The Syndrome: Diperkosa Setan (BAG 4: GUBUK REYOT)

2
0
Deskripsi

Seperginya Radit dari kelab, pria bertubuh tinggi lagi besar dengan setelan hitam dan pantofel yang mengilap menatapnya dari lantai atas, tepatnya dari sebuah ruangan khusus manajemen. Mata kuning setajam elang itu mengekori Radit. Dia merogoh saku, lalu mengeluarkan sebuah benda: GPS Tracker. Satu sudut bibirnya tertarik ke kanan.

Radit kalang kabut mencari keberadaan modelnya yang paling cantik dan selalu bisa diandalkan. Tiga hari sudah dia berusaha mencari Sintia, tapi tak kunjung dia temukan. Beberapa hari yang lalu, Sintia menagih pekerjaan padanya. Namun, Radit berkata bahwa jadwalnya masih padat dengan beberapa model lain. Lagi pula, dia juga sedang mencari talenta baru, sehingga itulah Sintia untuk sementara waktu dia biarkan menganggur. Sepertinya lelaki itu berubah pikiran soal mencari talenta baru. Sintia jauh lebih bisa diandalkan karena sudah termasuk model yang profesional dan mempunyai cukup banyak penggemar.

Tak perlu diragukan lagi kecantikan dan paras wanita tersebut. Kedua bola mata cokelatnya yang berbinar layaknya bintang-bintang memenuhi langit malam yang gelap, tak seorang lelaki pun bisa berpaling dari fantasi untuk memilikinya. Apalagi ketika bibir ranum yang selalu dihiasi lipstik merah menyala, sumpah mati para lelaki hidung belang akan selalu berakhir dalam mimpi yang tak berujung. Sebetulnya, tak hanya itu, dan yang paling memabukkan darinya ialah ketika senyumannya merekah seperti kuncup bunga mekar di pagi hari. Pada saat itu terjadi, para istri akan selalu mengurung suami mereka dan menutup mata dengan kain tebal pula agar tak terlalu menatap wanita itu. Sungguh, tak satu laki-laki pun dapat berpaling dari mimpi buruk setelah melihatnya. Mereka akan memendam hasrat liar, juga terpuruk dalam angan-angan pada kenyataan tak bisa memilikinya.

Radit mencari Sintia di perumahan tempat wanita itu tinggal, tetapi tak selalu berhasil menemukannya. Bahkan para tetangga tidak tahu ke mana perginya wanita itu, juga tidak pernah melihat rumah Sintia terbuka pintunya. Sebagaimana yang Radit tahu, Sintia menyukai kelab malam. Dia pun tahu kelab mana yang kerap menjadi langganan wanita tersebut.

Marina Cafe & Bar yang terletak di utara kota. Malamnya, lelaki dengan kumis tipis dan sedikit berewokan itu mengunjungi kelab. Dia mondar-mandir di dalam, lalu berdiri di pintu masuk yang pada saat itu para pengunjung ramai berdatangan. Tak menemukan sesuatu, lantas Radit menuju lantai dua. Banyak wanita berpakaian mirip seperti Sintia, tetapi tentu mereka bukan wanita itu.

"Permisi. Apa kalian pernah ngelihat cewek yang lebih tinggi dari gue, terus matanya sipit, kulitnya putih, rambut panjang sepunggung, dan mukanya agak tirus? Pokoknya dia itu cukup digemari para cowok di kelab ini."

Para wanita di meja itu menatap Radit sambil mengernyit. Seolah-olah, salah satu dari mereka mengetahui perempuan yang sedang dia cari.

"Nggak ada. Kayaknya kita nggak pernah lihat cewek yang ciri-cirinya gitu, deh. Ya, kan?" kata salah satunya sambil mencari persetujuan teman-temannya yang lain. Semuanya membenarkan, tetapi satu di antaranya langsung mengangkat tangan setinggi kepala.

"Maksud lo Sintia, ya?"

Radit semringah. Dia berharap banyak pada perempuan dengan bibir merah merekah tersebut. Lagi pula, jika dia tahu nama Sintia, pasti dia juga mengenalnya. Setidak-tidaknya itu yang ada di pikiran Radit. Dia begitu ingin menghentikan pencarian jika sudah tak bisa lagi menemukan keberadaan wanita itu.

"Iya, benar. Lo kenal Sintia? Dan sekarang kira-kira lo tahu nggak dia ada di mana?"

Wanita itu terlihat berpikir. Bola mata berputar-putar, menerawang ingatan yang sebenarnya tidak terkubur terlalu dalam. Dia punya ingatan yang samar-samar mengenai Sintia karena malam itu dia juga sedang mabuk berat.

"Kayaknya terakhir gue ketemu sama Sintia itu tiga hari yang lalu, deh. Kalau nggak salah, sih. Terus dia tumben banget pulang cepet. Jam tiga udah pulang. Pas gue tanya, dia bilang kepalanya sakit. Jadi, gue biarin aja, gitu," jelasnya.

"Dan sekarang lo nggak tahu dia di mana?" Radit berharap banyak dengan jawaban dari pertanyaan terakhirnya itu.

