
Deskripsi
Part 1
"Aku sudah lelah mengurus Abang. Tidakkah Abang kasihan melihatku dan anak-anak?" Kudengar keluhan Ibu dari ambang pintu.
"Maafkan Abang, Risma. Abang memang laki-laki yang tidak berguna." Ayah menjawab dengan lirih.
"Kalau Abang sadar, seharusnya Abang tahu diri dan tidak lagi menyusahkan kami."
Suara tangis Ibu terdengar bahkan sampai ke halaman depan. Tidakkah dia malu bila didengar tetangga yang jaraknya tidak sampai satu jengkal baik di sebelah kiri dan sebelah kanan?
Aku hanya tertunduk...
53,817 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
MENCINTAI ABANG ANGKAT (TAMAT)
23
8
Part 1Bos baru. Bos baru, ucap mereka dengan setengah berbisik. Saling menyenggol dengan siku masing-masing. Penasaran, setampan apa wajah putra pemilik salah satu tempat makan ternama di kota Medan tempatku bekerja. Kabarnya dia akan menggantikan posisi Pak Ginting yang sekarang dipindahkan ke cabang lain.Kami semua melakukan aktivitas sedari pukul setengah delapan. Sementara jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Bu Rini memberi aba-aba agar kami menghentikan aktivitas sejenak.Wanita setengah baya bertubuh tambun itu mengisyaratkan agar semua berkumpul di depan pintu masuk, tempat biasanya kami melakukan breafing.Tak berselang lama masuk beberapa orang. Dua di antaranya sudah sering kulihat. Supir Bu Sam, pemilik perusahaan besar ini yang sesekali datang untuk memantau kinerja karyawan. Sementara yang satunya lagi adalah kak Juli, asisten pribadi sang Pemilik.Seperti sebelumnya-sebelumnya, wanita berdarah tionghoa itu mengumumkan sesuatu.Selamat pagi semuanya. Tentunya semua sudah pada dengar ya, kalau Pak Ginting sekarang sudah dimutilasi, eh mutasi ke cabang Citra Garden, ucapnya dengan sedikit candaan. Jadi sekarang, Bapak ganteng yang ada di samping saya ini akan menggantikan posisi beliau sebagai atasan kalian yang baru.Semua mata memandang ke arah laki-laki di sebelahnya. Tak terkecuali aku yang memang membenarkan perkataan Kak Juli tadi. Dia memang tampan.Selamat pagi semuanya. Senang bisa bekerja sama. Saya Hanan Maliki Said.Deg!Jantungku seketika terasa sakit. Napasku terasa sesak. Aku memegangi dadaku yang seperti diremas. Nama itu, nama yang selama ini tersimpan rapat dalam hatiku. Nama, yang bahkan pemiliknya aku tak tahu bagaimana nasibnya. Masih hidup, ataukah sudah mati.Tapi bukan. Tentu saja bukan orang itu. Wajah itu bukan wajah laki-laki yang selama ini aku pikirkan. Walau kisah itu sudah terjadi belasan tahun yang lalu, tapi aku ingat betul ada tanda lahir di bawah mata sebelah kirinya.Mungkin itu hanya sebuah nama. Banyak orang yang memiliki nama seperti itu. Tapi kenapa bisa sama persis. Kutepiskan semua dugaan tak mendasar itu. Laki-laki itu berbeda. Dia bukan orang itu.Pak Hannan udah punya pacar belum? celetuk Vera tanpa rasa segan. Sontak anak anak yang lain ikut bersorak.Huuu... modus.Hati-hati pak. Buaya itu.Laki-laki itu tertawa kecil melihat tingkah mereka yang tidak canggung dan mudah akrab. Sesaat dia melirik dan menangkap mataku yang dari tadi terpaku diam menatap ke arahnya. Aku salah tingkah dan langsung tertunduk tak berani menatap lagi.Jangan panggil Hannan. Panggil saja Malik.Deg!Gemuruh di dada kian bergetar. Apa lagi ini? Orang itu adalah, Bang Malik? Bang Malik yang selama ini aku cari, bahkan dalam mimpi sekali pun? Aku terkulai lemas. Firasat apa ini? Aku seperti terbawa pada kenangan belasan tahun yang lalu.Kenapa kau, Cha? Kok pucat kali kutengok. sapa Oji dengan logat khas Medannya.Nggak papa, Ji, sahutkuWe, tengok dulu si Chaca ni. Pucat kali mukaknya. Oji seperti memberi pengumuman. Sontak aku menjadi perhatian.
