
KEEMPAT anak lelaki asuhan Hartanto Dimawijaya melalui pintu ruang D, Rumah Duka. Tanpa ada yang memberi komando, mereka bisa-bisanya berjalan seraya membentuk barisan. Bastian paling belakang. Dengan badan setinggi seratus tujuh puluh, Eca menjadi yang terpendek.
Tetapi bukan perkara tinggi badan yang membuat Bima, si paling menjulang, menahan langkah agar Eca mendahuluinya untuk menjadi yang terdepan, seperti aturan berbaris tiap Senin pagi semasa sekolah. Melainkan keterkejutannya. "Kaulihat, Kal...," ujarnya pelan. "Mirip betul. Sama-sama pakai setelan hitam pula. Susah membedakannya."
"Benar," tanggap Kala. "Agaknya mereka cuma beda sidik jari aja."
Eca sekilas menoleh ke belakang. "Gaya rambutku jauh lebih berkelas."
"That's true," balas Bastian. "Minimal, untuk hari ini kami bisa menandaimu dari rambut."
Siapa yang akrab dengan Eca tahu keharusan Eca meminyaki rambutnya yang selalu terpangkas rapi, ivy league. Tingkat keharusannya setara dengan Cucik Ira yang tak akan bepergian sebelum menggarisi alis. Biar terlambat, asal alis selamat.
Sementara, tampak Jordan berdiri bersedekap di hadapan barisan terdepan kursi pelayat, sedang berbicara seraya menatap seseorang yang duduk di hadapannya. Dan dia tidak sempat melakukan apa-apa pada rambutnya sebelum kemari. Kalau memang rambut juga sesuatu yang sakral baginya.
Melewati pintu, Eca melirik bunga papan di sisi kanan, ungkapan bela sungkawa dari sebuah bank swasta atas meninggalnya ayahanda Jan Jordan Christian, satu-satunya bunga papan yang ada.
Ruang D terklasifikasi sebagai ruangan kecil di Rumah Duka ini, cukup untuk keluarga yang tidak menantikan banyak pelayat. Atau yang tidak merasa perlu memberikan layanan VIP pada pelayat dengan meja-meja berlapis satin dan AC. Ruang D, minim. Hanya ada kursi-kursi tanpa kover yang berbanjar ke belakang, lima kursi per saf, dan hanya dua saf terdepan yang terisi.
Karena ruangan yang kecil, peti diletakkan memanjang, sejajar dengan bentuk ruangan yang juga memanjang. Tepat di depannya, terdapat meja pajangan dengan dua vas berisi anggrek bulan, foto Papa, serta dua batang lilin putih besar yang menyala.
Sepasang mata Jordan seketika beralih ke arah pintu. Menemukan kembarannya, cerminan raganya, air mukanya tidak lantas berubah, datar-datar saja. Bibirnya bergerak seperti mengatakan sesuatu, maka orang yang diajaknya bicara pun seketika berdiri seraya bertumpu pada tongkatnya dan menoleh kepada Eca. Orang itu adalah Om Adi Subang. Sudah tampak tua dan kurus sekali dia. Jika sepantaran Papa, maka 62 tahun usianya.
Eca mengangguk takzim kepada mereka, tetapi memilih meneruskan langkah, dia ingin lebih dahulu melihat Papa, tujuan utamanya.
Namun, agaknya pilihan Eca membuat Jordan tersinggung. "Bangke lo!"
"Jooo, Joooo, enggak boleh begituuu."
Mungkin itu cegahan Om Adi. Eca tidak tahu pasti karena tidak peduli, terus saja melangkah hingga peti.
"Berbulan-bulan Papa sakit, gue yang urusin! Ke mana aja lo!"
Eca masih tidak peduli, ditatapnya saja Papa yang ... seperti dikatakan Bima, sulit dia kenali ....
Papa kurus, kurus sekali. Wajahnya terlampau tirus, mata terlampau cekung. Jas yang dikenakannya jadi tampak kebesaran. Bukan Papa yang gemuk dan gagah seperti kali terakhir dia temui, ketika dia pamit hendak ke Brunei Darussalam untuk bekerja.
"Nggak bisa!" seru Jordan. "Om nyalahin gue! Semua orang nyalahin gue!"
"JO! JANGAN!"
Larangan dengan nada yang meninggi drastis itu membuat Eca terkedik dan seketika menoleh. Tampak Jordan tengah berjalan dengan sangat terburu ke arahnya, seakan ingin menyumpal Eca ke dalam peti Papa supaya dikubur sekalian saja.
"BANGSAT LO!" maki Jordan. "JANGAN PIKIR LO DA—" BRAKKK.
Tuh, kan ....
Suasana sepi jadi gaduh. Jordan berlutut seraya memegangi jidat, teraduh-aduh mengerang kesakitan. Jidat itu baru saja menghantam tepian meja pajangan.
"Nah, nah, nah," Om Adi geleng-geleng kepala. "Rasain kamu."
Jordan tak bergerak. Masih syok sendiri, terpejam memegangi jidat. Bima dan Kala buru-buru mengangkat dan memapahnya ke kursi saf terdepan.
Menatap Bastian, bibir Eca menipis, menahan senyum. Didekatinya Bastian dalam dua langkah. Kawan rasa saudara yang dimilikinya sejak SMP itu tengah dengan santainya menegakkan foto Papa yang tertelungkup di meja pajangan gara-gara jidat Jordan. "Jahil," ucap Eca pelan, nyaris seperti bisikan.
"You're welcome." Bastian menegakkan vas anggrek bulan yang ikut terjatuh, lalu telunjuk dan jempolnya menekan salah satu kelopak yang membara lantaran sempat hinggap di atas lilin.
Kemarahan Jordan memang gara-gara Eca. Kejatuhannya, tidak tuh. Tampak jelas di mata Eca, kaki kiri Bastian-lah penyebabnya. Tapi siapa yang tahu selain Eca, satu-satunya orang yang berada di sisi peti yang sama dengan si pelaku. Sedikit saja kaki kiri itu tadi maju, pun kedua tangan si pelaku tersemat santai ke dalam saku, Jordan dan jidatnya pun terjerembap jatuh.
"Sini, Ca," panggil Om Adi.
Eca patuh meskipun Jordan, yang masih menekan-nekan jidat, duduk persis di samping Om Adi.
Melihat Eca, Bima dan Kala berjalan kembali ke peti Papa. Keduanya sama-sama menilai pembicaraan akan bersifat pribadi saja.
Eca tidak duduk. Dia menyalami Om Adi dan terus berdiri saja di tempatnya.
"Ibadah tutup peti sudah selesai. Peti hampir ditutup, ya saat itulah Om sampai," kata Om Adi. "Jadi, sekarang ini cuma menunggu kamu datang. Sudah bisa ditutup sekarang?"
Eca mengangguk. "Silakan. Mau dimakamkan di mana?"
Om Adi mendesah gusar. "Papa kamu akan dikremasi di Pemalang."
"Ha?" Pemalang? Eca tak yakin mendengar dengan benar. Masa iya Pemalang? Kan, jauh. "Kalimalang?"
"Pemalang, bukan Kalimalang. Pemalang di Jawa Tengah," tegas Om Adi.
"Iya, tahu di Jawa Tengah. Jauh, kan, makanya aku heran, aku pikir salah dengar."
"Benar, Pemalang. Gara-gara semua krematorium di Jakarta nggak bisa proses Papa kamu hari ini juga. Penuh. Jordan berhasil dapat yang di sana buat jam delapanan entar malam," jelas Om Adi. "Om tuh ... ck. Om tuh pernah punya obrolan ringan sama papamu soal pemakaman dan kremasi. Om masih ingat banget papa kamu bilang kalau dia nggak cocok sama kremasi. Sudah Om sampaikan ke Jordan, tapi—"
"Udah gue jelasin, kan, Om!" potong Jordan. "Jenazah Papa tuh banyak luka basah, nggak bisa di sini lama-lama. Rumah Duka ini nggak nyediain formalin. Lagian mau dikasih formalin kayak apa juga, nggak bakalan ada gunanya. Jadi ya, kalau kalian mau ngubah rencana, mau dikubur aja, enggak bisa, pokoknya nggak bisa. Udah telat, udah kesiangan."
"Lah, kan, makanya dari tadi Om tanya, kenapa kamu mutusin mau kremasi aja. Kalau sejak pagi kamu mutusin kubur tanah, kan, enggak telat begini ceritanya. Tapi kamu diam, enggak jawab."
"KARENA TERSERAH GUE!" Jordan kumat. "GUE YANG NGURUS PAPA SELAMA SAKIT, CUMA GUEEE. DI MANA KALIAN? APA PUN KEPUTUSAN GUE HARI INI, HARUSNYA KALIAN SADAR DIRI KALAU SEMUANYA TERSERAH GUE!"
Seorang perempuan paruh baya mengusap-usap pundak Jordan dari kursi belakang. "Udah, Jo, udah."
Om Adi melengos, seakan pendapat Jordan salah. Bagaimanapun, menurut Eca malah sebaliknya, Jordan sangat benar, walau Eca sama sekali tidak tahu Papa sakit karena tidak pernah ada kabar yang sampai kepadanya.
"Ayo kita proses sesuai rencana," kata Eca.
Jordan meraih map yang tergeletak di kursi sampingnya. "Lo yang antar ke Pemalang. Mobil jenazah udah nunggu di depan."
Eca menerima map yang disodorkan kepadanya. "Ya."
Jordan berdiri, berlalu ke arah pintu masuk.
Eca menyalami satu per satu pelayat yang semuanya sudah paruh baya. Salah satu di antaranya adalah ibu yang sempat menyabari Jordan. "Mirip banget kamu sama Jordan!" Entah takjub, entah kesal, pokoknya intonasinya tinggi setara membentak. "Kembar apa gimana?"
Eca hanya membalas dengan senyuman.
"Itu mamanya si Liv, pacar Jordan," ucap Om Adi pelan, setelah Eca menempati kursi kosong di sampingnya. "Yang di sebelahnya, papanya. Sebelahnya lagi, Pak Pendeta. Mama dan Papa Liv yang katanya nyari pendeta dari Gereja mereka. Soalnya, Jordan bingung."
"Bingung kenapa?"
"Dia sama papa kamu nggak bergereja di mana-mana. Giliran begini, ya bingunglah," jawab Om Adi. "Datang jauh-jauh itu si Pak Pendeta. Jangan lupa amplopin."
"Ya, Om."
"Om nggak ikut ke Pemalang ya, Ca. Kaki Om udah nggak bisa diajak mobilan lama-lama."
"Nggak apa-apa, Om, makasih banyak sudah datang, sudah tunda tutup peti juga."
"Yah, syukurnya begitu. Padahal, Om lagi nggak enak badan. Nyampe kesiangan juga gara-gara pecah ban." Om Adi mengetuk-ngetuk pelan tongkatnya ke lantai. "Om tanya Jordan, mana Eca? Katanya, dia nggak punya nomor hape kamu. Papamu yang punya, tapi hapenya pakai kunci, Jordan nggak tahu kuncinya. Heran ... nomor hape saudara sendiri, masa dia enggak punya."
Eca diam sajalah, cari aman, wong dia juga tidak punya nomor ponsel saudara sendiri. Tidak pernah punya urusan.
"Parahnya lagi, kalau bukan gara-gara protes Om, entah kapan si Liv dan orangtuanya tahu Jordan punya saudara. Liv mengaku nggak pernah tahu soal kamu dari Jordan atau dari papamu. Padahal, dia dan Jordan tuh mau nikah."
Sebegitunya, ya ....
"Tukeran nomor hape, Ca. Kali nanti Om ada perlu sama kamu."
"Ya, Om."
Om Adi menyerahkan ponsel miliknya pada Eca.
"Aku ke sana dulu, Om," kata Eca seusai melakukan perintah.
"Ya."
Eca berdiri dan menghampiri peti di mana ketiga kawannya masih bertahan. "Papaku dibawa ke krematorium di Pemalang sebentar lagi, aku yang antar."
"Naik apa?" tanya Kala.
"Mobil jenazah. Sudah ada," jawab Eca. "Jadi, habis ini kalian bisa pulang. Menurutku, aku masih bisa ke pernikahan. Lusa, kan."
"Kau sama siapa?" tanya Bastian.
"Sama sopir. Kecuali kalau ternyata tadinya Jordan-lah yang bakal nyetir ke sana, cuma sewa mobil aja, berarti aku sendirian."
"Aku ikut," kata Bastian.
"Heem, aku juga," kata Bima.
"Janganlaaah," Eca seketika tidak enak hati. "Kalian harus siap-siap buat pernikahan."
"No worries," kata Bastian. "Paling-paling subuh nanti sudah di Jakarta lagi, kok. Enggak ada juga yang aku dan Atha harus lakukan, semua sudah diurus orang."
"Jangan pikir kau bisa duduk di depan, terus aku yang empet-empetan sama peti," tambah Eca. "Ogah."
"Naik Land Cruiser ajalah," timpal Kala. "Pasti mobil jenazah itu sekalian sama sopirnya, biarlah dia yang sendirian aja."
"Kau bagaimana?" tanya Eca, merasa bersalah membayangkan pemilik Land Cruiser justru hendak pulang pakai taksi.
"Aku ikut," jawab Kala, lalu menoleh. "Tuh, sepertinya Jordan datang sama orang-orang dari Rumah Duka."
Benar. Karenanya semua yang hadir, berdiri. Orang-orang itu hendak menutup peti.
Eca merangkul Bima dan Kala, menarik keduanya mundur. "Ada yang punya amplop?" bisiknya. "Aku perlu." Tidak sanggup memberi uang tanpa pembungkus kepada Pak Pendeta. Rasanya sangat tidak sopan.
"Nggak," jawab keduanya bersamaan.
"Bas," Eca menarik lengan Bastian. "Punya amplop?"
"Uhm...," Bastian mengernyit. "Adanya amplop angpao."
"Tulisannya apa?" Sebab, ini penting.
"Meneketehe," balas Bastian. "Mamaku keburu meninggal sebelum sempat mengajari aku baca tulisan Cina."
"Kau dapat dari mana?" Eca akan mencoba menebak saja apa tulisannya.
"Atha yang main taruh di tasku kemarin. Katanya Ii Yuli yang bawakan, titipan orang yang nggak bisa datang ke pernikahan."
Terbayang shuangxi, 囍, aksara kembar yang umum digunakan pada amplop pernikahan ala Tionghoa. Tidak umum dialihfungsikan untuk tujuan lain selain mengamplopi seseorang atas pernikahannya. Lebih tidak umum lagi jika untuk mengamplopi seorang pendeta.
Tak apalah. Daripada tidak ada.
"Ya sudah, enggak apa. Aku perlu."
"Di tasku, di mobil. Aku ambil dulu," kata Bastian. "Mau isinya sekalian?"
"Mau." Biar ringkas. "Nanti aku ganti."
"Berapa?"
"Terserah. Buat Pak Pendeta. Selayaknya menurutmu aja."
Bastian berlalu. Tak lama setelah itu, paku-paku selesai dipasang, peti siap diberangkatkan. Om Adi menyuruh Eca dan Jordan ikut mengangkat peti. Melihat Eca mengambil posisi di kiri depan, Jordan beralih ke kanan belakang.
Di halaman, peti dimasukkan ke mobil. Eca langsung berbicara kepada seorang laki-laki yang mengaku sopirnya tentang rencana perjalanan mereka. Keduanya juga bertukar nomor ponsel.
"Siap berangkat?" tanya Bastian yang baru tiba.
"Ya," Eca mengangguk. "Lima sampai enam jam perjalanan."
"Land Cruiser itu ikut di belakang ya, Pak," kata Bastian pada sang sopir.
Sang sopir mengangguk takzim. "Baik, Pak. Jadinya, dua mobil aja, ya."
"Ya," kata Eca. "Ayo, Pak. Kita berangkat."
"Siap."
"Amplop, amplop," ujar Eca dengan suara tertahan.
"Nih," Bastian menyebutkan sejumlah angka, "kurang?"
"Cukup, cukup. Makasih." Eca menerimanya, menyeringai lucu. Benar, ini shuangxi. Semoga Pak Pendeta mensyukuri isinya, bukan tertawa geli karena amplopnya.
Usai berpamitan pada semua pelayat, termasuk memberikan si amplop, Eca berjalan menuju Land Cruiser. Sementara, matanya menangkap sosok seorang perempuan yang memasuki gerbang Rumah Duka sembari tergopoh-gopoh memeluk sekantong besar belanjaan.
Karena sisi kanan mobil bersebelahan dengan mobil lain, Eca membuka pintu kiri belakang Land Cruiser yang mesinnya telah dinyalakan. Sudah ada Bastian dan Bima di dalamnya. "Dari mana?" tanya Eca pada Kala yang baru saja tiba.
"Toilet," jawab Kala.
Eca naik, lalu terus bergeser hingga ke belakang sopir seperti posisinya saat berangkat tadi.
"Mana kembaranmu?" tanya Bastian.
"Enggak tahu, nggak kelihatan lagi," jawab Eca.
"Dia di toilet, cek kening," kata Kala. "Sempat kukira Eca. Aku lihat dulu rambutnya sebelum nyapa."
"Tunggu! Tunggu!" pinta seseorang, tepat sebelum Kala menutup pintu. "Tunggu!"
Kala kembali melebarkan bukaan pintu. "Ya?"
"Aku ikut...," perempuan itu terengah-engah, dialah yang barusan dilihat Eca. Kantong belanjaan berlogo Alfamart di pelukannya.
"Ikut ke Pemalang?" Kala meminta kepastian.
"Iyaaa."
Kala melompat turun, lalu berbalik dan menurunkan sandaran kursi. Mau apa lagi kalau bukan mau berpindah tempat.
Masa pemilik mobil justru di kursi belakang?
"Biar aku, Kal," cegah Eca.
"Its ok, its ok." Kala kembali naik, menjebloskan diri ke kursi belakang, lalu mengembalikan sandaran kursi yang dilompatinya ke posisi semula. "Silakan, Mbak," suruhnya. "Silakan."
"Makasih." Perempuan itu naik dan menutup pintu.
Mobil segera dilajukan Bastian karena mobil jenazah sudah berlalu melewati gerbang.
"Maaf, Mas, aku merepotkan. Mas jadinya di belakang."
"Santai," balas Kala, sesantai nada bicaranya.
Hingga beberapa saat kemudian, mobil melaju dalam keheningan.
"Harusnya aku ke toilet juga tadi," ujar Bastian.
"Cari toilet aja dulu," balas Bima. "Enggak mesti urut-urutan mobil peti, kan."
"Iya," timpal Eca. "Kelak bisa telepon sopirnya kalau mau tanya posisi. Aku punya nomornya."
"Nantilah, belum mendesak," balas Bastian.
Perempuan itu bergeser mendekat, sangat dekat hingga bahunya bersentuhan dengan bahu Eca, lalu mengatakan sesuatu dengan suara pelan.
"Apa?"
Si perempuan kembali bicara. Ya, bicara, kok. Tapi seperti gumaman, seperti suara-suara yang jauh. Beginilah yang terjadi bila suara yang pelan, yang terlalu cepat diucapkan, atau terlalu singkat, datang dari sisi kiri. Telinga Eca tidak mampu menangkap arti, hanya sekadar bunyi.
"Apa, sih? Yang keras suaranya," pinta Eca seraya menoleh, tapi mendapat balasan berupa pelototan. "Seriusan," tambah Eca. "Kuping kiriku budek parah."
Perempuan itu melilitkan kedua lengannya ke pinggang Eca, menempelkan pula bibirnya hingga tak berjarak dari telinga kiri si budek. "Aku nanyaaa, mereka temen-temen kamu dari manaaa? Kalian ngomong pakai bahasa apaaa?"
"Bengkulu ...."
"Sejak kapan kamu bisa bahasa Bengkulu?"
"Sejak SMP. Aku sekolah di sana."
"Bercanda." Pelukan makin erat, malah si perempuan asing kini pasrah menjatuhkan kepalanya pada pundak Eca.
Hooo ....
Eca mulai mengerti. "Liv...," ujinya.
"Heem?"
Benar, ternyata. Perempuan inilah yang tadi mengangkat panggilan telepon Eca ke ponsel Papa. Perempuan ini pulalah yang disebut-sebut Om Adi sebagai calon adik iparnya.
"Enak," bisik Eca.
"Apanya enak?"
"Dipeluk."
"Heem." Liv sekilas mencium pipi lelakinya, lalu kembali memasrahkan kepala.
"Dipeluk plus dicium cewek cantik, mimpi apa aku semalam."
Bima serta-merta menoleh ke belakang demi mendeteksi kejanggalan.
Eca mengedipkan sebelah mata padanya. "Jangan bilang siapa-siapa, ya, guys."
Bima sontak terkekeh. Paham dia, paham. "Khususnya Jordan, ya," katanya.
Liv menegakkan kepala. "Maksudnya?"
"Yang kaupeluk itu sejenis kucing garong, Mbak," jawab Bima. "Namanya Petra."
"HAH!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