Sambil menggeleng pelan, wanita itu berkata, "Maaf, gue sama sekali nggak tahu."

Pupus sudah harapan Radit. Kesimpulan terakhir yang bisa dia pikirkan adalah bahwa Sintia telah pulang ke kampung halamannya. Lagi pula, ketika meminta pekerjaan, Sintia juga pernah berkata butuh uang untuk dikirim ke kampung agar adiknya bisa kembali berkuliah setelah melunasi biaya SPP. Kemungkinan besar Sintia mencari pekerjaan lain dan menanggalkan harapan menunggu kabar Radit tentang jadwal pemotretannya yang baru.

"Makasih, ya. Kalau gitu, gue cabut dulu."

Seperginya Radit dari kelab, pria bertubuh tinggi lagi besar dengan setelan hitam dan pantofel yang mengilap menatapnya dari lantai atas, tepatnya dari sebuah ruangan khusus manajemen. Mata kuning setajam elang itu mengekori Radit. Dia merogoh saku, lalu mengeluarkan sebuah benda: GPS Tracker. Satu sudut bibirnya tertarik ke kanan.

-II-

Entah berapa lama waktu berlalu. Sintia mengerjap-ngerjap, lalu mulai bangkit sambil meregangkan tangan serta leher yang seolah-olah terasa kaku. Dia baru sadar telah bebas dari belenggu. Tak ingin membuang-buang waktu, cepat-cepat dia berlari keluar dari gubuk kumuh dan entah pergi ke mana. Tak mungkin hutan itu tanpa ujung, dia pasti bisa keluar hingga bebas dan bisa kembali menghirup udara segar sambil menjalani kehidupan normal seperti biasa. Setidaknya, harapan di dalam angan belum ia tanggalkan karena jiwanya terus membara.

Cabang pohon dan ranting kerap kali membuat kaki Sintia tersandung dan menggelepar. Sesekali, dia terpelanting akibat batu yang bersembunyi di semak belukar, dan Sintia menabraknya membuat kakinya tampak lebam dan bengkak. Namun, itu tak membuatnya menyerah meskipun terluka di lutut dan kepala. Apa pun itu, yang penting dia tak keburu mati di tempat tersebut. Karena dia masih ingin hidup lebih lama lagi, setidaknya untuk berusaha menghapus catatan dosa di buku para malaikat. Dan tekad itu telah ada di dalam dirinya, seperti bibit yang begitu unggul, tumbuh dengan sangat cepat.

Sintia mendadak berhenti saat melihat sebuah cahaya remang-remang dari celah-celah pepohonan yang berderet tak teratur dengan ketinggian yang berbeda-beda belaka. Dia berpikir semestinya hutan itu tidak ditinggali siapa pun; dugaannya salah besar setelah melihat cahaya kehidupan di sana. Tebakannya bisa benar, pun bisa salah. Atau dia hanya sedang berhalusinasi karena pikirannya tertekan oleh segala hal misterius. Yang jauh lebih penting daripada memikirkan halusinasi atau bukan: Sintia harus segera mencari tempat persembunyian. Atau jika tidak, lelaki misterius sialan tanpa perasaan itu bisa menyiksanya tanpa ampun.

"Nggak ada salahnya aku ke sana," batin wanita itu. Dia berjalan terpincang-pincang. Padahal hutan sangat gelap, tetapi matanya lambat laun menjadi terbiasa.

Sesungguhnya, dia sudah terbiasa dengan gelap, tetapi tidak dengan langkah kaki yang senantiasa tak mengenal gelap ataupun terang. Buta arah dan terlalu buru-buru sehingga memperhatikan sekitar pun jadi agak sembrono. Sintia tersaruk sebuah batu dan itu sudah menjadi ke sekian kalinya terjadi. Tak dapat menahan keseimbangan, dia tergeletak, dan mesti melawan tenaga dari tarikan lumpur hidup.

"Aaw! Sialan!"

Sintia ditenggelamkan rawa-rawa, membuatnya berteriak dengan napas tertahan. Sebisa mungkin dia menahan jerit yang senantiasa memecah kesunyian. Dia berjalan di rawa meski tubuhnya perlahan terbenam makin dalam.

"Aku nggak boleh nyerah. Aku nggak boleh nyerah! Laki-laki sialan itu … aku harus kabur dari dia."

Karena memang hanya kekuatan Tuhan yang bisa menyelamatkan manusia dari kesulitan apa pun, Sintia berusaha percaya. Dia berusaha memupuk keyakinan. Jika tidak berusaha menahan semua kesengsaraan itu, maka artinya dia lebih memilih mati sebagai akhir dari perjuangan mempertahankan hidup yang nyaris di ambang kehancuran.

Berjuang mati-matian dengan tetes keringat penghabisan, Sintia berhasil tiba di tanah keras yang mampu menahan pijakannya. Dia meraih batang pohon, lalu berpegangan di sana agar tidak roboh. Napasnya menderu, bintik-bintik keringat menghiasi wajah, bercucuran di sana-sini, serta lumpur menutupi tubuhnya hingga leher. Jikalau ada lelaki melintas, memangnya dia akan tergoda dengan Sintia setelah melihat wajah kumal dan mencium bau busuknya yang menyengat seolah tahi itu? Mungkin tidak, tetapi jika tak ada pilihan mungkin jawabannya "ya". Namun, bukan itu yang penting. Sintia menyingkirkan pikiran-pikiran konyol itu, kemudian segera melanjutkan perjalanan.

