RENDEZVOUS - PART 1 (FREE)

0
0
Deskripsi

Hanif menyuruh Pak Anton untuk membuntuti Arum Semanggi, gadis yang menurut Pak Anton adalah adik tiri Hanif. Kenapa Hanif meminta Pak Anton memata-matai Arum?

PART 1

Sabtu, 3 Maret

Bandara Ketaping, Padang

GADIS itu keluar dari keramaian orang-orang di Bandara Ketaping, bandara yang resminya bernama Minangkabau International Airport atau Bandara Internasional Minangkabau. Ia mencari tempat yang agak sepi dekat pelataran parkir. Si gadis menyandarkan tas jinjingnya di dinding kemudian mendudukinya. Lalu ia mulai pasang mata mencari Silvi.

Sejauh matanya bisa memandang, ia tidak melihat Starlet biru tua milik Silvi. Tapi tadi malam temannya itu sudah berjanji akan menjemputnya siang ini. Ia berdiri, menebar pandang ke tempat yang lebih jauh, mencoba mencari sosok sahabatnya itu. Siapa tahu Silvi tidak melihatnya datang. Tapi ia tidak melihat satu pun Starlet di tempat itu.

Ia duduk lagi, mengambil Nokia-nya dari dalam tas pinggang, lalu seketika ingat kalau batere benda kesayangannya itu sudah dua hari tidak diisi ulang. Kesibukannya di posko pengungsi, tidak memberinya kesempatan untuk mengisi ulang batere handphone-nya. Dengan kecewa ia memasukkan lagi benda itu ke tempatnya semula. Siang terasa makin panas.

Sebuah taksi bergerak pelan-pelan di depannya, melewatinya lalu tiba-tiba berhenti dan mundur lagi. Sebuah wajah berkaca mata hitam muncul di depannya.

“Mau ke mana, Ni?” sopir taksi itu bertanya ramah. Tapi gadis itu tahu di balik kacamatanya sopir itu sedang memerhatikannya dengan saksama.

“Palimo. Tapi saya sudah ada yang jemput, kok,” ia menjawab dengan keramahan yang sama. Sopir muda itu tidak berusaha mengalihkan matanya.

“Kalau Uni buru-buru …”

“Tidak usah,” potong gadis itu cepat. “Saya akan tunggu teman saya.” Suaranya itu diberi sedikit tekanan. Ia jengkel sekali. Sopir itu menggerutu dan tampaknya tersinggung.

Gadis itu menantang matanya. Coba beri aku sepatah kata lagi, maka akan kubuat kau menyesal, ucapnya dalam hati.

Sopir taksi itu mengalihkan kepalanya—mencari sasaran lain—kemudian berlalu. Gadis itu mengekorinya dengan mata sampai taksi itu menghilang.

Uh, laki-laki, di mana-mana sama saja. Tidak bisa lihat makhluk cantik sedikit saja, pikirnya. Coba kalau tadi ia menerima tawaran sopir taksi itu, dia yakin saat itu juga sopir itu bisa berubah seketika menjadi seorang wartawan. Ia pasti akan dihujani segunung pertanyaan.

Ia memang sedang buru-buru pulang, tapi ia tidak akan pulang dengan diantar oleh siapa pun kecuali oleh Silvi. Dia sudah kangen berat dengan anak itu. Dua minggu di Surabaya seperti satu semester rasanya. Ia kangen pada Silvi. Ia kangen pada Padang dan kangen pada Romeo, burung beonya.

“Arum!”

Suara itu seperti datang dari langit. Ia menoleh dan matanya mencari-cari. Sebuah sosok dibalut gamis motif bunga warna kuning dengan jilbab putih berlari-lari kecil ke arahnya. Silvi!

Arum berdiri dan merentangkan tangannya lebar-lebar menyambut sahabat semata wayangnya. Mereka berpelukan dan tertawa-tawa. Dunia untuk sementara jadi milik mereka berdua.

“Anak nakal!” Arum memegang kedua bahu Silvi sambil menatap sepasang mata sebening telaga di hadapannya. Ia minta penjelasan atas keterlambatannya.

Silvi tersenyum, sedikit aneh melihat penampilan Arum yang acak-acakan.

“Duh, kacian, kelamaan ya?” ucap Silvi memplesetkan sebuah iklan pemutih pakaian. “Afwan, tadi ada sedikit trouble dengan Starlet-ku. Tapi kamu kok tambah item, Rum?”

Arum spontan meraba wajah dan kulit tangannya. “Oh ya? Aku malah berharap bisa tambah putih di sana,” ucapnya tak percaya.

Silvi cepat-cepat berkata, “Udah ah, soal kulit ditanggapi. Kita pulang langsung atau keliling-keliling dulu?” ia mengangkat satu tali tas jinjing dan memberikan yang satunya lagi pada Arum.

“Kita ke Pattimura dulu. Susah cari sate yang enak di Surabaya. Ayo!”

“Oke, kita akan ke sana. Tapi kamu belum cerita sedikit pun tentang kegiatanmu di Surabaya. Aku tiap hari cek e-mail, tapi kamu tak pernah kirim apa-apa. Bagaimana sih kondisi mereka yang sebenarnya?”

Mereka beriringan melewati deretan mobil-mobil. Sesekali berhenti untuk memberi jalan orang-orang sibuk yang berjalan terburu-buru. Langkah mereka berhenti di belakang sebuah Opel Montera dengan nomor polisi Jakarta.

“Lho, ini kan bukan mobil kamu, Sil? Ini mobil siapa? Baru kelihatannya nih,” Arum mengusap-usap Opel Montera hitam di depannya. Silvi membuka pintu dan memasukkan tas Arum. “Ini bukan punyaku, Non. Starlet-ku lagi di bengkel. Itu sebabnya aku telat menjemput kamu. Ini sih punya Mas Jimmy.”

“Mas Jimmy? Mas Jimmy-mu yang pengacara itu? Yang fotonya ada di kamar kamu?” Arum terkesiap, matanya berbinar-binar. Silvi jadi heran melihat tingkah Arum.

“Iya. Mas Jimmy yang mana lagi? Kan cuma dia doang saudaraku. Lagian kamu kan udah pernah ketemu waktu dia dan orangtuaku ke Payakumbuh,” ucapnya sambil duduk di belakang kemudi. Ia menunggu sampai Arum naik ke mobil dan duduk di sampingnya.

“Kamu kenapa, Rum?” tanyanya ketika melihat Arum cuma diam.

Arum masih belum menyadari apa yang telah menghipnotisnya.

“Aduuuh … Silvi. Tahukah kamu kalau aku tuh suka banget sama Mas Jimmy-mu. Habis dia mirip-mirip Russel Crowe, sih! Eh, Sil, Mas Jimmy udah punya calon istri belum?”

Silvi menghidupkan mobil dan perlahan-lahan membawa Opel itu keluar dari Bandara Ketaping. “Kamu udah telat, Rum. Mas Jimmy sudah ada yang punya, dua orang lagi,” katanya tanpa menatap Arum.

“Dua orang?”

“Ya. Satu Mbak Tami, satu lagi Anggi, ponakanku yang masih baby, hehe ...” Silvi tertawa terpingkal-pingkal begitu melihat betapa cemberutnya wajah Arum mendengar berita itu.

“Kamu kok nggak pernah cerita, sih?” protesnya.

“Udah deh. Jangan patah hati. Masih banyak kok yang lebih keren dan lebih baik dari Mas Jimmy. Kalau kamu mau, ikhwan-ikhwan kedokteran keren-keren tuh. Tapi syaratnya, kamu harus …”

“Udah, udah! Aku udah tahu!” ucap Arum jengkel.

“Eh, iya. Gimana cerita tentang para pengungsi?” todong Silvi mengalihkan topik pembicaraan.

Arum menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. “Nanti saja. Setelah kita makan sate. Aku ngantuk, nih.”

Silvi cuma tersenyum. Dasar pematah hati, ucapnya dalam hati.

Jalan Pattimura

SATE di piring Silvi masih tinggal setengah ketika Arum menggeser piringnya yang sudah kosong menjauh.

“Nggak nambah, Rum? Katanya kangen sama sate padang,” Silvi menggoda.

“Makasih. Udah cukup. Aku mau tambah dengan peyek itu aja. Tolong, Sil!” katanya menunjuk sebuah toples. Silvi menggeser toples peyek kacang itu ke arah Arum. Arum mengambil tiga buah dan memakannya pelan-pelan.

“Kasihan ya, Rum, orang-orang di pengungsian itu. Kenapa mereka tidak boleh hidup dengan tenang, padahal mereka kan juga berhak tinggal dan mencari hidup di tanah mana pun di negeri ini. Iya kan, Rum?” Silvi berkata.

Arum menikmati makanan kecilnya pelan-pelan. Lalu lintas di jalan Pattimura sedang sibuk. Beberapa kendaraan pribadi berhenti lalu parkir di depan warung-warung cendol, sate, bakso, es rumput laut, atau mi ayam yang ada di sepanjang jalan itu. Pohon-pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan, membuat Pattimura jadi tempat jajan yang nyaman dan sejuk, apalagi dalam panas terik siang hari.

Sebuah Escudo merah hati parkir di sebelah Opel Silvi. Tiga pasang siswa SMU keluar sambil tertawa-tawa dan duduk tiga meja dari tempat mereka.

Arum memerhatikan mereka lalu tiba-tiba ingat pada seorang gadis yang menangis di pangkuannya tiga hari yang lalu. Salimah, gadis malang itu, menangis karena harus meninggalkan bangku sekolahnya di Palangkaraya. Padahal ia tengah belajar keras untuk menghadapi Ebtanas. Salimah bercerita ingin sekali bisa kuliah di Jakarta atau Bandung. Tapi kerusuhan telah memupus semua harapannya.

“Seharusnya kamu ikut denganku ke sana, Sil. Biar kamu tahu dan merasakan sendiri bagaimana mereka hidup di barak-barak darurat itu. Bahkan untuk pipis pun mereka tidak tahu harus ke mana.”

Silvi diam saja mendengar ucapan Arum. Ada satu hal pada diri Arum yang membuat dirinya heran. Satu saat Arum bisa cuek minta ampun, tapi kadang-kadang ia begitu serius memikirkan sesuatu, seperti soal pengungsi ini misalnya. Sesekali ia bisa rapuh dan sangat cengeng (tipikal anak tunggal kebanyakan), tapi di lain waktu ia bisa meledak dan berapi-api. Sifatnya yang terakhir ini membuat Silvi dan mamanya sering khawatir.

“Selama aku di Surabaya, apa mamaku pernah menelepon?” Arum mengambil sehelai tisu dan membersihkan tangannya yang belepotan minyak.

“Cuma sekali. Mamamu cuma pesan padaku untuk mengingatkan kamu agar tidak lupa pulang ke Payakumbuh begitu pulang dari Surabaya. Katanya nenekmu kangen sekali padamu. Kamu udah janji mau pulang ya, Rum?”

Arum mengangguk, mencomot satu tusuk sate dari piring Silvi dan menghabiskan jus jeruknya. Ia melotot pada Silvi.

“Ayo cepetan makannya. Aku sudah kangen sekali pada Romeo. Kamu tidak pernah lupa memberinya makan, kan?”

KETIKA mobil mereka meninggalkan Pattimura, Pak Anton mengeluarkan handphone-nya dan menekan nomor pribadi kliennya.

“Pak Hanif, sekarang adik Anda bergerak menuju timur, sepertinya mau pulang. Apa Anda mau saya terus mengikutinya?”

“Ya, Pak Anton. Saya ingin Anda terus mengawasinya. Tapi ingat, jangan sampai dia tahu. Sesuai rencana, kita akan melakukan kontak setelah ibunya pulang dari Mekah. Anda mengerti?”

Pak Anton tersenyum, “Tentu saja Pak Hanif, saya mengerti.”

Empat mobil dari mobil Pak Anton, seseorang yang duduk dalam sebuah Kijang Innova warna cokelat, mengeluarkan ponselnya, lalu bicara dengan seseorang.

ENAM bulan dari sekarang ada empat target yang ingin dicapai oleh Farid; wisuda bulan Oktober, menyelesaikan tiga juz lagi hafalan Qurannya, menikah, lalu yang terakhir, mencari ayahnya.

Tiga hal pertama sudah terprogram dengan baik di kepalanya. Tapi hal terakhir benar-benar baru dimulai dari titik nol.

Sewaktu kecil, ibunya bercerita kalau ayahnya seorang pedagang. Setelah tiga bulan menikah, tiba-tiba lelaki itu menghilang tanpa meninggalkan petunjuk apa pun kecuali benih yang telah ditanamnya di rahim ibunya. Farid begitu sayang dan hormat pada ibunya, sehingga setiap kali ia berkata ingin mencari ayahnya dan ibunya mencegah, ia selalu membatalkan kembali niatnya.

Namun kini ibunya mulai tua. Farid bertekad ingin menemukan ayahnya dan membawa laki-laki itu pada ibunya. Walaupun masih dicegah ibunya, Farid mengatakan sudah saatnya tabir rahasia itu dikuak. Siapa pun lelaki itu kini, apa pun yang dilakukannya, Farid ingin menemuinya. Setidaknya ia ingin menunjukkan pada lelaki itu, bahwa anak dan istrinya tetap bisa bertahan hidup setelah 25 tahun ditinggalkan.

Tentunya lelaki itu akan kaget setengah mati begitu tahu anak lelakinya sebentar lagi jadi sarjana, punya usaha fotokopi yang bagus, seorang penulis novel dan tak lama lagi akan menyunting anak gadis orang untuk dijadikan istri.

Farid percaya, ayahnya akan bangga padanya.

[Bersambung ke Part 2]

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya RENDEZVOUS - PART 2 (FREE)
0
0
Selain Pak Anton yang terus mengikuti ke mana pun Arum pergi, ada pula pemuda bernama Farid yang sedang mencari-cari ayahnya. Siapakah Farid? Apakah ada hubungannya dengan Arum dan Hanif?Baca terus ya kelanjutannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan