajahnya, di luar dugaan, kakak kelas itu menahan tanganku. "Buat kamu aja, Emm."
Dia tahu namaku?
Mata kami saling beradu, baru kali ini aku melihat ada cowok yang memiliki kulit seputih dia. Rambut kakak kelas itu kecokelatan dengan bibir semerah darah.
"Kakak tahu nama saya?" tanyaku bingung.
Ia tertawa kecil, menunjukkan deretan gigi yang rapi. "Siapa, sih, yang enggak kenal seorang Emmanuella? Cewek paling populer satu sekolah."
Aku tertunduk malu.
Kakak kelas itu kembali melanjutkan, "Kamu sepertinya lebih butuh buku ini. Buat tugas Bahasa atau memang suka bacanya?"
"Buat tugas Bahasa, Kak. Aku butuh buku ini untuk referensi. Jujur saja, bikin puisi bukan keahlianku," terangku.
"Mau kubantu?" tawar si kakak kelas.
Aku melambaikan tangan. "Tidak usah, Kak."
"Yakin? Aku sama sekali enggak keberatan, lho."
"Nanti aku ngerepotin," ujarku cengengesan.
"Sama sekali enggak. Yuk." Ia berjalan menuju meja persegi panjang yang berada di tengah ruang perpustakaan --- seolah aku sudah mengiakan ajakannya.
Mau tidak mau, aku pun mengikuti kakak kelas itu. Kami duduk bersama, ia mengambil secarik kertas tulis yang disediakan di tengah meja. Wajahnya serius menuliskan rangkaian kata sembari membuka buku karya Kahlil Gibran yang tadi kami perebutkan.
"Kamu tahu, sebenarnya, bikin puisi itu mudah saja, kamu hanya perlu mengubah kata biasa menjadi diksi yang indah."
Aku menggaruk-garuk kepala. Sungguh, bagiku membuat puisi adalah hal yang sulit.
Ia menangkap kebingunganku. Dengan telaten, kakak kelas itu kembali menjelaskan, "Misal kata 'hujan', kamu bisa menggantinya dengan kalimat, 'bulir air yang turun dari langit'. Paham, 'kan?"
Aku mengangguk pelan.
Ia serius mengajariku, berbeda denganku yang sibuk mengamati bulu mata lentiknya. Kok bisa ada cowok secantik ini? Aku sebagai wanita merasa iri.
Kakak kelas itu menyusun kata demi kata membentuk rangkaian kalimat yang indah. Aku tidak memiliki sumbangsih apa pun sebagai si empunya tugas. Aku hanya mengangguk-angguk mirip si burung kutilang pada lagu 'Burung Kutilang' ketika mendengar penjelasannya.
Kami berdiskusi cukup lama juga.
Tanpa terasa, bel tanda masuk kelas berbunyi. Kakak kelas itu sudah menyelesaikan satu puisi bertema 'hujan' untukku.
"Makasi banyak, Kak. Aku enggak tahu harus balas kebaikan Kakak gimana," ucapku.
"Cukup dengan mengingat namaku saja, Dek."
Aku kembali menggaruk pelipisku yang tidak gatal. Aku memang belum menanyakan namanya sejak tadi.
Ia menjulurkan tangan untuk bersalaman. "Namaku Rudi."
Aku menerima jabatan tangannya seraya tersenyum. Tentu saja, aku tidak akan melupakan nama itu.
***
"Emma!"
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku --- itu Dita, teman satu kelas. Ia berlari menyusul langkahku yang hendak kembali ke kelas.
"Hei, Dit!" sapaku.
Kami berdua berjalan bersama menuju kelas. Tumben Dita menyapaku, kami tidak begitu akrab. Ia adalah siswi yang pendiam, tidak banyak bicara.
"Emma, tadi di perpustakaan, aku lihat kamu ngobrol akrab sama Mas Rudi, kalian duduk berdekatan di meja. Kamu akrab, ya, sama Mas Rudi?" tanya Dita. Ia menunjukkan mimik waswas dibalik wajahnya yang manis.
Kalau dari pertanyaan dan ekspresinya, sepertinya Dita ada rasa sama Mas Rudi. "Aku baru kenal sama Mas Rudi hari ini, Dit. Dia bantu aku bikin puisi buat tugas Bahasa Indonesia besok. Kenapa, emang?" pancingku.
"Eng-enggak apa-apa, tanya aja." Dita tertunduk.
"Kamu naksir Mas Rudi, ya?" godaku.
Dita salah tingkah, pipinya memerah seperti kepiting rebus. "Eng-enggak, kok. Aku dan Mas Rudi itu tetanggaan. Kami cuma teman saja."
"Masa', sih?" Kusenggil lengan Dita dengan jahil.
Dita tidak menjawab, sudah pasti dia memang menaruh hati pada Mas Rudi.
"Tenang aja, Dit. Aku tidak ada perasaan apa-apa sama dia. Kupikir, dia cowok yang baik karena sukarela membantuku mengerjakan tugas. Kuharap, hubunganmu dan Mas Rudi terus berlanjut, ya, Dit."
"Sungguh, Emm? Tapi, bagaimana kalau Mas Rudi naksir kamu? Semua cowok di sekolah, mengidolakanmu. Bisa jadi Mas Rudi juga." Dita memandangku dengan mata membulat.
Aku terkikik. "Itu enggak pasti, bukan? Sudah kubilang, aku sama sekali tidak menyimpan rasa sama Mas Rudi. Kamu bisa percaya ucapanku, Dit."
Dita mengangguk. Ia bernapas lega. "Sorry, Emm. Aku jadi tanya macam-macam ke kamu," ucapnya.
"Santai aja, Dit. Kita sudah sekelas hampir setahun. Aku senang gara-gara Mas Rudi kamu jadi ajak aku bicara," kataku.
Dita tertawa. Kami berdua lalu masuk ke kelas dan mengakhiri pembicaraan.
Hari ini, waktu berjalan cepat. Tidak terasa, pelajaran telah usai dan waktu pulang tiba. Aku berjalan menuju pintu gerbang, biasanya, Papa sudah menunggu untuk mengantarkanku pulang.
Namun, kali ini, dugaanku meleset. Mobil milik Papa tidak terlihat. Terpaksa, aku duduk pada bangku milik pos satpam yang berada di dekat gerbang.
Waktu terus bergulir, sudah hampir empat puluh menit aku menunggu Papa datang. Aku berangkat dan pulang dengan Papa. Jarak antara rumah, kantornya dengan sekolahku cukup berdekatan.
Tidak biasanya Papa terlambat menjemput. Saat sedang menggerutu di dalam hati, aku melihat sosok Ali yang berjalan di lapangan. Ia mengenakan jaket dan tas ransel serba hitam. Angin mengibas rambut Ali yang lurus. Aku seolah menyaksikan slow motion ala film-film di mana dia adalah bintang utamanya.
Jantungku mendadak berdebar seperti musik disko.
Oh iya. Aku belum mengembalikan kain hitam yang ia pinjamkan. Mungkin, ini adalah kesempatan bagiku untuk memulai pembicaraan dengannya dan mengenal Ali lebih dekat.
"Hai," sapaku. Ini pertama kali aku menyapa seorang lelaki duluan.
Ali melengos begitu saja seolah aku kasat mata.
Aku melotot tidak percaya. Dia mengacuhkanku?!
"Ali!" teriakku penuh emosi.
Ali menengok. Ia menaikkan sebelah alis, tatapannya tidak acuh. "Ya?" tanyanya singkat.
Menyesal aku menyapa Ali. Sialan. Anak ini begitu songong!
"Aku tadi nyapa kamu, tapi kenapa cuek gitu, sih?" protesku.
Ali berdiri tepat di hadapanku, tubuhnya yang tinggi membuatku harus mendongakkan kepala ke atas.
"Oh, aku enggak tahu kalau kamu nyapa aku," sahut Ali.
Kami berdua saling mematung --- canggung.
"Anu, soal bantuanmu tempo lalu waktu pensi di SMAN 15, makasi, ya." Aku mencoba mencairkan suasana.
"Oke," kata Ali singkat.
Sumpah, ya, cowok ini irit kata atau memang tenggorokannya sakit kalau ngomong panjangan dikit!?
"Aku masih simpan kain hitam yang kamu pinjamkan. Nanti aku kembalikan, ya," ucapku.
"Oke." Ali lagi-lagi menjawab sekenanya.
Aku kehabisan topik, mau ngomong apa lagi, coba? Baru kali ini ada cowok di sekolah yang begitu cuek padaku. Sikap Ali sangat berbeda. Tapi, perhatian yang ia berikan waktu pensi membuatku jadi bingung.
"Ya sudah, aku duluan," pamit Ali.
Dia pergi begitu saja? Tanpa basa-basi tanya kenapa aku belum pulang, atau kenapa aku sendirian di depan gerbang? Atau apa, kek!?
"Emma!"
Aku mendengar namaku dipanggil, betapa terkejutnya aku melihat siapa yang datang. Rizal!
"Ma-Mas Rizal? Kenapa ada di sini?" tanyaku penuh kebingungan.
Rizal membuka helm yang ia kenakan. Lelaki itu turun dari motor dan menghampiriku. "Emran diminta untuk menjemputmu di sekolah. Katanya, Papa kalian enggak bisa jemput karena ada urusan kantor. Sementara, si Emran juga enggak bisa ke sini karena ada bimbel. Jadi, dia minta tolong ke aku untuk jemput kamu."
Bedebah.
Siluman kerbau, sialan! Kenapa dia minta Rizal untuk jemput aku, sih? Jelas-jelas aku enggak suka sama Rizal. Emran pasti sengaja membuatku kesal.
"Mas Rizal?" sela Ali.
"Eh, kamu? Kamu yang waktu itu tampil sebagai band tamu, 'kan?" sahut Rizal.
Ali menarik sudut bibir ke atas hingga menciptakan lengkungan. Lesung otomatis menghiasi kedua pipinya. Reaksi Ali pada Rizal lebih ramah ketimbang saat bersamaku.
"Aku Ali, Mas." Ali mengulurkan tangan untuk berjabatan.
Rizal mengangguk. "Oke." Lelaki itu beralih memandangku. "Yuk, Emm. Kita pulang sekarang."
Kedua alis Ali berkernyit, senyum di bibirnya sirna. "Kamu pulang sama Mas Rizal?"
"Iya," jawabku. Mau tidak mau, pulang sama Rizal satu-satunya pilihan.
Eh, tapi tunggu?
Kok, Ali mendadak senewen, ya? Apa jangan-jangan bersikap tidak acuh adalah caranya untuk menarik perhatianku? Jadi, sebenarnya, apa dia tertarik padaku juga?
3. FATHER - DAUGHTER
Sepanjang perjalanan, Rizal tidak berhenti bicara, lelaki ini nyerocos seperti kereta api.
Aku tidak seberapa memperhatikan apa yang Rizal katakan karena sibuk menelaah makna tersirat di balik ekspresi wajah si Ali. Ugh, andai saja aku punya kemampuan mikro ekspresi atau kepandaian macam Roy Suryo si pakar telematika.
Ali cemburu karena aku pulang dengan Rizal? Tapi, waktu pertama kali bertemu Rizal, kenapa dia semringah? Masa', Ali ternyata suka cowok? Dan dia bukan jealous sama Rizal, tetapi sama aku?!
AMIT-AMIT!
Aku melirik wajah Rizal yang terpantul dari balik spion motor. Bukannya body shamming, tapi muka dan penampilan Rizal sama sekali tidak menarik untuk kaum penyuka sesama jenis. Misal, Ali 'jeruk makan jeruk', kurasa dia tidak mungkin naksir lelaki macam Rizal.
Ali memang sulit ditebak.
Tapi, kenapa aku memikirkan lelaki jutek itu sampai pelik begini, sih? Jangan-jangan, aku memang benar jatuh cinta sama Ali?
Ali satu-satunya cowok di sekolah yang seakan tidak berminat padaku. Hal itu membuatku penasaran dan terus memikirkan segala tentang dia.
"Emm, kita sudah sampai, nih!" Rizal menghentikan mesin motor persis di depan gerbang rumah.
"Makasi, ya, Mas." Aku turun dari atas motornya.
Aku dan Rizal saling pandang. Aku tidak berniat menawarinya untuk masuk ke dalam rumah. Sementara lelaki ini tidak kunjung pergi juga, pasti dia berharap aku mengajaknya masuk.
"Mau masuk dulu, ta, Mas?" Ingin kucabut mulutku sendiri. Kenapa orang Indonesia terbiasa basa-basi seolah sudah mendarah daging?
Rizal tersenyum lebar. "Boleh, kalau kamu maksa."
Aku menelan ludah. Bukan jawaban yang kuharapkan.
***
Aku duduk melamun di depan meja makan. Bibi Minah, pengurus rumah tangga di rumah memandangiku penuh cemas.
"Emma, nanti kesurupan, lho! Jangan suka melamun, ah! Lagi pula, memikirkan apa sampai bengong begitu? Cowok yang tadi, ya? Itu pacar baru kamu?" tegur Bibi Minah.
"Bukan!" sahutku sewot.
"Oh, kirain." Bibi Minah duduk di sisiku. "Bukan pacar tapi kok lama sekali ngobrol sama kamu? Sampai Ashar baru pulang."
Aku menggebrak meja. "Itulah makanya, Bi! Cowok itu ngomong enggak berhenti-henti! Mata dan telingaku sampai panas dengar dia bicara. Mau ngusir, sungkan. Ini semua gara-gara Mas Emran, deh! Cowok tadi teman satu sekolah Mas Emran. Mas Emran yang suruh itu cowok buat jemput aku di sekolah," omelku.
"Memang kelakuan Masmu itu jahil." Bibi Minah terkikik.
"Assalamualaikum." Papa menghampiriku dan Bibi Minah yang sedang mengobrol di ruang makan.
"Papa sudah pulang?" tanyaku bingung
Bibi Minah bangkit dari duduk. "Mau saya buatkan teh, Pak Surya?" tawarnya.
Papa menggeleng. "Tidak usah, Bi." Ia berjalan mendekatiku. "Maaf tadi Papa tidak bisa jemput. Ada meeting penting dadakan."
"Ya, enggak apa-apa," sahutku dengan bibir mengerucut.
Papa menelisik tiap sudut ruang. "Mana Mas Emran? Di kamarnya?" selidiknya.
"Mas Emran masih di sekolah," terangku.
"Lho? Di sekolah? Jadi, tadi kamu pulang sama siapa? Papa sudah pesan ke Mas Emran untuk jemput kamu padahal," ujar Papa kebingungan.
Aku menyangga dagu dengan dua tangan. "Itulah, Pa. Mas ngerjain aku. Dia suruh temennya yang nyebelin buat jemput aku tadi."
Papa menggelengkan kepala dengan wajah bersalah. "Masmu itu ada-ada saja. Nanti biar Papa kasih tahu dia."
Aku terdiam --- masih memasang raut cemberut.
Papa melirik jam di dinding, menunjukkan hampir pukul lima sore.
"Mama sebentar lagi pulang, 'kan? Sebelum Mama dan Mas Emran pulang, bagaimana kalau kamu ikut Papa?" tawar Papa.
"Ke mana?" selidikku sok tak acuh. "Aku malas berganti baju."
Papa memandang kaus oversize dan celana pendek yang kupakai. "Tidak perlu berganti pakaian. Kita cuma ke depan beli sate langganan."
"Sate depan komplek?" tanyaku.
Papa mengangguk untuk membenarkan.
"Tapi nanti sekalian mampir beli es krim, ya, Pa?" pintaku.
"Boleh. Yuk! Keburu Mama pulang dari kantor." Papa menggandeng tanganku.
Aku dan Papa pun akhirnya pergi berdua. Setelah keluar dari kompleks perumahan kami, Papa justru mengemudikan mobil melewati gerobak sate yang harusnya kami tuju.
"Pa? Kok lolos terus?" cecarku.
Papa mengulum senyum. "Nanti saja pulangnya kita beli sate. Sekarang kita ke Royal dulu saja."
"Ih, Papa? Kok enggak bilang mau ajak ngemal? Pakaianku kayak begini?!" protesku.
"Tidak ada yang salah dengan pakaianmu, Emm. Tenang saja. Sejak Royal dibuka, kamu belum sempat ke sana, 'kan?" kata Papa.
Royal Plaza adalah mal baru yang dibuka Oktober lalu. Semenjak berdiri, aku memang belum pernah mengunjunginya. Padahal, mal itu terletak persis di samping sekolah. Mama memang melarangku pergi ke luar, apa lagi main ke mal. Itu semua adalah hukuman karena nilai rapor yang jeblok di pertengahan semester.
Dibanding Mama yang disiplin dan tegas, Papa lebih santai dan memanjakanku. Kasih sayang orang tuaku seperti terbagi dua, Mama yang lebih menganak-emaskan Emran, sedangkan, aku lebih dekat dengan Papa.
"Nanti Mama marah kalau tahu aku ke mal, Pa?"
Papa terkekeh. "Kita rahasiakan dari Mama dan Mas Emran. Bagaimana?"
Aku mengangguk penuh antusias. Rasa kesal yang tadi kurasakan pada Emran mendadak sirna. Papa selalu punya cara untuk mengembalikan kegembiraanku.
Sesampainya di mal, aku berkeliling berdua bersama Papa. Kami masuk ke dalam toko buku, melihat-lihat komik adalah kesukaanku.
Aku mengambil salah satu serial manga yang cukup kuikuti. Cukup lama aku melihat sampulnya, sayang, masih terbalut plastik (jadi tidak bisa kubaca di sini).
"Kamu mau, Emm?" tanya Papa.
Aku bergegas mengembalikan komik itu pada rak. "Eng-enggak, Pa." Mama pasti akan mengomel kalau tahu aku beli komik baru.
"Ambil saja kalau mau," tawar Papa.
"Ih, nanti Mama marah," gumamku.
Papa tersenyum. "Kan sudah Papa bilang, kita rahasiakan dari Mama."
Aku semringah. "Kalau gitu, boleh beli dua, Pa?"
Papa mengangguk setuju.
Setelah membeli buku, kami pergi ke lantai paling atas untuk membeli makanan kecil dan minuman. Aku dan Papa memutuskan segera pulang setelah membeli camilan karena hari semakin malam. Aku dan Papa 'kan menjalankan misi rahasia, jalan-jalan kami ini tidak boleh ketahuan Mama dan Emran.
Mobil Papa berhenti di depan gerobak sate, sambil menunggu pesanan kami matang, aku membaca buku komik yang tadi baru saja kubeli.
"Pa, makasi, ya. Hari ini aku sudah diajak jalan-jalan."
Papa merangkul bahuku. "Sama-sama. Ini adalah permintaan maaf dari Papa karena membuatmu kesal tadi siang."
"Aku enggak kesal sama Papa, tapi sama Mas Emran."
"Masmu itu memang usil. Papa akan menasihatinya nanti. Selain itu, besok dan lusa, Papa akan berangkat ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Jadi, selama Papa pergi, Mas Emran yang akan mengantar - jemputmu. Kamu tidak keberatan, 'kan, Emm?" Papa menatapku dengan lekat.
"Papa kok tumben, perginya mendadak? Biasanya, kita dikasih tahu satu minggu sebelumnya," selidikku.
Papa berdeham. "Ya. Urusan pekerjaan kali ini memang mendadak."
"Papa mau ke mana?" tanyaku.
"Bekasi," jawab Papa. "Nanti, sepulangnya, kita jalan-jalan lagi, ya, Emm."
Aku mengangguk lemah. Ketiadaan Papa di rumah, membuatku harus bergantung pada si Siluman Kerbau selama dua hari ke depan. Semoga saja, Emran tidak lagi menjahiliku.
***
Cahaya matahari masih malu-malu. Udara pagi serasa menembus tulang sumsum. Siraman air dingin ketika mandi, membuat bulu kudukku berdiri. Aku terpaksa bangun lebih awal dari biasa karena harus numpang si Emran.
Aku bahkan tidak sempat menyentuh nasi goreng buatan Bibi Minah karena Emran sudah berteriak-teriak. Ia begitu arogansi, layaknya satpol PP yang mengubrak-abrik pedagang kaki lima nakal.
"Buruan!" teriak Emran di depan gerbang. Lelaki ikal itu sudah stand by di atas motor menantiku.
"Aku sarapan sebentar, ya?" sahutku memelas.
Emran menjawab dengan slogan salah satu iklan minuman sereal. "Mana sempat! Keburu telat!"
"Ya sudah!" Aku bersungut-sungut menghampiri Emran. Salahku sendiri jadi anak yang tidak mandiri. Bawa motor sendiri belum bisa, naik kendaraan umum, takut.
Emran melajukan kendaraan roda dua miliknya ketika aku sudah duduk manis di boncengan. Sepanjang jalan, lelaki itu sibuk berceramah tentang betapa repotnya dia karena harus mengantarku dulu ke sekolah.
"Aku jadi mondar-mandir. Ini namanya enggak efisiensi waktu."
"Sekolahku 'kan enggak jauh-jauh amat dari rumah. SMAN 15 juga dekat dari sini. Kenapa, sih? Enggak ikhlas banget sama adik sendiri. Padahal, aku belum sempat marah sama kamu, lho. Ngapain kemarin suruh Rizal yang jemput aku di sekolah?!" sungutku.
"Jarak antara sekolahmu dan rumah memang dekat. Sekolahku ke rumah juga dekat. Tapi sekolahmu dan sekolahku melenceng jauh! Kamu ke timur, aku ke selatan!" ujar Emran. "Kalau soal Rizal, harusnya kamu berterima kasih. Kemarin aku ada bimbel yang enggak bisa ditinggal, masih untung dia mau jemput kamu."
Aku mana tahu mana timur, mana selatan. Penjelasan Emran tidak sampai di otakku. Sudahlah, kalau terus meladeni Siluman Kerbau ini bicara, nanti yang ada omelannya tidak selesai-selesai.
Saat hendak berbelok ke jalan raya, motor Emran tiba-tiba mati dengan sendirinya. Beruntung, tidak ada kendaraan lain yang menabrak kami dari belakang.
"Turun dulu," titah Emran.
Aku menurut saja dan mengikuti Emran menuntun motornya ke pinggir jalan.
"Kenapa tiba-tiba mati?" tanyaku.
Wajah Emran gusar. "Enggak tahu. Belum pernah begini sebelumnya."
Emran mencoba men-starter motor bebeknya, tetapi sia-sia, kendaraan roda dua itu tidak mau menyala. Ia berjongkok untuk memeriksa apa yang salah, terik matahari mulai membasahi dahi Emran dengan peluh.
"Gimana?" selidikku. Aku mulai gelisah karena matahari mulai meninggi.
Emran mendecak. "Mogok ini!" Ia menggaruk rambut ikalnya yang mirip domba.
"Terus gimana?" rengekku.
"Belum pernah begini sebelumnya, tumben-tumbenan. Pasti karena di badan kamu terdapat muatan negatif. Kapan-kapan maulah ikut Bibi Minah ke pengajian, dirukyah!" kata Emran.
Aku menyentakkan kaki geram. "Kenapa, sih? Bisanya ngeledek orang melulu."
Emran senyum-senyum. Ia menghela napas dan melihat ke sekeliling, jalan raya mulai ramai dengan hiruk pikuk kendaraan.
"Jalan kaki aja, Emm. Sekolahmu kira-kira dua kilo lagi dari sini. Motorku jelas mogok. Aku akan izin telat nanti," ucap Emran tidak ada beban.
Aku menendang ban motor Emran kuat-kuat. "Motor sial!" rutukku.
Emran melotot. "Eh, jangan nyalahin dia, ya. Sudah kubilang dia enggak pernah begini sebelumnya."
Aku menggigit bibir seraya mengepalkan tangan. Rasanya penuh emosi karena harus jalan kaki ke sekolah. Sudah bela-belain tidak sarapan, tetap saja bakalan terlambat.
Tanpa berpamitan dengan Emran, aku melangkahkan kaki lurus ke depan. Aku bisa mendengar seruan Emran yang menyuruhku untuk hati-hati. Tapi, karena kesal, aku tidak membalas bahkan sekedar menoleh.
Sekolahku berada di jalan Ahmad Yani, salah satu jalan utama di Surabaya yang sering macet dan padat kendaraan setiap pagi dan menjelang jam pulang kerja.
Rambut panjang yang sudah kuatur rapi sejak Subuh basah oleh keringat. Bedak yang kupakai di wajah juga mungkin sudah luntur. Aku sibuk memaki dalam hati sambil terus berjalan penuh emosi.
"Emma!"
Aku berjingkat terkejut karena namaku tiba-tiba dipanggil. Mataku menoleh ke arah kiri, seorang pengendara motor dengan helm berpenutup berhenti tepat di sampingku. Ia mengenakan seragam yang sama dengan seragamku.
"Dek, kok jalan kaki?" Pengendara itu membuka kaca helm --- sebuah senyum terukir untuk menyapaku.
Mataku membulat. "Mas Rudi?" Ternyata dia, cowok cantik yang disukai si Dita. "Motor Masku mogok, jadi aku terpaksa jalan kaki."
"Ayo bareng!" ajak Mas Rudi.
Aku takut Dita bakalan salah paham. "Enggak usah, deh, Mas," tolakku.
"Kenapa, Dek? Toh, kita searah. Kalau jalan kaki, kamu bakalan telat." Mas Rudi bersikukuh.
"Enggak usah, Mas. Makasi, ya." Wajah Dita berkelindan pada benakku. Membuatku waswas jika harus berangkat bersama Mas Rudi.
Mas Rudi turun dari motor, ia menahan lenganku yang berniat meneruskan perjalanan.
"Ayolah, Emm. Aku enggak tega biarkan kamu jalan sendirian. Please," bujuk Mas Rudi. Manik mata kecokelatannya memandang ke arahku penuh harap.
Aku terdiam, serba salah.
"Please," ucap Mas Rudi dengan nada memohon.
Aku akhirnya mengangguk setuju. Mas Rudi tertawa lebar karena berhasil membujukku.
Sepanjang perjalanan, hatiku tidak tenang. Semoga saja Dita tidak melihat kami. Semoga saja dia tidak salah paham.
***
Sepanjang pelajaran di kelas, aku tak berani melirik ke arah bangku Dita. Gara-gara tadi pagi berangkat bareng dengan Mas Rudi, beberapa siswa di kelas meledekku habis-habisan. Mereka menggodaku tanpa tahu ada hati yang bakal tersakiti, Dita.
Parahnya, tiap kali hendak mendekati Dita untuk meluruskan apa yang terjadi, dia menghindar. Sudah pasti, Dita marah karena terbakar cemburu. Ketika bel penanda waktu pulang berbunyi, Dita pun langsung melenggang pergi begitu saja, keluar dari kelas dengan terburu-buru.
"Cuek ajalah, Emm." Nova dan aku berjalan bersama menuju gerbang sekolah.