"Gubuk?"

Cukup terkesiap dirinya melihat sebuah gubuk yang benar-benar kumal, mirip seperti yang dia tempati—tempatnya disiksa dan diperkosa habis-habisan oleh setan berwujud manusia. Mulai dari ukuran, bentuk, dan tingkat kelusuhan; benar-benar persis. Tugas Sintia bertambah seiring bertambahnya pertanyaan di kepala. Kendati demikian, dia tidak mau buang-buang waktu, setidaknya dia bisa meminta bantuan pada orang yang ada di dalam rumah lusuh itu. Itu pun jika benar ada manusia di sana. Bagaimana kalau hanya ada iblis atau sebongkah mayat atau orang jahat yang lebih iblis dari lelaki misterius di sana?

Sintia berjalan tersendat-sendat, seolah mobil kehabisan bahan bakar. Sebenarnya tidak bisa dimungkiri bahwa degup jantungnya tengah berdentum secepat genderang perang ditabuh. Berkali-kali dia menelan saliva, dan semua itu seperti menelan ketakutan sendiri yang tak pasti ada ujungnya.

Sintia mulai ragu. Hanya ada satu rumah. Jika memang itu adalah pemukiman, di mana rumah-rumah yang lain? Setidaknya itu pertanyaannya dalam hati. Tak ada pilihan lain. Rasa penasaran juga telah menerobos masuk membanjiri benaknya. Tanpa pikir panjang, dia kembali mempercepat langkah dengan terus menekan rasa sakit di luka yang menganga pada lutut.

Dia menoleh ke kiri dan kanan; hanya ada kegelapan. Cahaya remang-remang hanya dihasilkan dari bohlam lampu yang terpasang di depan pintu gubuk. Untungnya, hal itu cukup membuat gubuk tampak meyakinkan.

Sebelum mulai memutar kenop pintu kayu yang terlihat lapuk, pun digerogoti teter dan kumbang kayu, dia mengambil napas sedalam mungkin. Sintia harus siap dengan apa pun yang akan ditemuinya setelah membuka pintu tersebut.

"Semoga ada orang di dalam," katanya, mencoba meyakinkan diri.

Sintia sudah menguatkan keyakinan. Tak lama kemudian, dia memutar kenop pintu. Lebah-lebah dan kelelawar menghambur keluar setelah pintu membuka. Sintia melejit menahan jerit. Dia mengelus dada setelah mengetahui hanya serangga dan kelelawar yang terjebak di dalam gubuk.

Dia berjalan amat pelan. Mungkin saat itu telapak kakinya menginjak benda tajam sehingga membuatnya menahan jerit sambil membekap mulut. Langkahnya terus berlanjut hingga menemukan sebuah ruangan tak berpintu. Dia sungguh merasa deja vu dengan keadaan di dalam rumah kecil yang dipenuhi sampah-sampah perabotan itu.

Ada sesuatu mengerang, asalnya dari ruangan tak berpintu di depan sana; gulita. Meski belum mengetahui ada apa di ruangan tersebut, Sintia yakin itu adalah suara makhluk hidup yang entah dia juga tak tahu apakah iblis, setan, demit, atau bahkan hewan buas yang jauh lebih mengancam nyawa. Beberapa detik kemudian berganti menjadi suara ringis yang tertahan. Wanita itu kalang kabut, tak akan terobati rasa penasarannya jika tidak memastikan masuk ke ruangan itu.

Apa di dalam sana? batinnya sambil menelan ludah kasar.

Saat akan masuk ke ruangan, Sintia mendengar derap langkah yang bersumber dari luar gubuk. Dia membelalak sambil menoleh ke belakang. Dia bergegas pergi, tetapi saat kembali memosisikan pandangan ke depan, sesosok makhluk berpakaian serba putih dengan rambut panjang kusut menutupi wajah, tampak di kedua mata sipitnya. Degup jantung dan aliran darah Sintia seolah berhenti. Napasnya tertahan di tenggorokan, apalagi suaranya; bungkam.

"Tolong ... saya."

Wanita berpakaian serba putih itu tersenyum getir. Bulir-bulir bening runtuh menitik.

"Kamu ... siapa?"

-II-

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Syndrome: Diperkosa Setan (BAG 5: LELAKI BERHATI IBLIS)
5
2
Binar mata wanita itu penuh harap. Dapat Sintia pahami sebagai harapan untuk sebuah keselamatan. Dia tahu seperti apa rasanya dibelenggu. Memang tak sakit, tapi lama-lama bikin orang jadi dungu.Tolong aku. Parau suara wanita itu meminta pertolongan. Sintia menahan kesedihan yang didorong empati dengan tingkat paling tinggi. Wanita berpakaian putih memelas seolah telah begitu lama terjebak di dalam gubuk.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan