
Vol. 2 berisi Chapter 6 s.d 10 dari kisah ANNISA (Kala Takdir Menuntunku Padamu) yang dapat dibaca GRATIS (TIDAK DIGEMBOK).
6. Terpana Akan Sosoknya
7. Rencana Survei
8. Berbagi Dengannya
9. Percakapan Telepon
10. Mengulik Masa Lalu
Happy Reading! 🕊️🤍
6. Terpana Akan Sosoknya
Jika pada makhluk saja bisa terpana, bukankah seharusnya kita lebih terpana lagi pada Zat yang telah menciptakannya?
— Annisa Althaf —
❤❤❤
PAGI-PAGI Fauzan bersiap ke klinik seperti biasa. Kemeja putih polos berlengan panjang dan celana katun warna khaki menjadi pilihan outfit-nya hari ini. Setelah memastikan penampilannya sudah cukup rapi, harusnya dia beranjak untuk sarapan. Namun, bau gosong yang sejak tadi terus mengusik indera penciuman, membuat Fauzan kini justru melangkah ke dapur, tempat di mana aroma gosong tersebut berasal.
Sampai di pintu dapur, Fauzan tercengang melihat kondisi dapur yang sangat berantakan. Kulit telur tampak berserakan di lantai dan meja pantri. Banyak percikan minyak yang menempel pada dinding dapur di dekat kompor. Beberapa wadah kotor pun menumpuk di pencucian.
"Nis, ini ... kenapa dapur jadi berantakan begini?" tanya Fauzan dengan keheranan.
Annisa terkesiap saat mendengar suara Fauzan. "Kak Fauzan ...." Dia menatap lelaki itu dengan raut seakan sedang tertangkap basah melakukan kesalahan. "A-aku ...."
"Itu telurnya mulai gosong. Matikan dulu apinya!" seru Fauzan sambil beranjak cepat ke arah kompor.
Annisa segera mematikan api kompor dengan panik. Asap telah mengepul di atas wajan. Aroma gosong pun menguar dengan kuat. Fauzan dan Annisa nyaris terbatuk dengan kepulan asap dan aroma yang menusuk indera penciuman.
Telur yang sedang didadar Annisa sudah tidak layak untuk dimakan. Selain warnanya yang menghitam, bentuknya pun benar-benar hancur. Dan itu adalah telur gosong buatannya yang kesekian. Fauzan melihat ada banyak telur gosong lainnya yang sudah dibuang Annisa ke dalam tong sampah di sudut dapur.
Melihat tatapan Fauzan tertuju pada telur-telur gosong buatannya yang berada di tong sampah, Annisa merasa malu sekaligus merasa bersalah. "A-aku ... udah berusaha bikin beberapa olahan telur untuk lauk sarapan kita pagi ini, tapi ... terus aja gagal. Telur mata sapinya hancur, telur dadar terlanjur gosong sebelum sempat aku balik, dan telur gulung yang harusnya bagus malah nggak berbentuk. Nggak ada satu pun yang berhasil aku buat. Padahal udah aku pelajari di youtube dari jauh-jauh hari," ujarnya sambil menunduk kecewa.
Fauzan menatap lekat wajah istrinya. Dia tahu bahwa Annisa tidak pandai memasak. Wanita itu sudah memberitahukan hal tersebut saat mereka masih dalam proses taaruf. Namun, Fauzan tidak menyangka kalau ternyata untuk sekadar mendadar telur pun Annisa tidak bisa melakukannya.
Fauzan tidak marah ataupun kecewa. Dia hanya kaget saja. Sempat lupa jika istrinya memang tidak pandai memasak. Semalam wanita itu begitu semangat mengeluarkan peralatan masak dari lemari dapur. Dia kira, setidaknya untuk sekadar menggoreng telur atau menumis sayuran, mungkin saja Annisa bisa melakukannya. Namun, setelah melihat kondisi dapur pagi ini, Fauzan bisa menyimpulkan jika istrinya sama sekali tidak bisa memasak.
Fauzan melirik lagi tong sampah kecil di sudut dapur yang hampir setengahnya dipenuhi telur-telur gosong buatan Annisa. Lalu bibirnya perlahan melengkung tipis dan kembali menatap lekat wajah istrinya. "Biar aku saja yang siapkan sarapannya untuk hari ini. Sebaiknya kamu segera mandi dan siap-siap untuk ke kampus," ujar Fauzan sambil berusaha mengambil alih posisi Annisa di depan kompor.
"Tapi ...." Annisa merasa ragu menyerahkan tugasnya pada Fauzan.
"Bukankah hari ini kamu harus selesaikan proses registrasi ulang untuk program magister kamu?"
"Iya, tapi ... sarapannya ...."
"Udah, biar aku saja yang siapkan."
"Tapi ini seharusnya tugas aku," ucap Annisa sambil menunduk dengan rasa bersalah. Tidak seharusnya dia serahkan tanggung jawab itu pada Fauzan. Namun, dirinya pun tidak mampu melakukan tugas tersebut dengan benar. Padahal sebagai istri, dialah yang harusnya berperan di dapur.
Fauzan menangkup pundak kanan Annisa, hingga membuat wanita itu kini mendongak padanya. "Kata siapa ini tugas kamu? Nggak ada tugas aku atau tugas kamu dalam mengurus pekerjaan rumah. Kita bisa lakukan semuanya sama-sama dengan saling bantu. Bukankah pasangan itu saling melengkapi? Kita bangun rumah tangga ini sama-sama, bukan masing-masing, kan? Tugas kamu sebagai istri cuma satu, yaitu taat sama suami. Jadi kamu cuma perlu turuti apa yang aku bilang. Sekarang mandilah dan siap-siap untuk ke kampus," ujar Fauzan dengan bijak.
Annisa terdiam menatap suaminya dengan lekat. Kata-kata Fauzan membuat hatinya tersentuh. Dia tidak menyangka kalau Fauzan memiliki pemikiran seperti itu. Annisa merasa sangat bersyukur.
"Kalau gitu, biar aku bersihin dapur aja. Aku udah bikin dapur jadi berantakan begini," ujar Annisa dengan raut memelas.
"Nggak apa-apa. Biar aku saja."
"Jangan!" cegah Annisa sambil menggeleng cepat. "Nanti pakaian Kak Fauzan bisa kotor. Kak Fauzan, kan, udah berpakaian rapi. Jadi biar aku yang bersihin dapur. Kak Fauzan cukup masakin lauk aja. Kalau nggak melakukan apa-apa, aku akan merasa nggak berguna sebagai istri." Annisa kembali menatap Fauzan dengan raut memelas.
Fauzan bergeming sesaat sambil memandangi istrinya. Lalu dia pun mengangguk. "Baiklah. Tapi habis bersihin dapur, kamu langsung mandi dan bersiap ya," serunya pada Annisa. Wanita itu langsung mengangguk dengan patuh. Membuat bibir Fauzan kembali melengkung tipis.
Fauzan segera mengambil alih posisi Annisa di depan kompor. Sementara wanita itu beralih membersihkan meja pantri. Saat Fauzan mulai memasak, Annisa beranjak untuk mencuci wadah-wadah kotor di wastafel.
Selagi mencuci piring, sesekali Annisa melirik ke arah Fauzan. Kegiatan lelaki itu di depan kompor berhasil mencuri perhatiannya. Dia terpana melihat suaminya memasak dengan cukup cekatan, seakan sudah terbiasa melakukan pekerjaan tersebut. Selain itu, penampilan Fauzan yang cukup rapi untuk berada di depan kompor pun membuat Annisa terus mencuri pandang secara diam-diam. Bagian ujung lengan kemeja Fauzan yang digulung sampai siku agar tidak kotor, membuat lelaki itu terlihat sangat tampan saat sedang memasak. Tanpa sadar Annisa menghentikan pekerjaannya sejenak dan terus mengamati suaminya dengan raut terkagum-kagum.
"Apa aku setampan itu?" ucap Fauzan sambil membalik telur dadar di teflon tanpa menoleh.
Seketika Annisa terhenyak dan buru-buru mengalihkan pandangannya dengan salah tingkah. "Arkh!" Tiba-tiba dia memekik kaget karena tanpa sengaja malah menjatuhkan mangkuk kaca yang sedang dibasuhnya ke dalam bak cuci. Retakan mangkuk itu sempat mengenai jarinya hingga menimbulkan rasa perih.
Fauzan menoleh cepat begitu mendengar pekikan istrinya. Melihat Annisa yang kini memegangi jarinya dengan wajah meringis, buru-buru dia matikan api kompor dan beranjak sejenak untuk menghampiri istrinya tersebut. "Apa jari kamu terluka?" tanyanya sambil menilik jari Annisa dengan khawatir.
Annisa menunjukkan jarinya yang tergores dan mulai mengeluarkan darah. "Perih sekali," ucapnya sambil menekan ujung jari yang terluka itu dengan wajah meringis. Air matanya menggenang di ujung pelupuk, menahan perih yang kian terasa.
"Kemarilah." Fauzan menuntun Annisa ke ruang tengah dan menyuruhnya duduk di sofa. "Tunggu sebentar," ujarnya. Lalu dia beranjak sejenak ke arah bufet yang berada di tengah ruangan—tempat diletakkannya televisi, membuka salah satu lacinya dan mengambil sebuah kotak yang tersimpan di sana. Kemudian, Fauzan kembali menghampiri Annisa di sofa dan duduk di sebelah istrinya tersebut.
Fauzan membuka kotak yang diambilnya itu, yang dia letakkan di atas meja tamu. Lalu mengeluarkan kasa, gunting, alkohol, plester, serta obat luka yang ada di dalamnya. Kemudian, lekas dia bersihkan luka di jari Annisa.
"Arkh!" Annisa memekik pelan saat Fauzan membersihkan luka di jarinya dengan kasa yang telah dilumuri alkohol. Tentu saja rasanya begitu perih. Wajahnya meringis kesakitan dengan kedua bola mata yang semakin berkaca-kaca.
"Tahan sebentar. Nanti perihnya akan hilang kalau udah ditetesi obat luka," ujar Fauzan sambil terus mengobati jari istrinya dengan cukup telaten.
Annisa menurut. Dia biarkan Fauzan terus mengobati jarinya. Sesekali pandangan Annisa tertuju pada wajah teduh sang suami yang kini berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Melihat betapa serius lelaki itu mengobati lukanya, Annisa merasa tersentuh. Tiba-tiba jantungnya berdegup tak karuan.
"Selesai," ucap Fauzan setelah mengobati jari Annisa dan membalutnya dengan plester.
Annisa buru-buru mengalihkan pandangan dari wajah Fauzan saat lelaki itu menatapnya. Namun, sebelum sempat memalingkan wajah, Fauzan telah lebih dulu menangkap basah dirinya yang sedang mencuri pandang pada suaminya itu. Seketika dia langsung salah tingkah dan menatap ke sembarang arah dengan kikuk.
Fauzan tersenyum. "Mandilah dan segera bersiap. Aku panasin mobil dulu. Setelah itu, kita sarapan sama-sama. Lalu segera berangkat," ujarnya pada sang istri. Kemudian, dia pun bangkit dari sofa dan beranjak menuju garasi.
Sambil melangkah, Fauzan kembali tersenyum, mengingat Annisa yang tadi diam-diam memandanginya. Entah kenapa, hati Fauzan terasa senang karena hal itu. Terlebih saat mengingat ekspresi Annisa yang terlihat salah tingkah begitu tertangkap basah olehnya.
Annisa sendiri masih terduduk di sofa dengan wajah memerah. Dia merasa malu karena terus saja tertangkap basah setiap kali memandangi suaminya.
***
Mobil Fauzan kini melaju di jalanan yang ramai. Dia terus mengendalikan setir dengan sigap, sementara Annisa duduk tenang di sebelahnya. Mereka sedang menuju ke kampus tempat Annisa akan berkuliah.
"Tadi malam ... apa kamu ketiduran duluan sebelum aku pulang dari minimarket untuk beli telur?" tanya Fauzan di sela-sela keheningan yang tercipta.
"Eng ... iya." Annisa menoleh pada suaminya. "Maaf, aku nggak nunggu Kak Fauzan pulang tadi malam. Badan aku rasanya lelah sekali begitu sampai di rumah. Jadi niatnya cuma mau rebahan sebentar di kamar. Nggak sadar malah ketiduran sampai Subuh," ujarnya dengan raut merasa bersalah.
"Hm, nggak apa-apa. Aku ngerti. Wajar saja kamu kelelahan. Kemarin kamu nggak istirahat sama sekali begitu sampai di sini. Tadi malam juga kita pulang dari restoran agak larut. Aku udah ngira kalau kamu akan ketiduran duluan. Makanya aku bawa kunci cadangan saat ke minimarket." Fauzan terus memusatkan pandangan ke depan sambil mengendalikan setir. Alasan Fauzan mengajak Annisa pulang cepat dari restoran tadi malam adalah karena itu. Dia ingin Annisa bisa segera beristirahat di rumah. Fauzan tahu istrinya cukup lelah setelah melakukan perjalanan dari kampung menuju Jakarta.
"Jam berapa Kak Fauzan pulang dari minimarket? Sepertinya aku nggak sadar kapan Kak Fauzan pulang saking nyenyaknya tertidur."
"Nggak begitu lama. Mungkin sekitar jam sebelas." Fauzan memutar kemudi hingga Xenia hitamnya kini berbelok ke kanan, memasuki jalanan kecil yang mengarah ke wilayah kampus tempat istrinya berkuliah.
"Kenapa nggak bangunin aku?"
"Aku tahu kamu cukup lelah dan butuh istirahat. Jadi aku nggak mau ganggu tidur kamu."
Annisa menatap suaminya dalam diam. Kata-kata lelaki itu terus saja membuatnya tersentuh. Fauzan begitu pengertian padanya. Membuat jantungnya kembali berdebar tak karuan.
Tiba-tiba pandangan Annisa teralihkan saat menyadari Xenia hitam yang dikenderai Fauzan telah berhenti. "Apa kita udah sampai?" tanyanya sambil menatap ke luar jendela untuk memastikan. Begitu melihat gapura besar di depan sana dengan lambang milik universitas yang sudah tidak asing baginya, Annisa langsung mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Terlebih begitu melihat huruf-huruf besar yang berada di samping gapura itu, yang membentuk nama universitas tersebut.
"Ini ... kampus aku?" tanya Annisa dengan antusias. Tanpa mendengar jawaban dari pertanyaannya itu, dia sudah cukup yakin kalau kampus yang dilihatnya saat ini adalah tempat dirinya akan berkuliah, menyelesaikan magisternya. Kampus yang sudah dia idam-idamkan sejak lama. Senyum Annisa langsung merekah begitu melihat kampus impiannya telah berada di depan mata.
"Udah rame yang antri di dalam sana. Sepertinya mereka juga mahasiswa magister, sama seperti kamu," ujar Fauzan sambil mengarahkan pandangannya ke halaman kampus yang tampak ramai dipadati para mahasiswa. Mereka sedang berbaris dengan rapi, mengikuti antrean untuk menyelesaikan registrasi ulang.
Annisa ikut menatap ke arah yang sama. "Iya, sepertinya begitu. Aku langsung turun untuk ikut antri sama mereka ya," ujarnya sambil melepaskan seat belt.
"Maaf, aku nggak bisa temani kamu untuk urus masalah kampus hari ini. Ini hari pertama aku balik kerja. Banyak sekali tugas di klinik yang harus dibereskan setelah aku tinggal beberapa waktu," ujar Fauzan dengan raut merasa bersalah.
"Iya, iya, nggak apa-apa. Kak Fauzan udah bilang itu tiga kali sejak berangkat tadi. Nggak perlu merasa bersalah. Aku bisa ngerti. Makasih udah antar aku ke kampus." Annisa bersiap turun dari mobil.
"Hubungi aku begitu urusan kamu di kampus selesai, supaya aku jemput sambil pulang," ujar Fauzan sebelum Annisa membuka pintu.
"Iya, insya Allah." Annisa mengangguk pelan. Lalu menatap Fauzan sejenak.
"Ada apa?" tanya Fauzan bingung.
"Eng ...." Annisa tidak memberikan jawaban. Dengan ragu-ragu dia justru mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Fauzan dengan posisi telapak ke atas.
Fauzan pun langsung mengerti apa yang hendak dilakukan istrinya. Perlahan dia ulurkan pula tangan kanannya pada Annisa yang langsung disalami wanita itu dengan takzim. Hati Fauzan seketika menghangat saat punggung tangannya diciumi sang istri.
"Assalamu'alaikum," ucap Annisa sembari membuka pintu dan turun dari mobil.
"Wa'alaikumsalam." Fauzan terus memandangi istrinya yang kini telah berjalan menjauh dari mobil. Usai memastikan wanita itu telah memasuki gerbang fakultas dan ikut bergabung dalam antrean bersama yang lain, barulah dia melajukan mobil, menuju klinik tempatnya bekerja.
***
Proses registrasi ulang yang dilalui Annisa hari ini berjalan lancar. Hanya tinggal dua tahapan lagi yang harus dia selesaikan selanjutnya. Namun, sebelum itu, ada beberapa berkas yang perlu dia fotokopikan terlebih dahulu. Dan kini Annisa merasa bingung karena tidak mengetahui letak tempat fotokopi terdekat.
Di sekeliling Annisa ada banyak mahasiswa baru program magister yang sedang sibuk menyelesaikan tahapan registrasi ulang juga. Annisa merasa segan untuk bertanya karena tidak mengenal satu pun dari mereka. Namun, demi kepentingan kuliah, akhirnya dia memutuskan untuk menghampiri sekelompok mahasiswa yang sedang berkumpul di salah satu bangku taman. Dua perempuan dan tiga laki-laki. Mereka tampak sedang sibuk menilik berkas dalam map di tangan masing-masing. Sepertinya mereka juga mahasiswa magister yang baru, sama sepertinya.
"Permisi," ucap Annisa dengan sopan pada kelima mahasiswa itu. Begitu mereka menoleh, dia lekas bertanya, "Tempat fotokopi terdekat di kampus ini ... di mana, ya?"
"Di kantin fakultas ada," sahut salah satu mahasiswa yang perempuan.
"Kenapa? Mau fotokopi?" tanya temannya yang laki-laki.
"Iya,” angguk Annisa. “Ada berkas yang harus aku fotokopikan.”
"Ayo sekalian aja! Aku juga mau fotokopi," ajak mahasiswa laki-laki yang bertanya tadi. Lelaki itu merapikan lembaran-lembaran kertas dalam map di tangannya, membenarkan letak ransel di bahu kiri, lalu menoleh pada teman-temannya sejenak. "Udah semua, kan? Langsung antri aja, ya. Nanti aku susul selesai fotokopi," ujarnya pada mereka. Setelah keempat sosok di hadapannya memberi anggukan dan isyarat oke dengan gestur tangan, dia kembali menoleh pada Annisa. "Ayo!" ajaknya seraya memimpin langkah.
Annisa pun bergegas mengikuti laki-laki itu. Dia masih terlalu asing dengan kampus tersebut. Jadi tidak ada pilihan selain mengikuti lelaki yang telah berbaik hati membantunya itu.
"Ambil program magister apa?" tanya lelaki itu sambil terus berjalan menuju kantin.
"Ilmu Ekonomi," jawab Annisa sembari ikut melangkah di sebelah laki-laki itu dengan sedikit memberi jarak agar tidak terlalu berdekatan.
"Ilmu Ekonomi?" Lelaki itu menoleh pada Annisa seraya melambatkan langkahnya. "Sepertinya kita akan sering ketemu ke depannya. Aku juga Ilmu Ekonomi. Kita satu jurusan," ujarnya sambil tersenyum dengan antusias. "Aku Riski.” Dia mengulurkan tangan kanannya pada Annisa.
Annisa menangkup kedua tangan di depan dada sambil tersenyum simpul dengan sedikit canggung. "Annisa."
"Ah, sorry." Lelaki bernama Riski itu menarik kembali uluran tangannya. "Bukan mahram seharusnya nggak saling bersentuhan, ya? Maaf, aku lupa. Masih proses membiasakan diri soal itu," ujarnya sambil meringis kecil dan terus melanjutkan langkah.
Annisa hanya tersenyum simpul. Dia merasa senang karena lelaki itu cukup mengerti dan menghargai prinsipnya. Sepertinya lelaki itu memang sedang belajar membiasakan diri untuk tidak bersentuhan dengan non mahram. Mereka pun terus berjalan sambil terlibat beberapa obrolan—yang tentu saja dimulai dari laki-laki itu lebih dulu. Karena Annisa sendiri bukanlah tipe wanita yang mudah berbaur dengan orang baru, terutama lawan jenis.
***
Malam menjelang. Annisa menatap lauk yang tersaji di hadapannya dengan raut kecewa. Dua jam lamanya dia habiskan waktu di dapur bersama Fauzan untuk belajar memasak semua lauk itu, tetapi tetap saja gagal. Padahal lauknya tidak banyak dan tergolong simpel. Hanya semangkuk sup sayuran dan sepiring ikan teri yang dicampur dengan tempe sambal.
"Akhirnya Kak Fauzan juga lagi yang siapkan lauknya," keluh Annisa dengan wajah ditekuk.
Fauzan yang duduk berhadapan dengan istrinya di meja makan, berusaha menghibur wanita itu. "Kamu juga ikut bikin tadi."
"Bikin apa? Bikin rusuh iya. Kupas wortel sama kentang aja masih belum benar. Terinya juga gosong semua saat aku yang goreng." Annisa semakin menekuk wajahnya.
"Nggak apa-apa. Besok masih bisa belajar lagi. Aku yakin, pelan-pelan kamu pasti bisa. Nggak ada usaha yang sia-sia."
Annisa masih diam menunduk. Dia tampak kecewa pada dirinya sendiri.
"Udah, nggak usah dipikirkan. Kamu, kan, masih bisa slesaikan kerjaan rumah yang lain. Seperti nyapu, beres-beres, cuci piring, cuci pakaian, nyetrika, dan masih banyak lagi yang bisa dilakukan. Untuk urusan masak, biar aku saja yang kerjakan sementara. Kamu bisa pelajari dulu pelan-pelan sampai benar-benar menguasainya."
Annisa mengangkat wajahnya dan menatap Fauzan dengan penuh makna. Penuturan lelaki itu berhasil memudarkan rasa kecewa di hatinya. Dia jadi lebih bersemangat setelah mendengar kata-kata Fauzan. Yah, ada banyak tugas lain yang masih bisa dia lakukan sebagai seorang istri—selain memasak. Setidaknya, sampai dia benar-benar pintar dalam hal memasak, dia masih tetap berguna. Dia masih berpeluang mengumpulkan lebih banyak ladang pahala dalam rumahnya. Sudut bibir Annisa perlahan terangkat, membentuk lengkungan tipis.
"Ayo kita habiskan dulu makan malamnya!" seru Fauzan begitu melihat wajah istrinya tak lagi memberengut.
Annisa mengangguk sambil mengulas senyum. Fauzan pun ikut tersenyum. Mereka mulai menyantap makan malam bersama.
"Gimana urusan kampus kamu tadi?" tanya Fauzan di sela-sela menghabiskan makan malamnya.
"Alhamdulillah selesai dengan lancar. Tadinya aku sempat panik begitu ada berkas yang harus difotokopi. Takut nggak berhasil nemu tempat fotokopi, terus gagal selesaikan sisa tahapan registrasinya. Tapi syukurnya ada seorang teman yang bantu aku." Annisa bercerita dengan antusias.
"Teman yang tadi berdiri sama kamu di dekat gerbang fakultas saat aku jemput?" Fauzan menatap Annisa sekilas.
"Iya." Annisa mengangguk pelan. "Namanya Riski. Dia yang temani aku fotokopi dan juga bantu aku saat selesaikan sisa tahapan registrasi hari ini. Begitu tahu kalau ternyata kami satu jurusan, jadi lebih akrab dan banyak ngobrol.”
"Cepat juga kamu dapat teman di kampus baru.”
Annisa mengulas senyum. "Alhamdulillah. Aku bersyukur, Allah selalu menghadirkan orang-orang baik di sekelilingku," ujarnya dengan raut bahagia.
Fauzan tak lagi menanggapi. Dia menghentikan makannya sejenak dan menatap lekat wajah Annisa.
Annisa jadi merasa risi. "Kenapa Kak Fauzan … malah lihatin aku?"
"Kalau sekarang kamu nggak terikat dalam pernikahan ... Apa yang akan kamu lakukan di saat-saat seperti ini?" tanya Fauzan dengan raut serius.
Annisa mengernyit bingung. "Maksud Kak Fauzan?"
Ada hening yang menjeda sesaat, sebelum Fauzan mendengus pelan dan memutuskan pandangannya dari wajah Annisa. "Lupakan saja pertanyaanku tadi,” ujarnya sambil kembali melanjutkan makan malam.
Annisa terus menatap Fauzan dengan alis tertaut. Pertanyaan lelaki itu barusan masih membuatnya bingung.
"Besok mau masak apa untuk sarapan?" Fauzan sengaja mengalihkan topik begitu menyadari tatapan sang istri masih tertuju padanya.
Mendengar pertanyaan suaminya, Annisa malah menunduk ragu.
"Kenapa? Bukannya kamu bilang mau belajar masak denganku saat kita belanja tadi sore?" tanya Fauzan begitu melihat raut keraguan pada wajah Annisa.
"Eng ... iya, tapi ... gimana kalau aku malah hancurin masakannya lagi seperti tadi?" Annisa kembali menunduk dengan kecewa.
"Gimana kalau yang terjadi malah sebaliknya, masakan kamu ternyata enak dan berhasil kamu buat sendiri?" Fauzan berusaha meyakinkan istrinya.
"Nggak mungkin," ucap Annisa dengan pesimis.
"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, Annisa. Semua bisa saja terjadi kalau Allah berkehendak." Fauzan menjeda sesaat. Lalu kembali berujar dengan amat lirih, "Termasuk dalam membolak-balikkan hati manusia."
"Apa?" Annisa mendongak dan memastikan lagi kalimat terakhir yang diucapkan Fauzan. Dia tidak mendengarnya dengan jelas saat lelaki itu mengatakannya tadi. "Apa yang Kak Fauzan bilang barusan?"
"Ha? Apa?" Fauzan malah balik bertanya, seakan tidak mengerti maksud pertanyaan istrinya.
"Kak Fauzan bilang apa tadi?"
"Eng ... nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, semua bisa saja terjadi kalau Allah berkehendak."
"Bukan yang itu, tapi setelahnya." Annisa menatap Fauzan dengan penasaran.
"Apa memangnya? Sepertinya cuma itu yang aku bilang." Fauzan masih berpura-pura tidak mengerti.
"Sepertinya ada lagi." Annisa mengerutkan kening dan berusaha berpikir.
"Kamu salah dengar mungkin," ucap Fauzan dengan lagak tak acuh sambil terus menghabiskan sisa nasi di piringnya.
"Apa iya?" Annisa merasa tak yakin. "Tapi ... sepertinya aku nggak salah dengar." Dia masih berusaha berpikir.
"Malam ini siapkan terus perlengkapan untuk ke kampus, supaya besok nggak buru-buru. Habis salat Subuh besok, kita akan buat nasi goreng sama-sama," ujar Fauzan—yang lagi-lagi berusaha mengalihkan topik.
"Hm." Annisa mengangguk dengan semangat. Dia tak lagi mempertanyakan kalimat yang tadi diucapkan Fauzan. Kini dia merasa sangat antusias untuk belajar memasak bersama suaminya.
Senyum di bibir Fauzan pun seketika terukir. Dia senang melihat semangat dan antusias Annisa untuk belajar memasak bersamanya. Namun, sesaat kemudian, ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah begitu melihat pandangan Annisa tertuju ke arah pintu kamar yang terletak di sisi kanan ruang tengah. Kamar yang ditempati wanita itu sejak kemarin. Dari raut wajah istrinya, Fauzan bisa langsung menebak, apa yang sedang dipikirkan wanita itu.
"Kalau masih belum nyaman, nggak perlu maksain diri. Nggak apa-apa kalau kamu mau terus tempati kamar itu," ujar Fauzan yang kini telah menunduk, menatap piring nasi di hadapannya dan kembali melanjutkan makan.
Mendengar penuturan Fauzan, Annisa lekas mengalihkan tatap pada suaminya tersebut.
"Nggak perlu merasa terbeban dengan status kamu saat ini,” ujar Fauzan sambil kembali mengangkat wajah dan menatap Annisa. “Aku tahu, kamu masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Hidup dengan seseorang yang baru dikenal memang nggak mudah. Apalagi semuanya terjadi begitu mendadak. Tapi nggak perlu juga merasa tertekan. Bersikaplah senyaman mungkin. Aku nggak akan paksa kamu untuk lakuin hal-hal yang belum siap kamu lakukan.” Dia lantas menunduk sambil menambahkan satu kalimat lagi. “Termasuk membuka kerudung kamu di depan aku," ucapnya lirih dan kembali menyendoki nasinya tanpa menatap lagi ke arah Annisa.
Annisa terdiam mendengar kata-kata Fauzan. Dia tidak tahu, entah harus merasa senang atau bersalah pada lelaki itu. Namun, satu hal yang pasti, dia semakin terpana pada sosok di hadapannya tersebut. Fauzan benar-benar pengertian. Lelaki itu sungguh memahaminya. Dan dia tidak bisa memungkiri jika dirinya selalu merasa tersentuh dengan setiap perlakuan serta kata-kata suaminya itu.
7. Rencana Survei
Dalam hidup, aku bisa menyusun banyak rencana dan berusaha merealisasikannya satu per satu. Namun, dengan statusku saat ini, aku akan selalu mengingat, bahwa ada seorang suami yang tetap menjadi nahkodanya.
— Annisa Althaf —
❤❤❤
ANNISA berjalan menyusuri koridor lantai tiga gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Dengan pandangan tertunduk dan kedua tangan yang menggenggam tali ransel, dia terus melangkah sambil mengulum senyum. Wajahnya tampak begitu sumringah. Selain karena ini merupakan hari pertamanya memulai perkuliahan di kampus yang telah dia impi-impikan sejak lama, ada hal lain juga yang menjadi penyebab kebahagiaannya saat ini.
Pagi tadi Annisa berhasil membuat nasi goreng pertamanya bersama Fauzan. Sebuah kemajuan besar baginya dalam hal memasak. Sekelebat ingatan itu pun terus membayang.
"Cuma ini aja bumbunya?" tanya Annisa pada Fauzan saat keduanya telah berdiri di depan pantri dan bersiap membuat nasi goreng pagi tadi. Di hadapan mereka sudah berjajar aneka bumbu yang disiapkan oleh Fauzan.
Fauzan memberi anggukan pada istrinya.
"Ini ... tinggal dimasukin ke wajan aja, kan?" tanya Annisa memastikan lagi.
"Hm." Fauzan kembali mengangguk. Dia tidak beranjak sama sekali dari sisi Annisa karena ingin menemani wanita itu memasak.
Annisa mulai menyalakan kompor dan membuat nasi goreng dengan bumbu yang disiapkan Fauzan. Di sebelahnya, lelaki itu terus menyaksikan tanpa ikut campur. Hanya sesekali memberi arahan saat Annisa terlihat kebingungan di tengah proses memasak.
Setelah nasi goreng buatannya matang, Annisa lekas menghidangkannya di meja makan, di hadapan Fauzan yang telah duduk menunggu dengan sabar.
"Gimana?" tanya Annisa penasaran begitu Fauzan mulai mencicipi nasi goreng buatannya.
"Untuk percobaan pertama, ini udah termasuk enak. Rasanya pas, nggak asin dan nggak terlalu pedas. Aku suka," ujar Fauzan sambil tersenyum tipis dan terus menghabiskan nasi goreng buatan istrinya dengan lahap.
Annisa tersenyum sumringah mendengar tanggapan suaminya. Lelaki itu tampak jujur memberikan pendapat. Nasi goreng buatannya pun dimakan dengan lahap. Bahkan, Fauzan sampai menambah satu porsi lagi. Annisa merasa senang melihat suaminya begitu antusias menghabiskan nasi goreng buatannya. Usahanya terasa tidak sia-sia. Dan itu adalah nasi goreng pertama yang berhasil dia buat sendiri selama dua puluh lima tahun hidupnya. Selama ini sang bunda lah yang selalu mengambil alih urusan masak di rumah. Sementara Annisa hanya membantu pekerjaan rumah lainnya sambil fokus belajar.
"Ada berita bahagia apa sampai bikin kamu senyum-senyum sendiri?"
Lamunan Annisa terbuyar begitu menyadari kehadiran seseorang di sebelahnya. Dia menoleh sambil menghentikan langkah sejenak. "Riski?"
"Hai. Meet again," sapa Riski sambil mengulas senyum.
Annisa balas tersenyum dan kembali mengayunkan langkah, menuju ruang perkuliahan. Riski pun ikut berjalan ke arah yang sama. Ada sedikit jarak yang dibuat Annisa saat Riski melangkah di sampingnya. Riski yang sudah cukup paham dengan prinsip teman seangkatannya itu pun menghargainya dengan baik.
"Ada berita bahagia apa sampai senyum-senyum terus dari tadi?" Riski kembali mengulang pertanyaannya.
Annisa tersenyum dengan salah tingkah. "Nggak ada. Cuma lagi teringat sesuatu aja. Masuk mata kuliah apa pagi ini?" Dia lekas mengalihkan topik.
"Ekonometrika. Bukankah kita sekelas? Kemarin, kan, kita pilih kelasnya sama-sama saat isi Form Rencana Studi untuk semester ini."
"Ah, iya. Aku lupa."
"It's oke. Yang penting nggak lupa namaku," ucap Riski sambil tersenyum lebar.
Annisa tertawa simpul. Dia dan Riski terus berjalan menuju kelas mereka.
***
Dua mata kuliah yang diambil Annisa hari ini telah selesai. Dia lekas membereskan alat tulisnya dan menyimpan kembali ke dalam ransel, bersiap untuk pulang. Namun, atensinya tiba-tiba teralihkan sejenak ketika mendengar seseorang memanggil namanya. Begitu menoleh, dia dapati Riski yang duduk tepat di belakangnya sebagai pemilik suara tersebut. Mereka memang terus berada sekelas pada dua mata kuliah hari ini.
"Untuk tugas dari Bu Wiwid tadi ... gimana kalau kita sekelompok? Belum dapat kelompok, kan?" tanya Riski.
Belum sempat Annisa menjawab, lelaki itu sudah kembali berujar, "Minimal harus dua orang dan maksimal tiga orang dalam satu kelompok. Teman-temanku udah pas tiga orang. Kalau aku ikut mereka, akan ada satu orang yang harus tersisihkan. Dari pada menyisihkan teman sendiri, lebih baik aku yang ngalah duluan, kan?" Riski mengarahkan tatapannya pada tiga mahasiswa laki-laki yang sedang duduk berkumpul di salah satu barisan. Mereka lah yang dimaksud sebagai teman-temannya. Annisa ikut menoleh ke arah yang sama.
"Gimana?" Riski kembali bertanya setelah menunggu beberapa saat.
"Boleh, nggak masalah," angguk Annisa. Riski pun langsung tersenyum.
"Ki!" Salah satu dari tiga mahasiswa yang dimaksud Riski sebagai teman-temannya tadi, memanggil lelaki itu. "Gimana?" tanya temannya tersebut begitu Riski menoleh.
"Kalian bertiga aja. Aku udah dapat teman sekelompok," jawab Riski dengan nada santai. Temannya itu mengangkat jari dan membentuk tanda oke.
Riski kembali menatap Annisa. "Kalau surveinya langsung kita mulai besok, kamu bisa? Berhubung besok tanggal merah, tentunya kantor dinas nggak beroperasi. Jadi kita bisa gunakan waktu seharian untuk ngumpulin materi dari pedagang yang ada di pasar lebih dulu. Saat hari kerja nanti, baru kita lanjut ke Dinas Perdagangan. Gimana?"
"Boleh.” Annisa mengangguk setuju. “Kalau besok, insya Allah aku bisa."
"Oke. Besok akan aku jemput kamu di rumah. Kamu tinggal di mana?"
"Eh, nggak usah dijemput. Aku akan berangkat sendiri. Kita langsung ketemu di lokasinya aja."
"Loh? Kenapa?" Riski menautkan alisnya. "Biar aku jemput aja. Jadi kita bisa berangkat sekalian ke lokasinya. Kalau berangkat terpisah, nanti susah ketemu. Pasar itu, kan, luas."
"Coba carikan alamat gedung yang familiar di sekitar pasar itu. Nanti akan aku cari lokasinya pakai google maps dan nunggu di situ. Jadi kita ketemu di depan gedung itu aja."
"Kenapa nggak berangkat sama-sama aja? Aku bisa jemput kamu pakai mobil aku. Nggak perlu merasa sungkan."
"Bu-bukan begitu."
"Kalian lagi bahas tugas dari Bu Wiwid, ya?" Seorang gadis berambut ikal yang tergerai panjang tiba-tiba datang menghampiri Annisa dan Riski. Kedua sosok itu pun lekas menoleh dengan serentak.
"Iya,” angguk Annisa sambil menatap gadis yang berdiri di hadapannya itu.
"Boleh aku ikut gabung juga?" tanya gadis itu.
Annisa melirik Riski untuk meminta persetujuan.
"Tentu aja boleh. Maksimal tiga orang, kan? Kebetulan kami baru berdua. Jadi kalau ditambah satu lagi masih bisa," ujar Riski dengan nada bersahabat.
Gadis itu pun tersenyum senang. "Thank you," ucapnya dengan tulus.
"Aku sama Annisa rencananya mau mulai survei besok. Karena besok hari libur, kami akan datangi pedagang di pasar lebih dulu untuk wawancara dan ngumpulin data. Di hari kerja nanti baru ke Dinas Perdagangan. Kamu bisa ikut?" tanya Riski pada gadis itu.
"Hm, bisa, bisa." Gadis itu mengangguk dengan antusias.
"Oke. Kalau gitu, besok kita berangkat sama-sama aja ke lokasinya," ujar Riski. Gadis itu pun mengangguk setuju.
"Tuh, Nis. Dia aja ...." Riski menoleh lagi pada gadis berambut ikal tadi sesaat. "Siapa nama kamu?" tanyanya pada gadis itu.
"Kayla," ucap gadis itu dengan senyum ramahnya.
“Nah, Nis.” Kini Riski kembali menatap Annisa. "Kayla juga akan ikut sama kita. Sebaiknya kita pergi dengan mobilku aja supaya nggak terpencar dan lebih menghemat waktu. Nanti bisa saling sharing juga dalam perjalanan. Gimana?"
Annisa berpikir sejenak. Lalu dia pun mengangguk. "Baiklah."
Riski tersenyum senang mendengar jawaban Annisa. "Oke. Jadi semuanya udah sepakat. Berikan nomor telepon dan whatsapp kalian. Besok akan aku hubungi begitu udah jalan," ujarnya dengan semangat.
Annisa dan gadis bernama Kayla tadi pun segera mengeluarkan ponsel masing-masing dan saling bertukar nomor dengan Riski.
***
Fauzan dan Annisa kini duduk berhadapan di meja makan, menyantap makan malam hasil kolaborasi mereka bersama. Proses memasaknya kali ini tidak disertai dengan drama kekacauan di dapur seperti sebelum-sebelumnya. Annisa sudah mulai sedikit menguasai proses masak-memasak dengan bantuan Fauzan.
Di sela-sela makannya, Fauzan terus merogoh saku celana, memegang sesuatu yang ingin dia tunjukkan pada Annisa. "Nis ...."
"Besok ...."
Fauzan dan Annisa serentak menghentikan kalimat yang sama-sama hendak mereka utarakan. Lalu saling memandang dan tertawa simpul.
"Kak Fauzan aja duluan," ujar Annisa.
Fauzan lekas menggeleng. "Kamu saja yang duluan." Dia lantas mempersilakan Annisa dengan gestur wajah.
Annisa pun mengulas senyum. "Besok rencananya aku mau pergi survei ke pedagang yang ada di seputaran Jakarta. Diajak sama teman sekelompok di kampus. Kami mau ngumpulin materi sama-sama untuk tugas kuliah yang dikasih dosen," ujarnya.
Mendengar penuturan istrinya, perlahan Fauzan menarik kembali tangannya dari saku celana, urung mengeluarkan benda yang sejak tadi ingin dia tunjukkan pada Annisa. "Pedagang di wilayah mana yang akan kalian survei?" tanyanya seraya kembali meraih sendok di piring.
"Rencananya pedagang yang ada di seputaran Tanah Abang, tapi besok lihat kondisi lagi. Aku ikut gimana kata teman-temanku aja. Soalnya belum hafal lokasi pasar di sini. Besok pagi juga temanku jemput kemari untuk berangkat sama-sama ke lokasi."
"Teman kamu yang namanya Riski itu?" tanya Fauzan sambil terus melanjutkan makan malamnya.
"Iya." Annisa mengangguk pelan. "Eng, tapi kami nggak cuma berdua aja perginya. Ada satu temanku lagi yang ikut juga. Namanya Kayla dan dia perempuan. Habis jemput aku, nanti kami akan jemput Kayla ke kosnya. Katanya, nggak jauh kok dari sini." Annisa langsung menjelaskan tanpa diminta oleh Fauzan. “Nggak apa-apa, kan?”
Mendengar penjelasan istrinya, Fauzan tersenyum simpul. "Iya, pergilah. Aku nggak melarang kamu," ujarnya lembut.
Annisa tersenyum senang. "Tadi Kak Fauzan mau bilang apa?"
"Ha?" Fauzan jadi gelagapan. Apa yang ingin diutarakannya tadi, tidak memungkinkan lagi untuk dia sampaikan. Jadinya Fauzan malah bingung harus mengatakan apa sebagai gantinya. "Eng ... bukan hal penting. Aku cuma mau bilang kalau ...," Dia edarkan pandangannya sesaat, mencari ide untuk menyambung kalimatnya yang terjeda, "alas meja ini kita ganti saja. Gimana menurut kamu?" Fauzan menunjuk alas meja makan di hadapannya. Dia tahu itu sedikit konyol. Namun, hanya ide itu yang terlintas di kepalanya.
Annisa mengernyit, menatap alas meja yang dimaksud Fauzan dengan keheranan. "Kenapa harus diganti? Aku suka motifnya. Manis dan elegan. Kelihatannya juga masih baru," ujarnya memberi pendapat.
"Begitu, ya? Hmm, baiklah. Kalau gitu, nggak usah diganti." Fauzan kembali menyendoki nasi ke mulut. Dia merasa lega karena Annisa tidak menyadari tindakan konyolnya itu.
***
Fauzan baru saja menyelesaikan salat tahajud di sepertiga malam. Setelah melipat kembali sajadah dan menyimpannya di atas nakas, dia keluar ke ruang tengah dengan membawa laptop dan beberapa buku koleksinya yang bertemakan tentang kesehatan hewan.
Lelaki itu mendudukkan diri di sofa dan mulai menyalakan laptopnya. Di luar hujan turun dengan sangat deras. Halilintar terus menyambar bersamaan dengan cahaya kilat yang sesekali menyelundup masuk dari celah jendela. Beberapa kali Fauzan sempat tersentak saat suara gemuruh terdengar menggelegar. Lalu segera beristigfar dan meneruskan lagi kegiatan mengetiknya, sambil sesekali menilik tumpukan buku yang dia letakkan di atas meja tamu di hadapannya.
Saat Fauzan sedang serius menyelesaikan ketikan, sayup-sayup dia mendengar suara tangisan seseorang. Berhenti sejenak, Fauzan mempertajam lagi pendengarannya. Suara tangisan itu masih terdengar dan sepertinya berasal dari kamar yang ditempati Annisa.
Bangkit dari sofa, Fauzan pun beranjak ke depan pintu kamar yang ditempati istrinya sejak pertama tiba di rumah itu. Dia lekatkan telinganya pada daun pintu untuk mendengar lebih jelas suara tangisan tadi. Benar saja, suara tersebut memang berasal dari sana. Diketuknya pintu di hadapannya itu dengan pelan. "Nis! Apa kamu baik-baik saja?" tanya Fauzan dengan khawatir.
Beberapa detik tak terdengar jawaban, Fauzan kembali mengetuk. "Nis!"
Suara halilintar tiba-tiba menggelegar lagi. Fauzan kembali tersentak dan langsung beristigfar. Di saat yang sama, dia mendengar suara tangisan yang semakin jelas dari dalam kamar Annisa. Lelaki itu mulai merasa cemas. Dengan ragu-ragu dibukanya pintu kamar tersebut perlahan. Lalu Fauzan tercenung begitu melihat Annisa sedang meringkuk di sudut ranjang dengan memeluk kedua lututnya sambil menangis. Lekas dia berjalan mendekat ke sisi ranjang yang ditempati istrinya. "Nis ...," serunya pelan sambil menatap Annisa.
Mendengar suara Fauzan, Annisa langsung mengangkat wajah perlahan. Lalu menatap lelaki itu dengan mata sembabnya. "Kak Fauzan ...," ucap Annisa lirih.
"Kamu kenapa? Apa yang—" Kalimat Fauzan terhenti ketika Annisa tiba-tiba turun dari ranjang dan mendekap tubuhnya dengan sangat erat. Dia terkesiap dengan tindakan istrinya tersebut.
8. Berbagi Dengannya
Sepasang pundak tak selamanya mampu memikul seluruh beban dalam hidup ini. Itulah mengapa, terkadang kita butuh sepasang pundak lagi untuk membaginya.
— Annisa Althaf —
❤❤❤
FAUZAN masih terdiam mematung. Annisa mendekapnya dengan sangat erat. Jantungnya tiba-tiba berdegup tak beraturan.
"Kak Fauzan ... A-aku takut ...." Annisa terisak sambil membenamkan wajahnya pada dada bidang lelaki itu.
Fauzan bisa merasakan tubuh Annisa sedikit gemetar. Sepertinya wanita itu sedang ketakutan. "Ada apa, Nis? Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.
"A-aku ... mimpi buruk tentang Ayah dan Bunda. Aku takut sesuatu terjadi sama mereka. Aku benar-benar takut." Annisa terus menangis. Kedua tangannya melingkar semakin erat pada tubuh kekar sang suami.
Fauzan merasa iba pada istrinya. Perlahan tangannya tergerak dan ikut mendekap tubuh mungil Annisa. "Tenanglah. Jangan pikirkan hal buruk dulu. Itu cuma sekedar mimpi. Kamu pasti lagi rindu sama Ayah dan Bunda, makanya sampai terbawa mimpi," ujar Fauzan berusaha menenangkan istrinya sambil mengelus pelan puncak kepala wanita itu dalam dekapannya.
Fauzan melirik sekilas jam dinding di kamar Annisa. Jarum pendeknya menunjukkan pukul dua dini hari. "Sekarang masih terlalu dini untuk nelpon Ayah sama Bunda. Sebaiknya kamu tidur lagi saja. Habis salat Subuh nanti, kita telpon mereka untuk tanyain kabar dan mastiin keadaan mereka baik-baik saja," ujarnya pada sang istri.
Annisa tidak mengatakan apa-apa. Dia terus menangis dalam pelukan Fauzan.
"Udah, nggak usah khawatir. Insya Allah Ayah sama Bunda baik-baik saja. Serahkan semuanya sama Allah. Dia yang Maha Melindungi. Nggak ada yang lebih menenangkan selain menyerahkan segala urusan sama Allah." Fauzan terus berusaha menenangkan istrinya.
Setelah mendengar kata-kata Fauzan, Annisa merasa sedikit lebih tenang. Dia menghentikan tangisnya dan mengurai pelukannya perlahan. Tiba-tiba wajah Annisa memerah begitu menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Dia memeluk lelaki itu tanpa sadar. Mendadak Annisa merasa malu dan tak berani menatap Fauzan. "Maaf, tadi aku ... sangat ketakutan. Jadi ... tanpa sadar aku ... eng ... peluk Kak Fauzan. Maafkan aku," ucap Annisa sambil terus menunduk dengan kikuk.
Tadinya Fauzan biasa saja. Namun, karena Annisa merasa kikuk padanya, dia pun jadi ikutan kikuk. Suasana mendadak jadi canggung antara mereka.
Tiba-tiba halilintar kembali menggelegar dengan suara yang begitu lantang. Fauzan dan Annisa sama-sama tersentak kaget. Refleks Annisa kembali melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Fauzan sambil beristigfar. Lalu sedetik kemudian, dia langsung tersadar akan tindakannya itu dan buru-buru melepas pelukan tersebut dengan salah tingkah. Dia kembali merasa malu pada Fauzan. "Eng … Maaf ...," ucapnya dengan kikuk.
Fauzan tersenyum melihat ekspresi istrinya. "Tidurlah. Nggak perlu khawatir lagi. Insya Allah semua akan baik-baik saja," ujarnya berusaha mengusir kecanggungan antara mereka. Kemudian, dia memutar badan dan hendak beranjak keluar dari kamar itu. Namun, langkahnya tertahan saat menyadari ujung lengan baju koko yang dia kenakan tiba-tiba diraih oleh Annisa. Fauzan pun menoleh pada istrinya tersebut dengan kedua alis tertaut.
"A-aku ... nggak bisa tidur. Aku ... masih takut. Cuacanya sangat mengerikan," ucap Annisa pelan dengan wajah tertunduk. Tangannya masih memegang ujung lengan baju koko yang dikenakan Fauzan.
Fauzan bergeming sejenak, menatap Annisa yang tampak enggan ditinggal sendirian di kamarnya. Dia berpikir sesaat. "Aku lagi ngerjain karya tulis di luar. Apa kamu mau bantu aku?" tanyanya kemudian. Ketika Annisa mendongak dan menatapnya, Fauzan kembali berujar, "Aku juga nggak bisa tidur. Jadi habis salat tahajud tadi, aku putuskan untuk ngerjain karya tulis di luar. Kalau kamu mau bantu aku, tulisanku mungkin akan lebih cepat selesai. Mau aku kirim secepatnya sebelum deadline berakhir.” Dia terus menatap istrinya.
“Atau mau salat tahajud dulu, supaya hati dan pikiran kamu jadi lebih tenang? Kalau mau, biar aku temani untuk wudu ke kamar mandi, juga saat kamu salat nanti. Begitu selesai, baru kita keluar ke ruang tengah sama-sama,” tanya Fauzan kemudian.
Setelah sempat terdiam sesaat, Annisa pun memberi anggukan. “Iya, aku mau salat tahajud dulu. Biar hati dan pikiranku jadi lebih tenang.”
Fauzan kembali tersenyum. "Ayo!" Dia memberi isyarat pada Annisa untuk ikut keluar bersamanya.
Baru saja Annisa hendak beranjak mengikuti Fauzan, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika menyadari sesuatu. Dia sedang tidak mengenakan kerudung saat ini dan Fauzan telah melihatnya sejak tadi. Mendadak Annisa merasa malu dan gelagapan. Langsung dia tutupi kepalanya dengan telapak tangan.
Melihat tingkah istrinya, alis Fauzan tertaut sesaat. Lalu begitu mulai mengerti kenapa Annisa mendadak bertingkah seperti itu, Fauzan pun mengulum senyum. "Pakai saja kerudung kamu kalau memang masih belum nyaman berpenampilan begitu,” ujarnya lembut dan penuh pengertian.
Annisa merasa kikuk dan serba salah. “A-aku … wudu dan salat sendiri aja, nggak apa-apa. Nggak perlu ditemani. Kak Fauzan ke ruang tengah aja duluan untuk lanjut ngerjain karya tulis. Nanti aku ikut keluar ke ruang tengah juga selesai salat tahajud.”
Fauzan menuruti perkataan Annisa. “Baiklah. Aku tunggu di luar, ya," ujarnya sambil tersenyum tipis. Setelah mendapat anggukan dari Annisa, dia pun lekas beranjak keluar dari kamar tersebut.
Ketika telah berada di ruang tengah dan berjalan ke arah sofa, senyum di bibir Fauzan kembali terukir karena membayangkan sikap istrinya tadi. Annisa sangatlah lucu dan menggemaskan saat sedang kikuk dan salah tingkah.
Annisa yang telah mengenakan kerudung instannya, kini keluar dari kamar untuk berwudu. Ketika melewati ruang tengah, dia sempat melirik sekilas pada Fauzan yang berada di sofa. Lalu kembali salah tingkah begitu lelaki itu balas menoleh ke arahnya sambil tersenyum tipis. Dia pun ikut tersenyum dan terus melangkah menuju kamar mandi.
Usai berwudu, Annisa kembali ke kamar untuk melaksanakan salat tahajud. Setelah selesai dan sempat berdoa sejenak, dia pun melepaskan seluruh perlengkapan salatnya dan menyimpan kembali di tempat biasa, mengenakan lagi kerudung instannya tadi, lalu keluar dari kamar untuk menghampiri Fauzan di ruang tengah.
Dengan ragu-ragu Annisa melangkah ke arah sofa—tempat di mana Fauzan kini sedang duduk sambil mengetik di laptop. Dia masih merasa malu pada Fauzan karena mengingat kejadian tadi—baik tentang dirinya yang memeluk lelaki itu ataupun tentang penampilannya yang tanpa kerudung di hadapan suaminya tersebut.
Menyadari keragu-raguan Annisa saat hendak mendekat ke arahnya, Fauzan pun menoleh. "Kemarilah.” Dia berseru sambil menepuk sisi kosong di sebelahnya.
Annisa menurut dan langsung mengambil duduk di sebelah Fauzan. Dia perhatikan lelaki itu yang sedang mengetik dengan serius. "Kak Fauzan ... ikut lomba karya tulis ilmiah?" tanya Annisa sambil melirik layar laptop yang menampilkan hasil ketikan suaminya. Kecanggungannya pada Fauzan perlahan mulai berkurang.
"Hm." Fauzan mengangguk pelan. "Aku mau mengasah bakat di bidang ini, sekalian berbagi ilmu juga. Jadi nggak ada salahnya aku coba. Lagi pula, hadiahnya juga lumayan," ujarnya sambil menoleh dan tersenyum tipis.
"Memangnya ... apa hadiahnya?" tanya Annisa penasaran.
"Tropi, sertifikat dan uang tunai yang jumlahnya sampai puluhan juta rupiah."
Annisa melebarkan pupil matanya. "Sebanyak itu?"
Fauzan tersenyum dan mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Annisa.
"Wah! Hadiahnya banyak sekali," ucap Annisa dengan raut terperangah.
Fauzan kembali tersenyum melihat ekspresi istrinya.
Pandangan Annisa kemudian beralih pada tumpukan buku milik Fauzan yang berserakan di atas meja tamu di hadapannya. "Ini semua ... untuk sumber tulisan yang Kak Fauzan buat?" tanyanya sambil menilik buku-buku itu.
"Iya, tapi itu belum semuanya."
"Udah sebanyak ini, masih belum semuanya?" Annisa kembali tercengang.
Lagi-lagi Fauzan tersenyum melihat reaksi istrinya. "Gimana? Apa kamu mau bantu aku?"
"Kalau aku ikut bantu ... Apa aku akan dapat komisinya saat Kak Fauzan menang nanti?" tanya Annisa sambil tersenyum dan menaikkan kedua alisnya.
Fauzan mengernyit sesaat. Lalu terkekeh pelan. "Nggak usah khawatir. Hadiahnya nanti kita bagi dua. Akan aku berikan setengahnya untuk kamu—kalau memang berhasil menang," ujar Fauzan di sela-sela tawanya. Dia tahu Annisa hanya bergurau dan gurauan itu berhasil membuatnya terhibur.
Annisa melebarkan senyumnya. "Baiklah. Apa yang bisa aku bantu?" tanyanya dengan penuh semangat.
Fauzan kembali tersenyum melihat semangat istrinya. "Kamu bantu aku ngetik saja." Dia serahkan laptopnya pada Annisa. "Sebagian sumber yang mau aku jadikan literatur tulisanku, udah aku tandai dengan pensil. Kamu cukup salin saja dengan menyertakan judul buku dan halamannya. Nanti akan aku rapikan lagi sambil ngecek ulang setelah semuanya selesai disalin."
"Hmm, baiklah." Annisa membawa laptop Fauzan ke pangkuannya. Lalu meraih salah satu buku milik lelaki itu—yang sebagian halamannya telah diberi penanda—dan mulai mengetiknya.
Fauzan memperhatikan sejenak istrinya yang kini mulai serius mengerjakan ketikan. Wanita itu kelihatan bersemangat dan tak lagi cemas ataupun ketakutan seperti sebelumnya. Kecanggungan antara mereka juga telah menghilang. Dia tersenyum senang. Lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat terjeda.
Pasangan itu terus larut dalam kegiatan masing-masing. Keduanya tampak begitu serius. Suasana menjadi hening, hingga suara derasnya hujan diiringi halilintar yang menyambar semakin jelas terdengar. Annisa tidak lagi merasa takut. Mungkin karena Fauzan berada di sebelahnya saat ini.
"Kak Fauzan." Annisa tiba-tiba membuka suara. Dia menghentikan ketikannya sejenak dan menatap Fauzan. "Apa aku boleh tanya sesuatu?"
"Kenapa harus minta izin segala? Kalau mau tanya, tanya saja," ujar Fauzan sambil terus menilik halaman buku yang sedang dibukanya dan menandai bagian-bagian yang dia rasa penting untuk literatur karya tulisnya.
"Kalau boleh tahu ... Kenapa Kak Fauzan mau jadi dokter hewan?" tanya Annisa sambil terus menatap lelaki itu dengan raut serius.
Fauzan ikut menghentikan kegiatannya dan menatap ke sembarang arah dengan raut yang tidak tertebak.
Melihat reaksi Fauzan, Annisa jadi merasa bersalah karena telah melontarkan pertanyaan tadi. "Eng, maaf. Aku cuma ... tiba-tiba mau tahu aja, tapi kalau nggak dijawab juga nggak apa-apa," ujarnya dengan kikuk. Lekas dia alihkan pandangannya dari Fauzan dan hendak memainkan kembali jemarinya pada keyboard laptop di atas pangkuan. Namun, hal itu urung dia lakukan saat Fauzan tiba-tiba mulai bercerita.
"Saat masih kecil ... cita-citaku sebenarnya bukan jadi dokter hewan," tutur Fauzan.
Annisa kembali menoleh pada Fauzan. "Kalau bukan jadi dokter hewan ... lalu apa cita-cita Kak Fauzan waktu kecil?"
"Pilot."
"Pilot?"
"Hm." Fauzan memberi anggukan. "Dulu aku ingin sekali jadi pilot. Aku ingin terbang ke berbagai tempat, menyaksikan Mahakarya Sang Pencipta dari atas sana. Sepertinya akan sangat menyenangkan kalau aku bisa nerbangin pesawat sambil menyaksikan pemandangan indah di angkasa maupun di bumi," ujar Fauzan sambil menatap nanar langit-langit rumahnya.
"Kalau Kak Fauzan ingin jadi pilot ... kenapa malah ambil jurusan Kedokteran Hewan? Kenapa nggak kuliah di bidang penerbangan aja, lalu jadi pilot—seperti yang Kak Fauzan cita-citakan sejak kecil?" tanya Annisa penasaran.
Fauzan mengubah posisi duduknya jadi lebih santai. Dia tautkan kedua tangan di atas paha dan melanjutkan ceritanya. "Papa meninggal saat umurku 13 tahun, sedangkan Najwa waktu itu masih 2 tahun. Setelah kepergian Papa, sebagai anak sulung dan anak lelaki satu-satunya di keluarga, aku sadar, bahwa akulah yang harus mengambil alih peran Papa untuk menjaga Mama dan Najwa. Kalau jadi pilot, tentunya aku akan jarang ada di rumah. Lebih sering meninggalkan mereka dan mungkin nggak ada di sisi mereka saat mereka membutuhkan aku."
"Karena itu Kak Fauzan nggak ingin lagi jadi pilot?"
"Hm." Fauzan mengangguk pelan.
Annisa bisa melihat, ada sirat kesedihan pada wajah Fauzan saat lelaki itu menceritakan tentang papanya. Dia jadi merasa iba. Ingin rasanya Annisa merangkul bahu Fauzan, memberinya semangat dan kekuatan. Namun, niatnya urung begitu Fauzan melanjutkan ceritanya lagi.
"Aku memilih jadi dokter hewan karena tadinya aku kira pekerjaan ini nggak akan menyita begitu banyak waktu. Aku pikir jadi dokter hewan itu cuma sekedar menunggu para pemilik hewan datang untuk mengobati hewannya yang sakit, lalu pekerjaan selesai dan aku bisa punya banyak waktu luang sambil mengumpulkan uang. Tapi ternyata, nggak segampang itu."
"Sekarang aku sadar, nggak ada pekerjaan yang mudah di dunia ini. Semuanya butuh usaha keras dan pengorbanan. Perlahan aku mulai menyukai profesi ini. Setiap melihat hewan-hewan yang butuh pertolongan, aku merasa terpanggil untuk menyelamatkannya. Aku juga semakin sadar, di dunia ini nggak cuma nyawa manusia saja yang penting untuk diselamatkan. Nyawa hewan juga sama pentingnya."
Annisa terus mendengarkan cerita Fauzan dengan mata yang mulai sayu karena mengantuk.
"Hewan dan manusia sama-sama makhluk ciptaan Allah yang layak dapat kesempatan hidup di bumi yang sama—selama hewan itu nggak mendatangkan mudarat bagi manusia. Jadi udah seharusnya kita perlakukan dengan baik. Apalagi sebagian besar jenis hewan justru jadi sumber kelangsungan hidup manusia. Entah itu dagingnya, telurnya, susunya, ataupun tenaganya."
"Allah juga banyak menceritakan tentang hewan dalam Al-Qur'an. Bahkan, Allah menamakan beberapa surah dalam Al Qur'an dengan nama hewan. Ada An-Namlu yang berarti semut, Al-Fiil yang berarti gajah, An-Nahlu yang berarti lebah, Al-‘Ankabut yang berarti laba-laba, dan masih ada lagi. Itu bukti bahwa hewan juga makhluk yang dianggap penting oleh-Nya. Jadi sekarang aku merasa beruntung udah memilih profesi ini," ujar Fauzan mengakhiri ceritanya.
"Sekarang giliran aku yang tanya sama kamu." Fauzan menoleh pada Annisa. Lalu dia malah mendapati istrinya telah terlelap dengan kepala tersandar pada punggung sofa. Lelaki itu pun tersenyum simpul. Setelah memintanya bercerita, Annisa malah tertidur. Dia tidak yakin Annisa mendengar seluruh ceritanya barusan. Tapi Fauzan merasa senang bisa berbagi cerita dengan istrinya. Dia baru tahu, ternyata berbagi cerita dengan seseorang membuat hatinya jadi lebih nyaman. Beban di pundaknya seakan terangkat sebagian.
Melihat Annisa terlelap, Fauzan bangkit dari sofa dan menuju kamarnya sesaat. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa sehelai selimut dan menyelimuti Annisa dengan hati-hati agar tidak membuat wanita itu terbangun. Lalu dia pun kembali berkutat dengan buku-buku dan laptopnya, melanjutkan pengerjaan karya tulisnya tadi.
***
Annisa terbangun dari tidurnya saat azan Subuh berkumandang. Dia mengucek matanya sambil mengumpulkan kesadaran. Saat kedua kelopak matanya telah terbuka sempurna, dia pun menyadari bahwa dirinya saat ini sedang tidak berada di ranjang, melainkan di sofa. Annisa tampak tertegun begitu mendapati sehelai selimut yang menutupi tubuhnya. Dia sangat yakin kalau dirinya semalam tidak mengenakan selimut itu.
Mengedarkan pandangan, Annisa pun mendapati Fauzan yang masih terlelap dengan posisi duduk bersandar pada sofa tunggal di sebelahnya. Diliriknya kembali selimut yang masih melekat di tubuhnya itu. Dalam sekejap dia bisa langsung menyimpulkan, bahwa lelaki itulah yang telah memakaikan selimut tersebut untuknya. Menyadari hal itu, Annisa kembali merasa tersentuh pada sikap suaminya.
Dia pandangi wajah lelap Fauzan sejenak. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang menyelinap masuk ke hati Annisa setiap kali memandangi wajah lelaki tegap yang telah menjadi imamnya itu. Dan saat dia berada di dekat Fauzan, hatinya pun selalu terasa nyaman, juga tenang.
Tatapan Annisa pada Fauzan mendadak terputus saat lelaki itu tiba-tiba terbangun. Buru-buru dia alihkan pandangannya ke arah lain sambil menegakkan posisi duduk.
"Udah azan Subuh?" tanya Fauzan sambil mengucek matanya.
"Hm, udah. Baru aja." Annisa mengangguk pelan tanpa menoleh pada Fauzan. Dia menatap ke sembarang arah dengan kikuk dan sedikit canggung.
Bangkit dari sofa, Fauzan menoleh pada Annisa. "Aku ke Masjid dulu, ya. Buku-buku dan laptopku biarkan saja di situ. Pulang dari Masjid nanti akan aku bereskan."
"Biar aku aja yang beresin habis salat," ujar Annisa.
"Nggak apa-apa. Biar aku bereskan sendiri saja."
"Nggak apa-apa. Biar aku aja. Sekalian aku beres-beres rumah pagi ini, mumpung hari libur. Ada waktu beberapa jam sebelum aku berangkat survei. Kak Fauzan langsung ke Masjid aja. Nanti bisa telat berjamaah."
Fauzan bergeming sesaat sambil memandangi Annisa. Lalu dia pun mengangguk. "Baiklah. Kalau gitu, aku pergi dulu, ya," pamitnya pada sang istri.
Annisa balas mengangguk. Saat Fauzan telah pergi, dia beralih memandangi tumpukan buku yang berserakan di meja tamu, serta laptop milik Fauzan yang tergeletak di tengah meja. Annisa terpaku sesaat. Momen percakapannya bersama Fauzan tadi malam kembali terbayang dalam ingatan. Ada perasaan senang saat mengingat momen itu. Duduk mengobrol dengan Fauzan seperti tadi malam merupakan hal baru yang membuatnya merasa nyaman.
Pandangan Annisa kemudian tertuju pada helaian kain berbahan wol dengan motif kotak-kotak yang masih melekat di tubuhnya. Entah kapan Fauzan menyelimutinya, Annisa tidak sadar sama sekali. Sepertinya dia terlalu pulas tertidur. Membayangkan dirinya diselimuti oleh Fauzan, hatinya kembali tersentuh. Perlahan bibir Annisa melengkung dengan sendirinya.
Menyibak selimut dari tubuhnya, Annisa bangkit dari sofa untuk segera melaksanakan salat Subuh. Namun, saat hendak melangkah, tanpa sengaja kakinya malah menabrak pinggiran meja hingga beberapa buku yang tergeletak di atasnya terjatuh. Lekas Annisa berjongkok untuk memungut buku-buku itu dan hendak menyusunnya kembali ke tempat semula. Akan tetapi, saat sedang memungut buku-buku itu, dia temukan selembar sticky note berwarna pink yang terjatuh dari salah satu buku milik Fauzan. Diamatinya sejenak tulisan yang tertera pada lembaran kecil tersebut.
Biarkan impian tercatat dengan sederhana.
Namun, meraihnya haruslah dengan cara yang luar biasa.
(Nadiatul Husna)
Annisa menatap lekat nama yang tertera pada lembaran sticky note itu.
Nadiatul Husna.
Keningnya berkedut memikirkan nama tersebut. Meski tidak begitu hafal semua nama motivator dan tokoh-tokoh dunia, tetapi Annisa yakin, tidak ada tokoh terkenal yang memiliki nama itu. Lalu siapa Nadiatul Husna? Kenapa Fauzan terus menyimpan sticky note itu dalam bukunya? Apakah tulisan yang tertera pada sticky note itu memiliki arti penting baginya?
Sekelebat pertanyaan tiba-tiba memenuhi benak Annisa. Perlahan perasaannya pun jadi tak menentu. Hatinya terusik oleh lembaran kecil berwarna pink tersebut.
9. Percakapan Telepon
Ia datang ke dalam hidupku secara tiba-tiba. Lalu mengisi hari-hariku yang tak lagi biasa. Hingga detik ini, dia masih belum berhasil menempati ruang di hatiku. Namun, kenapa hatiku retak saat mengetahui sebuah fakta tentangnya?
— Annisa Althaf —
❤❤❤
HARI telah beranjak sore. Fauzan terus duduk di sofa ruang tengah sambil berkutat dengan laptop dan buku-buku koleksinya. Dia masih menyelesaikan karya tulis yang akan diikutkan lomba. Sesekali Fauzan melirik jam dinding. Lalu menoleh ke luar jendela, memandangi rintik hujan yang turun membasahi halaman. Hatinya resah memikirkan sang istri yang belum juga pulang sejak pergi survei ke Tanah Abang dengan teman-temannya tadi pagi untuk menyelesaikan tugas kuliah.
Fauzan menghentikan ketikannya sejenak. Tiba-tiba dia teringat pada benda yang sejak tadi malam berada di saku celananya. Dia pun merogoh benda itu dan mengeluarkannya. Dua lembar tiket bioskop. Dia tatap lamat-lamat lembaran tiket yang kini berada di tangannya itu. Perlahan bibir Fauzan melengkung tipis, teringat saat Jenny—asisten medisnya di klinik, memberikan tiket tersebut sebagai hadiah pernikahan untuknya dan Annisa.
"Besok udah libur lagi. Dokter Fauzan akan jalan-jalan ke mana untuk menghabiskan hari libur? Udah ada rencana belum?" tanya Jenny saat di klinik kemarin.
"Memangnya hari libur harus dihabiskan untuk jalan-jalan?" Fauzan balik bertanya sambil terus membereskan peralatan medis bersama Jenny di ruang perawatan hewan. Mereka tidak hanya berdua saja di klinik. Ada Dirga yang selalu stand by di lobi, menangani bagian administrasi. Ruang perawatan juga sengaja dibuat Fauzan dengan dinding kaca trasnparan, serta pintu ruangannya pun selalu dibiarkan terbuka. Karena dia tidak ingin menimbulkan fitnah apa pun nantinya, setiap kali harus berada dalam satu ruangan bersama asisten medisnya itu untuk keperluan pekerjaan.
"Nggak harus, sih, Dok, tapi setidaknya hari libur itu dihabiskan untuk ngelakuin sesuatu yang menyenangkan. Apalagi Dokter Fauzan sekarang udah nikah. Masih pengantin baru pula. Nggak ada rencana ngajak istri untuk menghabiskan hari libur berdua ke mana gitu, Dok? Nonton bioskop misalnya."
"Bioskop?" Fauzan menautkan alisnya.
Jenny tiba-tiba menyodorkan dua lembar tiket bioskop dan meletakkannya di atas meja peralatan dekat Fauzan. “Ini hadiah dari saya buat dokter Fauzan dan istri. Anggap aja sebagai hadiah pernikahan jilid 2. Karena saya nggak bisa datang saat dokter Fauzan nikah, jadi saya kasih satu hadiah lagi untuk menggantikan ketidakhadiran saya kemarin. Habis dokter Fauzan nikahnya mendadak sih. Saya sama Dirga cuma bisa ngasih kado aja. Nggak bisa ikut hadir karena kejauhan.”
Fauzan tersenyum simpul menanggapi penuturan Jenny. “Semuanya memang serba mendadak. Saya sendiri juga nggak nyangka akan dapat pasangan hidup saat pulang kampung kemarin,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Jenny ikut tersenyum. “Jodoh memang nggak bisa ditebak ya, Dok. Saya ikut bahagia. Semoga hadiah dari saya ini bisa jadi salah satu jalan untuk menyenangkan istri dokter. Menurut saya, itu film-nya bagus, tentang keluarga. Sengaja saya pilihkan jadwal yang siang, supaya dokter dan istri lebih mudah atur waktu ke bioskop sama-sama. Kesempatan untuk pacaran halal, sekalian jadi kejutan romantis juga buat istri dokter,” kata Jenny sambil tersenyum lebar.
“Momen-momen seperti itu yang bisa bikin hubungan jadi lebih dekat, lho, Dok. Pasti istri dokter akan senang sekali dikasih kejutan begitu. Biar makin cinta sama dokter. Wanita akan senang dengan hal-hal kecil yang berbau romantis seperti itu. Percaya sama saya. Ini pendapat saya sebagai seorang wanita."
Fauzan kembali menarik sudut bibirnya saat mengingat kata-kata dari asisten medisnya itu. Mungkin Jenny ada benarnya juga. Meskipun tidak begitu suka ke bioskop, tapi jika itu bisa membuat hubungannya dengan Annisa jadi lebih dekat, Fauzan tidak keberatan untuk mencobanya. Lagi pula, tiket itu juga sudah diberikan untuknya sebagai hadiah. Jadi setidaknya Fauzan bisa menghargai pemberian dari asisten medisnya tersebut, sekaligus membangun kedekatan dengan Annisa.
Sayangnya, ternyata Annisa sudah lebih dulu memiliki rencana bersama teman-teman kampusnya. Fauzan pun urung merealisasikan rencana tersebut dan memilih untuk tidak memberi tahu Annisa soal tiket itu. Dia tidak ingin mengganggu perkuliahan istrinya. Mungkin mereka memang belum ditakdirkan untuk saling mendekat saat ini.
Memikirkan soal Annisa, Fauzan kembali teringat pada istrinya itu. Annisa belum juga pulang. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.50 WIB. Tidak lama lagi waktu Magrib akan tiba. Di luar juga hujan turun dengan sangat deras. Entah di mana wanita itu berada saat ini. Fauzan mulai gelisah.
Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki halaman. Fauzan langsung menoleh ke luar jendela. Dia lihat sebuah sedan merah berhenti di halaman rumahnya. Lalu tampaklah Annisa yang turun dari sedan merah tersebut dan lekas berlari di bawah guyuran hujan. Tak lama kemudian, suara derit pintu terdengar diiringi ucapan salam. Fauzan menoleh ke arah pintu sambil menjawabnya.
"Aku pulang terlalu telat, ya? Maafkan aku," ucap Annisa yang langsung menghampiri Fauzan begitu melihat lelaki itu berada di sofa ruang tengah. Dia menatap suaminya dengan raut merasa bersalah.
"Tadi siang aku sama teman-teman keliling sebentar habis survei. Mereka juga ngajak singgah di sebuah kafe. Terus tiba-tiba aja hujan turun dengan sangat deras saat kami masih di kafe. Riski agak kesulitan nyetir kalau lagi hujan deras. Jadi rencananya kami mau nunggu hujannya reda dulu baru pulang. Tapi ternyata, sampai sore begini pun hujannya nggak reda juga. Akhirnya Riski beranikan diri untuk nyetir di tengah hujan deras. Syukurnya nggak apa-apa." Annisa berusaha menjelaskan alasan keterlambatannya.
"Aku mau ngabari Kak Fauzan, tapi ponselku mati karena kehabisan baterai. Ponsel Riski dan Kayla juga sama-sama kehabisan baterai karena seharian kami pakai terus. Bahkan, power bank yang dibawa Riski pun ikut habis setelah kami pakai gantian bertiga. Jadinya aku nggak bisa hubungi Kak Fauzan," ujar Annisa lagi.
Fauzan memandangi istrinya sejenak. Kerudung dan gamis yang dikenakan Annisa tampak basah di beberapa bagian. Tangan wanita itu menenteng sebuah bungkusan plastik yang tidak dia ketahui entah apa isinya. Sepertinya makanan.
"Nggak apa-apa. Mandilah dan segera ganti dulu pakaian kamu," ujar Fauzan kemudian. "Kamu kehujanan, pakaian kamu basah semua," imbuhnya dengan raut dingin. Lalu dia pun kembali berkutat dengan laptopnya tanpa menoleh lagi pada Annisa.
Annisa melirik pakaiannya sesaat. Gamis dan kerudungnya memang begitu basah. Bahkan, kaus kaki yang dia pakai sudah basah total. Sepertinya gara-gara menerobos hujan saat hendak memasuki mobil Riski di parkiran kafe tadi. Ditambah lagi, saat turun dari mobil Riski di halaman rumah barusan, dia berlari dibawah guyuran hujan menuju teras.
Annisa kembali menatap Fauzan. "Baiklah. Kalau gitu, aku mandi dan ganti baju dulu, ya." Setelah mengatakan itu, dia lekas berbalik arah dan hendak beranjak menuju meja makan. Namun, baru dua langkah kakinya berderap, tiba-tiba Annisa malah berhenti. "Oh, ya." Dia kembali memutar badan ke arah Fauzan. "Apa Kak Fauzan suka martabak manis?" tanyanya.
Ketika Fauzan telah memberikan atensi padanya, Annisa berujar lagi, "Tadi saat mampir di kafe sama Kayla dan Riski, aku pesan menu martabak manis di kafe itu. Ternyata rasanya sangat enak. Jadi aku pesan lagi untuk bawa pulang. Kak Fauzan harus coba juga. Ini benar-benar enak." Dia terlihat begitu antusias. Bibirnya mengulas senyum sembari menunjukkan bungkusan plastik di tangan. Tanpa menunggu tanggapan Fauzan, Annisa lekas melangkah ke meja makan, meletakkan bungkusan plastik yang dibawanya itu dan berniat membukanya.
"Ganti baju saja dulu. Kamu bisa siapkan martabak itu nanti habis ganti baju," seru Fauzan sambil terus mengikuti gerak-gerik istrinya dengan tatapan.
Annisa yang tadinya sudah begitu semangat hendak membuka bungkusan plastik yang dibawanya dan berniat menyajikan martabak itu untuk sang suami, urung melakukan hal tersebut. Dia menoleh pada Fauzan.
"Kalau nggak segera ganti baju, nanti kamu bisa terserang flu atau demam," ujar Fauzan lagi.
Annisa kembali melirik pakaian yang melekat di badannya. Keningnya berkerut sesaat, memikirkan seruan suaminya. Lalu dia pun mengangguk dengan patuh. "Baiklah. Tunggu sebentar, ya. Nanti akan aku siapkan martabaknya untuk Kak Fauzan selesai mandi dan ganti baju. Kak Fauzan harus coba martabak ini. Rasanya benar-benar enak," ujarnya dengan antusias. Setelah itu, dia pun segera beranjak ke kamar.
Tak lama kemudian, Annisa keluar lagi dengan membawa pakaian ganti dan segala perkakas mandinya. Kini dia beranjak menuju toilet.
Fauzan terus mengikuti langkah Annisa dengan tatapan. Saat wanita itu telah menghilang dari pandangan, dia beralih menatap bungkusan plastik yang dibawa istrinya—yang kini tergeletak di atas meja makan. Bibir Fauzan perlahan melengkung, membentuk senyuman tipis yang menambah pesona di wajahnya. Entah apa yang membuatnya tersenyum. Entah martabak itu atau kepulangan istrinya ke rumah. Mungkin dua-duanya.
***
Selesai mandi dan berganti pakaian di toilet, Annisa beranjak melewati dapur untuk kembali ke ruang tengah dan berniat menghampiri suaminya. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti sebelum sempat melewati pintu yang membatasi dapur dan ruang tengah. Annisa mematung di ambang pintu begitu mendengar percakapan Fauzan dengan seseorang di telepon. Perlahan dia beringsut mundur, menyembunyikan diri di balik dinding dapur agar Fauzan tidak menyadari kalau dia ikut mendengar percakapan itu.
"Enggak, Tante Helena. Aku nggak mikirin lagi soal itu. Aku dan Husna memang nggak berjodoh. Jodohku adalah Annisa. Itulah ketetapan yang udah digariskan Allah untukku. Aku yakin setiap pilihan-Nya pasti yang terbaik. Meskipun jalannya sedikit rumit untuk dipahami."
"Iya, Tante. Aku mengerti. Aku juga nggak ingin menyesalinya. Karena itu aku sangat berhati-hati."
Annisa tergugu di balik dinding dapur. Dia berusaha mencerna setiap kalimat yang diucapkan Fauzan pada lawan bicaranya itu.
Husna?
Rasanya nama itu tidak asing di telinga Annisa. Lalu dia pun teringat nama yang tertera pada lembaran sticky note yang ditemukannya Subuh tadi.
Nadiatul Husna dan Husna. Bukankah dua nama tersebut begitu mirip? Apakah keduanya merupakan orang yang sama? Kalau iya ... itu artinya, lembaran sticky note itu bukanlah sekadar lembaran biasa. Pasti memiliki arti penting bagi Fauzan hingga terus disimpan dalam bukunya sampai saat ini. Apakah Fauzan menyukai wanita bernama Husna itu?
Tadi Fauzan juga menyinggung soal dirinya dan Husna yang tidak berjodoh. Mungkinkah Fauzan pernah mengharapkan wanita itu untuk menjadi istrinya? Lalu apa yang terjadi hingga Fauzan malah menikahi dirinya, bukan wanita bernama Husna itu?
Annisa terus bertanya-tanya dalam hati. Apakah Fauzan belum benar-benar melupakan wanita itu? Apa lelaki itu menyesal telah menikahi dirinya? Apa karena itu Fauzan mengatakan, dia tidak ingin menyesal dan sangat berhati-hati dalam bersikap?
Semua pertanyaan itu berkelebat dalam benak Annisa. Pikirannya pun kini jadi tak menentu. Berbagai kemungkinan yang dia simpulkan sendiri, membuat hatinya terasa kian sesak. Dia merasa ... seakan ada yang retak di sudut hatinya. Ada apa dengannya?
10. Mengulik Masa Lalu
Dia yang kini menjadi pasangan hidupmu, telah menghabiskan bertahun-tahun hidupnya di masa lalu sebelum bertemu denganmu. Banyak hal yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Bisa saja masih ada kenangan yang tersimpan di hatinya hingga detik ini. Maka, siap tidak siap, mau tidak mau, kamu tetap harus menghadapi satu per satu tabir kenyataan tentang masa lalunya yang mungkin baru mulai terbuka.
— Annisa Althaf —
❤❤❤
ANNISA beranjak meninggalkan dapur begitu Fauzan telah selesai bertelepon. Dia menuju ruang tengah dan menghampiri meja makan dengan memasang ekspresi seolah tidak terjadi apa-apa.
Fauzan menoleh begitu menyadari kemunculan Annisa. Dia perhatikan istrinya yang kini telah mengenakan setelan piyama berlengan panjang, serta kerudung instan berbahan jersey—seperti yang biasa dikenakan wanita itu setiap berada di rumah bersamanya. “Cepat sekali mandinya,” ujar Fauzan.
Annisa menanggapinya dengan senyum tipis. Dia mulai membuka bungkusan plastik yang sejak tadi diletakkannya di sana. Sembari mengeluarkan kotak berisi martabak dari bungkusan tersebut, Annisa berseru pelan, "Kak Fauzan."
Fauzan yang tadinya telah kembali fokus memainkan jemarinya pada keyboard laptop, kini berhenti sejenak dan menoleh pada Annisa yang masih berdiri di sisi meja makan dengan posisi membelakanginya.
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Annisa sembari menata martabak yang dibelinya tadi ke dalam piring.
"Mau tanya apa? Tanya saja. Kenapa harus minta izin segala?" ucap Fauzan datar.
Annisa menimbang sejenak. Dia tampak ragu. Namun, sesaat kemudian, dia pun bertanya juga, "Sebelum nikah sama aku ... Kak Fauzan pernah taaruf dengan orang lain?"
Kening Fauzan berkerut tipis mendengar pertanyaan istrinya. "Kenapa tiba-tiba nanya soal itu?"
"Eng ... A-aku ... cuma mau tahu aja." Annisa masih terus membelakangi Fauzan. Dia berusaha tetap terlihat tenang di hadapan lelaki itu, meski hatinya kini sedang tak menentu. Pikirannya masih tertuju pada obrolan Fauzan dengan seseorang di telepon yang tadi sempat dia dengar.
"Pernah," jawab Fauzan. Dan jawaban itu berhasil membuat Annisa menoleh ke arahnya.
Kini Annisa telah memutar badan ke arah Fauzan, menatap lelaki itu dengan raut yang dia coba tampilkan setenang mungkin. "Dengan ... siapa?"
Fauzan merasa heran karena tiba-tiba Annisa begitu ingin tahu soal taarufnya di masa lalu. Namun, dia tetap menjawabnya. "Sekali dengan teman seangkatanku saat kuliah dulu. Kami sama-sama terlibat dalam satu lembaga di kampus. Seorang senior berusaha mentaarufkan kami yang saat itu sama-sama baru diwisuda."
"Terus?" Annisa tampak penasaran mendengar cerita suaminya.
Fauzan mengubah posisi duduk jadi lebih santai dan melanjutkan ceritanya. "Saat sedang dalam proses taaruf, tiba-tiba dia dapat beasiswa untuk lanjut magister di Taiwan. Setelah istikharah berulang kali, akhirnya dia memutuskan untuk fokus sama pendidikannya dulu dan membatalkan taarufnya denganku."
Annisa bergeming sejenak sembari terus menatap Fauzan. "Boleh ... aku tahu siapa namanya?" tanyanya kemudian.
Lagi-lagi Fauzan mengernyit. Pertanyaan Annisa terus membuatnya heran.
"Eng, a-aku ... cuma mau tahu aja. Nggak ada maksud apa pun. Tapi kalau nggak mau dijawab juga nggak apa-apa," ucap Annisa dengan gelagapan. Dia merasa kikuk begitu Fauzan melemparkan tatapan keheranan padanya.
Annisa pun kembali memutar badan dan membelakangi suaminya. Berpura-pura sibuk merapikan letak martabak manis dalam piring di hadapannya. Mulutnya bisa saja mengatakan tidak apa-apa jika Fauzan tidak menjawab pertanyaannya tadi, tapi dalam hati dia berharap, Fauzan tetap menjawabnya. Annisa begitu penasaran akan nama wanita itu. Apakah dia Husna, wanita yang mungkin masih mengisi hati suaminya saat ini?
"Namanya Lubna."
Annisa langsung menoleh begitu Fauzan menjawab pertanyaannya.
"Kejadiannya udah lama sekali. Sekitar sepuluh tahun yang lalu. Aku pun nggak begitu ingat lagi gimana wajahnya. Setelah lulus sarjana, kami nggak pernah ketemu lagi," lanjut Fauzan.
Annisa tak lagi bersuara. Nama yang disebutkan Fauzan bukanlah Husna. Satu kemungkinan yang sempat terpikir dalam benaknya tadi, kini telah terpatahkan. Bukan wanita itu yang ingin dia ketahui ceritanya.
Annisa beranjak menuju sofa sambil membawakan piring berisi martabak manis yang telah ditatanya. Dia duduk di sebelah Fauzan dan menyodorkan martabak itu ke hadapan suaminya. Raut wajahnya masih tampak dipenuhi tanda tanya. "Selain dengan Lubna itu ... dengan siapa lagi Kak Fauzan pernah taaruf?" Annisa kembali mengajukan pertanyaan sembari menatap Fauzan.
Fauzan semakin heran karena tiba-tiba Annisa terus menanyakan soal taarufnya di masa lalu. Tapi kemudian, dia berpikir, mungkin saja Annisa sedang ingin mengetahui cerita masa lalunya—yang memang sudah sepatutnya dia ketahui sebagai seorang istri. Mereka bertaaruf tidak begitu lama. Jadi masih banyak yang belum diketahui Annisa tentangnya. Fauzan pun kembali bercerita. "Saat sedang mengambil magister di Sydney, ada seorang senior asal Indonesia yang berusaha mentaarufkan aku dengan seorang mahasiswi muslim asal Indonesia juga. Namanya Laras."
Nama kedua yang disebutkan Fauzan pun bukan Husna. Lagi-lagi Annisa tidak menemukan jawaban yang dicarinya. Namun, dia tetap penasaran tentang kelanjutan cerita taaruf Fauzan dengan wanita bernama Laras tersebut. "Kenapa Kak Fauzan nggak jadi nikah sama yang namanya Laras itu?" tanyanya kemudian.
"Waktu menjalani proses taaruf, aku menemukan beberapa ketidakcocokan dengannya soal prinsip, pola pikir dan pandangan hidup—yang bikin aku ragu untuk lanjut ke jenjang pernikahan. Aku nggak menghakiminya dan nggak merasa paling benar juga. Sebagai teman, mungkin perbedaan seperti itu biasa. Tapi untuk membina rumah tangga, tentu harus aku pertimbangkan matang-matang.”
“Pernikahan adalah ibadah terpanjang, terlama, dan insya Allah perjalanannya seumur hidup—jika Allah mengizinkan. Kalau dari awal saja udah nggak sejalan, sepertinya akan sulit untuk bekerja sama seumur hidup. Jadi aku terus istikharah, minta petunjuk sama Allah, supaya diberikan keyakinan hati, apakah harus lanjut dengannya atau tidak.”
“Satu minggu setelah itu, tiba-tiba malah dia sendiri yang duluan membatalkan taaruf kami. Ternyata orangtuanya nggak setuju kalau aku yang jadi pasangan hidupnya—karena beberapa alasan yang nggak ingin dia ceritakan, dan dia memilih untuk menuruti mereka. Aku pun menerima keputusan itu dengan lapang dada. Sama sekali nggak marah atau merasa tersinggung. Karena menurut aku, itulah jawaban dari Allah atas segala doa dan istikharahku. Jadi … cuma sampai di situ."
Mendengar cerita Fauzan, Annisa cukup tahu bahwa wanita itu tidaklah mungkin masih memiliki tempat di hati suaminya. Bahkan, mungkin saja memang tidak pernah.
"Begitu balik ke Indonesia setelah menyelesaikan magisterku, seorang Profesor—" Fauzan menghentikan kalimatnya sejenak dan menatap Annisa dengan tatapan yang tidak terbaca. "Eng ... Ada seorang Profesor yang sangat aku hormati, minta aku untuk jadi asisten beliau di kampus tempat dulu aku menyelesaikan sarjana.”
“Beliau adalah dosen yang pernah jadi pembimbing skripsiku. Orangnya sangat baik dan selalu memperlakukan aku seperti anaknya sendiri. Banyak ilmu juga yang aku dapat dari beliau. Jadi nggak mungkin aku menolak tawaran sebagus itu. Bagiku itu adalah kesempatan untuk memperluas wawasan, sekaligus mendapatkan pengalaman baru. Aku pun menerima tawaran itu dan mulai mengajar di kampus lamaku sekitar kurang lebih dua tahun, sebelum ke Jakarta dan membuka klinik hewan yang aku kelola sekarang."
"Selagi mengajar di kampus itu, ada seorang dosen yang berusaha mentaarufkan aku dengan anaknya yang saat itu masih kuliah di kampus itu juga. Namanya Naomi dan dia cukup cantik."
Mendengar Fauzan memuji wanita bernama Naomi itu, entah kenapa, Annisa merasa tidak senang. "Kalau cantik, kenapa Kak Fauzan nggak jadi nikahin dia?" Annisa mengalihkan pandangannya ke arah lain dengan wajah masam.
Fauzan menatap istrinya sejenak. Annisa terlihat seperti wanita yang sedang cemburu. Namun, dia tidak begitu yakin dengan dugaannya itu. "Dia menolak ditaarufkan dengan aku," ujarnya dengan santai. "Aku nggak memenuhi kriterianya mungkin," tambahnya lagi sambil tersenyum lebar.
Annisa kembali menoleh pada Fauzan dan menatapnya dengan raut datar. Dari semua cerita Fauzan, dia tidak mendengar nama Husna disinggung oleh lelaki itu. Apakah dia hanya salah persepsi saja? Mungkinkah Husna memang tidak pernah bertaaruf dengan suaminya … atau Fauzan tidak ingin menceritakan soal wanita itu padanya? Annisa terus menerka-nerka. Dia masih belum menemukan jawaban yang dicarinya.
"Kamu nggak ingin tahu lagi siapa yang selanjutnya bertaaruf dengan aku?" tanya Fauzan kemudian.
"Siapa?" Annisa balik bertanya dengan hati berdebar. Dia merasa gugup menanti jawaban Fauzan. Dia harap, itu bukanlah Husna. Meski Annisa begitu ingin mengetahui tentang wanita itu, tetapi dia terlalu takut mendengar kenyataan yang akan diterimanya.
"Kamulah yang berikutnya," ucap Fauzan sambil menatap lekat ke dalam manik mata Annisa. “Dan ternyata, kamulah yang Allah takdirkan untuk berjodoh dengan aku sampai ke pernikahan,” imbuhnya kemudian sembari tersenyum simpul.
Annisa terdiam mematung. Tatapannya terkunci pada Fauzan. Keduanya saling hening sesaat, hingga akhirnya Annisa memutuskan pandangannya lebih dulu dengan salah tingkah. "Co-cobalah martabaknya. Ini isinya kacang merah. Rasanya sangat enak. Kalau dibiarkan terlalu lama, nanti nggak enak lagi," ujar Annisa dengan gelagapan. Dia sengaja mengalihkan topik untuk mengusir kecanggungan. Digesernya piring berisi martabak yang dibawanya tadi agar lebih dekat ke hadapan suaminya.
Fauzan tidak menanggapi penuturan Annisa. Dia masih bergeming sambil terus memandangi istrinya yang tampak kikuk dan seakan sedang berusaha menghindari tatapannya dengan salah tingkah.
"Kak Fauzan nggak suka martabaknya?" tanya Annisa yang kini telah kembali menatap Fauzan.
Fauzan melirik martabak yang disajikan Annisa untuknya. Lalu kembali menatap wajah bundar wanita itu. Setelah menimbang sejenak, dia pun lekas mencomot potongan martabak tersebut. "Kamu udah susah payah bawain untuk aku, gimana mungkin aku nggak menyukainya?" ucapnya sambil tersenyum tipis dan lekas menggigit potongan martabak itu sembari melirik istrinya. "Hmm ... Kamu benar, ini memang sangat enak," ujar Fauzan sambil mengunyah potongan martabak di mulutnya.
Annisa tersenyum. Dia senang melihat Fauzan memakan martabak yang dibelinya dengan lahap. Ditatapnya wajah lelaki itu dengan lekat. Dalam hati Annisa berpikir, mungkin sebaiknya dia lupakan saja soal wanita bernama Husna itu. Lagi pula, saat ini dirinyalah yang menjadi istri sah Fauzan. Belum tentu juga semua anggapannya tentang Fauzan dan wanita bernama Husna itu benar adanya. Bisa saja dia hanya salah paham.
Annisa mendengus pelan, berusaha mengalihkan pikiran agar tidak lagi terfokus soal wanita bernama Husna itu. "Sepertinya semua makanan di kafe itu memang enak-enak. Tempatnya juga menarik. Cocok buat duduk-duduk santai. Kapan-kapan kalau ada kesempatan, aku ingin datang lagi ke kafe itu. Kalau Kak Fauzan ada waktu, coba datangi juga. Kak Fauzan pasti akan menyukai semua menu yang ada di sana," ujarnya sambil ikut mencomot potongan martabak yang dibelinya itu.
"Bersama kamu?" tanya Fauzan sambil menatap lekat wajah Annisa.
Gerakan mengunyah Annisa seketika terhenti. Dia menoleh pada Fauzan. Lalu tatapannya pun bertemu dengan sepasang netra milik lelaki itu yang juga sedang tertuju padanya. Annisa langsung salah tingkah. Buru-buru dia alihkan pandangannya ke arah lain hingga tertuju pada layar laptop milik Fauzan. "Kak Fauzan lagi ngerjain apa? Masih lanjutin karya tulis yang tadi malam?" tanyanya berusaha mengalihkan topik.
Pandangan Fauzan ikut beralih pada layar laptopnya yang kini sedang dalam mode sleep. Tidak terlihat apa pun di sana selain pantulan bayangannya bersama Annisa. Dalam bayangan itu, dapat dia lihat raut wajah istrinya yang masih tampak kikuk dan salah tingkah. Fauzan pun tak kuasa menahan senyum. "Hm." Dia bergumam pelan sambil mengangguk. "Mau aku selesaikan secepatnya supaya bisa langsung dikirim."
"Apa masih banyak yang perlu ditulis?"
"Lumayan. Ada beberapa bahasan lagi yang mau aku buat. Mungkin sekitar dua puluh halaman lagi."
"Wah! Lumayan juga. Apa perlu aku bantu lagi?" tawar Annisa sambil menatap Fauzan dengan sungguh-sungguh.
"Kamu mau bantu aku?” Fauzan mengangkat kedua alisnya. “Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu mau melakukannya," ujarnya sambil tersenyum senang. "Tapi ini udah hampir azan Magrib, tanggung kalau dilanjutin sekarang. Nanti malam saja dikerjakan lagi. Sebaiknya sekarang kita siap-siap untuk salat Magrib."
Menuruti titah sang suami, Annisa pun mengangguk sambil tersenyum tipis.
Fauzan menutup laptopnya. Lalu bangkit dari sofa, hendak beranjak ke toilet. Sementara Annisa memilih untuk bertahan di sana sejenak sembari menilik buku-buku milik Fauzan yang masih berserakan di atas meja tamu. Annisa mengambil salah satu buku yang ada di hadapannya dan melihat-lihat isinya sekilas. Saat sedang membuka salah satu halaman buku itu, dia dapati dua lembar tiket yang terselip di sana. Diraihnya lembaran tiket tersebut dan dipandanginya lamat-lamat. "Ini ... tiket apa?" tanya Annisa dengan raut bingung.
Langkah Fauzan yang belum terlalu jauh dari sofa langsung terhenti begitu mendengar pertanyaan istrinya. Dalam hitungan detik dia berbalik menghadap ke arah Annisa. Napasnya tercekat begitu melihat lembaran tiket yang telah dia simpan rapi kini berada di tangan wanita itu. "Eng, i-itu ...."
"Tiket bioskop?" Annisa mengerutkan kening sambil terus mengamati lembaran tiket di tangannya.
Fauzan semakin gelagapan. "I-iya. Itu ... Eng ...."
"Tunggu. Ini ... bukankah filmnya tayang tadi siang?" Annisa beralih menatap Fauzan dan menanti jawaban lelaki itu dengan keheranan.
Fauzan jadi semakin gugup dan kebingungan. "Eng ... I-iya. Itu ... mi-milik Jenny. Kamu tahu Jenny, kan? Oh, aku belum pernah cerita soal pegawaiku sama kamu, ya? Jenny itu asisten aku di klinik. Kapan-kapan akan aku kenalin saat kamu punya kesempatan untuk datang ke klinik. Sepertinya tiket itu nggak sengaja terselip di sana. Pasti Jenny lupa ambil." Fauzan bercerocos panjang lebar sambil tertawa garing dan bertingkah aneh. Hal itu membuat Annisa semakin heran dan terus menatapnya dengan alis tertaut.
Tiba-tiba terdengar azan Magrib berkumandang. Fauzan merasa terselamatkan. "U-udah azan. Aku akan wudu duluan supaya nggak telat ke Masjid," ucapnya dengan gelagapan. Lalu bergegas menuju toilet, meninggalkan Annisa yang masih menatapnya dengan keheranan.
***
Pagi-pagi Annisa telah rapi dengan gamis polos berwarna hijau lumut, dipadu kerudung hitam yang terulur hingga menutupi punggung dan dada, juga sepasang handsock dan kaus kaki untuk menutupi auratnya dengan sempurna. Usai menyandang ransel kecilnya di bahu, Annisa keluar dari kamar untuk menunggu jemputan Riski—yang setelahnya akan sama-sama menjemput Kayla juga. Hari ini mereka akan mengunjungi Dinas Perdagangan untuk melakukan survei lanjutan, seperti yang telah mereka rencanakan sebelumnya.
Duduk di sofa ruang tengah, Annisa melirik sekilas jam dinding. Sudah pukul 06.10 WIB. Sesuai janji, Riski akan menjemputnya pukul 06.30 WIB. Masih dua puluh menit lagi. Sepertinya dia terlalu cepat bersiap.
Pandangan Annisa beralih pada pintu bernuansa putih di sisi kiri ruang tengah. Fauzan belum terlihat keluar dari kamar itu sejak kembali dari Masjid Subuh tadi. Makanan yang telah dia sajikan di meja makan pun belum tersentuh sama sekali. Annisa sendiri tidak sarapan karena sedang berpuasa sunnah kamis dan telah mendapat izin dari suaminya tadi malam.
Annisa merasa heran. Tidak biasanya Fauzan terus berada di kamar pagi-pagi begini. Terlebih lelaki itu menutup rapat pintu kamarnya. Biasanya jam segini Fauzan sudah rapi dengan pakaian kerja dan bersiap untuk sarapan. Tiba-tiba Annisa merasa gelisah. Apakah terjadi sesuatu pada Fauzan?
Bangkit dari sofa, Annisa beranjak mendekati pintu kamar suaminya dan mengetuk dengan ragu-ragu. "Kak Fauzan!" serunya. Namun, dia tidak mendapatkan jawaban.
"Kak Fauzan nggak ke klinik hari ini?" tanya Annisa sambil terus berdiri di depan pintu.
Lama tak terdengar jawaban, Annisa pun kembali mengetuk. "Apa Kak Fauzan di dalam?" tanyanya lagi. Dan masih tak ada jawaban.
Perasaan Annisa semakin cemas. Dengan ragu-ragu dia pun meraih handle pintu dan menariknya perlahan. Begitu pintu terbuka, seketika Annisa terperanjat melihat kondisi suaminya di dalam. "Kak Fauzan?"
___________________________________
Apa kira-kira yang terjadi pada Fauzan?
Ada yang bisa nebak? Hehee
Terima kasih sudah mengunjungi karyaku.
See u next chapter 😊
— Zazadaisilova —

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