"Mana bisa? Gimana kalau dia salah paham dan benci aku?" sahutku lemah.
"Kita enggak bisa membuat semua orang menyukai kita. Mau sebaik apa pun, pasti ada yang membenci dan ada pula yang menyayangi. Kamu dan Mas Rudi memang enggak ada apa-apa. Lagi pula, siapa Dita? Kenapa dia seolah mengatur-ngatur dengan siapa kamu berteman. Sudah jangan dipikir lagi, ya!" ujar Nova.
Apa yang ia katakan memang ada benarnya, sih. Mau dipikir sampai migrain pun, kita tidak bisa mengatur perasaan manusia kepada kita.
Nova kembali melanjutkan, "Terus kamu pulang sama siapa? Dijemput Masmu? Kalau mau, bareng aku saja."
"Rumah kamu di Sidoarjo, aku sungkan sama Ibumu. Kita 'kan enggak searah, Nov."
Nova menepuk punggungku. "Idih! Rumah kamu itu dekat. Jangan pakai sungkan segala. Kita sudah lama berteman. Ibuku juga pasti tidak keberatan mengantarmu."
"Emmanuella!"
Belum sempat menjawab, terdengar seruan namaku. Aku dan Nova menengok ke belakang. Betapa terkejutnya karena ternyata Ali yang memanggilku
Nova membisik. "Itu anak yang disukain si Bella, bukan?"
Aku mengangguk pelan.
Kaki jenjang Ali membuatnya tidak butuh waktu lama untuk menyusul langkahku dan Nova.
"Ada apa, Li?" tanyaku. Jantungku berdegup begitu kencang saat kami saling berhadapan.
Ali melirik ke arah Nova. "Aku boleh bicara berdua sama kamu?" tanyanya.
Nova paham dengan kode yang dilontarkan Ali. Ia menyenggol lenganku. "Kamu jadi pulang bareng aku, enggak? Kalau iya, aku tunggu di depan."
"Aku ..."
Ali buru-buru menyela. "Kamu bisa pulang sama aku, Emmanuella. Itu juga kalau kamu mau."
Hatiku serasa mau meledak.
Ini beneran? Ali ajak aku pulang bareng?
Nova tersenyum penuh arti. "Ya sudah kalau begitu, aku duluan, ya, Emm."
"Hati-hati, Nov." Aku melambaikan tangan mengantar kepergian Nova.
Kini, tinggal aku dan Ali berdua saja, lelaki itu melihatku dengan saksama. Tatapannya seolah sedang membaca isi pikiranku. Sorot mata Ali membuatku makin gugup dan salah tingkah.
"Ma-mau ngomong apa?" tanyaku.
"Soal kamu dan Rizal," terang Ali.
4. UPSIDE DOWN
"Kita sambil jalan aja, ya." Ali berjalan di sisiku dengan tenang. Seperti biasa, raut wajah lelaki ini nyaris tanpa ekspresi.
Aku mengikuti langkah Ali dengan jantung tak karuan.
Kali ini, aku benar-benar yakin bahwa aku memang memiliki perasaan istimewa terhadap Ali. Sikap tidak acuhnya, berhasil memikat hatiku. Selain itu, ia adalah satu-satunya lelaki yang jalan pikirannya sama sekali tidak mampu kutebak.
"Rumahmu di mana, Emmanuella?" tanya Ali lagi.
"Panggil Emma, aja," sahutku. "Dekat sini, sekitar empat - lima kilo dari sekolah."
Kami sampai di areal parkir, Ali duduk di atas motor dan mengenakan helm. "Naik," ucapnya.
Aku menurut saja, kedua tanganku memegang bahu Ali ketika menaiki kendaraan roda duanya. Ia memastikan aku sudah duduk nyaman baru kemudian melajukan motor.
Angin yang menyapu tubuh Ali membuat hidungku bisa mengendus aroma tubuh lelaki ini. Aromanya seperti sabun --- entahlah --- yang jelas bukan parfum.
"Kamu dan Mas Rizal pacaran?" kata Ali mengejutkanku.
"Enggak," jawabku.
"Dekat?" lirik Ali dari kaca spion.
Aku mengulum senyum, ia cemburu rupanya? Sudah jelas, Ali menyukaiku juga, tetapi, cara ia mendekatiku memang berbeda dari cowok kebanyakan.
"Sama sekali enggak dekat. Kenapa memangnya?" pancingku.
Ali berdecak. "Sial. Kupikir kalian dekat."
Aku mulai bingung. “Ma-maksud kamu?”
"Kalau kalian dekat atau sedang pacaran, aku ingin meminta bantuanmu," ujar Ali.
"Bantuan?" tanyaku tidak sabar.
"Aku tertarik dengan aliran Death Hardcore. Barangkali, band Mas Rizal mau nerima gitaris sepertiku. Atau mungkin, dia bisa membantuku berkenalan dengan komunitas pencinta Hardcore," terang Ali.
Senyum di bibirku sirna seketika. Jadi, maksud Ali, dia sama sekali tidak tertarik padaku? Dia mendekatiku supaya bisa mendekati Rizal?
"Kamu lebih tertarik sama musik Hardcore ketimbang sama aku, Li?!" sungutku kesal.
Ali menengok ke belakang dengan mata terbelalak. "Hah? maksudmu?"
Semua cowok di sekolah tertarik padaku, tapi tidak dengan Ali. Tidak mungkin!
"Maksudnya kamu ..." Kalimatku terhenti ketika netraku tidak sengaja menangkap Daihatsu Taruna yang dikemudikan oleh Papa.
Masa' itu Papa? Bukannya Papa lagi ada di Bekasi? Tapi dari plat nomor kendaraannya, jelas itu Papa.
Aku menunjuk ke arah seberang. "Ali, bisa kamu ikuti mobil itu!" seruku.
"Apa? Kenapa?" selidik Ali.
Aku meremas kedua pundak Ali kuat-kuat. "Ikuti saja!
"Enggak mau. Kenapa aku harus melakukannya?" tolak Ali.
"Kamu benar-benar menyebalkan, ya!" dumalku. "Kalau kamu mengikutinya, aku akan mengenalkanmu dengan Emran. Kamu tahu Emran?"
"Vokalis band-nya Mas Rizal, bukan? Kamu kenal Mas Emran?" cecar Ali antusias.
"Lebih dari kenal! Makanya, cepat ikuti mobil Taruna yang tadi!" titahku.
Ali berbelok untuk membuntuti mobil Papa sesuai dengan arahanku.
Aku heran, kenapa Papa masih di Surabaya? Padahal, sudah jelas dia bilang akan berangkat dengan penerbangan ke Jakarta paling pagi. Papa berbohong?
"Siapa yang sedang kita ikuti ini, Emmanuella?" Pertanyaan dari Ali membuyarkan lamunanku.
"Papaku."
Hampir sepuluh menit, aku dan Ali mengekori kendaraan Papa. Daihatsu Taruna itu lantas masuk ke dalam salah satu hotel garasi yang berada di sudut jalan. Disebut hotel garasi karena tersedia garasi pribadi yang berada tepat di bawah ruang kamar. Hotel-hotel berjenis seperti itu, terkenal sebagai tempat esek-esek sebab memberlakukan tarif short time.
Kedua lutut kakiku gemetaran. Untuk apa Papa masuk ke dalam hotel itu?
"Kamu yakin itu Papamu?" tanya Ali. Ia seolah menyadari kegusaran yang tersirat di wajahku.
Aku mengangguk.
"Aku tidak mungkin salah." Mataku mulai panas dan berkaca-kaca. "Buat apa dia masuk ke sana, Li?"
Ali berdeham. Mimik datarnya berubah canggung. "Aku enggak tahu. Itu urusan orang dewasa. Mungkin saja, dia sedang bersama Mamamu?"
"Tapi Papaku bilang kalau dia ke Jakarta pagi ini. Untuk apa dia bohong?"
Ali tidak menjawab. Aku sadar telah menempatkan Ali dalam posisi sulit. Tetapi, aku terlalu takut untuk menghadapi masalah ini seorang diri.
Kami cukup lama menunggu di depan hotel tersebut. Ali tetap terdiam dan tidak berbicara sepatah kata pun. Meski begitu, lelaki itu tetap sabar menemaniku.
"Mobil Papamu keluar," ucap Ali.
Aku meringkuk untuk menutupi wajah. "Ada siapa saja di mobilnya?" tanyaku kepada Ali.
"Aku lihat hanya Papamu saja di kursi kemudi," jawab Ali.
Mendengar penjelasan Ali, aku nekat masuk ke dalam hotel. Aku pergi menuju kamar yang tadi dimasuki oleh Papa.
Ali mengejarku, lelaki itu mencoba menahanku. "Kamu mau ngapain?"
"Aku mau tahu dengan siapa Papaku tadi bertemu," tegasku.
"Emmanuella, sebaiknya kamu tidak ikut campur dengan urusan orang dewasa."
"Orang dewasa itu Papaku, Li," kataku berang
Mata kami saling beradu, Ali melihat keteguhan dari sorot mataku.
"Aku akan menemanimu," ujarnya.
Kami berdua membuka pintu rolling up dan masuk ke dalam garasi, kemudian berjalan menuju tangga untuk naik ke kamar. Berulang kali aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk.
Toktoktok. Kuketuk pintu kamar itu.
Tidak menunggu lama, seorang wanita membuka pintu, ia semula tersenyum, tetapi tarikan bibirnya langsung sirna ketika melihatku
Kami sama-sama membeku --- mematung di depan pintu kamar.
Wanita yang berdiri di hadapanku ini sudah tidak muda lagi. Dia kira-kira seusia Papa. Ia juga tidak cantik --- Mama masih lebih muda dan cantik ketimbang dirinya.
"Apa yang Ibu lakukan dengan Papa saya?" tanyaku memecah sunyi.
"Kamu putrinya Mas Surya?" Ia membetulkan pakaiannya yang berantakan.
Aku menjawab dengan anggukkan kepala.
"Mari kita bicara di kafetaria luar," ajak wanita itu. "Oh ya, kenalkan, saya Sari."
***
Aku dan Ali duduk di bangku panjang sebuah warung kopi yang terletak tidak jauh dari kompleks perumahanku.
"Kamu belum mau pulang?" tanya Ali
Aku menggelengkan kepala.
Pembicaraan dengan Sari masih terngiang-ngiang dalam benakku. Wanita itu bilang bahwa ia dan Papa sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka berdua bertemu lagi sekitar setengah tahun yang lalu dalam sebuah acara reuni. Pertemuan tersebut membuat Papa dan Sari semakin dekat dan menjalin asmara terlarang. Sari sendiri sudah memiliki anak dan suami.
Hari ini, Sari bilang bahwa Papa mengakhiri hubungan kasih mereka.
"Sebaiknya kamu rahasiakan pertemuan kita dari Mas Surya, maupun Mamamu. Kalau salah satu dari mereka tahu, rumah tangga orang tuamu bisa retak. Toh, aku dan Papamu sudah mengakhiri hubungan. Mas Surya memutuskan kembali ke keluarganya, begitu pun denganku. Cobalah lupakan semuanya, Emma."
Kata-kata Sari terus mendengung di telinga.
Aku masih tidak percaya kalau ternyata papa berselingkuh. Selama ini, papa membohongi kami. Walaupun Sari bilang hubungan mereka sudah berakhir, tetapi tetap saja, hatiku sudah terlanjur hancur berkeping-keping.
"Maaf. Maaf karena membawamu ke dalam kekacauan, Li," kataku lirih.
"It's okay." Ali mengaduk-aduk es teh pesanannya. "Kalau kamu sudah mau pulang, bilang saja."
Aku melirik ke arah jam tangan, sudah hampir pukul lima sore. “Kita pulang sekarang saja, yuk. Kalau Mamaku lihat aku belum di rumah, bisa-bisa dia ngomel.”
Ali akhirnya mengantarku pulang. Perhatian yang ia berikan memang lain dari pada yang lain. Ali tidak memaksakan diri untuk menghiburku, justru, berada di sisiku tanpa banyak bicara adalah cara terbaik untuk menenangkanku.
Sayang.
Ali tidak punya perasaan yang sama padaku. Aku begitu percaya diri karena menarik kesimpulan yang salah.
"Emm, kamu dari mana saja? Sesore ini baru pulang?!" cecar Emran.
"Aku pergi sama Ali. Kamu ingat Ali? Bandnya tampil sebagai band tamu di pensi sekolahmu tempo lalu." Aku memperkenalkan Emran dengan Ali.
Ali semringah. "Mas," sapanya. Ia mengulas senyum lebar --- sebuah senyum yang tidak pernah ia tujukan padaku.
"Eh, iya. Aku ingat. Kamu si gitaris itu, bukan? Band kalian membawakan lagu Sweet Emotion," sambut Emran.
Ali mengangguk. "Betul."
"Penampilan band kalian bagus, tetapi, permainan gitarmu yang paling mencolok," puji Emran.
"Makasi, Mas Emran. Sebenarnya, aku justru sangat tertarik dengan aliran Hardcore," terang Ali.
Aku meninggalkan Ali dan Emran yang bercakap-cakap di depan teras. Aku sudah melunasi janjiku kepada Ali. Pada hari ini, aku mengalami dua kali patah hati.
Patah hati untuk Ali dan Papa. Tetapi, rasa sakit akibat kebenaran tentang Papalah yang lebih menyiksaku. Aku tidak lagi bisa memandangnya dengan cara yang sama. Terlebih, aku harus menyimpan rahasia besar ini seorang diri.
***
"Emma?" Mama membuka pintu kamarku tanpa mengetuk terlebih dulu.
Aku buru-buru menghapus sisa air mata di pipi. "Ma, ketok dulu, dong!" omelku.
Mama tidak mengindahkan protesku, ia melenggang masuk dan duduk di atas ranjang. "Untuk apa Mama ketok pintu di rumah Mama sendiri," sahutnya.
Aku memalingkan muka untuk menyembunyikan mata sembab karena tangis.
"Mas Emran bilang sama Mama kalau kamu pulang telat hari ini. Kamu abis dari mana? Mama 'kan sudah melarangmu main sepulang sekolah, Emm," cecar Mama.
Andai saja Mama tahu apa yang baru saja terjadi padaku.
"Aku tadi ..." kataku terbata.
Mama menghela napas. "Kamu pergi sama cowok yang nganterin kamu itu, ya? Mama tadi ketemu di depan, dia sedang ngobrol sama Mas Emran."
Aku tidak merespon dan tetap menyembunyikan wajahku dari mama.
"Emma?" Mama menarik daguku dengan jemari. "Kamu habis menangis?"
"Eng-enggak, Ma," elakku. Padahal, jelas-jelas Mama sudah memergoki air mataku.
Mama berdecak. "Kamu habis bertengkar dengan siapa? Cowok yang mengantarmu tadi, ya? Kebiasaan, deh, kamu, Emm. Sudah berapa kali Mama bilang, kamu itu anak sekolah. Jangan pikirkan masalah percintaan terus. Sebentar lagi kamu ujian kenaikan kelas, harusnya fokus belajar."
Aku menatap manik mata Mama yang kecokelatan. Seperti biasa, Mama selalu membuat kesimpulan sendiri tanpa mendengarkan penjelasan dariku. Sudah kebiasaannya menjadi seorang ibu yang otoriter.
"Mama enggak mau, ya. Kamu abai sama pelajaran karena lebih sibuk mengurus cowok. Kamu mengerti, Emm?" hardik Mama.
"Ngerti." Aku tertunduk.
Mama beringsut bangun sambil berkacak pinggang. "Mama akan telepon Papa supaya tidak lagi terlalu memanjakanmu. Sekarang kamu mandi dan ganti baju. Masa' masih pakai seragam sekolah, sih?"
"Iya, Ma," jawabku.
Kali ini aku merasa sendirian. Dulu, aku bisa bertahan dari semua kemarahan Mama karena punya Papa. Sosok lelaki paling kusayang dan kagumi. Namun, sekarang, semuanya sudah berubah.
Aku sendiri.
***
Bella menepuk bahuku dan menghampiri kursi di mana aku duduk sambil menjatuhkan kepala di atas meja kelas.
"Tumben enggak ke kantin, Emm?" sapa Bella.
"Mana yang lain?" tanyaku pada Bella. Aku tidak melihat Anna dan Nova kembali ke kelas bersamanya.
"Masih di kantin," sahut Bella. Senyum di wajah Bella merekah, ia mencondongkan tubuh untuk mendekat. "Eh, Emm, kemarin kamu pulang bareng Ali, ya?"
"Tahu dari mana?" Aku menopang dagu dengan kedua telapak tangan.
"Nova tadi cerita. Kenapa enggak bilang-bilang, sih? Aku penasaran sama kelanjutannya. Jadi, gimana kamu sama Ali? Dia PDKT?" cecar Bella antusias.
Aku menggelengkan kepala. "Enggak seperti yang kamu duga. Ali ternyata hanya tertarik dengan musik Death Hardcore. Kalau dibilang PDKT, ya, dia lagi PDKT sama Mas Emran supaya bisa gabung band-nya," terangku.
"Masa', sih?!" Alis Bella bertautan. "Akal-akalan dia kaleus. Pertama deketin masnya dulu, baru adiknya."
"Sudahlah, Bell. Aku sedang tidak nafsu bahas tentang Ali," kataku. "Apa rencanamu Sabtu besok?"
"Tumben tanya rencanaku?" selidik Bella keheranan.
Aku merasa sesak jika harus berada di rumah dan bertemu dengan Papa. "Aku bosan di rumah. Kita jalan, yuk! Atau aku main ke rumah kamu, deh," ajakku.
"Mama kamu enggak marah? Kamu bilang kamu sedang dilarang main," ucap Bella.
"Aku bisa berbohong," gumamku.
Bella terkekeh. "Emm, kamu serius bakal bohong? Itu enggak terdengar seperti Emma."
Bella benar. Selama ini aku tidak pernah berani melawan atau berbohong kepada orang tua.
"Sabtu besok ada party di rumah Biyan. Dia bisa ngadain acara kumpul-kumpul setiap dua sampai tiga minggu sekali," lanjut Bella.
"Biyan? Anak mana?"
"Astaga, Emm? Biyan seangkatan sama kita, lho. Dia anak IPA - 2. Kamu emang kurang peduli dengan rakyat jelata, ya?" sahut Bella seraya cekikikan.
"Aku, kok, enggak tahu, ya, ada party semacam itu selama ini?"
"Dulu banget, aku sering ajak kamu buat ikut, tapi kamu selalu menolak. Kamu lebih banyak menghabiskan hari libur bersama keluarga. Jadi, kalau memang kamu besok ikut ke sana, mereka semua pasti heboh. Emma, The Goddest of School, datang ke acara rakyat jelata?" goda Bella.
Aku mendecih. "Bisa aja kamu, Bell. Jam berapa acaranya? Mungkin, aku akan datang."
***
Pertemuan dengan Sari mengubah cara pandangku terhadap dunia dan manusia.
Dunia tidak seindah dongeng Disney yang selama ini selalu aku lihat. Dan, manusia adalah ciptaan Tuhan yang berpotensi menghianati kepercayaan yang sudah diberikan.
Kupikir, Papa adalah satu-satunya manusia yang paling bisa kuandalkan --- tempat untuk bersandar. Apa lagi, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghilangkan sakit hati terpendam ini. Sekarang, aku seperti bukan diriku yang dulu.
Aku kini adalah seorang anak yang mengemban luka dan rahasia.
"Emma? Kamu mau ke mana?" Mama menghentikan langkahku yang berlari menuju pintu utama.
"Aku ada janji sama Bella dan teman-teman sekelas. Ada tugas kelompok buat hari Senin, Ma." Tentu saja aku berdusta.
Pintu utama terbuka, sosok Papa yang (katanya) baru pulang dari Jakarta masuk ke dalam sambil menenteng koper kecil.
"Assalamulaikum," salam Papa.
Mama menghampiri Papa. "Waalaikumsalam. Bagaimana perjalanannya, Pa? Pasti lelah, ya?"
"Lumayan," sahut Papa menarik sudut bibir ke atas.
Semua ini palsu. Rasa bersalah merongrong nuraniku karena melihat Mama yang tidak tahu apa-apa.
"Aku pergi, ya. Bella sudah menjemput di depan." Aku melenggang begitu saja tanpa menyalami kedua tangan orang tuaku.
"Emma? Kamu mau ke mana? Papa punya oleh-oleh untukmu," kata Papa.
"Dia mau belajar kelompok katanya, Pa," terang Mama.
"Mau Papa saja yang antar?" tawar Papa.
"Tidak usah. Kubilang Bella sudah nunggu di depan." Aku melirik Mama dan mengabaikan Papa. "Aku pergi, Ma."
Bella menungguku dari dalam mobilnya. Gadis itu tampil stylish dengan baby tee dan hight waist jeans.
"Kita berangkat sekarang, Emm?" ajaknya.
"Oke." Aku mengeluarkan beberapa potong pakaian dari dalam tas besar yang kubawa.
Mata Bella terbelalak sembari menyetir. "Kamu bawa pakaian ganti?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Enggak mungkin, 'kan, aku ke party dengan penampilan seperti ini?"
Bella terkikik ketika aku menunjuk pada kemeja dan celana panjang yang kukenakan. "Ah, Emm. Kamu pakai apa pun tetap saja cantik!"
Aku membuka kemeja dan menggantinya dengan mini dress berwarna abu. Aku juga mengoles bibir pucatku dengan pewarna bibir. Rambut panjang yang semula kugulung rapi, kugerai dan menampakkan tampilan rambut bergelombang.
"Now, I'm ready!" seruku.
***
Kami memasuki kompleks perumahan yang berada di wilayah Sidoarjo.
Mobil Bella berhenti di depan rumah sederhana yang memiliki halaman luas. Aku mengintip dari balik kaca jendela, jantungku berdebar. Ini pertama kalinya aku datang ke acara kumpul-kumpul begini.
Beberapa anak sudah nongkrong di depan gerbang sambil bercakap-cakap. Suasananya lumayan ramai, ada yang sibuk memanggang barbeque juga di sekitar teras.
Saat aku keluar dari mobil, semua mata tertuju padaku dan Bella. Mereka seolah tidak percaya aku bakalan datang. Suasana yang semula berisik seperti pasar, tiba-tiba hening akibat kemunculanku. Aku merasa bagai guru BK yang memergoki kenakalan siswa.
"Emm, mereka semua kaget karena kamu datang," bisik Bella.
Aku menelan saliva. "Justru, aku yang deg-deg'an berada di sini."
Bella menggandeng tanganku. "Tenang saja. Aku yakin mereka semua akan membuatmu nyaman. Kamu akan jadi pusat perhatian dan bahan rebutan."
Aku dan Bella berjalan masuk ke dalam. Tidak sepertiku yang canggung, Bella bisa membaur dengan mudah. Mungkin, karena dia sudah beberapa kali hadir di acara semacam ini.
"Hai, Emma."
"Emm, tumben kamu datang?"
"Duduk sini, yuk, Emm!"
"Emma, mau minum apa?"
Bella benar.
Tidak butuh waktu lama, mereka mengerubungiku seperti semut yang melihat tumpahan gula. Tau-tau, Bella sudah menghilang entah ke mana, sementara aku terperangkap di antara 'sekte pemuja Emma'.
"Mau minum?" tawar salah seorang teman sekelas yang kukenal.
"Thank you, Ran," ucapku sambil menerima soda pemberian Randi.
Tidak mau kalah, Wisnu - anak kelas sebelah - menyerobot dan duduk di sampingku. "Emma, kamu mau kuambilkan makanan?" tawarnya. Ia tak ragu merangkul bahuku.
Aku berdiri dari duduk. Semua terasa menyesakkan. Mungkin, aku salah karena datang ke sini. Hal-hal seperti ini sama sekali bukan gayaku. Selain itu, musik yang terputar di speaker juga membuat kepalaku pening.
"Aku cari Bella dulu, ya!" elakku.
Aku berjalan menembus keramaian. Rumah yang tidak seberapa luas ini, dipenuhi oleh banyak orang asing. Anehnya, mereka semua mengenalku. Berulang kali mereka menahan tanganku. Aku juga tidak menghitung berapa banyak tubuhku disentuh tanpa permisi.
Bella mana, sih!?
Aku tidak menemukan Bella di mana pun. Aku memutuskan naik ke lantai dua, menyusuri undakan yang sempit dan curam untuk mencari udara segar.
Keputusanku benar, tidak ada siapa pun di lantai dua.
Ruangan itu cukup lega, dengan dua pintu yang sepertinya adalah kamar pribadi. Aku berjalan menuju balkon yang sepi, dari atas, aku bisa melihat keramaian yang terjadi di bawah.
Kutarik napas dalam.
Melarikan diri dari masalah keluargaku sekali tidak membantu. Sekarang aku malah terjebak di tempat di mana aku seharusnya tidak berada.
Aku merogoh ke dalam tas untuk mencari tisu untuk menghapus air yang hampir turun. Tanpa sengaja, aku menemukan kain hitam yang Ali dulu pinjamkan.
"Ali ..." gumamku.
Wajah dingin lelaki itu tiba-tiba terpatri dalam benak. Semua tentang dirinya yang ternyata masih tersimpan dalam relung hatiku. Sorot mata tajam Ali, dua lesung di pipinya saat tertawa, hidung mancung dan rambut hitam lurusnya yang tebal.
Ali, masih bisa menggetarkan perasaanku, meski, keberadaannya tidak kutemui di sini.
"Hei."
Aku berjingkat terkejut mendengar suara sapaan yang membuyarkan lamunan. Kepalaku menoleh, seorang lelaki bertubuh tinggi sudah berdiri di belakang.
"Eh, ha-halo ..." kataku terbata.
Lelaki itu tersenyum, sebuah garis melengkung yang membuat mata sipitnya menghilang karena bersembunyi dalam tarikan tawa. Ia menghampiriku dan menyandarkan tubuh di reling balkon.
"Aku enggak sangka kamu akan datang ke acara seperti ini," kata lelaki itu.
Aku menunduk seraya menyisipkan rambut ke belakang telinga. "Ya, tapi, sepertinya aku tidak cocok berada di keramaian."
Ia tertawa. Wajah lelaki itu terlihat makin ramah dan menarik akibat gigi gingsul yang ia miliki. "Masa'? Aku pikir mereka semua bohong waktu bilang kalau Emmanuella datang ke mari."
Aku mengendikkan bahu. "Here I'am."
Ia memandangku dengan mata bulat dan sorot sayu. "Ya, aku baru percaya setelah melihatmu dengan mataku sendiri."
Kami saling melempar senyum.
Aku sama sekali tidak tahu siapa dia, tetapi, dia mengenalku. Mungkin, dia teman satu sekolah? Kira-kira, apakah sopan jika aku bertanya siapa namanya?
"Kamu sering datang ke acara ini?" tanyaku.
Ia tertawa. Sungguh respon yang tidak kuharapkan. Apa yang lucu?
"Ya, setiap hari aku di sini," sahutnya.
"Oh ya? Ngapain?" tanyaku lagi.
Kali ini ia makin terbahak. "Kamu bener enggak kenal aku, ya? Padahal kita satu angkatan. Tapi, wajar, sih. Anak populer sepertimu tidak perlu mengenal murid biasa seperti aku," ledeknya.
Aku makin serba salah. "Eh, enggak gitu. Aku memang kesulitan menghapal nama orang. Maaf, kalau membuatmu tersinggung.
"Sama sekali enggak. Santai saja." Ia menyugar helai rambut yang menutup alisnya. Mata lelaki itu nyalang ke arah hiruk pikuk di bawah. "Aku setiap hari ke sini karena ini adalah rumahku." Ia beralih memandangku. "Aku Biyan."
5. NAUGHTY GIRL
"Aku Biyan."
Oh, jadi ini yang namanya Biyan?
Aku memandang Biyan dengan saksama, mengingat fitur wajah lelaki itu untuk menyimpannya dalam memori otak. Aku memang lemah dalam hal menghafal nama dan muka orang. Kekurangan itu sering disalah artikan sebagai bentuk kesombongan.
Biyan tersenyum ramah kepadaku, lelaki ini terlihat baik.
"Sebagai tuan rumah, aku minta maaf kalau acara kumpul-kumpul ini tidak sesuai dengan seleramu. Terkadang, aku pun merasa mereka terlalu berisik," kata Biyan.
"Bukan, ini bukan salahmu. Enggak perlu minta maaf," sahutku. "Akunya aja yang baru pertama kali ke acara seperti ini."
Biyan melirikku melalui sudut matanya. "Masa', sih?"
"Iya. Biasanya tiap hari libur, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga," terangku.
"Keluarga yang harmonis, ya, Emm?" timpal Biyan.
Senyum pada bibirku pudar. "Enggak juga," gumamku lirih.
Mata Biyan menerawang. "Kalau aku tinggal sendiri di rumah. Dua orang tuaku sibuk bekerja di luar kota, mereka hampir tidak pernah pulang. Sementara, saudariku sudah menikah dan ikut suaminya. Aku ada nenek, sih, tapi, dia lebih pilih menemani ibuku dinas di luar kota."
Aku mendengarkan Biyan tanpa melontarkan pendapat apa pun. Mau kutanggapi apa, aku juga bingung.
Biyan kembali melanjutkan bicara, "Mengundang teman satu sekolah ke sini, cukup mengusir rasa sepi. Apa lagi, hari ini kedatangan tamu istimewa."
"Oh ya? Siapa?" selidikku.
Biyan menoleh dan menarik sudut bibir ke atas. "Siapa lagi? Ya, kamulah."
Aku terkesiap dan menghindari kontak mata di antara kami. Entah mengapa, sorot mata Biyan membuatku kikuk. Beda dengan dia yang tidak canggung atau malu saat saling bertukar pandang denganku.
"Mau ke kamarku?" ajak Biyan.
"Apa?" tanyaku terbelalak.
Biyan terkekeh. "Disana banyak buku bacaan dan kita bisa mendengarkan musik yang tenang. Kamu juga bisa rebahan, Emm."
"Di sini saja, deh," tolakku.
Biyan menyenggol lenganku. "Kenapa? Takut kuapa-apain, ya?"
"Eng-enggak! Bukan begitu, kok." Aku mulai merasa salah tingkah berada di dekatnya.
Biyan mendekatkan wajahnya untuk membisik. "Jadi, enggak apa-apa aku apa-apain?" godanya.
Wajahku memanas. Tidak hanya itu, jantungku juga berdebar kian kencang akibat ulah lelaki ini. Harusnya, aku bisa pergi saja meninggalkan dia, tetapi, anehnya aku enggan. Biyan seolah memiliki daya tarik yang membahayakan.
Aku bagaikan anak rusa yang sedang bermain-main dengan seekor singa buas. Biyan membangkitkan perasaan berdesir yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Lengan Biyan ketika menyentuh lenganku, embusan napas hangat yang menggoda telingaku --- layaknya candu.
Mungkin ini yang disebut gairah.
"Memangnya buku apa saja yang kamu punya?" selidikku memberanikan diri.
"Banyak. Dominasi komik, sih," jawab Biyan.
"Oh ya? Aku suka baca komik," ujarku.
Biyan berjalan selangkah di depanku. "Kalau begitu kamu bisa baca komik-komik di kamarku. Yuk." Ia menunjuk pintu kamarnya dengan dagu.
Aku tahu apa yang kulakukan salah. Masuk kamar seorang lelaki yang baru kukenal hari ini, jelas bukan keputusan benar. Tapi, masa bodoh. Aku sudah dewasa, 'kan. Aku tidak ingin terus menjadi anak perempuan yang polos dan lugu.
"Silakan." Biyan membuka lebar pintu kamar. Lelaki itu memiringkan badan agar aku bisa masuk ke dalam kamar.
Setelah aku sudah berada di dalam, ia membuka tirai jendela kamar untuk mengizinkan sinar matahari menembus masuk. Ukuran kaca jendela Biyan cukup besar dan lebar, hampir seluas dinding. Mataku menelisik poster-poster band yang menempel di tembok bercat abu-abu tua. Di atas meja belajar, berserakan buku-buku pelajaran bercampur dengan majalah dan komik. Sementara kasur Biyan tertata rapi dengan satu bantal dan selimut tebal menutup ranjang. Kuakui, untuk ukuran kamar seorang lelaki, ini cukup rapi. Bahkan, lebih rapi ketimpang kamarku yang mirip kapal pecah.
"Komiknya ada di sini, Emm," tunjuk Biyan. Ia berjalan ke arah rak buku tinggi di samping meja belajar.
Aku berdecak kagum. "Wah, banyak juga."
Biyan meringis. "Masa', sih? Pilih aja yang kamu suka."
Aku mengambil sebuah buku pelajaran bahasa, buku itu tampak berbeda. "SMA 6 Semarang?" tanyaku.
"Aku, 'kan murid pindahan. Aku pindah ke Surabaya saat kenaikan kelas dua," jelas Biyan.
Aku mengangguk. "Hmm, tapi kamu termasuk supel, ya. Dalam waktu kurang dari setahun, rutin mengadakan acara kumpul-kumpul yang dihadiri hampir semua angkatan kita."
"Lumayanlah." Biyan menaikkan sebelah alisnya ke atas.
"Kenapa kamu pindah ke sini?" selidikku.
Biyan cengengesan. "Karena aku bocah nakal di Semarang." Ia lalu menjatuhkan bokong ke atas kasur. "Tapi, aku sangat bersyukur pindah ke Surabaya dan bersekolah di sekolah yang sekarang," ujarnya.
"Kenapa?"
"Karena aku bisa bertemu kamu," sahut Biyan.
Aku yakin seratus persen kalau Biyan sedang menggombal. Tapi, tetap saja, ucapannya membuat jantungku lagi-lagi berdebar tak karuan.
"Aku pinjam yang ini, ya!" Aku mengambil acak salah satu komik Biyan untuk mengalihkan perasaan salah tingkah. Lalu, kutarik kursi dan duduk di depan meja belajar.
Komik asal Jepang bergambar menarik itu belum pernah kubaca. Selain itu, judulnya juga cukup asing, Golden Boys.
Lembar demi lembar kubalik dengan serius. Lama kelamaan, aku mulai menemukan banyak visualisasi telanjang dalam komik itu. Ini komik porno!
Biyan berdiri di belakangku, ia membungkuk dan menopang badan dengan tangan. "Aku baru tahu kamu suka hentai¹," ucapnya.
(¹ hentai : konten bermateri seks atau adegan dewasa)
"A-aku enggak tahu ini komik begituan. Kayaknya aku salah ambil," kelitku. Buru-buru kututup buku komik yang kubaca.
Biyan terkikik. "Emma, saat kamu malu-malu begini, wajahmu jadi sangat menggemaskan."
Gawat. Jantungku berdebar-debar lagi!
Aku ingin mengembalikan buku vulgar ini ke rak, tetapi, posisi tubuh Biyan yang membungkuk di belakangku, membuatku tidak mampu berkutik.
Aku menoleh. "Akan kukembalikan ke rak."
Mata kami saling beradu, selain itu, wajahku dan Biyan berjarak begitu dekat. Rasanya, aku kesulitan untuk bernapas karena takut napasku akan mengenai muka Biyan. Tetapi, tidak dengan Biyan. Lelaki ini tetap tenang berada di sisiku sedekat ini. Sudah pasti, dia sangat berpengalaman dengan wanita.
"Sini, biar aku yang kembalikan." Ia mengambil komik itu dan menaruhnya kembali ke dalam rak. "Bagaimana kalau ini? Apa ini sesuai seleramu?" Biyan menunjukkan komik Crayon Shinchan padaku.
Aku mengangguk. "Boleh."
"Selagi kamu membaca, boleh enggak aku merokok di depan jendela? Jangan khawatir, asapnya akan langsung mengarah ke luar." Biyan duduk di kusen jendela kamar.
"Terserah," sahutku.
Lelaki itu kemudian mengeluarkan sekotak rokok. Ia mengambil satu batang dan mengamit puntung itu di bibir merahnya. Aroma tembakau mulai terendus oleh indra penciumanku. Menit demi menit berlalu, tidak ada lagi yang kami bicarakan. Di dalam ruang kamar, aku hanya mendengar suara napasku sendiri dan embusan dari mulut Biyan ketika meniupkan asap sigaret.
Biyan bangkit dari duduk setelah menghabiskan dua puntung rokok. Ia berdiri di sampingku dan membuka laci meja belajarnya. Lelaki itu mengeluarkan benda mungil berbentuk segi empat, lengkap dengan headphone.
"Pernah dengar lagu pakai walkman?" tanya Biyan.
"Papaku di rumah punya. Sepertinya, waktu aku kecil, aku pernah dengar pakai alat seperti ini," terangku.
"Mau dengerin, enggak?" tawar Biyan.
Aku mengangguk. "Boleh."
Biyan tersenyum dan memasukkan kaset pita ke dalam alat walkwan. Lelaki itu kemudian memasang headphone pada kedua telingaku. Aku mulai mendengar alunan nada rock and roll.
"We're caught in a trap
I can't walk out
Because I love you too much, baby."
Suara khas Elvis Presley berdendang di telinga, namun lagunya asing bagiku. Meski begitu, aku cukup menikmati irama dan liriknya yang menarik.
"Tahu lagunya?" tanya Biyan.
Aku melonggarkan headphone untuk mendengarkan perkataan Biyan. "Apa?"
"Tahu lagunya?" ulang Biyan.
Aku menggeleng.
"Suspicious Mind, Elvis Presley," terang Biyan. Ia kembali memakaikan headphone pada telingaku.
"We can't go on together
With suspicious minds
And we can't build our dreams
On suspicious minds
Oh, let our love survive."
Aku kembali menghayati lagu, tiba-tiba, Biyan kembali mengatakan sesuatu (yang lagi-lagi tidak kudengar).
"Apa?" tanyaku seraya melepas penyuara jemala.
"Aku boleh cium kamu?" Biyan berlutut di depanku. Sorot matanya tajam, namun sendu.
"A-apa?" ulangku.
Biyan memajukan tubuhnya, mendekati wajahku. Telapak tangannya berjalan menyusuri dagu dan pipiku. Kulit kami saling bersentuhan --- suhu tubuh Biyan hangat.
Jarak di antara bibir kami hanya seujung jari. Biyan membelai rambutku dan menyisipkannya ke belakang telinga. Ia memejamkan mata seraya mengendus aromaku dengan hidungnya yang menempel di kulit bibirku. "Boleh, 'kan?" bisiknya.
Seluruh tubuhku serasa dialiri tegangan listrik. Semua sentuhan Biyan membangkitkan adrenalin dan gairah pada diriku. Aku tidak kuasa menolak godaan yang ia berikan.
Biyan menganggap diamku sebagai tanda persetujuan. Lelaki itu pun mendaratkan bibirnya pada bibirku. Seutas keraguan yang membesit pada relung hati tertutup oleh gairah yang sudah membara. Biyan mencuri ciuman pertamaku.
Kecupan Biyan begitu lembut dan memabukkan. Ia melumat bibirku seolah permen. Aku bisa mencecap rasa tembakau bercampur cola ketika lidah Biyan memburu lidahku.
Ciuman yang semula perlahan tanpa buru-buru, berubah menjadi semakin liar. Biyan dengan agresif menarikku ke dalam pelukan. Kecupan yang dalam dan sensual menyatukan kami berdua. Jelas, aku dan Biyan tidak saling mencintai, jadi, ciuman ini kami lakukan atas dasar nafsu belaka.
Biyan mulai berani menyusuri leherku. Aku tersentak karena terkejut oleh perlakuannya. Tidak berhenti di situ, ia tanpa ragu membelai pahaku dan menyelipkan jemari untuk masuk dalam rokku yang tersingkap.
Kenapa aku melakukan ini? Berciuman dengan lelaki asing yang baru kutemui beberapa menit lalu.
Aku ingin mencari pelarian dari penghianatan yang dilakukan oleh Papa. Luka di dalam hatiku menganga, dan mungkin akan sembuh dengan sensasi sensual yang kudapatkan dari Biyan.
"Tunggu dulu!" seruku ketika Biyan beralih menyentuh payudaraku.
Biyan menghentikan aksinya dan menatap penuh khawatir. "Oh, sorry. Aku minta maaf kalau kamu enggak suka," ucapnya.
Aku membetulkan posisi dudukku, sementara Biyan duduk bersila di lantai. Suasana panas yang tadi kami rasakan berubah canggung dan tegang.
"Apa kamu marah?" tanya Biyan.
Aku memalingkan muka. Haruskah aku marah? Bukankah aku mengizinkan itu terjadi?
"Aku enggak marah, hanya saja, yang tadi itu ciuman pertamaku," terangku.
Mata Biyan terbelalak. “Apa? Sungguh?”
Aku menjawabnya dengan anggukkan kepala.
Biyan menggenggam tanganku. "Aku tidak menyangka akan menjadi orang yang mencuri ciuman pertamamu. Kamu tidak menyesal, 'kan, Emm?" selidiknya.
"Enggak. Tapi, aku belum siap untuk lebih dari itu," ujarku.
Biyan bangkit dari duduk. Raut wajahnya menyiratkan rasa bersalah. "Aku mengerti dan aku minta maaf." Ia mengulurkan tangan padaku. "Mau ikut ke suatu tempat?" tawarnya.
"Ke mana?"
Biyan membuka lemari pakaian dan mengambil salah satu kemeja berwarna gelap. "Pakailah." Ia menyodorkan kemejanya.
Aku menerima kemeja itu dengan penuh tanya.
Biyan menarik sudur bibir ke atas untuk membentuk lengkungan. "Ikutlah denganku. Kamu pasti akan menyukainya."
Aku menuruti Biyan dengan memakai kemeja yang ia berikan. Aku seolah memasrahkan diriku pada Biyan. Padahal, ia bukan tipikal lelaki kesukaanku, tetapi keberaniannya membuatku takluk.
"Yuk." Biyan menggandeng tanganku.
Lelaki ini memiliki aura badboy yang memesona. Logika memintaku untuk menjauh, tetapi hatiku tidak.
Saat kami menuruni tangga, semua mata memandang dengan ekspresi terkejut. Tidak sepertiku yang tertunduk malu, Biyan tetap percaya diri menembus kerumunan.
"Emm, mau ke mana?" tegur Bella ketika kami berpapasan.
"A-aku ..."
"Aku pinjam Emma sebentar, ya, Bell," sela Biyan.
Bella melongo tanpa kata ketika Biyan terus menggenggam erat jemariku. Kami akhirnya berhasil keluar dari dalam rumah Biyan yang padat manusia.
"Tunggu, ya." Biyan masuk ke dalam garasi. Tidak selang beberapa lama, lelaki itu keluar menaiki Rx-King dan menghampiriku.
Biyan membawaku pergi menembus kota Sidoarjo yang masih asing bagiku. Kami lalu tiba di jalanan beraspal yang di kirinya terhampar jajaran persawahan hijau. Suara pesawat lepas landas seperti dekat dari kepalaku, maklum saja, tempat itu dekat dengan bandara Juanda.
"Pernah ke sini?" tanya Biyan
"Belum," sahutku.
"Di sini pemandangannya bagus, udaranya juga sejuk. Cocok buat menghilangkan mumet." Biyan melirikku dari balik kaca spion
Ia berhenti pada salah satu warung berdinding bambu. Dari tempat itu, kami berdua bisa melihat tumbuhan pagi berdaun hijau dengan bulir-bulir kekuningan.
"Di sini anginnya kencang, makanya, aku minta kamu pakai kemejaku. Nanti masuk angin," kata Biyan. Ia merapatkan kemeja yang kupakai dengan mengancingkan kancing demi kancing.
"Makasi," ucapku merona
"Mau minum apa?" tawar Biyan.
"Apa, ya?" Aku berpikir sejenak. "Soda gembira ada?"
Biyan terkekeh. "Ada," sahutnya. "Enggak kusangka kamu bakal pesan soda gembira. Minuman yang identik dengan sopir truk, tapi karena kamu yang minum, soda gembira jadi uwu di mataku."
"Ih, apa, sih?" protesku.
Setelah memesan minuman dan camilan, Biyan mengajakku untuk duduk di meja paling ujung. Pemandangan dari spot yang ia pilih memang paling bagus
"Kutebak ini pertama kalinya kamu nongkrong di tempat semacam ini. Gadis sepertimu pasti lebih suka main ke mal. Betul, enggak?"
Aku mengendikkan bahu. "Enggak salah, sih."
"Tapi kamu suka enggak aku bawa ke sini?" tanya Biyan lagi.
Aku mengangguk. "Suka."
Biyan tersenyum manis sambil melipat kedua tangan di atas meja. Lelaki itu tidak berhenti memandangi wajahku.
"Kenapa, sih? Ada yang aneh di mukaku, ya?" Aku mengusap area pipi dan hidungku.
"Enggak ada," jawab Biyan.
"Terus, kenapa kamu ngelihat aku segitunya?" selidikku.
"Habis aku enggak nyangka bisa duduk di sampingmu sedekat ini, Emm. Asal kamu tahu, ya. Aku ini salah satu anggota fansclub-mu di sekolah," ujarnya.
Aku membuang muka. "Ih, bokis!"
Biyan menoel lenganku. "Beneran, deh. Pertama kali aku lihat kamu waktu kamu lewat di depan kelasku. Dari situ aku bener-bener terpana. Tapi, aku sadar diri, sih. Mana mungkin cowok sepertiku bakalan kamu lirik."
"Tapi, buktinya sekarang aku pergi sama kamu, 'kan?" balasku.
Biyan terbahak dan menengadahkan tangan seolah berdoa. "Terima kasih, Ya Tuhan! Kau kabulkan doaku."
Aku menahan tawa melihat kelakuan absurb Biyan. Pemilik warung membawa pesanan minum dan camilan kami dan meletakkannya ke atas meja. Aku terlalu terburu-buru mengambil gelas soda gembiraku hingga tidak sengaja menyenggolnya. Cairan dingin soda bercampur susu tumpah ke pahaku.
"Tunggu aku ambilkan tisu," kata Biyan.
"Enggak usah," tolakku. Aku merogoh kain hitam yang ada di dalam tas dan mengelap bekas air dengannya.
"Satu lagi hal mengejutkan darimu, Emm. Sapu tangan itu punyamu? Sama sekali enggak cocok dengan image-mu," ledek Biyan.
"Terus seharusnya bagaimana? Sapu tangan pink dengan kerlap-kerlip glitter?" sungutku.
Tawa Biyan makin pecah. "May be?" kelakarnya.
"Tapi, serius itu punya kamu?"
"Bukan. Ini punya orang. Aku belum mengembalikannya," terangku.
"Gebetan atau pacarmu?" terka Biyan
"Enggak keduanya." Air mukaku berubah sendu.
Biyan seolah menyadari perubahan ekspresiku. "Kutebak gebetanmu," ucapnya. "Siapa cowok beruntung itu?"
"Bukan siapa-siapa," sahutku ketus.
"Teman satu sekolah? Satu angkatan? Kakak kelas? Adik kelas?" cecar Biyan.
Aku memasukkan kain lap itu ke dalam tas. "Sudah, deh!" omelku.
Biyan tidak menyerah. "Kulihat kamu sedang dekat dengan Rudi, angkatan satu tingkat di atas kita. Tapi, kapan hari, kamu pulang bersama Ali, anak kelas satu. Jadi, sepertinya di antara dua orang tadi!
Mataku terbelalak. "Kok hal-hal seperti itu kamu tahu?"
"Tahu, dong. Enggak hanya aku yang tahu, seluruh sekolah memantau pergerakanmu, Emm. Hari di mana kamu jalan sama cowok, ditetapkan sebagai hari patah hati bersama bagi kami semua."
"Serius, Biy?!" Aku menepuk lengan Biyan kuat-kuat.
Biyan meringis kesakitan. "Serius, Emmanuella! Kamu enggak sadar kalau kamu adalah cewek paling populer satu sekolah? Semua cowok berebut mendapat perhatianmu.
Aku terdiam karena tidak menyangka mereka akan mengamati tiap gerak-gerikku seperti itu. Entah harus merasa tersanjung atau malah ngeri?
"Aku ikhlas kalau kamu jalan sama Rudi, dia sepertinya cowok yang baik. Tapi, Ali? Kamu serius dekat dengan Ali, Emm?" lanjut Biyan.
"Memangnya Ali kenapa?" tanyaku dengan suara gemetar.
Biyan berdeham. "Enggak pantas aku ngomongnya."
"Ngomong aja. Kamu malah bikin aku penasaran!" protesku.
"Aku enggak mau kamu berpikir aku menjelek-jelekkan Ali. Lebih baik kalau kamu tahu sendiri," kelit Biyan.
Aku menarik tangan Biyan. "Please? Ada apa dengan Ali?" desakku.
"Ali itu cowok berengsek," ujar Biyan. "Dia satu band dengan temanku, band mereka hobi minum alkohol dan main perempuan. Kadang, satu perempuan bisa dipakai secara bergiliran."
Jantungku berdegup kencang karena terkejut. "Masa', Ali begitu?"
6. TREMBLING
"Kamu serius?" tanyaku pada Biyan.
Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Ali, cowok brengsek? Dia memang misterius, kami memang belum saling mengenal dengan baik, tetapi, berengsek?
Biyan menyeruput minuman yang ia pesan. Lelaki itu kemudian menggaruk-garuk leher dan tampak tak nyaman. "Ehm, gimana, ya, Emm? Sebenarnya, aku malas ngomongin soal kejelekan orang lain. Apalagi, orang itu adalah temanmu. Jatuhnya, seakan-akan aku ngadu domba kalian."
"Aku dan Ali ... belum terlalu akrab, sih ..." gumamku pelan.
"Kalau begitu, saranku, jangan terlalu akrab dengan dia, Emm. Aku cuman takut kamu dicap sebagai cewek murahan kalau dekat dengan Ali, mengingat reputasi dia," kata Biyan.
Aku menelan saliva untuk membasahi tenggorokanku yang mendadak kering. Rasanya tercekat.
"Dia pernah pacaran dengan teman satu kelasku. Ali mempermainkan temanku itu, perlakuannya jahat. Kamu bisa tanya sendiri ke temanku itu kalau kamu mau," lanjut Biyan.
Aku menggeleng. "Tidak perlu."
Sambil nyalang ke arah langit senja, aku mengaduk-aduk soda bercampur sirup dan susu kental manis pesananku. Minuman itu tak lagi menggugah selera, seolah kehilangan kesegarannya.
Lagi-lagi, aku kembali meragukan kemampuanku untuk menilai orang.
Papa, orang tuaku sendiri saja bisa berbohong dan menipu. Harusnya, aku tidak heran, orang asing seperti Ali memiliki sisi lain yang tidak kuketahui.
"Emm, kamu enggak apa-apa?" tanya Biyan membuyarkan lamunanku.
"Eng-enggak, kok." Aku buru-buru meminum soda gembira untuk menghilangkan rasa gamang.
Biyan berdeham.
Ia lalu tersenyum ke arahku. "Aku senang hari ini bisa mengobrol banyak denganmu. Kamu enggak keberatan, 'kan, kalau kita bisa lebih akrab lagi setelah ini?"
Aku mengangguk. "Tentu saja boleh," jawabku.
"By the way, Emm. Kamu tahu, enggak, kalau orang tersenyum itu enggak bisa menelan ludahnya sendiri," ucap Biyan.
Aku menarik kedua sudut bibir hingga menciptakan lengkungan lebar. "Bisa, tuh?" sahutku seraya meneguk saliva.
Biyan terkikik. "Emang bisa, aku cuman pengen lihat senyummu aja. Gitu, 'kan, cantik," selorohnya.
Seketika pipiku memanas karena malu.
Kurasa, aku bisa mempercayai Biyan. Iya, 'kan?
***
Hari Senin kembali datang setelah menikmati dua hari libur yang terasa begitu singkat.
Aku melangkah menyusuri halaman sekolah dengan mata yang masih sedikit mengantuk. Aku masih ingat, sepanjang perjalanan, Papa tidak berhenti mengajakku bicara. Namun, rasa kecewa yang kupendam membuatku menanggapi obrolan sekenanya.
Marahku masih ada. Sakit hatiku juga.
"Emmanuella!"
Aku menengok ke belakang dan melihat Ali berjalan cepat untuk menyusulku. Ekspresi wajahku mendadak muram.
"Hei," sapa Ali yang sudah berdiri di sisiku.
"Hmm," gumamku singkat. Aku kembali meneruskan langkah, seolah tak acuh dengan keberadaannya.
"Kira-kira ganggu, enggak, ya, kalau pulang sekolah nanti, aku main ke rumahmu. Ada yang mau aku omongin sama Mas Emran. Dia pulang jam berapa?" tanya Ali antusias.
"Enggak tau," sahutku singkat.
Ali berdecak. "Kok bisa enggak tahu. Kalian, 'kan satu rumah."
"Urusanmu sama Emran, bukan sama aku!" bentakku ketus.
Ali terhenyak. Kedua alisnya yang tebal berkernyit karena tak menyangka akan respon meledakku.
"Kenapa kamu?" selidik Ali.
Aku tak menjawab, justru mempercepat langkah untuk menghindarinya.
Ali menarik lenganku dengan telapak tangannya yang dingin. "Emm? Ada masalah lagi dengan Papamu?"
Aku menyentakkan tangan. "Jangan kamu pikir, karena kamu sudah tahu tentang masalah keluargaku, kamu bisa menebak-nebak seenaknya."
"Jadi, kenapa kamu tiba-tiba sengak?" buru Ali.
"Apa pedulimu kalau aku sengak? Yang kamu pedulikan, 'kan, cuma dirimu dan musikmu. Sudahlah, Li," tukasku.
"Emm," panggil Ali. "Kamu kenapa, sih?"
Aku menghentikan langkah dan menatap Ali dengan lekat. Dasar licik. Aku tidak akan tertipu dan jatuh ke dalam perangkapnya.
"Li, kuharap kita enggak usah saling menyapa atau ngobrol lagi, deh. Toh, semula kita juga bukan teman. Aku ini kakak kelas dan kamu adik kelasku. Udah dan enggak lebih."
Kedua bola mata Ali yang hitam terpaku padaku. "Emm?" gumamnya.
"Aku enggak mau namaku jadi jelek karena kenal sama kamu," tegasku.
Ekspresi Ali yang semula dingin, berubah sendu. Aku bisa menangkap kekecewaan yang hadir dalam rautnya. Entah mengapa, hal itu membuat relung dadaku serasa perih.
Apa kata-kataku sudah keterlaluan?
Tanpa bicara, Ali melenggang pergi meninggalkanku. Lelaki itu berjalan mendahuluiku dan menampakkan punggungnya yang lebar.
Tiba-tiba, mataku memanas. Air mata seakan berebut ingin keluar. Aku kenapa, sih?
Berulang kali aku mengerjapkan mata untuk mencegah tangis. Setidaknya, aku berhasil. Apa yang kulakukan sudah benar, seharusnya aku tidak perlu merasa bersalah kepada Ali. Lelaki seperti dia harus diberi pelajaran agar tidak terus menerus bermain-main dengan perempuan.
"Emma!" seru Nova. Ia berjalan cepat menyusulku. Bella dan Anna juga terlihat mendampingi Nova. Wajah mereka menyiratkan kekhawatiran.
"Pagi," sahutku sambil mengulas senyum.
"Emm, kamu sudah datang ..." kata Anna dengan suara sedikit gemetar.
Perasaanku mulai tidak enak. "Ada apa, Ann?" selidikku.
Bella mengusap punggungku. "Emm ... Kamu jangan kaget, ya."
"Ada apa, sih, ini?" desakku mulai tidak sabar.
"Kamar mandi wanita penuh coretan berisikan namamu di dinding dan pintu-pintunya, Emm," terang Bella.
Detak jantungku memburu. "Co-coretan?"
***
Mataku terpaku, membaca semua tulisan di dinding toilet.
EMMANUELLA MURAHAN
EMMA JUAL DIRI TARIF MURAH
MUNAFIK, CEWEK JALANG
Begitu banyak lagi kata-kata kasar dan sumpah serapah yang ditujukan khusus kepadaku. Dengan badan yang gemetaran, aku terdiam sambil termenung.
Kupikir, aku adalah siswa yang disukai oleh semua teman-temanku. Tetapi, tak kuduga, aku pula yang membenciku sebegini hebatnya.
Siapa?
"Emm, apa perlu kita lapor ke BK?" tanya Nova.
Aku mengulas senyum keterpaksaan demi menyembunyikan rasa sakit. "Enggak usah, biarin aja."
"Kira-kira siapa, ya, yang berulah seperti ini? Kurang kerjaan banget," timpal Anna.
Bella menggelengkan kepala. "Kamu terlalu populer, Emm. Sampai-sampai sekarang punya haters." Ia lalu merangkul pundakku. "Sudahlah, jangan terlalu dipikir. Pelakunya pasti orang yang iri dan enggak mampu bersaing sehat denganmu."
Aku mengangguk lemah.
"Balik kelas, yuk," gumamku.
Mungkin aku yang kelewat GR, tapi, aku merasa semua mata menatapku penuh tanya. Mereka seolah mempertanyakan apakah aku memang wanita murahan seperti yang tertulis di dinding kamar mandi.
Dengan kepala tertunduk, aku berharap bisa menghilang dari peredaran.
***
Keesokan harinya, muncul coretan baru. Kali ini lebih heboh karena dilengkapi dengan foto wajahku yang sudah disatukan dengan tubuh telanjang seorang wanita. Editannya kasar, siapa saja pasti sadar kalau itu adalah foto palsu, alias rekayasa. Namun, maksud dari foto itu jelas untuk menekankan sindiran atas kebencian mendalam padaku.
STOP PENCITRAAN JADI CEWEK BAIK-BAIK. KAMU ITU MUNAFIK.
Aku mulai meragukan diri sendiri. Apa benar aku memang munafik? Apa mungkin aku adalah gadis jahat yang melakukan hal buruk tanpa kusadari?
Hari-hari di rumah terasa kelam akibat rahasia Papa yang kusimpan rapat. Sekarang, di sekolah pun terasa kelabu. Pelakunya ada di dekatku, itu membuatku malas berbicara atau dekat-dekat dengan teman-teman satu kelas. Salah satu dari mereka adalah pelakunya, dan dia sedang berpura-pura baik di depanku.
Setiap kali ada yang sedang berbisik-bisik, pikiranku menduga-duga, jangan-jangan mereka sedang membicarakanku. Dan, tiap kali ada yang tertawa-tawa, aku menduga bahwa mereka sedang menertawakanku.
***
Aku berjalan menyeret kakiku yang berat dan lunglai. Saat menyusuri lorong sekolah, aku berpapasan dengan beberapa siswa lelaki yang duduk bergerombol bersama.
"Hai, Emma," sapa salah seorang siswa lelaki bertubuh gemuk. "Kok lemes sih? Kenapa?" tanyanya.
Siswa itu lalu mendekatiku. "Mau aku hibur?" lanjutnya memegang pundakku.
"APAAN SIH?!" bentakku menepis tangannya. Aku sedang berada di titik puncak emosi karena masalah bertubi-tubi.
"Emma, enggak usah marah-marah, dong. 'Kan aku cuma bercanda." Ia tersenyum menyeringai.
Aku berbalik arah, mencoba pergi menghindari. Bukannya berhenti bicara, ia masih terus menggodaku.
"Emma," panggilnya. "Jangan jutek, dong! Aku dengar kamu biasanya ramah sama cowok-cowok. Apa kamu sudah lelah pencitraan terus ...?" Ledek siswa tambun itu. Tawanya menggelegar memenuhi lorong.
BUUUUKKKKK. Tanpa pikir panjang, aku meninju wajahnya keras-keras.
***
Ini kali ke-tiga aku mengunjungi ruang Bimbingan Konseling.
Kunjunganku yang pertama, saat mereka memintaku untuk menjadi model brosur sekolah. Kunjungan kedua adalah ketika aku harus menghibur salah satu siswa lelaki yang mengancam akan berhenti sekolah karena aku tolak cintanya. Dan sekarang kunjungan ketiga, setelah aku memukul wajah salah satu siswa hingga mimisan. Kali ini, sepertinya aku keterlaluan.
"Kamu mengejek apa sampai kena tonjok?" tanya pak Randi - guru BK.
"Saya enggak merasa ngejek, cuman bercanda biasa. Dia aja yang sensitif tiba-tiba mukul!" sahut siswa lelaki yang kupukul tadi. Ia sibuk mengompres hidungnya dengan plastik berisi es batu yang diberikan oleh pak Randi.
"Omonganmu pasti menyinggung. Coba ceritakan pelan-pelan awalnya bagaimana," kata Pak Randi.
Kami duduk saling bersebelahan di sofa dalam ruangan kantor. Udara dari penyejuk udara yang dingin, membuat emosiku perlahan padam. Kalau dipikir lagi, mungkin siswa tambun itu benar, aku memang terlalu terbawa emosi.
"Saya cuma ajak Emma ngomong. Eh, tiba-tiba dia marah waktu saya bercandain dia kalau jangan judes-judes jadi cewek!" terang siswa lelaki itu berapi-api.
Pak Randi mengangguk. Ia menoleh ke arahku. "Benar begitu, Emma?"
Aku tertunduk. "Saya minta maaf, Pak," sahutku.
"Kenapa kok kamu tiba-tiba minta maaf?" selidik Pak Randi.
Aku menghela napas. "Saya merasa apa yang saya lakukan memang berlebihan. Tak seharusnya saya menyikapi semua dengan memukul."
Mendengar penyesalanku, siswa lelaki itu terlihat sedikit melunak. Cuping hidungnya tak lagi terangkat bengis ketika memandang ke arahku.
"Emma, saya mengenalmu. Kamu ini bukan siswi yang suka buat onar, apalagi memukul teman. Apa kamu sedang ada masalah? Apa ada dendam pribadi dengan Aldi?" cecar Pak Randi.
"Tidak ada, Pak," jawabku. Aku baru tahu nama siswa tambun itu Aldi.
"Apa ini ada sangkut pautnya dengan coretan di dinding kamar mandi? Pihak sekolah akan mengecat tembok dan pintu-pintunya minggu depan. Jadi, kamu tidak perlu lagi membaca kata-kata tidak pantas itu," terang Pak Randi. "Apakah, kamu menduga pelakunya Randi?"
Mata Aldi pun membelalak. "Kok jadi saya? Masuk toilet cewek aja enggak pernah!" sanggahnya.
"Pak Randi, bukan begitu," selaku. "Saya rasa, Aldi tidak ada sangkut-pautnya dengan tulisan di toilet, Pak."
Aldi mendengus. "Nah, itu dia tahu," sergahnya.
"Aldi, aku minta maaf," kataku berbalik menatap Aldi. "Maaf karena aku memukulmu sampai berdarah."
Aldi memalingkan wajah. Kurasa, harga dirinya sebagai lelaki masih berat untuk memaafkanku yang sudah mempermalukannya. Bagaimana tidak, dia tumbang akibat bogem mentahku di hadapan kawan-kawannya.
Pak Randi menghela napas. "Sebentar lagi, kalian akan menjadi siswa kelas tiga. Seharusnya memberi contoh yang baik untuk adik kelas. Selain itu, di saat ujian kenaikan kelas begini, berfokuslah belajar, bukan berkelahi. Apalagi kamu, Emma." Ia memandangku lekat. "Kamu perempuan, lho, jangan asal main pukul. Beruntung si Aldi tidak membalas memukulmu juga."
"Iya, Pak. Saya minta maaf," ucapku penuh penyesalan.
"Kalau Aldi masih tidak bisa memaafkan, Bapak terpaksa memanggil kedua orang tua kalian ke sekolah," ujar Pak Randi.
Aldi terhenyak. "Manggil orang tua?" tanyanya. Ia lalu mengibaskan tangan sambil mengulas senyum keterpaksaan. "Jangan, Pak. Saya sudah maafkan Emma, kok!"
"Yakin?" pancing Pak Randi.
"Yakin, Pak." Randi beralih padaku dan tertawa. "Kumaafkan, kok, Emm."
Pak Randi menarik sudut bibirnya ke atas. "Yasudah. Ayo bersalaman dulu," titahnya pada kami berdua.
Aku bergegas mengulurkan tangaa ke arah Aldi. "Aldi, maafin aku ya."
"Iya," sahut Aldi gamang.
"Hidungmu masih sakit, ya?" tanyaku berempati.
"Dikit, sih," jawab Aldi ketus.
"Nanti siang, aku traktir di kantin sebagai permintaan maaf. Mau?" tawarku.
"Hmm, ya. Bolehlah." Aldi perlahan tersenyum. Ternyata, makanan bisa mengobati sakit hati siswa tambun itu. Syukurlah.
***
Tawa Biyan pecah, kedua matanya menyipit sambil memegang perut yang sepertinya kram.
"Kamu nonjok Aldi?" Biyan cekikikan.
"Iya," jawabku kecut.
Biyan tak dapat menghentikan gelak. "Badass banget, sih! Aku enggak bisa bayangin gimana malunya tuh si Aldi."
"Aku justru merasa bersalah soalnya kepancing emosi. Padahal, setelah dipikir lagi, Aldi cuma bercanda."
Biyan menggeleng. "No. Dia sudah keterlaluan, sih, bercandanya, sok akrab dan sok asik. Baguslah kamu jotos dia."
"Huh?" tanyaku. Tak kusangka Biyan membenarkan tindakanku.
"Emma!" Suara Nova terdengar nyaring memanggil namaku.
Aku dan Biyan menghentikan langkah. Saat kutoleh, Nova tidak sendiri, ada Bella dan juga Anna bersama dengannya.
"Emm, kamu pulang buru-buru amat? Sampai ninggalin kita," kata Nova.
"Kamu bahkan belum cerita, gimana tadi sama Aldi di BK? Kamu enggak apa-apa, 'kan?" cecar Bella. Ia lantas beralih menatap Biyan dengan wajah penuh tanda tanya.
"Hai, Bel," sapa Biyan ramah.
Bella tersenyum kaku. "H-hai, Biy."
"Kamu enggak apa-apa, Emm?" imbuh Anna.
"Aku enggak apa-apa, kok. Masalah sama Aldi sudah selesai," terangku.
Bella masih memandangiku dan Biyan. "Kamu ... mau pergi sama Biyan?"
"Yup!" Biyan mendahului menjawab.
Bella, Anna, dan Nova saling berpandangan secara bergantian.
"Emm," gumam Anna. "Bukannya, kamu dilarang Mamamu pergi main sepulang sekolah?"
"Soal itu ... aku enggak peduli," sahutku singkat.
Anna menganga heran, sama halnya dengan Nova dan Bella.
"Kalau gitu, kita pergi sekarang, Emm?" tawar Biyan.
Aku mengangguk.
"Duluan, ya," pamitku kepada Nova, Anna dan Bella.
"Bye, Bell. Nova dan Anna juga, pergi dulu." Biyan melambaikan tangan seraya merangkul pundakku.
"Hati-hati, Emm," sahut Bella. Suaranya terdengar lirih.
***
Semenjak mengenal Biyan, banyak yang berubah di dalam hidupku.
Aku mulai menjauh dari Nova, Bella, dan Anna. Aku merasa tidak lagi memiliki kesamaan dengan mereka. Hidup mereka sempurna, keluarga normal yang bahagia. Sementara aku ... terpaksa bungkam, meski tahu Papa pernah menjalin hubungan terlarang.
Dan lagi, coretan di dinding kamar mandi juga membuatku meragukan orang. Bisa saja di depan mereka baik, tetapi, di belakangku menusuk.
Biyan bagaikan oase di gurun tandus dalam hari-hariku. Ia baik, lucu, dan perhatian. Selain itu, Biyan selalu punya cara untuk membuatku tertawa.
Lalu ...
Tiap kali bersama dengannya, aku merasakan gairah membara seolah candu. Ciuman kami tempo lalu, masih melekat di ingatan. Tubuhku selalu memanas tiap kali mengingat momen kala itu.
"Kamu ada bayangan, enggak? Siapa yang kira-kira tulis sumpah serapah untukmu di toilet?" tanya Biyan.
Aku menaikkan bahu. "Enggak tahu."
Semilir angin dari area persawahan membuat mataku perih karena kantuk. Aku dan Biyan kembali mengunjungi warung kopi yang berada di dekat rumah Biyan. Suasana tenang dan hijaunya daun-daun padi menjadikan pikiranku rileks tanpa beban. Selain itu, harga minuman dan camilannya yang murah, tidak menguras uang saku kami berdua.
"Hari ini kamu alasan apa ke orang tuamu?" tanya Biyan lagi.
"Kerja kelompok," jawabku meringis.
Biyan mencubit hidungku dengan gemas. "Dasar tukang bohong!" ledeknya.
Aku tersipu oleh perlakuan Biyan. "Mau gimana lagi, kalau jujur, aku mana boleh pulang telat."
"Orang tuamu terlalu protektif. Kamu sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan, Emm," ujar Biyan.
Aku melipat kedua tangan di atas meja dan menjatuhkan kepala pada lengan. "Karena itulah, aku merasa suntuk berada di rumah."
Biyan tertunduk untuk mengintip wajahku. "Kalau sama aku, apa masih suntuk?" Ia mengulas senyum manis.
Jarak wajah kami yang begitu dekat mengakibatkanku salah tingkah.
"Orang tuamu ada di rumah?" Aku buru-buru mengalihkan pembicaraan untuk menetralisir rasa gugup.
Biyan menggeleng. "Belum. Kenapa? Mau main ke rumah?"
"Eng-enggak." Darahku berdesir. Berbagai pikiran 'nakal' membayang di imajinasi kalau sampai kami berduaan saja.
Biyan terkekeh. "Kirain ..."
Angin yang bertiup kencang, membawa debu halus beterbangan. Biyan tiba-tiba mengusap-usap sebelah mata dengan jemarinya.
"Aduh, kelilipan, nih," dumal Biyan.
"Pakai tisu." Aku menyodorkan selembar tisu kepada Biyan.
Biyan mengelap pelupuk mata dengan tisu. Ia mendecih. "Masih sakit, perih. Kamu bisa tiupin, Emm?"
Biyan memanjukan badan mendekat, tanpa pikir panjang, aku meniup matanya. Dengan khawatir, aku memeriksa area mata Biyan yang berubah kemerahan. Aku baru sadar, ia memiliki titik hitam kecil di bawah matanya yang sipit.
"Emm," bisik Biyan.
"Ehm?" sahutku.
"Aku enggak nyangka kalau kamu ternyata sangat, sangat, cantik ..." ucap Biyan.
Jantungku berdetak cepat tak karuan, serasa akan meledak. Aku belingsatan menjauhkan tubuhku darinya. Dengan salah tingkah, kubuka tas untuk mencari dompet.
"Aku mau beli mie goreng dulu. Kamu mau?" tanyaku.
Biyan menggeleng. "Aku kenyang."
Tanganku masih sibuk mengacak-acak isi tas, mencari dompet yang tidak kunjung kutemukan.
"Biy, dompetku sepertinya ketinggalan di kolong meja kelas, deh!" ucapku panik.
"Masa, sih?" Biyan melirik ke dalam tasku.
"Iya. Gimana, nih?" ratapku.
"Tenang aja, aku bisa bayar pesananmu, kok. Kalau mau pesan mie, pesan aja sana," kata Biyan.
"Bukan itu masalahnya. Di dalam dompet, ada uang SPP yang belum sempat kubayarkan tadi. Kalau sampai hilang, Mamaku bisa ngomel panjang-lebar," terangku.
Biyan mengelus puncak kepalaku dengan penuh kelembutan. Ia kemudian bangkit dari duduk. "Kalau gitu, kita balik ke sekolah sekarang, yuk."
Aku mengikuti Biyan seperti seekor anak kucing.
"Gimana kalau isinya hilang?" keluhku frustrasi.
Biyan menatapku lamat. "Aku akan cari uang untuk mengganti uang SPPmu. Kamu enggak usah panik akan kemarahan Mamamu. Everything will be alright."
"Biy ..." gumamku penuh haru.
***
Biyan memacu motor dengan kecepatan penuh. Lelaki itu menarik tanganku untuk melingkar di pinggangnya.
"Pegangan. Nanti terbang!" seru Biyan.
Aku menurut dan memeluk kencang perut Biyan. Aliran darah di tubuhku serasa memanas.
"Biy, hati-hati!" kataku dengan mata memejam. Menyaksikannya menyetir menyalip kendaraan-kendaraan membuatku ngeri.
Tidak butuh waktu lama, aku dan Biyan sudah sampai saja di sekolah. Meski perutku mual akibat kencangnya Biyan melajukan motornya.
"Aku tunggu di depan sini, ya, Emm. Mau cari rokok dulu di toko ujung sana," ujar Biyan.
Aku mengangguk.
Setelah turun dari kendaraan, aku bergegas masuk ke dalam halaman sekolah. Di dalam hati, aku merapal doa-doa, semoga dompet beserta isi-isinya masih ada.
Jantungku makin bergemuruh ketika tiba di depan kelas, dengan langkah memburu, aku menuju mejaku. Badanku membungkuk untuk memeriksa ke dalam kolong. Kedua bola mataku berbinar saat menemukan dompetku masih tergeletak di dalam.
"Syukurlah!" pekikku. Aku lantas mengecek isi di dalamnya, masih lengkap.
Hatiku yang semula kacau, berubah tenang. Kini, aku baru sadar kalau keadaan kelas agak mengerikan. Suasana gelap dan temaram karena sudah sore. Selain itu, tidak ada orang lain selain diriku.
Bulu kuduk yang merinding membuatku terbirit-birit lari keluar kelas. Tumben, sesepi ini, biasanya, masih banyak siswa lain yang mengikuti ekstra kulikuler. Tampaknya mereka semua berada di lapangan basket dan aula sekolah.
Saat akan kembali menemui Biyan, aku berbelok ke arah toilet terlebih dahulu untuk buang air kecil. Langkahku terhenti di depan pintu masuk kamar mandi. Seluruh tubuhku gemetaran karena tidak percaya dengan apa yang kulihat.
"Di ... Dita ..." kataku lirih.
Aku memergokinya sedang menulis di dinding menggunakan spidol hitam. Dialah pelakunya. Dita.
"Ternyata kamu orangnya ..." Aku menghampiri Dita. "Kenapa, Dit?"
Dita terbelalak.
Ia terdiam sesaat karena terkejut. Namun, tanpa bersalah, Dita justru mwnyeringai ke arahku.
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. "Apa masalahmu, Dit?" geramku.
"Apa masalahku, kamu bilang?" serang Dita.
Aku menelan ludah kasar. "Aku enggak habis pikir, Dit. Selama ini kita baik-baik saja. Aku ..."
Dita memotong perkataanku, matanya berkilat penuh amarah. "Kamu harusnya sadar apa salahmu. Kamu selalu memasang wajah yang sok polos dan tebar pesona ke sana-sini! Kamu sendiri yang bilang sama aku, KAMU SENDIRI YANG BILANG, kalau kamu enggak ada perasaan sama Mas Rudi. Tapi, bukannya nolak, kamu terus menerus memberinya harapan."
Dita berhenti bicara, matanya memerah penuh air mata yang tumpah membasahi pipi.
"Aku kenal dan suka sama dia sejak SMP," lanjut Dita, "Tapi kamu dengan gampangnya merebut perhatiannya. Selain itu, kamu juga mempermainkan Mas Rudi karena ketidaktegasanmu!"
Aku menggeleng. "Aku sama sekali enggak berniat seperti merebutnya. Bahkan, aku sudah jauhi dia demi kamu." sahutku.
Dita mencemoohku dengan suara tawa yang nyaring.
"Semenjak kenal kamu dia menjauh dari aku, setiap hari enggak ada hari tanpa Mas Rudi bercerita tentang kekagumannya padamu. Itu membuatku muak, Emm," bentak Dita.
"Apa salahku kalau dia ada rasa ke aku? Aku enggak minta dia menyukaiku, kok kamu marahnya ke aku? Apalagi sampai fitnah aku kayak begini," sanggahku.
Dita berdecih. "Munafik. Kamu bilang menolak dia, tetapi berangkat ke sekolah bareng."
"So ... soal itu ..." Aku terbata dalam membantah Dita. "Kami cuma berangkat bersama karena motor Masku mogok di jalan."
"Aku enggak peduli, Emm! Di mataku, kamu tidak lebih dari cewek genit yang gemar mempermainkan perasaan cowok." Dita melempar spidol di tangan ke lantai. "Kamu mau melaporkan aku ke guru? Silakan. Aku tidak takut. Toh, perbuatanku ini mewakili isi hati siswi-siswi lain yang enek dengan kelakuanmu."
"Dita!" bentakku.
Dita tersenyum culas. "Apa kamu tidak dengar gosip-gosip tentangmu? Mengejar lelaki sampai ke pensi SMA lain. Setelah itu, kamu mendekati Ali, tidak puas, kamu juga gatal ke Mas Rudi, dan sekarang, kulihat kamu nempel dengan Biyan. Semua siswi lain sibuk bergunjing tentangmu. Makin lama, kamu menunjukkan sifat aslimu. Cewek murahan yang kasar. Apa kamu sekarang akan memukulku seperti kamu memukul Aldi?"
Cairan bening berebut keluar dari pelupukku. Bibirku kelu karena tidak lagi mampu membalas Dita. Jadi, begitukah aku di mata teman-teman sekolah?
Dita berjalan menabrak tubuhku secara kasar. Ia keluar dari kamar mandi dan meninggalkanku sendirian.
Tangisku pecah. Sambil berjongkok, aku menutup wajahku dengan telapak tangan, membiarkan air mata meluncur bebas.
Apa aku memang pantas menerima semua cacian ini?
***
Langkahku lemah menyusuri lorong sekolah. Tidak terdengar suara apapun selain derap kakiku yang menapak ubin.
"Kenapa kamu?"
Aku tersentak ketika merasa lenganku ditarik oleh sentuhan telapak tangan yang dingin. Ali?
"Aku lihat tadi kamu sudah pulang, kenapa kembali ke sini?" tanya Ali. Wajahnya datar dan tanpa ekspresi.
Aku memalingkan muka. "Kamu sendiri, kenapa di sini?"
"Baru selesai eskul musik," jawab Ali.
Tanpa berkata, aku melepaskan lenganku dari tangan Ali. Dengan tidak acuh, aku melenggang meninggalkannya.
"Hei, Emm? Kamu enggak apa-apa?" buru Ali.
"Bukan urusanmu," sahutku sinis.
Ali menghampiri dan berdiri tepat di depanku. "Kamu kenapa, sih? Kalau aku ada salah, aku minta maaf."
"Aku yang ada salah. Aku salah menilaimu," ucapku.
Dahi Ali berkernyit. "Maksud kamu?"
"Aku bukan cewek murahan yang bisa kamu manfaatkan demi nafsumu. Jadi, berhentilah mendekatiku atau peduli denganku." Mataku kembali berkaca-kaca.
"Jadi, kamu pikir, aku berniat memanfaatkanmu? Kamu pikir aku lelaki semacam itu?" Ali memandangku dengan sorot sendu.
Aku membalas tatapan Ali. "Bukannya kamu sudah tahu reputasimu seperti apa?"
Ali tersenyum pahit. Ia membuang muka seraya mendecih.
"Emma, kamu lama amat? Aku sampai kepikiran." Biyan tiba-tiba datang mendekat.
"Bi .. Biyan?" Aku terkesiap.
Biyan dan Ali saling bertukar pandang, mereka terlihat membenci satu sama lain. Sejurus kemudian, Biyan beralih kepadaku dengan bibir merekah.
"Ketemu dompetnya?" tanya Biyan.
"Ketemu," jawabku canggung.
Ali berlalu begitu saja meninggalkanku dan Biyan. Netraku tak lepas mengekori langkah jenjang lelaki jangkung itu. Tiap kali melihat Ali, hatiku terasa sembilu.
"Emm, kita balik sekarang?" tawar Biyan.
Aku mengangguk. "Ya."
"Kenapa kamu lama banget, sih? Uangnya hilang, ya?" terka Biyan. Ia lalu menelisik wajahku dengan serius. "Kamu habis nangis? Sudah kubilang kalau aku akan cari duit buat ganti uang SPPmu. Kamu enggak perlu bilang soal itu ke Mamamu, Emm."
"Bukan soal itu, Biy. Dompetku ketemu, kok. Uangnya juga masih utuh."
Biyan mengerutkan dahi. "Lalu? Ada apa? Apa Ali mengusikmu?"
"Sama sekali enggak," jawabku. "Ini soal corat-coret di tembok toilet, ternyata Dita pelakunya," terangku.
Biyan bergumam sambil melingkarkan kedua lengan. "Dita? Yang mana, ya, itu? Kelas apa?"
"Teman sekelasku, Biy," ujarku.
"Kamu ada masalah apa sama dia?" selidik Biyan.
"Dia suka sama Mas Rudi," kataku.
Biyan terkekeh. "Oh, jadi alasannya karena cemburu. Ah, sudahlah, Emm, jangan dipikirkan. Kalau si Dita mengganggumu lagi, aku akan bicara dengannya."
"Terima kasih, Biy," ucapku seraya memaksakan senyum.
Perkataan Dita tentang pandangan orang dalam menilaiku terus menerus terngiang-ngiang. Tidak dapat dipungkiri, hal itu sangat mengusikku.
***
Motor Biyan tiba di depan gerbang rumahku. Aku melihat mobil Papa dan Mama sudah terparkir rapi di garasi, tidak biasanya mereka pulang seawal ini.
"Makasi, ya, Biy," ucapku.
Biyan menyugar poninya yang lurus ke belakang. "Sama-sama. Aku yang makasi kamu sudah mau keluar sama aku."
"Yaudah, hati-hati pulangnya," kataku pada Biyan.
Biyan tak bergeming, ia tak berniat menyalakan mesin motor untuk pergi. Aku mulai bingung dengan tingkah Biyan.
"Kamu masuk dulu ke dalam rumah, baru aku pergi. Aku mau pastikan Tuan Putri aman dulu, supaya di jalan enggak kepikiran," ujar Biyan.
"Ih, kamu. Bisa aja," selorohku.
Aku pun menuruti Biyan dan membuka gerbang. Setelah itu, aku kembali melambaikan tangan ke arahnya dari sela ornamen reling. Biyan mengulas senyum manis dan membalas lambaianku.
"Gila kamu, Mas! Kamu mau ke mana?!"
Belum sempat aku melangkah masuk, Mama berteriak sembari menyusul Papa yang berjalan menuju teras. Mama menarik lengan Papa untuk mencegahnya pergi.
"Kamu tidak bisa pergi begitu saja!" bentak Mama.
Aku terhenyak, mereka jelas sedang bertengkar.
"Aku tidak mau bertengkar denganmu, Ann." Papa menyentakkan tangan. Ia akhirnya sadar bahwa aku sudah berdiri di depan gerbang. Tatapan Papa melunak kepadaku. "Emma? Kamu sudah pulang? Masuklah, Nak."
"Ada apa ini, Pa, Ma? Mama sama Papa bertengkar?" tanyaku.
"Enggak, Papa ..."
Mama menyela perkataan Papa dengan impulsif. "Papamu selingkuh, Emm! Papamu sudah berbohong."
Duniaku serasa runtuh. Mama sudah tahu? Tapi, bagaimana bisa? Bukankah, Sari dan Papa sudah berhenti berhubungan?
"Diam kamu, Ann. Tidak sepantasnya kamu katakan hal seperti itu kepada Emma!" sentak Papa kepada Mama.
Mama mengusap sisa tangis di pipinya. "Kenapa? Kamu malu anak-anakmu tahu kalau ternyata kamu adalah seorang pembohong?!"
"Papa dan Sari seharusnya sudah mengakhirinya, 'kan?" tanyaku lirih.
Mama dan Papa kompak menoleh ke arahku. Mereka berdua sama-sama tersentak.
"Maksud kamu apa, Emm?" selidik Papa.
Mama mencengkram kedua bahuku. "Sari? Kenapa kamu bisa tahu nama perempuan sundal itu?!" hardiknya.
Aku tak lagi mampu menahan isak tangisku. "Aku memergoki Papa di hotel dengan Sari ..." akuku.
Mama menutup bibir yang bergetar dengan jemarinya. "Demi Tuhan, Emma ... kamu tahu ... dan merahasiakannya dari Mama?"
"Em ...Emma?" Air muka Papa tidak kalah terpukul.
"Kenapa kamu melakukan itu, Emm?" lanjut Mama. "Kamu menyembunyikan semua demi melindungi Papamu?"
Aku menggeleng. "Bukan begitu, Ma! Aku ... Aku ..."
"Kamu sama pembohongnya seperti Papamu!" pekik Mama. Sorot matanya penuh kekecewaan mendalam.
"Annie, sudahlah!" bentak Papa.
"Kalian berdua bersekongkol untuk membohongiku!" Mama mulai meledak-ledak.
Aku tercenung tak bergeming. Papa mendekatiku seraya menuntunku untuk masuk ke dalam rumah. "Masuklah, Emm."
Aku mendorong tubuh Papa agar menjauhiku. "Aku sangat benci sama Papa."
Dengan penuh tangis, aku membuka gerbang dan menghambur ke arah Biyan yang menjadi saksi pertengkaran keluargaku. Ia belum pergi dan masih menungguku di depan gerbang. Ekspresi Biyan serba salah.
"Biy, bawa aku pergi dari rumah!" Aku menaiki jok belakang motornya.
"Ta-tapi, Emm ..?" sahut Biyan gamang.
"Kumohon, Biy!" pekikku.
Biyan menyalakan mesin motor dan melaju gesit meninggalkan Papa yang berteriak memanggilku.
Sejurus kemudian, Biyan menarik tanganku agar melingkar di pinggangnya. "Kita mau ke mana?" tanyanya.
"Terserah," sahutku dengan air mata berlinang.
"Ke rumahku, ya?" tawar Biyan.
7. TRANSISI
Aku tidak menduga semua bisa berubah dalam waktu satu hari.
Semenjak pertengkaran hebat itu, Papa tidak pernah pulang. Kini, setiap hari, emosi Mama meledak-ledak tidak stabil. Wajar saja, sih, suami yang bersama selama hampir dua puluh tahun, berkhianat dengan gampangnya. Papa juga tidak menunjukkan penyesalan sama sekali. Ia tidak meminta maaf padaku, maupun pada Mama. Sekarang, Papa bahkan tidak pernah pulang.
Pagi ini, seperti biasa, Bibi Minah menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Dengan atmosfer tegang, aku, Mama, dan Emran, duduk bersama di meja makan.
"Sudah siap untuk UN, Emran?" tanya Mama.
"InshaAllah, Ma," sahut Emran.
Tidak perlu diragukan, Emran adalah murid yang tergolong pintar di sekolah. Ia selalu meraih juara pertama karena nilai-nilai yang baik. Emran juga sudah merencanakan hidupnya dengan baik. Bagaimana tidak, semenjak masih duduk di kelas 2 SMA, dia mantap ingin mengambil jurusan Hukum.
"Mama harap kamu tidak memilih perguruan tinggi yang berada di luar kota," ucap Mama. Sorot matanya berubah sendu, nasi di piringnya pun tidak tersentuh semenjak tadi. "Kamu tahu, 'kan, Mama dan Papa mungkin terancam bercerai. Kalau kamu tidak ada, Mama ..."
Emran berdeham. Ia buru-buru mengusap punggung tangan Mama dengan lembut. "Aku enggak akan kuliah di luar kota, kok, Ma. Mama tenang aja. Rencanaku di Universitas Airlangga atau Ubaya. Jurusan Hukum di kedua universitas itu terkenal bagus. Kalau memang tidak diterima di Airlangga, maka aku akan melanjutkan ke Ubaya (Univ. Swasta di Surabaya)."
"Makasih atas pengertianmu, ya, Nak." Mama tersenyum pahit ke arah Emran. Sejurus kemudian, Mama beralih menatapku dingin. "Lalu, kamu bagaimana, Emm?"
"A-apanya, Ma?" tanyaku tegang.
Mama mendengkus. "Tentu saja pelajaran di sekolah. Bersiaplah untuk ujian kenaikan kelas."
"Iya, Ma," jawabku tertunduk.
"Nilaimu di sekolah selalu pas-pasan. Mama harap, kamu bisa belajar lebih giat seperti Masmu. Kamu bisa, 'kan?" ujar Mama dingin.
"Iya," sahutku lirih.
Sejak dulu, aku dan Emran memang berbanding terbalik. Ia murid teladan, tidak sepertiku yang lemot. Dia dan Mama juga akur dan akrab, sebaliknya, aku lebih dekat dengan Papa. Tapi, sekarang ... aku merasa sendirian.
Mama terdiam. Kami bertiga kembali melanjutkan makan dengan sunyi. Tak terdengar obrolan apapun, hanya suara sendok yang kadang-kadang bertumbukan dengan piring.
"Bagaimana dia?" ucap Mama memecah kesunyian.
Aku dan Emran kompak memandang ke arah Mama. Mama menatapku dengan tatapannya yang kosong. Jelas, pertanyaannya diperuntukkan padaku.
"Bagaimana apa, Ma?" selidikku.
"Kamu pernah bertemu dengan wanita selingkuhan itu, 'kan. Bagaimana dia? Apa dia lebih cantik dan muda dari Mama?" tanya Mama.
Aku menelan ludah kasar. Sari dan Mama tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Di usia empat puluh, Mama masih sangat cantik. Bahkan, tak ada kerutan yang menghias di wajahnya. Berbanding terbalik dengan Sari yang tampak tua penuh gurat halus. Wajah Sari juga biasa saja. Entah apa yang membuat Papa khilaf dengan wanita itu.
"Mama lebih cantik," jawabku dengan hati sembilu.
Mama mendecih. "Dia adalah cinta pertama Papamu waktu masih di kampung. Mereka sepertinya CLBK."
Aku dan Emran tidak menjawab --- diam --- mendengarkan dengan saksama.
"Apa yang kamu lakukan saat bertemu dengan wanita itu?" selidik Mama.
"Aku ... aku tidak melakukan apapun, Ma," terangku.
"Kamu tidak meneriakinya? Atau sekedar meludahinya?" Mama memandangku dengan tatapan sinis. "Emm, Mama sungguh kecewa padamu. Apa tidak ada rasa kasihan sedikit pun di hatimu untuk Mama? Atau ... kamu memang lebih membela Papamu ketimbang Mama?"
"Ma!" sanggahku.
Mama bangkit dari duduk dengan sambil membuang muka. "Sudahlah, Mama berangkat dulu."
"Hati-hati, Ma," kata Emran. Ia mengikuti Mama melangkah menuju pintu depan. Mereka berdua berjalan beriringan dengan rukun.
Mama adalah seorang wanita karir yang sukses di bidang pekerjaannya. Ia telah menjabat sebagai Direktur pada sebuah perusahaan yang memproduksi barang-barang elektronik. Sejak dulu, Mama mendidikku dengan tegas. Ia selalu menginginkanku agar bisa menjadi wanita tangguh dan mandiri. Namun, di matanya, aku rasa Mama lebih banyak menelan kekecewaan terhadapku. Baginya, aku hanya anak manja yang tidak bisa apa-apa.
Menyimpan rahasia Papa telah membuatku sedih dan gelisah. Namun, kini Mama justru membuatku makin merasa bersalah. Tidakkah ia sadar, aku juga terluka. Sama seperti Mama.
***
Setelah menurunkanku di depan gerbang, Emran segera melesat pergi meninggalkanku.
Aku dan Dita berpapasan di lapangan, namun, kami memilih tak saling menyapa, apa lagi bicara. Masalah teror di dinding kamar mandi sudah selesai. Aku memutuskan tidak melaporkan Dita. Toh, dinding kamar mandi juga telah dicat ulang. Aku tidak ingin memperpanjang masalah.
Lalu, dengan Mas Rudi, aku memilih untuk menghindar. Tiap kali kami bertemu, aku memalingkan muka seolah tidak kenal. Ketika ia menyapaku pun, aku tak menggubris. Sedikit kejam memang, tapi, sudahlah.
"Pagi, Tuan Putri!" sapa Biyan. Ia tidak sungkan merangkul bahuku dan berjalan di sisiku.
Aku melepaskan rangkulan lengan Biyan. “Pagi, Biyan.”
"Kok dilepas, sih? Malu, ya, kelihatan jalan sama rakyat jelata?" goda Biyan cengengesan.
Aku menggelengkan kepala dan memilih tidak menjawab.
Biyan kembali melanjutkan, "Nanti pulang sekolah, kita jalan? Mau?"
"Sebentar aja, ya, tapi," sahutku.
Biyan mengacungkan jempol dengan bibir mengembang. "Sip!" serunya.
Pertemananku dengan Biyan makin akrab. Entah apa sebutan bagi hubungan kami, dibilang teman sudah berciuman, pacaran juga bukan. Perasaanku pada Biyan belum sampai sejauh itu. Aku nyaman bersama dengannya, tetapi, aku tidak yakin ingin menjadi kekasihnya.
Dibanding bersama dengan Nova, Bella, dan Anna, aku lebih sering bersama dengan Biyan. Biyan seakan mampu mengisi lubang kesedihan akibat kepergian Papa. Karena itulah, bersama dengan Biyan, membuatku kecanduan.
***
"Emm, kita mampir ke rumahmu, boleh, enggak? Sudah lama kita enggak kumpul, 'kan," celetuk Anna ketika bel pulang berbunyi.
Aku memasukkan buku-bukuku ke dalam tas, tidak lupa, aku mengecek ke dalam kolong meja, jangan sampai ada yang tertinggal.
"Soal itu ... aku enggak bisa, Ann," sahutku.
"Kamu ada acara keluarga?" timpal Bella.
"Bukannya Mamamu enggak ada masalah kalau kita ngumpulnya di rumahmu. Malah beliau senang tiap kali kita main," ujar Nova.
Aku tidak ingin mereka mengetahui soal keretakan dalam rumah tangga Mama dan Papa. Itu hal yang memalukan.
"Aku ada janji sama Biyan," tukasku.
Nova, Bella, dan Anna terdiam.
"Kamu sama Biyan pacaran?" terka Bella.
Aku terkikik. "Enggak. Cuma teman."
"Tapi, kalian berdua akrab banget ..." imbuh Nova. "Padahal, kulihat, Biyan bukan tipikal cowok kesukaanmu, Emm. Dia agak slengek'an."
"Biyan baik, kok," kataku. Aku menutup risleting tas dan segera mencangklongnya di bahu. "Ya sudah, aku duluan, ya."
Mereka bertiga menatap ke arahku dengan pandangan penuh tanya. Tapi, aku berusaha tak acuh dengan melenggang keluar dari kelas.
***
Satu tahun pun berlalu.
Emran berhasil diterima di Universitas Negeri Airlangga, sesuai rencananya, ia mengambil jurusan Hukum. Hubungan Mama dan Papa yang memburuk, mengakibatkan suasana rumah bagai di Neraka. Papa yang terkadang pulang dan pergi sesuka hati, membuat Mama tersulut emosi.
Sikap Papa kepada kami juga berubah total, ia tak lagi hangat. Papa seperti individu yang berbeda seratus delapan puluh derajat.
Dulu, aku berharap mereka tak bercerai, tetapi sekarang, aku berharap Mama dan Papa berpisah. Hampir tiap hari, aku mendengar teriakan pertengkaran. Vas yang pecah berkeping-keping, atau sumpah serapah adalah makanan sehari-hari.
Mama dan Papa juga tak lagi peduli kepada aku atau Emran. Hal itu, membuatku bebas pergi dengan Biyan hingga malam hari. Pergi dengan Biyan lebih baik ketimbang harus menyaksikan orang tua yang selalu bertengkar bak ingin saling membunuh.
Area persawahan terhampar sejauh mata memandang. Angin bertiup kencang dan membawa aroma rumput segar yang baru dipotong. Warung ini menjadi langgananku dan Biyan untuk menghabiskan waktu.
"Kamu mau kuliah di mana nanti, Biy?" tanyaku.
Biyan mengeluarkan bungkus rokok dari dalam sakunya. "Aku enggak mikir bakalan kuliah."
"Oh, ya?" tanyaku tidak percaya.
"Aku mau cari pengalaman dulu setahun. Entah traveling entah kerja, entah kerja untuk traveling," jawab Biyan. Ia mengamit putung rokok di bibir dan menyalakannya. Kepulan asap keluar dari hidung Biyan yang mancung.
"Aku kagum. Kamu bisa keputusan yang berani," pujiku.
"Kenapa kamu tidak mencoba begitu juga? Melakukan apa yang kamu mau. Emm, yang punya hidup itu kamu, harusnya kamu yang memutuskan. Bukan orang lain," tutur Biyan.
"Orang lain itu siapa?" selidikku.
"Orang tuamu. Apa kuliah emang kemauanmu?" Biyan memandangku dengan lekat.
Aku menghembuskan napas panjang. "Entah. Yang jelas, aku tidak punya rencana lain selain kuliah. Lagipula, masalah di rumah sudah cukup banyak. Aku enggak mau nambahin beban Mama dengan memutuskan tidak kuliah," terangku.
"Kamu selalu berusaha menjadi anak penurut, Emm. Meski, sejujurnya, orang tuamu makin sering mengabaikanmu. Kalau aku pribadi, enggak mau hidupku diatur orang lain. Walaupun itu orang tuaku sendiri," tegas Biyan.
Aku baru sadar jika Biyan adalah seorang idealis. Ia memegang teguh prinsip yang ia percaya. Dan, dia tak membiarkan orang lain mengekangnya. Andai saja, aku punya keberanian semacam itu.
"Emm," panggil Biyan membuyarkan lamunan.
Aku menoleh ke arah Biyan. "Kenapa?"
"Hubungan kita ini apa, sih?"
Aku terkesiap dengan pertanyaan yang Biyan lontarkan, jujur, aku tidak menduga akan menerima pertanyaan ini.
"Teman," jawabku kikuk.
"Teman yang sudah berciuman?" lanjut Biyan.
Tatapan kami saling beradu. Biyan memandangku dengan sorot mata yang tajam. Ia menanti jawabanku.
"Biy ... bisakah ... kita tidak membicarakan soal ini sekarang? Sebentar lagi kelulusan, dan aku ingin fokus untuk persiapan masuk ke perguruan tinggi," kelitku.
Biyan tersenyum getir. "Klise," gumamnya.
"Biyan?" sanggahku.
"Sorry, Emm. Aku hanya takut kamu kelak akan berpaling dariku. Status pertemanan adalah hubungan yang paling rapuh," ujar Biyan.
"Aku enggak akan berpaling dari kamu. Aku nyaman setiap kali kita bersama. Saat ini, kamu adalah orang terdekatku, Biy," terangku.
"Kamu serius?" selidik Biyan.
Aku menjawabnya dengan anggukkan kepala. "Aku serius," kataku mantap.
Biyan menggenggam tanganku dengan erat.
"Selamanya seperti, 'kan, Emm?"
"Iya, Biy."
***
Hidup memang seperti roda bergulir. Keharmonisan keluarga yang pernah kurasakan berganti dengan rasa sepi. Segala sayang dan perhatian dari Papa, menguap menghilang tak bersisa.
Rasa rindu yang bercampur dengan amarah, begitu menyiksa kalbuku. Setelah apa yang Papa lakukan, aku masih saja berharap Papa akan kembali lagi menjadi Papa yang dulu.
Benci dan sayang hanya dibatasi oleh garis tipis. Lagi pula, bagaimana bisa aku membenci Papa yang merupakan orang tua kandungku? Padahal jujur saja aku ingin sekali membenci Papa agar tak lagi merasakan kecewa.
Tapi, aku pun sadar bahwa lawan kata dari cinta bukan benci, tapi tidak peduli. Ketika aku sudah tidak peduli, maka aku tidak akan lagi merasakan sakit karena memikirkannya. Selama aku masih peduli, sebesar apapun benciku, rasa sakit akan terus datang menusuk relung hati. Dan rasa rindu juga akan terus membayangi.
Papa beberapa kali pulang ke rumah untuk membantuku mendaftar di perguruan tinggi. Beruntung, aku berhasil diterima di universitas yang sama dengan Emran. Mungkin, Tuhan kasihan padaku, padahal aku ini anak yang tergolong bodoh, namun mampu masuk ke Perguruan Tinggi Negeri.
Aku mengambil jurusan Sosiologi yang kala itu peminatnya masih sedikit.
Kesibukan MOS dan kegiatan baru sebagai mahasiswa cukup menyita waktu. Aku merasakan sedikit kerenggangan terjadi antara aku dan Biyan. Aku sadar Biyan marah, karena itulah, malam ini aku mengajaknya bertemu di kafe yang berada tidak jauh dari kompleks perumahanku.
Aku mengenakan skinny jeans berwarna biru navy yang dipadankan kaos oblong. Saat penampilanku sudah rapi, aku berpapasan dengan Mama ketika menuruni tangga.
"Rapi amat kamu, Emm. Mau pergi?" tanya Mama.
"Iya, Ma. Mau pergi sebentar sama teman," terangku. Dalam hati, jantungku berdegup kencang karena Mama kurang menyukai Biyan.
"Teman siapa?" selidik Mama.
Aku tidak menjawab dan berpura-pura tidak mendengar. Kulirik jam di dinding, lagi-lagi Biyan terlambat datang menjemput. Kelemahan Biyan adalah sikapnya yang tidak pernah on-time.
"Emma, teman siapa?" ulang Mama.
"Biyan." Terpaksa mau tidak mau aku akhirnya menjawab.
Embusan napas jengah terdengar dari hidung Mama. "Kamu dan dia pacaran?
"Enggak. Kita berdua hanya teman," terangku.
"Teman? Mama lihat, kalian selalu bersama. Apa kamu tidak ada sahabat lain selain dia? Paling tidak, teman sesama wanita. Teman kampus atau teman-temanmu yang dulu, pada ke mana semua?" introgasi Mama.
"Aku belum akrab dengan teman-teman kampusku, Ma. Sementara, teman-temanku pada saat sekolah dulu sudah sibuk masing-masing. Bella kuliah di Brawijaya Malang, Nova dan Anna tidak ada kabar," terangku.
Mama menjatuhkan badan ke atas sofa ruang tamu. Ekspresinya menyiratkan ketidak-sukaan. Aku yakin, ia sedang bersiap menceramahiku panjang lebar.
"Kamu sudah dua bulan kuliah dan masih belum punya teman baru? Bagaimana bisa punya teman kalau kerjaanmu hanya menempel Biyan. Dia, 'kan, pengangguran, makanya santai. Sedangkan kamu mahasiswi, harusnya lebih banyak belajar dan sosialisasi di kampus!" cerca Mama.
"Belum ada teman yang cocok," sanggahku.
"Itu karena kamu menutup diri, Emm. Mama lihat, kamu terlalu terpengaruh oleh Biyan. Apa yang bagus dari dia? Penampilan tidak rapi, nganggur pula."
"Udahlah, Ma. Kenapa Mama tidak mencoba mengenal Biyan dulu sebelum nge-judge?" bantahku. Aku kembali melihat jam di tangan, tidak sabar pergi dari rumah.
Mama menghampiriku, ia lalu memegang pundakku. "Mama hanya menasehati kamu agar kamu tidak menyesal nantinya. Kamu buang-buang waktumu dengan orang yang salah. Nantinya, dia bisa kasih pengaruh buruk ke kamu," ujarnya.
"Pengaruh buruk? Mama belum mengenal Biyan sama sekali, jadi jangan buru-buru menilai sepihak. Selama aku di sekolah, dia yang paling banyak membantuku, Ma. Mengantarku ke sana ke mari menggantikan ketiadaan Papa," jelasku.
"Itu semua karena kamu tidak mandiri, Emm. Kamu bergantung sama Biyan. Sudah berapa kali Mama meminta kamu untuk belajar mengendarai motor, tetapi kamu selalu alasan. Mama suruh kamu les menyetir pun, kamu menolak. Akhirnya, hanya Biyanlah tempatmu bergantung!" Intonasi Mama semakin meninggi.
"Bukan karena aku enggak mandiri, Mama tidak suka Biyan karena dia bukan anak orang kaya, 'kan? Mama selalu menilai kualitas orang dari materi yang dia miliki."
Mama tersenyum mencemooh. “Materi memang bukan segalanya. Tetapi, segalanya butuh materi.”
"Punya banyak materi enggak menjamin dia adalah orang yang baik. Coba, deh, Mama bisa lebih mengertiku seperti Papa ..." Kalimatku terhenti. Aku sadar telah keceplosan mengatakan hal yang tidak sepantasnya.
Mama terdiam seraya memandangku dengan sorot sendu.
"Mama memang tidak mengerti kamu seperti Papamu. Tapi, Mama bukan orang yang meninggalkan keluarga demi orang lain. Kalau kamu ingin lebih cocok dengan Papamu, coba cari dia dan tinggal bersamanya."
Aku terkesiap. "Ma, aku ..." sahutku terbata.
Mama memalingkan muka, sementara suara ketokan tiba-tiba terdengar pada pintu utama. Hal itu mengakibatkan pembicaraan kami berakhir. Tanpa bicara, Mama melenggang pergi meninggalkanku.
Aku tahu kalau mungkin sudah menyakitinya.
Toktoktok. Ketokan kembali terdengar, itu pasti Biyan. Dengan semangat yang sudah pupus, aku pun membuka pintu. Biyan berdiri sambil mengulas senyum lebar.
"Lama nunggu, ya? Maaf kalau aku jemput," ucap Biyan. "Kita pergi sekarang?"
"Iya," kataku. Setelah keluar dan memakai sepatu, aku menutup pintu dan berjalan ke arah gerbang.
"Kita enggak pamit sama Mamamu dulu?" tanya Biyan.
Aku menggeleng. "Enggak perlu. Aku baru saja bertengkar dengannya."
"Ada apa?" Biyan menatapku cemas.
"Biasalah. Dia enggak suka aku keluar malam-malam begini. Ini memang sudah agak larut, kamu terlambat satu jam, Biy," ujarku.
Biyan menghela napas. "Aku sudah minta maaf, 'kan? Jadi, gimana? Kita enggak jadi pergi?"
"Jadi, tapi aku enggak bisa lama," gumamku tertunduk.
Wajah Biyan menyiratkan kekecewaan. Lelaki itu menyugar rambut lurusnya yang sudah mulai panjang. "Ya sudah. Ayo berangkat."
***
Tidak butuh waktu lama, aku dan Biyan tiba di kafe langganan kami. Ada alasan khusus kenapa Biyan memilih kafe ini. Selain karena menyajikan bermacam minuman olahan kopi dengan rasa yang enak, kafe ini juga tidak terlalu mahal. Biyan adalah pecinta kopi. Ia terobsesi mencicipi berbagai macam karakter rasa dari kopi-kopi nusantara.
Sepanjang jalan hingga sampai di tujuan, aku menyadari Biyan begitu pendiam. Ia pasti sedang memikirkan sesuatu.
"Kenapa kamu diam aja?" selidikku.
"Enggak apa-apa," jawab Biyan ketus.
"Kenapa?" desakku.
Biyan mendengkus. "Gimana, ya, Emm," sahutnya. "Aku terbebani karena memikirkan kamu yang selalu terkekang oleh Mamamu. Sampai kapan hidupmu selalu di atur-atur? Kamu sudah dewasa, Emm."
"Aku enggak bisa lawan orang tua. Apa lagi sekarang cuman ada Mama. Sebisa mungkin, aku nggak mau bikin dia sedih lagi, Mama sudah cukup sedih karena bermasalah dengan Papa," sungutku dongkol.
"Tapi apa Mama kamu harus selalu mengatur semua tentang hidupmu? Lagipula itu masalah mereka. Bukan masalahmu," tukas Biyan.
"Mereka yang kamu maksud itu orang tuaku. Masalah mereka, masalahku juga, dong," jawabku.
Biyan lagi-lagi mendengkus. "Bukan berarti Mama kamu mengontrol seluruh gerak-gerikmu, Emm."
"Kenyataan bahwa Mamaku adalah orang yang tegas tidak bisa diubah, Biy. Aku akan selalu menjadi anak penurut yang memikirkan tiap omongannya. Jika, ini menjadi masalah untukmu, aku tak bisa melakukan apapun untuk mengubahnya," terangku. "Yang jelas, aku tidak memiliki daya atau keinginan untuk bersikap seenaknya di depan Mamaku."
Biyan terdiam.
Pelayan yang mengantarkan pesanan kami membuat aku dan Biyan tak lagi berdebat. Untuk sesaat, kami menikmati minuman untuk meredakan emosi. Aku meneguk milkshake dinginku dengan impulsif demi memadamkan amarah.
"Aku minta maaf, Emm. Sikapku barusan memang menyebalkan," kata Biyan memecah keheningan.
"Iya, enggak apa-apa," sahutku tak acuh.
"Kesibukanmu di kampus membuat kita jarang bertemu. Jujur aja, rasa rindu membuatku keki dan senewen," terang Biyan.
Aku mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan. "Aku tahu. Karena merasa bersalah sering mengabaikanmu, makanya aku ajak kamu ketemu. Tapi, kamu malah terlambat datang dan bersikap menyebalkan. Aku tidak suka kamu mengkritik orang tuaku. Bagaimanapun juga, mereka adalah Mama dan Papaku."
"Aku tahu. Sekali lagi, aku minta maaf, Emm." Air muka Biyan mengiba.
Aku mengangguk. "Jangan begini lagi, Biy."
Biyan meraih jemariku dan menggenggamnya. Sentuhan kulit tangan Biyan yang hangat membuatku berdesir.
"Kalau aku menyebalkan lagi di lain waktu, kamu bisa tempeleng aku, Emm," ujar Biyan.
"Tempeleng?" ulangku
"Yup, kayak gini, nih." Biyan menampar wajahnya sendiri. "Kalau enggak cukup sekali, dua kali juga boleh." Ia kembali memukul pipinya hingga menyiptakan suara tepukan keras.
"Biyan!" cegahku.
Tawaku pecah melihat ulahnya yang konyol dan aneh. Beberapa pengunjung kafe pun ikut menoleh ke arah kami dengan ekspresi bingung.
"Nah, gitu, dong, ketawa." Biyan meringis. "Cantiknya terpancar."
Aku mencubit pinggang Biyan dengan kuat. "Dasar, kamu! Enggak malu, apa, dilihat orang?"
Biyan menggeleng cekikikan. Setelah menghentikan tawanya, lelaki itu kembali meraih jemariku.
"Ngomong-ngomong, Emm, ada yang mau aku katakan," ucap Biyan.
"Soal apa?"
Biyan berulang kali membersihkan tenggorokannya dengan berdeham. Raut muka yang semula cengengesan, berubah serius. Aku yakin, ia akan membicarakan hal yang penting.
"Pacaran, yuk, Emm."
Mataku terbelalak dengan mulut yang menganga. "A-apa?"
"Kita sudah mengenal cukup lama, Emm. Kita enggak bisa selamanya begini, bersama dengan hubungan yang menggantung. Aku butuh kejelasan. Kamu juga tahu perasaanku padamu, kalau aku suka sama kamu," terang Biyan.
Aku tidak pernah siap dengan pertanyaan Biyan. Selama ini, aku selalu menghindar dari kejelasan status hubungan antara aku dengannya. Itu karena aku lebih menikmati kami yang sekarang.
"Apakah hubungan kita enggak bisa seperti ini saja?" selidikku.
"Emmu, ini berat untuk aku. Bayangkanlah, aku harus bersama dengan orang yang kusayang tapi tidak bisa memilikinya. Setiap hari aku selalu cemas karena memikirkan jika kamu bakalan suka sama cowok lain. Jadi, pilihannya cuma dua, kita pacaran atau kita enggak usah ketemu lagi." Biyan menelan saliva.
"Kok gitu sih, Biy?" bantahku.
Biyan menggelengkan kepala. "Kamu pikir aku masih bisa jalan sama kamu setelah kamu tolak? Mana bisa aku pura-pura kayak nggak terjadi apa-apa. Aku juga harus move-on dengan cara menjauhi kamu."
Dia ada benarnya. Mungkin, aku memang kelewat egois. Memanfaatkan Biyan agar tetap di sisiku.
"Biy, aku enggak siap untuk berpacaran," kataku lirih.
Biyan menarik dua sudut bibir ke atas, sebuah lengkungan lebar terpatri pada bibirnya. Senyum Biyan tampak getir.
"Kamu enggak mau pacaran denganku?"
"Bukannya enggak mau, aku ..." ucapku terbata, "kasih aku waktu lagi."
"Lebih dari setahun aku kasih kamu waktu, Emm," tukas Biyan.
Aku tertunduk. "Aku ...
Biyan menungguku melanjutkan kalimat. Ia mendengarkan dengan saksama. Aku merasakan sorot mata Biyan mengintaiku. Hal itu membuatku sangat terintimidasi.
"Aku belum siap, Biy."
Biyan menghela napas panjang. "Baiklah. Kalau begitu, ini pertemuan terakhir kita."
***
Setelah malam itu, Biyan tak pernah menghubungiku lagi. Ketiadaannya dalam hidupku, masih terasa tak nyata.
Ini malam kedua aku tidak bisa tidur, otakku melayang karena terbayang wajah Biyan. Senyum maupun suara Biyan seolah menari-nari di pelupuk mataku. Mungkin ini yang dinamakan kangen.
Rasa resah menjalar menusuk-nusuk sanubari. Berkali-kali aku menatap nomor Biyan yang terpampang di layar ponsel. Dengan sekuat tenaga aku menahan diri agar tidak mengirim pesan kepadanya. Aku tidak boleh egois, bukan?
Kupejamkan mata untuk mengenyakkan bayangan dan segala memori tentang kebersamaan kami. Namun, justru kenangan Biyan semakin jelas mengganggu. Tanpa kuduga, air mata menetes dari pelupuk. Cairan bening itu jatuh dan membasahi bantal tidurku.
Biyan, aku rindu ...
***
Cahaya matahari mengintip dari celah jendela kamar. Sinar terang sang fajar membangunkan mataku yang sensitif akan teriknya.
Mulutku menguap lebar seraya menggeliyat untuk merenggangkan badan. Sekujur tubuhku sakit seperti habis dipukuli. Efek kurang tidur memang seburuk ini. Terhitung, aku baru satu atau dua jam tertidur.
Hasrat ingin buang air kecil memaksaku untuk bangkit dari pembaringan. Dengan penampilan berantakan dan mata kuyu, aku keluar dari kamar.
Beruntung, hari ini tidak ada jadwal kuliah, aku bisa lanjut tidur setelah sarapan.
Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Pasti Siluman Kerbau lagi ada di dalam.
Toktoktok. Aku menggedor pintu kuat-kuat.
"Cepet buka! Kebelet, nih!" teriakku.
Biasanya, Emran bakalan langsung nyolot dan membalasku. Tapi, tumben, dia diam saja di dalam sana.
"Pingsan apa gimana, ya, Pak? Lama bener! Oh, lagi boker, sepertinya. Makanya, makan sayur dan buah yang banyak. Biar enggak sembelit!" godaku.
Emran masih diam. Aneh.
"Buka, woi!" Aku kembali mengetuk pintu. Semakin didiamkan, jiwa jahilku makin meronta. "Emran? Tumben diam, aja! Jangan bilang kamu lagi coli?"
Aku menutup bibirku yang cekikikan. Tidak lama, terdengar suara kunci pintu dibuka.
"Lama am ..." Mataku terbelalak begitu melihat siapa yang muncul dari balik bath room.
Tubuh tinggi dengan kaki jenjang yang membuatku harus mendongakkan kepala. Tatapan mata dingin seperti serigala, serta hidung lancip yang membingkai tampilan bengisnya. Lelaki itu masih sama, tanpa ekspresi, nyaris tak ada segaris senyum pada bibir tipisnya yang merah.
“Ali?!”
Aku pasti mimpi! Sedang apa Ali ada di rumahku?
9. PUPPY LOVE
Aku tidak pernah mendapatkan mimpi senyata ini, sosok Ali berdiri di hadapanku secara tiba-tiba.
"Ali?!"
Lelaki bertubuh jangkung itu memandangku dingin. "Hei," sahutnya pelan.
Ini bukan mimpi, suara Ali jelas menembus telingaku. Apalagi, ketidak-nyamanan pada kandung kemihku karena menahan buang air kecil terasa amat nyata.
"Aku menginap di sini semalam," lanjut Ali.
Aku masih mematung dan tak bergeming dengan bibir menganga. Ali yang tak acuh, memiringkan tubuh untuk melewatiku. Ia melenggang pergi begitu saja tanpa berinisiatif untuk basa-basi.
Kutolehkan kepalaku untuk mengamati sosoknya, mana sangka akan bertemu Ali di rumahku sendiri. Jadi, semalam, secara tidak langsung, kami tidur dalam satu atap!
Ah, sial!
Kenapa Emran seenaknya sendiri mengajak teman lelaki untuk menginap di rumah? Bukannya dia tahu kalau Papa tidak ada. Bagaimana kalau semalam Ali masuk ke dalam kamarku dan memerkosaku? Ih, amit-amit!
Aku bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan menangkap tampilan diriku pada cermin.
Rambut acak-acakan dan bau ketombe karena sudah empat hari tidak dikeramas. Belum lagi, wajahku yang berminyak dan kuyu. Bibirku juga pucat seperti musafir yang tersesat di gurun sahara.
Tampilan seperti ini, yang tadi dilihat Ali?! Astaga, malu-maluin.
***
Aku urung melanjutkan tidur
Setelah mandi dan sedikit berdandan, aku turun ke lantai bawah untuk sarapan.
"Mau ke kampus, Emm?" sapa Bibi Minah saat melihatku duduk di atas bar stool.
Aku menggeleng. "Enggak, tuh. Hari ini libur," jawabku.
"Oh," gumam Bibi Minah. "Kirain ke kampus, abisnya rapi amat."
Aku menilik penampilanku. "Masa, sih, rapi? Cuman pakai kaos sama celana gini, kok!" kelitku.
"Biasanya kalau di rumah dan tidak ke mana-mana, mana mungkin kamu mandi," cibir Bibi Minah. "Ehm, apa jangan-jangan karena ada temannya Masmu di rumah, ya, makanya kamu rapi begini?"
Aku tersedak karena salah tingkah. "Ih, enggak! Lagian, dia itu dulu adik kelasku di sekolah. Aku biasa aja sama dia," sungutku.
"Hmm, gitu? Kirain kamu suka. 'Kan, Bibi lihat, dia ganteng, mirip orang Turki." Bibi Minah cekikikan.
Aku berkecimus dan mengambil sesendok nasi ke atas piring makan. "Buat apa ganteng kalau kelakuannya kayak setan," bisikku.
"Hah? Kayak setan? Kelakuan apa emang?" selidik Bibi Minah penasaran.
"Dia itu ..."
"Sstt!" Bibi Minah buru-buru membekap mulutku dengan telapak tangannya yang beraroma bawang putih. Senyum merekah mendadak terpancar dari wajahnya yang sudah penuh garis-garis halus. "Eh, Mas, sudah bangun, ya? Mau sarapan? Bareng saja sama si Emma."
Aku spontan menengok, ternyata Ali berada di belakangku. Dengan alami, aku membetulkan posisi duduk seolah tidak terjadi apa-apa. Kira-kira, dia dengar tidak, ya, kalau aku baru saja menyebut kelakuannya mirip setan?
Bodo amatlah.
"Terima kasih, Bi. Nanti saja, saya bareng sama Mas Emran." Ali menarik stool di sebelahku.
Jantungku yang semula baik-baik saja, mendadak bergemuruh kencang. Detaknya seperti genderang mau perang, kalau kata Dewa 19.
Aku mengaduk-aduk nasi bercampur dengan kuah sop ayam, rasanya canggung makan dengan Ali yang duduk disebelahku.
"Kamu enggak sekolah apa?" tanyaku.
"Libur," sahut Ali. Seperti biasa, selalu hemat kata.
"Libur apa?" selidikku.
"Sebentar lagi UN." Ali meneguk air putih yang tadi disodorkan oleh Bibi Minah.
Aku mengangguk. "Oh," gumamku. "Terus, untuk apa kamu menginap di sini segala?"
"Aku konsultasi sama Mas Emran soal jurusan yang ingin kuambil selepas lulus nanti. Rencananya, aku ingin ambil jurusan Hukum seperti dia," terang Ali.
Aku mendecih. Sekarang, soal jurusan kuliah pun, Ali meminta nasehat dari Emran? Apa dia enggak punya orang tua di rumah apa buat ditanya-tanya?
"Kalian akrab, ya? Bahkan, kupikir-pikir, hubungan kalian lebih harmonis ketimbang aku yang adik kandungnya. Sampai nginap segala di rumah." Aku tertawa sinis.
"Aku dan Mas Emran akrab karena kami sekarang satu band. Aku menggantikan gitarisnya yang keluar," terang Ali.
Aku melengkungkan bibir ke bawah. "Wah, cita-citamu satu band sama dia terwujud, ya? Selain itu, ada harapan lain darimu? Misal, pacaran dengannya sekalian," sindirku.
Ali tersenyum tipis, ia melirik melalui sudut matanya. "Pacaran?"
"Iya. Aku menebak kamu naksir Masku, ya?" ejekku.
Ali terdiam sejenak. Ia kemudian kembali meminum air putih dalam gelas yang ia pegang.
"Jadi begitu caramu menilaiku?" tanya Ali melalui mimik muka datar.
"Aku ..."
Kurasa mungkin aku sudah keterlaluan.
Ali bangkit dari duduk. "Terserah, Emm. Apapun pikiranmu tentangku, itu terserah."
Lelaki itu lalu pergi dari ruang dapur. Sayup-sayup, aku mendengar suara Emran yang turun dari atas tangga dan menyapa Ali.
"Sarapan, Li?" ajak Emran.
"Makasi, Mas. Aku balik ajalah. Ini udah hampir siang, nanti orang di rumah bingung nyariin," jawab Ali.
Setelah itu, percakapan mereka tak lagi jelas dan samar-samar. Yang kutahu pasti, Ali sedang berpamitan kepada Emran. Lelaki itu akhirnya pergi dari rumahku.
Ali muncul tiba-tiba lalu pergi meninggalkan sisa perasaan yang kacau balau. Ternyata, jauh dalam relung hatiku yang terdalam, aku masih memendam suka kepadanya. Berengsek.
"Enggak kuliah?" sapaan Emran membuyarkanku dari lamunan.
"Libur," jawabku.
Emran mengambil sepotong roti tawar dan memakannya tanpa baluran selai.
"Mau keluar sama Biyan?" selidik Emran.
Aku menggeleng. "Enggak."
Mendengar nama Biyan disebut, lagi-lagi hatiku sembilu. Ia memutuskan hubungan setelah pertemuan terakhir kami. Tidak mudah melupakan Biyan dan kenangan selama kami bersama dulu.
"Kenapa? Putus?" tanya Emran lagi.
"Aku sama Biyan itu enggak pacaran," tukasku.
Emran mengangguk santai. "Pantes kemarin aku ketemu dia lagi jalan sama cewek."
"Hah?" Mataku terbelalak.
"Ya, dia lagi jalan sama cewek. Sekitaran daerah kampusku," terang Emran.
Aku meletakkan sendok ke atas piring, nafsu makanku sudah lenyap. Seutas rasa panas menjalar memenuhi rongga dada. Amarah yang menari-nari hingga naik ke atas otak. Sensasi itu membuat perutku nyeri karena mulas. Mungkin, ini yang dinamakan cemburu.
Memang bukan urusanku Biyan jalan dengan siapapun.
Tetapi, entah kenapa aku tidak ikhlas. Aku tidak mau ia pergi meninggalkanku. Aku tidak rela ia membagi senyumnya untuk wanita lain selain diriku.
Aku sungguh egois.
Aku ingin Biyan hanya untukku saja.
Setelah mendengarkan penuturan Emran, aku bergegas bangkit dari kursi makan. Hatiku tak membiarkan Biyan lepas dari hidupku. Kebersamaan kami terlalu berharga untuk dilupakan.
Keraguanku adalah hal yang harus kusingkirkan jauh-jauh.
Perpisahan kami menjadi pertanda bahwa aku sangat membutuhkan Biyan. Dan itu artinya cinta, bukan? Aku tidak mau rasa bimbang membuatku kehilangan seseorang yang berharga. Sudah cukup aku kehilangan Papa, jangan lagi Biyan.
***
Taksi yang kutumpangi berhenti di depan pintu gerbang rumah Biyan. Setelah membayar, aku turun sembari menelepon ke nomer Biyan. Berkali-kali terhubung nada sambung, ia tidak mengangkat panggilanku.
Aku mengintip ke dalam pagar, tidak dikunci.
"Biyan!" panggilku. "Assalamualaikum!"
Tidak ada jawaban.
Aku menelan saliva. Kuberanikan diri untuk membuka gerbang dan masuk ke dalam teras.
"Biyan, ini aku Emma!" seruku.
Aku menengok dan melihat pintu rumah Biyan yang tidak tertutup. Langkahku gamang ketika membuka pintu itu agar bisa masuk ke dalam.
"Biy?" panggilku lagi.
Tak berapa lama, Biyan muncul dari balik ruang tengah. Beberapa hari tak bertemu, kulit lelaki itu tampak lebih kecokelatan. Pasti, ia baru pulang dari pendakian. Biyan memang hobi menjajal aktifitas di alam bebas.
"Emma?" Biyan menyugar rambut lurusnya ke belakang.
Aku menghela napas lega. Bertemu kembali dengan Biyan, menghilangkan segala gundahku.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Biyan.
"Mau ngapain lagi, ya untuk ketemu sama kamu," jawabku.
Mimik muka Biyan penuh tanya. "Huh?" gumamnya.
"Biy," panggilku. Suaraku mulai sengau karena tenggorokan yang tercekat. "Aku sungguh merindukanmu. Aku kangen."
"Huh?" Biyan membelalak sambil berjalan mendekatiku. "Kamu serius, Emm?"
Aku menjawabnya dengan anggukkan kepala. Tanpa sadar, bulir air mata berlinang dan jatuh ke pipiku.
"Aku pikir, aku akan baik-baik saja. Tapi, aku salah. Kebersamaan kita sudah terlalu lama dan melekat. Aku sungguh enggak bisa melenyapkan kamu dari memoriku. Aku butuh kamu, Biy."
Biyan memandangku dengan kedua matanya yang bersorot sendu. Mata itu tampak memerah dan berkaca-kaca. "Kupikir selama ini aku bertepuk sebelah tangan. Asal kamu tahu, berhari-hari hatiku ini enggak karuan, Emm."
"Kenapa kamu enggak menghubungiku?" tanyaku.
Biyan tersenyum getir. "Kamu enggak tahu apa yang namanya 'gengsi'? Coba kamu posisikan dirimu jadi aku, setelah ditolak, apa aku masih punya muka untuk menghubungimu lagi?"
"Maafkan aku," bisikku lirih. "Sepertinya aku mengambil keputusan yang salah."
"Maksud kamu?" cecar Biyan. Ia maju selangkah dan menatapku lamat-lamat.
"Aku ... aku mau kita pacaran," ujarku.
"Emm, kamu yakin?" selidik Biyan.
Aku lagi-lagi mengangguk.
Biyan lalu merengkuhku ke dalam pelukan. Dekapannya sangat erat hingga aku kesulitan bernapas.
Aku menengadahkan kepala untuk mencari oksigen. "Aku enggak bisa bernapas ..." protesku.
"Aku tidak akan melepaskanmu!" ucap Biyan. Suara lelaki itu terdengar parau.
"Biy?" Aku mendorong tubuhnya agar melepaskanku. "Kamu nangis?"
Aku mampu melihat cairan bening tumpah dari pelupuk mata monolidnya. Biyan benar-benar menangis.
"Aku menangis bahagia," jawab Biyan.
"Ya ampun, Biy." Aku mengusap pipinya yang basah dengan penuh sayang.
"Kupikir, kita tak akan bertemu lagi, Emm. Mana aku sangka hari ini kamu justru datang kepadaku. Perasaanku sangat bahagia. Enggak bisa aku utarakan dengan kata-kata."
"Sebesar itukah rasa cintamu untukku, Biy?" tanyaku penuh haru.
Melalui kedua matanya, Biyan menangkapku dalam pandangan. "Sangat. Aku jatuh cinta padamu semenjak pertama berjumpa, Emmu. Dan, bisa memilikimu sekarang adalah kebahagiaan terbesar yang pernah kurasakan seumur hidupku."
"Kamu berlebihan ..." sanggahku dengan pipi memanas.
Biyan menggeleng pelan. Ia membelai pipiku dengan telapak tangannya yang lebar. "Aku sungguh-sungguh," katanya. Biyan menarik pinggangku agar mendekati tubuhnya. "Pejamkan matamu, akan kusampaikan betapa besarnya perasaanku padamu."
Jantungku berdebar-debar. Pelan-pelan, aku memejamkan mata dengan kepala yang sedikit mendongak. Aku bisa merasakan napas hangat Biyan yang makin lama makin mendekat. Sejurus kemudian, bibir lembut itu menciumku.
Kulit bibir Biyan terasa panas saat menyentuhku. Kecupan yang menyatukan debaran jantung kami menjadi satu harmoni yang sama. Kini aku percaya bahwa sebuah ciuman mampu mengungkapkan sesuatu yang tak bisa dirangkai lewat kata.
Biyan membagi perasaan melalui caranya menciumku. Bukan sekedar ciuman penuh nafsu, namun ini adalah penyampaian akan sayang, gairah, dan rindunya. Kami seolah terhubung dan membaca isi hati satu sama lain. Terkoneksi oleh jamahan raga.
"Emm," kata Biyan menyebut namaku.
Aku membuka mataku yang nanar.
"Ciuman kita bukan semata penyatuan dua kulit bibir, tetapi, caraku untuk mengekspresikan hal-hal indah yang tak bisa kukatakan kepadamu." Biyan membisik.
Aku tersenyum. "Ya, aku tahu," kataku.
***
Semilir angin menerpa rambut kami yang bercampur satu ketika berbaring bersama di atas matras. Aku dan Biyan terpejam menikmati lantunan lagu lawas dari Nat King Cole di mini compo.
"Mas Emran bilang lihat kamu lagi jalan sama cewek," ucapku.
Biyan membalikkan tubuh ke posisi tengkurap, kedua lengannya menopang dada.
"Kapan?" tanya Biyan.
"Memang berapa kali kamu keluar sama cewek selamakita enggak ketemu?" sindirku.
Biyan terkikik. "Kemarin, ya?" terkanya.
"Siapa cewek itu? Gebetanmu? Calon penggantiku?" cecarku.
"Kamu cemburu?" Biyan menggodaku. Ia membelai dahiku yang tertutup oleh poni.
"Sedikit," sahutku malu-malu.
"Dia sepupuku, Emm. Kamu tidak perlu merasa cemburu. Satu hal yang harus kamu tahu, enggak akan ada wanita lain yang bisa menggantikan kamu," tegas Biyan.
"Kenaa?" Aku menatap Biyan dengan mata membola.
"Karena enggak ada yang secantik kamu." Biyan menarik dua sudut bibir ke atas hingga menciptakan lengkungan. Sorotnya padaku seakan hendak melahapku hingga habis. "Enggak ada bibir lain yang bisa membuatku kecanduan selain bibirmu. Dan ..."
Jemari Biyan berjalan membelai leherku dan terus turun ke area dada. Sentuhan lelaki itu membuatku gugup tidak karuan.
"Tidak ada tubuh lain yang sangat menggodaku, kecuali tubuhmu," tukas Biyan.
Ia menyusupkan jemarinya untuk masuk ke dalam kaosku. Detak jantungku kembali memburu. Aku belum siap untuk hal lain selain berciuman.
"Biyan!" elakku seraya beringsut bangun dari tidur.
Biyan tampak terkejut oleh penolakanku.
"Aku lapar, kita makan, yuk." Aku berdiri dan keluar dari kamar Biyan. Sejurus kemudian, aku menengok seraya melambaikan tangan. "Ayo, Biy!"
"Oke," sahut Biyan menyusulku.
***
Setelah makan, aku dan Biyan duduk di depan teras. Seperti biasa, Biyan menikmati rokok, sementara aku duduk mengamati cuaca sore yang sedikit mendung.
"Aku ketemu Ali tadi pagi," ujarku.
Biyan membelalak sambil terbatuk. "Di mana?" tanyanya.
"Dirumahku."
"Di rumahmu? Maksudnya gimana, Emm?" cecar Biyan.
"Ali satu band sama Mas Emran. Dia semalam menginap karena berkonsultasi soal penjurusan kuliah kepada Mas Emran. Dia bilang, ingin mengambil jurusan Hukum," terangku.
"Mas Emran dan Ali akrab?" tanya Biyan lagi.
Aku mengendikkan bahu. "Sepertinya. Buktinya sampai nginep segala. Aku sendiri enggak tahu pasti," terangku.
"Kenapa Mas Emran bergaul sama anak berandal kayak Ali? Emang enggak ada orang lain apa selain Ali?" dengkus Biyan.
"Biarin ajalah," sahutku. "Aku enggak punya hak untuk mengatur dengan siapa Mas Emran berteman. Kamu juga tahu, aku dan Mas Emran selalu bertengkar."
"Aku sudah mengenalmu setahun lebih, tetapi Mas Emran menanggapiku dingin. Sementara, ia welcome dengan Ali," keluh Biyan.
Aku mengusap punggung Biyan. "Yang terpenting adalah hubunganmu dan aku baik-baik saja, Biy."
"Ya, tetap saja." Biyan mengembuskan napas kuat-kuat. "Aku merasa ini tidak adil."
"Enggak hanya sama kamu, hubunganku dengan Mas Emran dan Mama juga enggak harmonis-harmonis amat. Jadi, jangan terlalu dipikirin, ya!" hiburku.
Biyan terdiam. Mimik mukanya menyiratkan ketidak-sukaan. "Aku merasa enggak nyaman dengan fakta bahwa Ali bebas keluar-masuk rumahmu, Emmu. Kamu tahu dia lelaki seperti apa, 'kan?"
"Lelaki seperti apapun dia, aku bisa jaga diri," tukasku.
Biyan mengusap wajahnya yang kusut dengan tangan. "Kamu itu tipikal cewek yang rapuh, lembut, dan gampang luluh. Aku takut dia berhasil melakukan sesuatu kepadamu, Emm."
"Aku bukan kapas, Biy. Aku bisa jaga diri," sergahku pada Biyan. "Aku tahu kamu khawatir, tapi jangan berlebihan. Di rumah juga ada Mas Emran, Mamaku, dan Bibiku."
"Di rumah sebesar itu, mereka enggak akan tahu kalau kamu melakukan suatu hal berdua saja dengan Ali, Emm. Aku tetap tak tenang."
Mataku membelalak. "Melakukan suatu hal? Suatu hal apa? Kamu pikir aku wanita seperti apa?" sungutku.
Biyan memalingkan wajah. "Ali punya sejuta cara untuk enggoda wanita, Emm. Dan kamu ... adalah wanita yang ..." Ia tak menyelesaikan kalimatnya.
"Wanita yang apa?" desakku.
Biyan berdeham. "Kamu, hmm ... buktinya dulu kamu diam saja saat aku menciummu. Padahal, itu perjumpaan pertama kita, Emm? Kamu mudah sekali percaya padaku. Untungnya, aku bukan lelaki yang berniat buruk padamu."
"Jadi, maksud kamu, aku wanita yang gampang dirayu? Murahan?" cecarku.
Biyan menggeleng. "Bukan, Sayang. Hanya saja, seperti yang kubilang, kamu wanita cantik yang tampak rapuh dan lemah. Kamu terlalu feminin hingga membuat lelaki penasaran. Selain itu, kamu punya sifat gampang percaya dengan siapapun. Itu karena kamu terlalu baik, Emm. Aku hanya ingin menjagamu, aku ingin melindungimu."
"Tidak dengan meragukanku, Biy," gumamku penuh kekecewaan.
"Aku enggak pernah meragukanmu. Masalahnya itu di Ali. Aku begini karena terlalu sayang sama kamu. Kamu ngerti, 'kan, Emm?"
Aku terdiam. Biyan kemudian menarikku ke dalam peukan erat. "Aku cinta kamu, Emm. Dan aku akan selalu melindungi kamu."
"Kamu antar aku pulang, ya. Sudah sore," ucapku.
***
Aku pernah mendengar salah satu Dosen yang menjelaskan bahwa kira-kira ada lima jenis mahasiswa yang ada.
Yang pertama adalah 'Kura-Kura' yaitu kuliah rapat-kuliah rapat. Keseharian mahasiswa ini selalu disibukkan dengan banyaknya rapat organisasi yang diikutinya.
Lalu, mahasiswa yang kedua adalah 'Kupu-Kupu', kuliah pulang-kuliah pulang. Sesuai namanya, mahasiswa jenis ini akan langsung pulang selepas semua kelasnya selesai. Mahasiswa yang ketiga adalah 'Kuda-Kuda', kuliah dagang-kuliah dagang. Selain sibuk belajar di kelas, mahasiswa kuda-kuda juga sibuk membawa dagangannya dan menjualnya kepada teman-teman sekelas.
Ketiga adalah jenis mahasiswa yang keempat, 'Kunang-Kunang' kepanjangan dari Kuliah Nangkring-Kuliah Nangkring. Mahasiswa kunang-kunang biasanya terdiri dari kelompok gaul yang selalu nangkring atau nongkrong bersama-sama ketika ada jam kosong atau pulang kuliah.
Kemudian tipe mahasiswa yang terakhir adalah 'Kue-Kue', kuliah gawe-kuliah gawe. Ini adalah jenis mahasiswa tersibuk dari semuanya. Kadang datang masuk kelas telat dengan alasan kerja atau selalu tergesa-gesa pulang karena alasan harus kerja.
Dari semua jenis mahasiswa tersebut, aku menyebut diriku 'Kupu-Kupu', kuliah pulang- kuliah pulang. Kebersamaanku dengan Biyan, membuatku sulit membagi waktu. Apa lagi, aku juga punya jam malam di rumah.
Aku juga tidak membutuhkan teman, semua yang aku perlukan ada pada Biyan. Waktu yang kuhabiskan bersama Biyan terasa menyenangkan dan tidak ada habisnya. Obrolan kami selalu tidak pernah habis, selalu ada saja yang kami bicarakan atau tertawakan.
Siang ini, Biyan berjanji menjemputku di kampus. Namun, sudah dua puluh menit aku berdiri di depan lobi, dia tidak kunjung datang. Pesan yang kukirim pun belum dibalas. Biyan juga tidak menjawab panggilan teleponku.
"Huft!" Aku menghela napas karena kepanasan. Cuaca Surabaya memang tak mudah ditebak, kadang mendung, tapi tiba-tiba terik bukan main.
Saat sedang menunggu, dari kejauhan aku bisa melihat gerombolan teman satu kelasku berjalan bersama. Aku menebak, mereka pasti hendak ke kantin.
Jiwa introvert-ku seketika meronta, tak ingin menyapa, apa lagi basa-basi mengobrol.
Kupalingkan muka dan berpura-pura tak acuh sambil memainkan ponsel. Aku berharap semoga mereka mengacuhkan atau tak melihatku. Aku ingat-ingat lagi, geng ini memang selalu berkumpul bersama. Mereka menghabiskan waktu untuk nongkrong di kantin atau sekedar bergerombol dalam kelas.
Aku tidak tertarik menjadi bagian dari mereka. Toh, semester tiga nanti ada kemungkinan kami berpencar kelas karena mengambil jam mata kuliah yang berbeda-beda.
"Lho, Emma, 'kan?"
Sial.
Rencanaku gagal. Salah satu dari mereka menghentikan langkah untuk menyapaku.
"Kok sendirian?" sapa seorang wanita berkaca mata dengan rambut panjangnya. Ia cukup sering tersenyum kepadaku.
Aku mengulas senyum keterpaksaan. "Eh, iya. Lagi nunggu dijemput," jawabku.
Wanita berkacamata dan gengnya ssketika berhenti dan mengerumuniku. Aku merasa bak seekor Orang Utan di penangkaran.
"Kalau masih lama datangnya, nunggu di kantin aja sama kita. Dari pada di sini, 'kan, panas," ajak wanita berkacamata itu lagi.
Aku tersenyum canggung. Hendak menolak, tetapi takut dikira sombong.
"Ikut aja, Emm. Di sini lama-lama nanti kamu item!" celetuk seorang lelaki dengan rambut gimbal dan berewok menutup wajahnya. Aku seperti sedang melihat Jason Mamoa KW.
"Iya, Emm, dari pada sendirian. Nanti diculik, loh!" kelakar yang lainnya. Perkataannya kemudian diiringi gelak tawa.
Si wanita berkacamata memandangku ramah. "Yuk, Emm?"
"I-iya, deh ..." sahutku lemah. Mau tidak mau, aku akhirnya mengiakan ajakan mereka.
***
Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di kantin. Beberapa stand makanan berjajar rapi memanjakan selera mahasiswa yang lapar. Siang itu, suasana kantin lenggang dan didominasi oleh kami saja. Bangku panjang melengkapi meja yang berjajar rapi.
Dengan gelisah aku bolak-balik mengecek ponselku, namun belum ada kabar dari Biyan. Ke mana, sih, dia?!
"Emma, kamu mau pesen apa?" tanya si wanita berkacamata. Sampai sekarang, aku belum tahu namanya. Padahal, mereka semua tahu namaku.
"Aku belum tahu," balasku.
"Kalau gitu, aku pesan makan dulu, ya!" Wanita itu melenggang pergi meninggalkanku.
Dari belakang, mahasiswi lain menyusul langkahnya. "Mita, tunggu!" panggilnya.
Oh, jadi nama wanita berkacamata itu Mita. Akan kuingat-ingat.
Tiba-tiba seorang lelaki menghampiriku. Ia membawa kantong plastik besar. Sejurus kemudian, lelaki berkemeja kotak itu mengeluarkan aneka roti dari dalam kantong bawaannya. "Emm, mau ngemil roti, enggak? Kebetulan aku hari jualan roti. Gimana?" tawarnya.
Mahasiswa 'Kuda-Kuda', kuliah-dagang kuliah-dagang.
"Eh, Rendi!" teriak salah satu dari mereka. "Baru juga duduk, Emma udah ditawarin roti. Dia bakalan traumatis tau. Enggak ada hal lain di otakmu selain jualan apa? Mana mirip rampok lagi."
Oh, si Kuda-kuda ini namanya Rendi. Aku akan menghafal satu nama lagi.
Rendi mencebik. "Aku enggak ngerampok, tapi nawarin. Lagian Emma santai, kamu aja yang sewot."
Aku tersenyum simpul. Dengan sigap, aku memilih roti-roti yang Rendi sodorkan. "Aku ambil yang ini, deh. Keju sama sosis, harganya berapa?" tanyaku.
"Murah, Emm, 7000 dapat dua." Rendi semringah. Ia lalu menerima uang ribuan yang kuberikan. "Makasi, ya," ujarnya. Setelah menyimpan uang di dalam dompet, Rendi berpindah menghampiri teman-teman yang lain untuk menawarkan dagangannya. Ia mirip tokoh berpotongan mangkuk di kartun Malaysia kembar botak.
Belum sempat mencicipi roti jualan Randi, aku dikagetkan dengan kemunculan seorang lelaki berambut ikal yang menyapaku.
"Kosong?" Ia menunjuk bangku di sebelahku. Tangan kanannya membawa mangkok bergambar ayam jago.
Aku mengangguk. "Iya."
Lelaki itu mendudukkan bokong di sampingku. "Aku duduk sini, ya." Ia kemudian meniup mie ayam di dalam mangkok dengan hati-hati. Spontan, aroma mie ayam merebak masuk ke dalam indera penciumanku. "Aku makan dulu, ya," ucapnya.
"Silakan," sahutku sambil membuang muka.
"Kamu enggak makan, Emm?" Ia menoleh padaku sambil menyeruput mie.
Aku menggeleng pelan. "Bingung mau makan apa. Selain itu, aku sudah beli roti dari Rendi."
"Cobain mie ayam yang aku pesan. Enak banget." Ia mengacungkan jempolnya kepadaku. Lagaknya mirip model iklan. "Nih cobain, deh."
"Eh, enggak usah," tolakku.
Ia menggeser mangkoknya ke hadapanku. "Jangan malu-malu, cobain dulu. Sesendok aja."
"Makasi, mungkin lain kali aku akan membelinya." Aku mengembalikan mangkok mienya pada posisi semula.
Ia mengangguk dan tak lagi memaksaku. "Baiklah. Mie ini paling sedap sekantin," tuturnya.
Lelaki berambut ikal itu lantas melahap mie ayamnya dengan lahap. Dari samping, bulu mata lentiknya sangat mencolok. Ia punya bulu mata indah, aku yang wanita saja kalah.
"Ada sesuatu di mukaku, ya?" tanya lelaki ikal itu sambil menoleh.
Aku terkesiap, tak sadar kalau sedari tadi memandangi wajahnya. Ini semua karena kagum oleh kelentikan bulu mata yang ia miliki.
"Anu, itu ... enggak, kok," kelitku kikuk.
Ia terkikik seolah menahan tawa. "Kirain kamu tergoda sama mie ayamku," gumamnya.
Lagi-lagi mie ayam.
Aku mengecek ponselku untuk sejuta kali, berharap ada kabar dari Biyan. Namun, nihil. Apa Biyan lupa kalau hari ini ia menjemputku? Rasanya kesal, lelah, tapi juga khawatir terjadi sesuatu kepadanya.
"Eh, tadi lihat si Khrisna udah pulang apa belum, ya, Emm?" tanya lelaki ikal.
"K-Khrisna?" ulangku.
Ia mengangguk. "Iya, Khrisna," jelasnya.
"Aku enggak tahu Khrisna itu yang mana," akuku. Aku menelan ludah kasar. Ia pasti akan mengecapku sebagai anak sombong, sudah hampir dua bulan, nama teman sekelas saja tidak tahu.
Tawa si lelaki ikal pecah. "Astaga, Emm. Jadi, kamu belum hafal nama teman-teman satu kelas?" Ia lalu menyadari sesuatu. "Aku? Jangan-jangan namaku juga enggak tahu, ya?" pancingnya.
Dengan mukamerah padam aku menunduk. "Enggak. Maaf, ya."
Ia kembali cekikikan. "Enggak perlu minta maaf. Ibuku di rumah juga sulit mengingat nama orang. Tapi, entah kenapa hatiku ngenes karena kamu enggak tahu namaku. Padahal, di kelas, aku biasa duduk berdekatan denganmu."
"Maaf," ucapku lagi.
Ia berusaha menghentikan tawa. "Dibilangin enggak usah minta maaf. Santai aja, Emma." Lelaki ikal itu mengelap bibirnya dengan tisu dan membisik. "Mau aku bantu mengingat nama-nama mereka?"
"Boleh," sahutku antusias.
Ia mencondongkan tubuh ke arahku. "Itu yang pakai kacamata sambil ngomong terus namanya Fikri. Dia selalu sibuk karena aktif di keorganisasian."
Oh, Fikri si mahasiswa Kura-kura.
Netraku mengikuti pandangan lelaki ikal. Tidak lupa, aku berusaha menyimpan nama dan wajah yang ia tunjukkan ke dalam ingatan.
Ia melanjutkan, "Terus, yang lagi makan nasi goreng namanya Dani dan yang di sebelahnya Siska. Nah, itu yang mukanya mirip Rano Karno namanya Elvan."
Kami berdua kompak cengengesan saat Elvan tak sengaja memergoki kami sedang membicarakannya. Apa lagi, kalau dilihat-lihat, dia memang mirip Rano Karno jaman muda.
Lelaki ikal itu membantuku mengingat-ingat nama masing-masing teman satu kelas. Tidak ada pandangan sinis darinya karena ketidak-acuhanku selama di kelas. Lagi pula, sikapnya yang ramah, membuatku merasa nyaman
"Nah, yang terakhir, cowok paling baik dan ganteng yang mengalahkan Dude Herlino," ujarnya.
"Yang mana?" selidikku.
Ia menunjuk dirinya. "Siapa lagi kalau bukan aku," ucapnya semringah.
"Mengalahkan Dude Herlino?" Aku terpingkal sambil memegang perut.
Ia tersenyum pongah. "Ya, apa, enggak?" kelakarnya.
"Enggak." Aku menggeleng
Kami berdua lalu tertawa berbarengan. Sejurus kemudian, mataku dan matanya saling beradu. Hal itu membuat kami menghentikan tawa karena salah tingkah dan canggung.
"Aku Nanda, Emm." Ia mengenalkan namanya. "Ingat-ingat, ya."
Aku menarik kedua sudut bibir ke atas hingga menciptakan garis melengkung lebar. Nanda. Tentu saja aku akan mengingat wajah dan namanya.
Kupikir, aku tidak perlu berteman.
"Emm, mau nyobain siomayku, enggak? Ini enak, lho!" Mita membawa piring siomaynya kepadaku.
Ternyata, aku salah.
Kupikir, aku tidak perlu bersosialisasi karena itu merepotkan.
"Kalau Emma enggak mau, aku mau, Mit," kata Nanda. Ia mencomot siomay milik Mita tanpa permisi.
Kupikir, aku tak perlu mencolok agar insiden dengan Dita dulu tak perlu terulang.
Ternyata, aku salah.
Berbulan-bulan menjadi mahasiswa, aku tak benar-benar menjalaninya secara utuh. Ternyata, aku cukup menikmati kebersamaanku dengan mereka. Mereka semua tak mengabaikanku setelah perlakuan dinginku selama di kelas.
"Aku cobain parenya," kataku.
Nanda berkernyit. "Kamu suka pare, Emm? Ngeri juga," cerocosnya.
"Pare itu enak tahu!" Aku dan Mita kompak menyahut dengan kalimat yang sama. Akibat hal itu, aku an Mita tertawa berbarengan.
Ponslku tiba-tiba bergetar, pesan dari Biyan.
Biyan
Sowwwryyy sayang,
Aku ketiduran.
Abis ini aku jemput ya 😭
Senyum di bibirku perlahan pudar. Aku kemudian meletakkan ponsel di atas meja tanpa membalas pesan yang Biyan kirimkan.
10. BROKE UP
Aku melihat sosok Biyan berjalan dari kejauhan. Penampilan lelaki itu gahar, dengan rambut gondrong dan jeans belel yang ia kenakan. Beberapa mahasiswa lain memandangi Biyan melalui tatapan penuh tanya. Maklum saja, ia bukan mahasiswa fakultas ini.
Biyan menghampiriku sambil mengulas senyum. "Emm, lama nunggu?" sapanya.
Tidak hanya aku yang menatap wajah Biyan, teman-teman lain juga ikut memandangnya, termasuk Nanda.
"Ya, lama," sahutku singkat. Hatiku masih geram mengetahui alasan Biyan terlambat karena ketiduran.
Biyan mendudukkan bokong ke atas bangku yang terletak di depanku. Ia dan Nanda terlihat saling pandang.
"Temannya Emma, ya?" tegur Nanda ramah.
Biyan menyunggingkan senyum. "Pacarnya, Mas," jawabnya.
Aku mendengkus, nada bicara Biyan serasa menegaskan bahwa aku adalah miliknya.
"Oh, pacarnya," sahut Nanda. Ia lalu menyodorkan tangan untuk menjabat Biyan. "Aku Nanda, Mas. Teman sekelasnya Emma. Ini semua temen-temennya."
Mereka semua kompak menegur Biyan, ada yang mengangguk, ada pula yang melambaikan tangan. Biyan sama sekali tak terlihat canggung, malahan ia nyaman mengobrol dengan teman-teman satu kelasku. Dari dulu, pandai bergaul sudah menjadi sikap yang Biyan miliki.
Secara kilat, Biyan sudah akrab dan tertawa bersama mereka. Ia seolah bagian dari geng sejak lama.
Ketika sedang asyik mengobrol, Nanda meraih ransel dan berdiri dari duduk. "Aku balik duluan, ya. Mau jemput Nyonya," ucapnya.
"Hati-hati, salam buat doi, ya," sahut Rendi.
"Sip," kata Nanda sambil mengacungkan jempol. Ia kemudian beralih ke arahku dan Biyan. "Emma, Mas Biyan, aku pamit."
Aku menjawab dengan anggukkan kepala, sementara Biyan menepuk punggung Nanda.
"Hati-hati, Mas," balas Biyan.
Setelah Nanda pergi, kami kembali melanjutkan obrolan. Tiba-tiba, Rendi mulai berbisik dengan ekspresi wajah serius.
"Salut aku sama Nanda, dia setia banget sama Erlita," ujar Rendi.
"Erlita?" tanya Mita.
"Pacarnya Nanda. Kita bertiga dulu satu sekolah," terang Rendi.
"Emang sewajarnya, 'kan, kudu setia sama pacar sendiri. Apa lagi, Nanda emang cowok baik, enggak kayak kamu, edan!" ledek Siska. Wanita itu mengipas-kipas wajah dengan kertas binder berwarna merah jambu. Bulir keringat membasahi mukanya yang glowing karena skincare mahal.
Rendi berkecimus. "Sialan kamu, Sis," dumalnya. "Maksud aku itu, Nanda mau aja menjalani hubungan backstreet selama bertahun-tahun."
"Backstreet? Opo'o?" cecar Elvan, si Rano Karno KW yang berlogat medhok.
"Orang tua Erlita sudah menjodohkannya sama cowok lain. Katanya, sih, keluarga terpandang dan si cowok itu sudah bekerja, jadi PNS," ungkap Rendi.
"Waduh, PNS!" Elvan menepuk jidat.
Siska terkikik. "Idaman mertua banget, tuh, PNS!"
"Kasihan juga, ya, si Nanda," gumam Mita.
Saat sedang mendengarkan mereka bergosip, Biyan menyenggol lenganku pelan. "Emm, kita balik sekarang?" tanyanya.
"Iya," sahutku mengangguk. Aku membereskan barang bawaan dan beranjak dari duduk. "Kalau begitu, aku pamit pulang, ya."
"Hati-hati, ya, Emm," ucap Rendi. "Besok aku jualan siomay, dijamin mantap."
Aku terkikik. "Iya, aku enggak sabar untuk nyicipinnya besok."
Rendi mengacungkan jempol sambil semringah.
"Hati-hati, ya, Emm. Sampai ketemu besok," kata Mita dan Siska hampir berbarengan.
Setelah berpamitan, aku dan Biyan pun meninggalkan kantin. Kami berdua berjalan beriringan menuju parkiran fakultas yang terletak di belakang gedung.
"Ke rumah, ya?" tawar Biyan.
Aku menggeleng. "Langsung pulang aja, ya. Aku ada tugas buat besok," tolakku.
Biyan merengut. "Kerjain di rumahku, 'kan, bisa," katanya.
"Enggak bisa, soalnya ada di laptopku. Aku enggak bawa laptopnya," ujarku.
Kami akhirnya menemukan motor Biyan yang terparkir rapi. Lelaki itu menyodorkan helm kepadaku.
"Kita baru aja ketemu, tapi kamu buru-buru mau pulang," protes Biyan.
"Maaf, tapi aku beneran enggak bisa. Aku harus pulang untuk ngerjain tugas. Aku takut kalau kukerjakan malam hari, waktunya enggak bakalan keburu," dalihku.
Biyan terdiam sesaat. Namun, dari mimik mukanya, aku sadar ia masih kesal.
"Apa ada Ali di rumahmu?"
Mataku melotot seketika. "Huh? Ali? Maksud kamu?" cecarku.
"Ya, ada Ali main ke rumah. Makanya kamu buru-buru mau pulang aja," ujar Biyan.
Aku menggeleng geram. "Kamu aneh-aneh, ya, pikirannya."
"Mana kutahu, Emm. Bukannya dia dan Mas Emran akrab, bisa saja hari ini dia main ke rumahmu lagi. Karena itulah kamu jadi buru-buru ingin pulang. Soalnya, enggak biasanya kamu rajin ngerjain tugas. Biasa juga dikerjain di rumahku," sungut Biyan.
"Sudahlah, Biy, aku capek. Terserah kamu mau mikir gimana. Pokoknya, aku mau pulang!" tukasku.
Biyan menaiki motor dan mengenakan helm. Ia tak lagi membantahku. Biyan juga enggan menatap wajahku. Setelah memastikan aku naik juga, ia segera menyalakan mesin dan melajukan kendaraan roda duanya.
Sepanjang perjalanan, Biyan hening tanpa suara.
"Kamu marah?" tanyaku.
"Kenapa emang kalau aku marah? Enggak ada efeknya juga buat Tuan Putri, 'kan?" sahutnya. Intonasi suara Biyan seolah mengejekku.
"Kok kamu gitu, sih, Biy? Aku peduli dengan perasaanmu. Besok kita bisa ketemu lagi, kalau sekarang enggak bisa," ujarku.
Biyan tak menjawab. Diamnya justru membuat emosiku tersulut.
"Perkara begini aja kamu marah!" sentakku. "Aku aja enggak protes karena kamu telat jemput. Mana alasanmu enggak bertanggung jawab banget, ketiduran! Aku nunggu kamu lama, lho, Biy."
"Ya gimana lagi, namanya juga ketiduran, aku enggak sengaja," dalih Biyan santai.
"Apa gunanya alarm di ponsel? Kamu bisa pasang untuk membangunkanmu. Kalau kuingat-ingat, kamu selalu saja ngaret tiap bikin janji."
Biyan melirikku sinis dari balik kaca spion. "Aku sudah pasang, tapi tetap enggak bisa bangun. Kalau kubilang enggak sengaja, ya enggak sengaja."
"Meski begitu, apa kamu enggak ada niat untuk mengubah kebiasaanmu itu? Kamu sudah dewasa, masa selalu terlambat karena enggak bisa bangun? Itu namanya enggak ontime," decihku.
"Jangan ngomel, deh, Emm. Kamu enggak sepatutnya protes. Toh, bukan kamu yang menembus jalan raya Surabaya yang panas dan macet demi menjemputmu di kampus. Kamu bilang kamu capek menungguku? Capek apa? Jelas-jelas kamu lagi asyik ngobrol sama temen-temen satu kelasmu di kantin. Bohong banget kalau kamu bilang enggak punya teman selain aku," sanggah Biyan.
Aku menelan ludah kasar. "Asal kamu tahu, aku baru pertama ini ngobrol sama mereka. Itu juga karena mereka kasihan lihat aku panas-panasan nunggu kamu di depan fakultas!"
"Kalau kasihan, kenapa enggak suruh Nanda atau Rendi buat antar kamu pulang?"
"Apa? Nanda? Rendi?" tanyaku dengan mata melotot. “Maksud kamu apa, sih?”
Dari kaca spion, aku melihat Biyan menyeringai. "Kuperhatikan, Nanda dan Rendi punya ketertarikan sama kamu. Kamu enggak usah pura-pura enggak tahu."
"Kamu mulai enggak rasional, Biy!" sentakku.
"Aku memang enggak rasional karena aku terlalu sayang sama kamu. Kamu harusnya tahu kalau sejak kuliah, kesibukanmu ngalah-ngalahin presiden. Kita jarang bertemu dan itu bikin aku kepikiran karena kangen! Sekalinya ketemu, kamu malah minta pulang." Biyan kembali mendengkus.
Aku menghela napas. Entah mengapa, perasaan marahku berubah menjadi rasa bersalah. Apa lagi, Biyan ada benarnya, dia menembus teriknya matahari demi menjemputku. Sementara, aku duduk santai menunggunya di kantin. Harusnya, aku lebih mengerti perasaannya.
"Jangan marah lagi, ya, Biy." Aku memeluk pinggang Biyan dari belakang. "Aku janji akan cari waktu untuk menebus hari ini."
Biyan mengusap punggung tanganku. "I just really miss you, Emmu."
***
Keesokannya di kampus, suasana terasa berbeda. Kalau biasanya, aku duduk, diam, dan pulang, kali ini lain. Mita dan Siska menyapa dengan ramah, kami bahkan mengobrol bersama sebelum dosen datang. Aku mulai nyaman menegur mahasiswa yang lain, ada Yoland, wanita dengan potongan rambut pendek yang tomboi. Ada juga Iqbal, si komting. Lalu, Jason Mamoa KW yang kemarin menegurku, ternyata bernama Robi.
"Pagi," sapa Nanda.
"Hai, Nan," sahut Yoland dan Siska berbarengan.
Seperti biasa, Nanda mengambil tempat duduk di meja sebelahku. Tidak seperti kemarin, wajah Nanda muram dan jauh dari keceriaan. Kedatangan dosen pun kemudian membuatku mengalihkan perhatianku dari Nanda.
Mata kuliah pagi selalu berhasil membuat mataku panas karena kantuk. Beruntung, aku berhasil melewatinya tanpa ketiduran. Setelah menyelesaikan kelas, aku berencana menemui Biyan. Aku sudah janji akan menebus waktu kebersamaan kami.
"Emm, ikut kita karaoke, yuk." Mita menghampiriku yang sedang sibuk mengemas buku.
"Karaoke?" ulangku.
Rendi dan Robi ikut menimpali. "Makin banyak yang ikutan, makin seru, Emm. Lagian, masih siang begini masa pulang?"
"Aku sepertinya enggak bisa," tolakku halus.
Siska mengerucutkan bibir. "Yah, Emma. Ayolah, sekali ini ikut. Kapan lagi ngumpul gini?" bujuknya.
Bukannya kalian selalu ngumpul, ya?
"Ehm, gimana, ya?" gumamku bimbang.
Dalam lubuk hati terdalam, aku ingin ikut. Sudah lama tidak bersosialisasi dengan teman-teman sepantaran. Semenjak insiden dengan Dita dulu, aku berubah menjadi pribadi yang mengemban trust issue, hanya Biyan yang kupercaya.
"Ikut, ya, Emm," imbuh Nanda. Lelaki itu menghampiri mejaku sambil menenteng ranselnya. "Kalau kamu enggak ikut, aku juga enggak bakalan ikut."
Rendi tidak mau kalah. "Aku juga, kalau Mbak Emma enggak ikut, aku juga enggak ikutan."
"Yah, kok gitu?" keluhku.
"Makanya, ikut, ya? Please ... paling juga cuma dua jam. Enggak lama, kok." Siska memasang ekspresi mengiba.
Aku melirik ponselku, tidak ada notifikasi dari Biyan. Itu berarti, kemungkinan dia belum bangun. Lelaki itu selalu tidur di atas jam 12 malam karena cangkrukan¹ dengan teman-temannya.
(¹ cangkrukan : berkumpul sambil mengobrol, biasanya di warung kopi, atau kafe)
"Iya udah, aku ikut," jawabku.
***
Kami tiba di Happy Puppy, tempat karaoke yang berada di jalan Dr. Soetomo. Aku dan yang lain berangkat ke sana menaiki mobil Siska. Innova itu seolah tersiksa karena harus menampung sepuluh orang dewasa yang berdesakan.
Aku duduk di tengah bersama Yoland, Mita, Rendi, dan Elvan. Sementara, Nanda, Robi, dan Iqbal di belakang. Di depan, Siska duduk bersama Fikri (si mahasiswa aktif keanggotaan).
Sesekali aku melirik Nanda, dugaanku memang benar. Ada yang lain dari sikapnya hari ini. Dia lebih pendiam dari kemarin. Di tengah suasana riuh dan gelak tawa kami bersepuluh, Nanda hanya termenung.
Aku kembali mengecek ponsel ketika Siska dan Mita sibuk di counter resepsionis. Lagi-lagi, belum ada pesan dari Biyan.
"Emm, yuk," ajak Mita.
Aku pun mengikuti Mita dan yang lain menuju ruang karaoke.
***
Rendi dan Robi berduet mesra membawakan lagu dari Anang-Syahrini. Perawakan tinggi - besar membuat tingkah Robi yang menirukan Syahrini terlihat lucu.
"Kau tak mengerti aku ... diriku," dendang Robi kenes² sambil menyandarkan kepala di pundak Rendi.
(²kenes : genit, centil)
Rendi membelai-belai kepala Robi penuh penghayatan. "Yang pernah terluka ... cinta ..." sambutnya.
Gelak tawa mengiringi penampilan mereka yang epik. Aku baru tahu, dibalik penampilan maskulinnya, Robi paling doyan memparodikan gaya wanita feminin. Perutku sampai kram akibat terpingkal menyaksikan aksi Rendi dan Robi yang kocak.
"Thank you, tepuk tangan untuk kami, dong." Rendi mengangkat tangan kiri Robi ke atas. "Duo Pedang!" kelakarnya.
"Kamu enggak nyanyi, Emm?" tawar Yoland.
Aku mengibaskan tangan. "Nanti, aja," sahutku.
Nanda yang duduk di paling pojok, mendadak bangkit dan keluar dari ruangan. Tidak ada yang memperhatikannya, sebagian sibuk memilih lagu, dan sebagian lagi cekikikan menggoda Rendi dan Robi.
Ponselku tiba-tiba bergetar, panggilan dari Biyan. Dengan segera, aku mengangkat panggilan itu.
"Halo, Biy," seruku. Namun, suara berisik dalam ruang karaoke membuatku tak bisa mendengar jelas.
Aku beringsut dari duduk dan keluar dari ruang gelap itu.
"Halo?" ucapku. "Suaramu putus-putus, tunggu, ya. Aku cari tempat yang sinyalnya lebih baik."
Aku buru-buru melangkah ke lobi sambil menempelkan ponsel di telinga. Setibanya di depan, suara Biyan tak lagi terdengar.
"Biy?" Aku melihat ke layar, panggilan kami terputus.
Jemariku sigap menekan kembali nomor Biyan untuk meneleponnya. Tetapi, panggilanku justru terhubung mailbox. Bagaimana, sih?!
Tak menyerah, aku mengirimkan sebuah pesan untuk Biyan. Aku menjelaskan kepadanya bahwa aku sedang berada di tempat karaoke bersama teman-teman sekelas. Mataku mendelik ketika melihat pesanku tak terkirim. Ponsel Biyan lowbat atau dia sengaja mematikannya?
Perasaanku mulai berkecamuk.
Apalagi, akhir-akhir ini Biyan sensitif dan mudah marah. Jangan-jangan, dia tidak suka aku pergi keluar bersama teman-temanku?
Ketika sedang pusing sendiri, netraku menangkap sosok Nanda yang sedang duduk di luar gedung karaoke. Lelaki itu memegang puntung rokok yang abunya sudah memanjang. Ia melamun.
"Nanda!" panggilku.
Bahu Nanda tersentak dan menoleh. "Eh, Emma?" Sebuah tarikan melengkung nampak pada dua sudut bibirnya.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku menghampiri.
Nanda menunjuk batang sigaretnya. "Ngerokok bentar."
"Oh, ya? Tapi kamu lebih terlihat seperti orang yang sedang bengong," terkaku.
Nanda terkesiap. Mimik mukanya menyiratkan kalau dugaanku benar.
"Tahu, aja, kamu, Emm." Nanda tertunduk.
Aku duduk di sisi Nanda. "Ada apa, Nan?" selidikku penuh kepedulian.
"Enggak ada apa-apa, kok, Emm. Masalah pribadi," jawabnya.
Wajar kalau dia tidak mau cerita, kami belum terlalu saling kenal.
Nanda kembali berkata, "Tapi, aku butuh saran kamu sebagai cewek, sih."
"Terus?" sahutku. Dari jarak yang lumayan dekat, aku bisa melihat kelentikan dari bulu mata si Nanda. Sebagai wanita, aku mendadak iri.
"Sebagai cewek, semisal orang tuamu melarang kamu pacaran sama pacarmu, kamu bakalan nurut, atau berusaha mempertahankan hubungan dengan pacarmu apa enggak?" tanya Nanda.
Aku meringis. Pertanyaan itu secara tidak langsung menyindirku.
"Bakalan aku pertahankan kalau aku yakin sama dia," jawabku. "Mungkin saja, orang tua enggak merestui karena belum kenal betul dengan pacarku. Andai saja mereka melihatnya seperti caraku melihat pacarku, ada kemungkinan orang tuaku berubah pikiran," ujarku.
Nanda menghela napas berat. "Gitu, ya ...?" desahnya.
"Kenapa? Kamu diputusin pacarmu?" tebakku.
Nanda menggaruk-garuk rambut ikalnya. "Kok tahu, Emm?!"
"Ya, tahu. Sikapmu murung dari pagi. Padahal, seingatku kemarin, kamu tipikal yang banyak bicara dan suka bercanda. Dan lagi, pertanyaanmu benar-benar memberiku petunjuk akan permasalahan dari hubunganmu," terangku.
Nanda berdecak. "Omonganmu udah kayak Detektif Conan, Emm."
Kami sama-sama terkikik geli.
Setelah menghentikan tawa, Nanda melanjutkan, "Aku dan pacarku menjalin hubungan sudah hampir empat tahun. Tetapi, orang tuanya enggak suka sama aku. Mereka punya pilihan lain untuknya.
Aku tahu, sudah dengar dari Rendi yang mulut ember.
"Jadi dia akhirnya memutuskanmu?" selidikku.
Nanda menganggukkan kepala pelan.
"Dan kamu menerima keputusannya?" tanyaku lagi.
Nanda melirikku melalui sudut mata. "Apa lagi yang bisa aku perbuat?" sahutnya.
"Cewek itu senang kalau diperjuangkan. Kalau mendengar ceritamu, hubungan kalian tergolong cukup lama, mana mungkin semudah itu bagi pacarmu untuk melupakanmu. Aku duga, ia hanya sedang bimbang akibat desakan orang tuanya. Dan kamu, justru menerima keputusan darinya dengan pasrah seolah menyerah begitu saja," ujarku seraya tersenyum.
"Lantas, aku harus bagaimana?" Nanda menatapku dengan lekat.
"Coba temui lagi pacarmu, katakan kalau kamu ingin berusaha meluluhkan hati kedua orang tuanya. Kalau kamu ingin kalian berjuang lagi bersama-sama. Bukankah, itu terdengar romantis?"
Bibir Nanda mengembang. "Aku tidak terpikir tentang itu sebelumnya."
"Wanita memang unik. Lain di hati, lain juga di mulut. Tapi, wanita akan sangat terharu jika menemukan lelaki yang menahannya pergi. Apalagi rela memperjuangkannya," kataku.
Wajah Nanda yang semula muram, berubah semringah.
"Makasi, ya, Emm," ucap Nanda.
"Sama-sama."
Memberi nasihat atas masalah orang lain memang mudah, padahal, masalah sendiri saja belum beres. Aku yakin, Biyan sedang marah kepadaku.
***
"Biy," sapaku. Aku masuk ke dalam rumah Biyan yang (seperti biasa) tidak terkunci.
Biyan tak acuh dengan kedatanganku. Ia sedang memainkan game yang terhubung pada televisi.
"Kenapa ponselmu mati?" Aku duduk di sisi Biyan.
"Aku lagi enggak mau diganggu," sahut Biyan ketus.
Aku merebut stik game yang Biyan pegang dan membantingnya jauh.
"Aku lagi ngomong sama kamu!" bentakku.
Biyan mendengkus. "Apa-apa'an, sih, kamu?! Datang-datang bikin ribut."
"Aku heran dengan tingkahmu. Kali ini, apa yang membuat kamu marah?" cecarku.
"Masih tanya kenapa?" Mimik muka Biyan menyiratkan kekesalan.
"Karena aku keluar dengan teman-temanku? Kamu marah gara-gara itu, 'kan? Kenapa harus marah? Bukannya kamu juga masih tidur?" sanggahku tak mau kalah.
"Aku pikir kamu akan menepati omonganmu, Emm. Kamu bilang akan datang setelah kuliahmu selesai. Aku berharap ketika bangun menemukanmu ada di sisiku. Ternyata, kamu lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman-temanmu yang sok akrab itu!"
Emosiku makin membumbung. "Sok akrab katamu?"
"Kamu lupa bagaimana cara mereka membicarakan Nanda di belakangnya? Tidak menutup kemungkinan mereka kelak akan membicarakanmu juga. Jadi, circle seperti itu yang kamu pilih?" hardik Biyan.
"Maksud kamu aku enggak boleh berteman selain denganmu?" sulutku.
"Aku enggak bilang gitu, ya. Tapi, pilihlah pertemanan yang baik, Emm. Yang enggak hanya mikir soal senang-senang." Biyan beringsut bangun dari duduk. Ia melenggang meninggalkanku menuju lantai atas.
"Biyan!" panggilku sambil mengikuti Biyan.
"Pulanglah. Nanti Mamamu ngomel cari kamu," sahut Biyan ketus.
Aku menahan lengan Biyan. "Kenapa kamu begini, sih?"
"Emm, aku enggak mau bertengkar." Biyan menyentakkan tangan untuk menepis genggamanku. Ia lalu membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam.
"Kamu yang memulai pertengkaran kita!"
Biyan tiba-tiba mendorong tubuhku hingga merapat ke dinding. Ia mendaratkan ciuman dengan kasar.
"Biyan!" Aku mendorong tubuh Biyan untuk menjauh.
Biyan memandangku dengan tatapan dingin. "Kamu tahu kalau aku sangat terobsesi padamu, Emm. Cintaku ke kamu itu besar. Tetapi, aku seolah berusaha sendiri untuk mengikuti langkahmu. Kamu datang ketika kesepian dan pergi saat tak membutuhkanku lagi."
"Aku enggak begitu!" sanggahku.
"Oh, ya? Sudah berapa kali kamu tidak mengangkat telepon dan membalas pesanku semenjak kamu jadi mahasiswa? Sesibuk apa, sih, kamu?"
"Aku minta maaf, Biy. Aku sudah jelaskan ke kamu, saat kamu telepon selalu bertepatan aku tidur atau berada di kelas. Aku juga enggak bisa pegang ponsel tiap saat. Dan untuk hari ini, aku tepati janjiku, aku ke sini untuk menemuimu, tapi kamu malah menyambutku ketus," ujarku mengiba.
Kepalaku yang menunduk, terangkat saat Biyan menghampiri dan memelukku.
"Kamu tahu aku, Emm. Aku buruk ketika cemburu atau marah. Aku juga buruk saat rindu." Biyan mendekap dan mengendus puncak kepalaku.
"Tapi tidak perlu sampai marah-marah begini, 'kan? Kamu membuatku sedih," akuku.
Biyan mengecup kepalaku. "Maafin aku, ya. Aku hanya tidak rela kamu lebih banyak bersama teman-teman barumu ketimbang aku. Aku sayang sama kamu, Emm."
"Akupun sayang kamu," sahutku sambil mengencangkan pelukan.
Biyan membungkuk untuk mencari wajahku. Lelaki itu kemudian memagut bibirku dengan lembut. Aku terpejam dan merasakan kulit bibir Biyan yang halus. Seperti biasa, tubuhnya selalu hangat.
Kali ini, Biyan berbeda, kecupannya terasa liar dan agresif. Telapak tangan Biyan menuntun jemariku menuju ke bawah perutnya. Aku menemukan bagian tubuh Biyan yang telah mengeras.
"Biyan, aku ..." tolakku. Aku menarik jemariku dari area sensitif itu.
Biyan mengatur napas beratnya. Ia mundur dan menjauhkan diri dariku.
"Sorry, Emm. Aku kebablasan," gumamnya.
"Aku belum siap untuk lebih dari ini," kataku.
Biyan merebahkan badan ke atas kasur. "Ya, aku tahu."
Secara hati-hati, aku mendekati Biyan dan duduk di sisi ranjang. Aku melihat carrier miliknya yang penuh barang bawaan.
"Kamu mau pergi?" tanyaku.
Biyan mengangguk. "Ya, lusa aku mau ke Penanggungan," jawabnya.
"Gunung Penanggungan? Di mana itu?" tanyaku lagi.
"Mojokerto. Kamu harusnya tahu, Emm. Makanya, ikut aku mendaki sesekali. Jangan hanya main ke mal atau kafe saja. Alam bebas juga asyik untuk di-explore," terang Biyan.
Aku membaringkan tubuh di samping Biyan. "Ya, maaf. Kamu tahu Mamaku, 'kan? Mana mungkin dia mengizinkanku pergi, apa lagi untuk mendaki gunung."
Biyan hanya meringis.
"Oh, ya," ucap Biyan. "Lusa, Dita bakal ikut pendakian bareng."
"Dita?" Mataku mengerjap beberapa kali. "Dita siapa?"
"Dita. Dita teman sekelasmu dulu, Emm," sahut Biyan santai.
Aku beranjak bangun dari tidur. "Ditari Pramesti? Dita yang mencoret dinding kamar mandi untuk menjelek-jelekkanku itu?" cercaku.
"He'em," gumam Biyan.
"Biyan, apa kamu lupa tentang perbuatannya padaku dulu? Dan, sekarang kamu berteman sama dia?!" sentakku.
"Mau bagaimana lagi, kami berada di komunitas yang sama. Dia juga pecinta alam sepertiku. Aku enggak mungkin enggak berhubungan sama dia," ujar Biyan.
Aku menggelengkan kepala karena tak habis pikir. "Aku enggak suka kamu berteman sama Dita, Biy. Apa lagi pendakian bareng. Dia itu jahat!"
"Emm, enggak bisa gitu, dong." Biyan membenahi posisi tidurnya. "Semua yang pernah terjadi di antara kalian, enggak ada sangkut pautnya denganku. Lagi pula, peristiwa itu sudah berlangsung lama. Masa sekolah, waktu masih labil. Dita yang kukenal anaknya baik dan ramah. Dia juga tahu kalau kita pacaran, dan enggak sedikit pun Dita pernah bicara buruk tentangmu."
Dadaku bergemuruh. Aku tidak suka dengan cara Biyan membela Dita.
"Kamu lebih memilih bergaul dengan Dita ketimbang menjaga perasaanku? Komunitas pecinta alam di Surabaya banyak, kenapa kamu enggak cari yang lain?" Tenggorokanku mulai tercekat karena menahan tangis.
"Enggak semudah itu untuk gabung komunitas lain, sementara aku sudah akrab dengan yang ini. Jangan bilang kalau aku enggak menjaga perasaanmu, Emm. Dengan aku jujur begini, aku sudah menjaga perasaanmu. Harusnya kamu apresiasi itu. Bisa aja aku berbohong dan enggak menceritakan soal Dita padamu, 'kan?" sanggah Biyan.
"Tapi ..."
Biyan buru-buru menyela, "Sama halnya dengan kedekatanmu dengan Ali. Aku berusaha memakluminya dan berlapang dada. Kali ini, kamu harus melakukan hal yang sama."
Berbeda.
Aku dan Ali tak memiliki hubungan apa pun. Sementara, Biyan bisa saja menghindari Dita kalau dia mau.
"Emm, jangan egois," tukas Biyan.
***
Jangn egois.
Aku terpaksa menelan kekecewaanku bulat-bulat. Berusaha menerima hubungan 'pertemanan' antara Biyan dan Dita, orang yang pernah menabur luka ketika hidupku terombang-ambing.
Meski perasaanku tidak tenang sekaligus gundah, aku berusaha ikhlas melepas Biyan pergi mendaki dengan Dita.
Aku bukan tipikal pacar posesif yang membatasi kegiatan pasangannya. Namun, kali ini aku berat hati. Bukan cemburu, tetapi waswas. Dita berpotensi menghancurkanku lagi, dulu ia sama sekali tak menyiratkan penyesalan atas ulahnya.
Kata Biyan, aku berlebihan.
***
Seminggu berlalu tanpa komunikasi intens dari aku dan Biyan.
Dia yang sibuk pendakian dan aku dibebani tugas kuliah yang bertumpuk. Hingga, pada hari Minggu siang, Biyan datang ke rumah tanpa mengabariku.
"Biy, kenapa enggak bilang dulu mau ke sini?"
Bibi Minah yang sedang mengobrol dengan Biyan di teras bangkit dari duduk.
"Bibi tinggal dulu, ya, Mas Biyan," pamit Bibi Minah ramah.
"Ya, Bi," sahut Biyan.
Aku merebahkan bokong di kursi rotan, tempat Bibi Minah semula duduk.
"Kenapa enggak ngabarin dulu mau ke sini?" Aku mengulang pertanyaanku.
"Kangen aja, jadi dadakan ke sini untuk ketemu kamu, Sayang," kata Biyan.
Aku tersenyum. "Bagaimana Penanggungan?"
"Yah, begitulah. Lain waktu ikutlah bersamaku, jadi kamu bisa menikmatinya langsung."
Aku mengangguk. "Akan kuusahakan," jawabku.
"Aku pengen peluk kamu," bisik Biyan. "Tapi, di sini enggak bisa."
Aku terkikik malu. "Ih, kamu, tuh!"
"Emang kamu enggak kangen sama aku?" godanya.
"Kangenlah," sahutku merona.
Biyan meraih jemariku dan menggenggamnya.
"Minggu depan aku bakal ke Ijen di Banyuwangi. Kamu ikut, ya? Please?" ajak Biyan.
Aku menelan saliva. "So-soal itu, aku enggak bisa janji," kataku.
"Kenapa Ada acara atau enggak mau?" selidik Biyan.
Aku menggeleng. "Enggak keduanya. Tapi ..."
"Enggak dibolehin Mama kamu?" terka Biyan.
Aku menunduk.
Biyan mendengkus. "Kamu sudah dewasa, Emm. Sekali ini saja, apa kamu enggak bisa menjelaskan tentang apa yang ingin kamu lakukan kepada Mamamu?"
"Mamaku enggak akan mengizinkan dan aku terlalu lelah menerima omelan darinya," jawabku.
"Kamu belum berusaha, Emm. Aku ingin menunjukkan hal-hal indah yang kulihat kepadamu. Bisakah kamu bicara dulu dengan Mamamu? Kalau kamu takut, aku yang akan minta izin kepadanya."
Aku menggeleng. "Biy, please ... jangan maksa."
Biyan bergeming. Ia melepaskan tautan jemari kami.
"Kita hidup di dunia yang berbeda," gumam Biyan lirih.
"Tolong jangan menjadikan ini masalah. Selama ini kita baik-baik aja, 'kan?" dalihku.
Seutas senyum getir terulas di bibir Biyan yang merah. Ia menyugar helai rambut lurusnya yang luput dari pengikat rambut.
"Apa sebaiknya kita putus saja?" celetuk Biyan.
"Apa?" tanyaku dengan pandangan yang mulai berkabut.
"Kita terlalu berbeda. Makin lama, makin enggak ketemu," ujar Biyan. Sorot matanya nanar ketika menatapku.
Dengan dada yang bergemuruh, aku berusaha menelan kesedihanku. "Kamu bilang kamu cinta dan sayang aku, tapi kenapa semudah ini kamu memutuskanku?"
"Emm, aku ..."
Aku berdiri sambil membuang muka. "Fine, kita putus aja."
"Emm?" Biyan berusaha menahan lenganku.
"Kita putus aja. Ini yang kamu mau, bukan?" sergahku.
Biyan urung menyentuhku. Mimik mukanya gamang seolah menyiratkan kepedihan mendalam. "Kamu bahkan enggak berusaha menahanku, Emm. Sekarang makin jelas bagiku seberapa besar kadar cintamu padaku.
"Berhenti menyalahkanku atas semuanya!"
Aku masuk ke dalam rumah dan membiarkan Biyan seorang diri di teras. Aku tidak ingin Biyan melihatku menangis. Aku juga sama lelahnya seperti Biyan. Apa yang kulakukan selalu buruk di matanya. Terlebih, ia seakan tak memahami kondisi yang terjadi pada keluargaku.
Dari balik jendela, aku mengintip sosok Biyan yang berjalan keluar melalui gerbang.
Lelaki itu pergi meninggalkanku dengan sisa perasaan yang berkecamuk.
***
Mataku bengkak karena menangis di bawah bantal semalaman.
Dari ruang kamar, aku mendengar sayup-sayup suara Ali yang sedang mengobrol dengan Emran. Kamarku dan Emran bersebelahan, mau tidak mau, aku selalu terganggu oleh kegaduhan yang ia ciptakan.
"Emm?"
Bibi Minah membuka pintu kamarku dan masuk ke dalam. Aku gelagapan menghapus sisa air mata dan pura-pura tertidur.
"Kamu sudah tidur?" Bibi Minah mengusap kakiku yang terbungkus selimut.
Aku menggeliat. "Kenapa, Bi?" tanyaku
"Kok enggak makan malam?" tanya Bibi Minah.
"Aku enggak lapar, Bi. Ngantuk, mau tidur," kelitku.
Bibi Minah menyodorkan sebatang cokelat berbungkus ungu kepadaku. "Nih," katanya.
"Cokelat? Bibi beli? Tumben?" cecarku penuh kebingungan.
Bibi Minah meringis. "Yah, sesekali, Emm. Dah, nanti kalau ingin ngemil, ini dimakan, ya. Kalau lapar, turun ke bawah. Ada lauk dan nasi di meja makan."
Aku menggeleng. "Malas, aku enggak mau ketemu si Ali."
"Kenapa? Dia baik, kok. Pendiam pula," kata Bibi Minah.
Aku membungkus wajahku dengan selimut. "Ah, Bibi hanya enggak tahu saja."
"Ya sudah, kamu tidurlah, Emm."
Aku mengintip dari balik selimut. "Makasi cokelatnya, ya, Bi."
"Iya," sahut Bibi Minah dengan bibir mengembang.
Sepeninggal Bibi Minah, aku berusaha memejamkan mata agar bisa tertidur. Beristirahat pasti bisa mengurangi rasa sakit akibat dicampakkan Biyan. Tidak, bukan dia yang mencampakkanku, tapi aku.
Ah, masa bodoh.
Yang mana pun itu, tetap saja perasaan ini sembilu. Aku tak percaya hubungan kami berakhir begitu saja karena hal sepele.
Lama-kelamaan, peri tidur membawaku dalam buaian. Rasa kantuk menguasai dan menyeretku tidak sadar.
Drrrt Drrrt.
Aku belingsatan mencari-cari letak ponselku yang bergetar. Kepalaku berdenyut karena terpaksa bangun dari lelap. Dengan mata yang masih lengket, aku melihat ke layar ponsel yang menyala. Sebuah panggilan dari Biyan!
Tarika melengkung pada bibirku terbentuk. Tuh, 'kan, pasti dia mau meminta maaf dan memohon padaku untuk balikan.
Sebelum mengangkat, aku berdeham untuk membersihkan tenggorokanku yang kering.
"Halo?" sapaku ketus.
"Emm ..." Suara Biyan terdengar parau dari balik speaker telepon.
"Ini hampir jam satu dini hari, kamu apa-apa'an telepon jam segini?" sungutku.
"Emm, aku telah melakukan kesalahan yang fatal ..." kata Biyan.
Aku tahu, memutuskanku memang bukan hal bijak. Beruntung akhirnya kamu sadar!
Aku mengulum tawaku, menanti kapan B.iyan akan mengucapkan permintaan maaf
"Emm," panggil Biyan lagi.
"Apa, sih?" sahutku berlagak jual mahal
"Aku sedang bersama Dita, kami baru saja jadian."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