'Dasar Oji bocor!' Aku mengumpat dalam hati.Perhatian itu juga tak luput darinya. Pria bertubuh atletis itu ikut menoleh.
Kamu sakit? ucapnya, seperti memberi perhatian.Darah ini kembali berdesir.
.
Sejenak aku terdiam, kemudian menggeleng pelan.Saya nggak papa Pak, sahutku.Acara perkenalan sudah selesai. Semua kembali pada aktivitas masing-masing. Pak Malik menempati ruangan tersendiri yang masih menyatu dengan dapur yang super besar ini.Sesekali kulirik dia di balik ruangan yang bersekat kaca tersebut sehingga terlihat semua kegiatan dari luar.Entah kenapa firasatku mengatakan, kalau orang itu adalah Bang Malik. Kakak laki-lakiku yang terpisah dariku belasan tahun yang lalu.******Aku, Clarissa Sayyida. Orang-orang biasanya memanggilku Chaca. Aku suka nama itu. Nama yang disematkan oleh seseorang. Dia bilang karena aku terlihat manis dan imut.Ya, namanya Hannan Maliki Said. Aku memanggilnya Bang Malik. Aku dan dia tumbuh bersama di sebuah panti asuhan yang terletak jauh dari kota Medan.Aku dan Bang Malik begitu dekat. Ia begitu menjaga dan menyayangiku seperti adik kandungnya sendiri. Setiap hari dia berencana membawaku pergi dari panti asuhan ini. Panti asuhan yang orang-orang berada di dalamnya selalu menyiksa kami.Tak jarang mereka juga mengurung dan tak memberi kami makan dengan alasan menghukum anak yang melanggar aturan. Panti asuhan itu hanya sebuah kedok untuk mencari donatur kaya dan menghasilkan uang dari mereka. Uang-uang yang diterima dari para donatur hanya dipakai untuk kepentingan pribadi pemilik panti dan para pengikutnya saja.Sementara anak-anak banyak yang terlantar tanpa bisa menikmati fasilitas yang seharusnya diterima.Suatu malam, Malik membuka pintu gudang yang ada di belakang bangunan. Aku yang sedari tadi siang terkurung langsung menangis melihatnya datang. Malik berlari mendekat dan langsung memelukku.Diusapnya pipiku yang memar akibat tamparan pengurus panti. Bekas darah masih membekas di sudut bibirku.Ayo kita pergi dari sini! Bang Malik menarik tanganku dengan menggendong tas ransel yang terisi penuh. Kami akan melarikan diri malam ini.Kita mau kemana, Bang? tanyaku penuh ketakutan.Kemana saja, asal bukan di neraka ini, sahutnya dengan menahan emosi.Udah malam Bang, Chaca takut, keluhku, sambil memegangi erat lengan dan berjalan cepat mengikuti langkahnya.Kami menyusuri jalanan sepi. Jalan yang hanya dilewati beberapa pengendara saja. Kami bergegas hendak keluar dari wilayah panti yang memang sengaja dibangun di daerah perkebunan kelapa sawit yang jauh dari pemukiman warga.Setelah berjalan kaki hingga berpuluh-puluh kilometer, akhirnya kami sampai juga ke jalan besar.Aku terduduk lemas saat Bang Malik mengajakku singgah ke sebuah warung yang masih buka pada saat itu.Ia memesan dua porsi makanan dan minuman apa pun yang ada di situ. Dia bahkan tidak tau apa yang dijual si pemilik warung karena sebelumnya kami tidak pernah keluar dari daerah panti.Dia hanya bilang, berikan kami makanan karena adiknya sangat lapar.Tak lama Ibu penjaga warung datang dengan dua mangkuk mie instant yang direbus dengan telur dan sawi hijau. Aku dan Bang Malik makan dengan lahapnya, tak lupa kami menyeruput teh manis hangat yang datang belakangan.Kalian mau ke mana malam-malam begini? tanya penjaga warung setelah kami selesai dengan aksi kami tadi.Malik mengusap mulutnya yang berminyak, bekas mie instant tadi dengan punggung tangan.Medan, jawabnya singkat.Aku langsung menoleh ke arahnya. Menarik lengan bajunya lalu setengah berbisik.Kita tidak punya uang, Bang.Malik mengusap lembut rambutku, berusaha menenangkan.Chaca tenang aja. Pokoknya kita pergi jauh dari tempat ini.Bang Malik merogoh tas ransel yang tadi dibawanya. Dikeluarkannya selembar uang dari dalam sana dan memberikan kepada penjaga warung untuk membayar apa yang kami makan.Aku terkejut, bagaimana Bang Malik bisa memperoleh uang tersebut. Seumur-umur kami tidak pernah dibiarkan memegang uang sepeser pun.Bahkan saat ada donatur panti yang memberi kami amplop berisi uang, selalu dipungut kembali atas perintah kepala panti.Ibu pemilik warung menolak uang yang disodorkan Bang Malik.Simpan saja buat bekal kalian, ujarnya.
Jam empat subuh nanti ada truk yang akan melintas ke arah Medan. Aku akan bilang sama supirnya untuk turut serta membawa kalian. Ini masih jam satu malam. Bawalah adikmu ke dalam dan beristirahatlah dulu.Kulihat mata Bang Malik berkaca-kaca menatap ibu penjaga warung. Dia sangat berterima kasih dan membawaku pergi untuk beristirahat.******Aku tersentak ketika Bang Malik menggoyang-goyangkan badanku.Bangun, Cha. Truk sudah mau berangkat.Aku membuka mata dengan perlahan. Rupanya aku tadi tertidur pulas karena kelelahan hingga tidak terasa sudah jam empat subuh.Bang Malik meraih tanganku dan kembali menggendong ranselnya yang penuh sesak itu. Warung yang kami singgahi itu ternyata buka selama dua puluh empat jam sebagai tempat persinggahan truk-truk muatan yang singgah, atau sekedar melintas.Hari ini truk dari Pekan Baru yang bermuatan pupuk, akan melintasi Medan menuju Banda Aceh. Ibu pemilik warung sudah menitipkan kami kepada supir yang sudah lama dikenalnya.Hati-hatilah di jalan. Semoga kalian selamat sampai di tujuan. Jaga baik-baik adikmu itu. Pesan ibu penjaga warung, sambil memberikan kami bungkusan untuk bekal di jalan.Truk melaju dengan kencang, membawa sejuta angan, yang kini bermain-main di dalam pikiran kami.Aku dan Bang Malik saling menatap sambil melempar senyum, berharap ada kehidupan yang lebih baik menunggu di sana.*******Medan 2019Aku melupakan semua firasatku tentang Pak Malik. Meyakinkan hati, bahwa dia adalah orang yang berbeda. Malik sudah mati walaupun aku tidak sepenuhnya yakin.Masih terlintas sekelabat ingatan saat para preman itu memukuli Bang Malik habis-habisan. Wajahnya basah tertutupi darah.Tubuh nya tersungkur tak berdaya. Lalu lengan besar dan kuat itu memikul tubuhku yang meronta-ronta menjauhi tubuh Bang Malik yang tak bergerak.Ngelamun aja woi, kesambet baru tau. Sebuah tepukan di pundak menyadarkanku dari lamunan. Masih kepikiran sama yang namanya Malik? tanya Aira, pemilik rumah tempatku menumpang.Nggak lah, beda. Yang ini lebih ganteng, jawabku santai.Emang bener, dia anak Bos kamu? Bukannya kemarin kamu bilang anaknya jauh lebih muda?Ya, aku juga heran. Kayaknya baru kemarin mereka ngadain pesta anaknya yang kuliah ke luar negeri. Tau-tau udah jadi bos aja. Aku dan Aira cekikikan.Bisa aja kan, kalau Bos kamu itu punya anak yang lain. Mana tau suaminya juga punya simpanan. Aira mengoceh semakin tak karuan.Nyari temen? sindirku pelan.Aira terkekeh dengan ucapanku.Eh, Cha, ntar malam kamu cabut dulu ya. Mas Harris lagi ada di Medan. Dia mau datang malam ini, ujarnya tanpa bisa dibantah.Aku dan Aira sudah lama saling mengenal. Dulu kami bekerja di sebuah club malam sebagai pelayan pengantar minuman.Aira adalah seorang yang ramah tamah dan mudah beradaptasi dengan tamu-tamu yang baru dikenalnya. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang seksi mampu menggoda para tamu lelaki untuk tidak segan-segan memberikan uang tips yang banyak.Tak jarang dia juga mau menemani para tamu untuk minum-minum. Hingga pada suatu hari ada lelaki paruh baya yang sangat tertarik pada kecantikannya.Aira selalu dimanja dengan segala kemewahan. Hingga suatu hari dia membuat keputusan untuk bersedia menjadi istri simpanan lelaki setengah tua tersebut.Hidupnya kini berkecukupan, tak perlu repot-repot lagi bekerja di club tersebut. Bahkan kini dia tinggal di sebuah rumah bergaya khas Belanda di kawasan elite, kota Medan.Aira pun mengajakku untuk tinggal bersamanya tanpa harus membayar, karena paling hanya sebulan sekali suami sirinya itu datang untuk menjenguk.Tapi tentu saja dengan satu syarat, kapan pun dan jam berapa pun laki-laki itu datang, aku harus segera angkat kaki dari rumah. Termasuk malam ini, seperti yang dia katakan barusan.Ah Aira, jalan hidup kita memang tidak ada yang tau. Dia mungkin belum sadar dengan perbuatannya. Betapa tidak, apa yang dia jalani saat ini pastilah menghancurkan hati wanita lain yang ada di suatu tempat.Iya, iya. Aku akan pergi dan menginap di kost annya Vera. Selamat bersenang-senang, ujarku, seraya bangkit dan bersiap-siap.
******Menjelang malam, aku keluar dari rumah. Berjalan kaki sampai keluar dari kompleks perumahan. Memasuki minimarket yang masih satu kawasan, untuk membeli makanan ringan sebagai buah tangan agar Vera menyambutku dengan rasa suka cita.Aku menenteng sekantong plastik camilan keluar dari minimarket. Mengeluarkan ponsel, bermaksud hendak memesan ojek online. Tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.Jambret..., jambret....Aku menoleh ke arah belakang, seseorang berlari kencang menuju ke arahku. Dengan sigap kujegal kakinya.Laki-laki itu jatuh tersungkur dengan wajah menghadap ke aspal jalan. Kuayunkan tasku ke arah kepalanya. Memukulnya berkali-kali sambil berteriak agar yang lain segera datang menolong.Tak lama orang-orang datang berkerumun, ikut mengeroyok jambret tersebut. Ada yang menedang, bahkan ada juga Ibu-Ibu yang ikut menjambak dan menarik telinganya.Aku keluar dari kerumunan massa sambil menepuk-nepukkan debu di tangan dengan bangga. Aku merasa seperti superhero malam ini. Mereka semua pasti akan berterima kasih padaku.Kulihat Ibu-Ibu yang tadi teriak jambret sibuk celingak-celinguk seperti orang bingung. Dengan percaya diri aku menghampiri. Berharap matanya akan berbinar-binar sembari mengucapkan terima kasih.Ibu nggak papa, kan? Jambretnya udah ketangkep. Tuh, udah diamankan sama sekuriti. Aku melaporkan kejadian.Bukan, Dek. Jambretnya naik sepeda motor, sahutnya, sedikit ngos-ngosan karena usianya yang hampir tua.Sontak aku terdiam. Ibu tadi melongos meninggalkanku dengan wajah tak bersalah. Kerumunan pada bubar setelah Ibu itu memberi penjelasan. Sekuriti melepaskan dan meminta maaf pada laki-laki itu.'Memalukan sekali,' umpatku dalam hati.Aku memungut kembali camilan yang berserakan, melangkah pergi.Heh! pekik seseorang dari arah belakang.Mampus! Itu pasti laki-laki yang tadi aku pukuli habis-habisan. Aku mempercepat langkah untuk menghindari masalah. Tapi tiba-tiba kerah bajuku ditarik dari belakang.Mau kabur kemana, ha?Aku berusaha melepaskan cengkramannya. Ketika berbalik, aku terpaku saat wajah kami saling bertemu dan menatap satu sama lainKamu?Pak Malik? Pak Malik melepaskan cengkramannya. Tamat sudah riwayatku kali ini. Kalau tidak membusuk di penjara, pastilah keluarga besarnya akan segera memecatku tanpa pesangon.Kamu, mau jadi preman, ha? ucapnya setengah membentak.Enggak kok, Pak. Mau jadi pahlawan.Itu yang ingin aku ucapkan kepadanya, tapi tentu saja hanya dalam hati. Kalau sampai benar-benar kulakukan, apa yang aku pikirkan tadi pasti jadi kenyataan.Maaf, Pak. Saya pikir Bapak jambret. Matanya langsung mendelik ke arahku. Lagian Bapak ngapain lari-lari? Ngejar jambret.Kan jambretnya naik motor. Dia terdiam sejenak. Bapak ngapain di sini? Bukan urusan kamu! ketusnya, sembari memegangi pipi yang sudah memar.Galak sekali. Bertanya saja tidak boleh.Kamu sendiri, ngapain di sini? Dia balik bertanya.Oh, saya tinggal di sekitar sini, Pak. Pak Malik memutar leher, melihat daerah sekeliling. Merasa tak percaya.Tinggal di sini? Kompleks ini? Dia telihat ragu-ragu mengulangi pertanyaannya.Iya, saya tinggal di sini, sahutku meyakinkan.Dia pasti memutar otak untuk berpikir, bagaimana karyawan biasa bergaji dibawah nominal tiga juta rupiah sepertiku, bisa tinggal di kawasan elit seperti ini.Baik, kalau memang ini tempat tinggal kamu, dan kamu juga yang buat muka saya bonyok seperti ini, bawa saya sekarang juga. Di rumah ada kotak obat, kan?
*******Part 2Bagaimana ini, Pak Malik memintaku mengajaknya ke rumah. Kalau aku bawa dia sekarang, Aira pasti ngamuk-ngamuk. Bisa-bisa kena usir.Nggak bisa, Pak, sahutku.Kenapa?Abang ipar saya baru pulang dari luar kota. Nggak enak, nanti mengganggu. Kakak saya masih pengantin baru. Aku beralasan. Lagi pula, usia Aira memang lebih tua dariku. Wajar kalau aku mengakuinya sebagai kakak.Pak Malik mengernyit, seolah tak percaya. Tapi aku yakin, dia tak punya pilihan lain.Saya bawa ke klinik aja ya, Pak. Biar diperiksa. Siapa tau ada luka dalam, atau tulang-tulang yang patah, ejekku, lalu memberanikan diri mendorong tubuhnya untuk segera berjalan.Eh, eh, ngapain dorong-dorong? protesnya, tanpa menolak.Pak Malik melajukan mobil, sementara aku duduk manis di sampingnya. Mengeluarkan ponsel dan memainkan jemariku dengan lihai ke atas layar.
[Sori, Ver. Aku agak telat. Ada urusan mendadak!] Aku mengirim pesan.Bip bip.Tak lama terdengar bunyi pesan masuk.[Oke, jangan lupa cemilannya, ya,] balasnya dengan emoticon tertawa.Tak lama kami sampai di sebuah klinik kecil. Aku menemani sampai ke dalam, saat perawat membersihkan lukanya. Entah mengapa, ia diam, sama sekali tak keberatan, atau merasa tak nyaman saat aku bersamanya.Setelah selesai dengan wajah, Dokter datang dan menyuruhnya berbaring untuk, memeriksa apa ada luka lain di bagian tubuh.Pak Malik membuka kancing kemeja bagian atas, agar dokter bisa memeriksa dengan steteskop yang dari tadi menggantung di leher.Deg!Rasa nyeri di jantung kembali menusuk. Ada tanda lahir di dada kirinya. Tanda lahir yang sama persis dengan yang ada di bawah mata kiri bang Malik-ku.Firasat apalagi ini? Aku ingat dulu saat masih kecil, Bang Malik bilang dia punya dua tanda lahir yang sama persis. Salah satunya ada di bawah mata.Saat itu aku masih sangat kecil, jadi tidak terpikir untuk bertanya di mana letak yang satunya. Lagi pula tidak mungkin bagi para anak panti untuk saling membuka pakaian di depan anak lainnya. Apa lagi aku dan Bang Malik berlawanan jenis.Aku masih terdiam, sama sekali tak mengerti dengan semua ini. Aku keluar begitu saja dari ruangan menuju ruang tunggu. Berjalan dengan langkah gontai. Hingga terduduk lemas di kursi panjang.Ayo pergi! Melamun aja! Suara Pak Malik menyadarkanku.Kutatap sesosok itu dari atas sampai ke bawah. Benarkah laki-laki yang yang ada di hadapanku sekarang adalah Bang Malik? Kakak masa kecilku dulu yang selalu sayang dan melindungiku?Bulir bening menetes dari sudut netra. Tanpa sadar aku menerkam, dan membenamkan wajah di dadanya, menangis sesenggukan.Pria itu membiarkanku saja. Lagi-lagi tak ada penolakan. Yang kurasakan hanya tangannya bergerak ke atas, seperti memberi tanda menyerah.Beberapa lama aku menangis dalam pelukannya. Mulai tersadar, dan langsung melepaskannya.Iya, Chaca. Saya masih hidup, ujarnya. Aku menatapnya dalam. Tak percaya. Mungkinkah....Pukulan kamu belum terlalu keras untuk bisa membunuh saya. Ayo pulang! udah malam, ketusnya lagi.Ia berjalan dengan cepat. Aku mengernyit, mengikutinya dari belakang, pasrah karena yang aku pikirkan tidak sama dengan pikirannya.Aku berlari kecil menyusul dan mengekor ikut masuk ke mobil. Masih takut untuk bertanya, kenapa semua ini bisa serba kebetulan. Mulai dari nama, dan juga tanda lahir. Bagaimana dia bisa hidup dengan baik seperti saat ini?Apa dia diadopsi? Kenapa harus membuang tanda lahir, agar terlihat tampan seperti sekarang ini? Kalau dia sudah hidup enak dan berkecukupan, kenapa tidak berusaha mencariku? Atau, dia kehilangan ingatan?Beribu tanda tanya kini bermain di pikiran. Ingin sekali kutanyakan langsung.Tapi bagaimana jika aku salah, dan itu hanya dugaan saja. Dia pasti menganggapku lebih aneh lagi, dan berpikir aku hanya ingin sok akrab dengannya.Hei. Nama kamu Chaca, kan? Suaranya membuyarkan pikiran.I iya, Pak, sahutku gugup.Chaca, panggilan dari nama apa?Haruskah kusebutkan nama sial itu? Atau nama yang diberikan nenek?Clarissa, Pak. Pak Malik manggut-manggut, seperti memahami sesuatu.Biasanya gadis bernama Chaca itu sangat manis dan imut-imut. Aku sangat menyukai nama itu.
.Darahku kembali berdesir mendengar penuturan laki-laki ini. Abangku Malik juga berkata seperti itu saat membuat panggilan nama Chaca.Bapak juga punya kenalan yang namanya Chaca? Dengan bibir sedikit bergetar, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.Iya, adikku juga bernama Chaca. Annisa. Aku memanggilnya Chaca karena dia terlihat sangat manis dan imut. Tapi sayang, kini aku tidak tau keberadaannya. Dia terdengar seperti mengenang sesuatu.Tanpa sadar air mataku kembali mengalir. Kali ini begitu deras. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Menangis sejadi-jadinya. Pak Malik langsung mengambil setir ke kiri, lalu menghentikan mobil di pinggir jalan.Kenapa nangis lagi? Ia terdengar panik.Entah kenapa, sesak di dada ini tak dapat lagi kutahan, hingga tumpah ruah semua air mata.Bang Malik, ini Chaca, Bang. Chaca adiknya Abang, tangisku semakin pecah, memegang lengannya dengan kuat.Ia terkejut bukan main. Matanya membesar mendengar pengakuanku. Tampak marah, lalu memegang keras pundakku.Apa maksud kamu? Chaca siapa? Jangan main-main, ha! Becandamu nggak lucu! Dia terlihat gusar dengan napas terengah-engah.Aku semakin menangis menatapnya.Jangan pernah kamu ngaku-ngaku sebagai adikku. Dia tidak mungkin wanita seperti kamu! Amarahnya kian terlihat.Cepat turun! Ia langsung keluar dari mobil. Membuka pintu di sampingku, lalu dengan kasar menarikku keluar.Jangan pernah lagi bicara padaku! Apa lagi sampai mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah tertarik sama wanita seperti kamu! bentaknya dengan kasar.Ia meninggalkanku di tepi jalan, tanpa mau mendengar penjelasan. Aku menangis kembali, saat mobil itu melesat pergi menjauh..Aku bekerja seperti biasa. Melirik ke arah kantornya. Terlihat dia sedang fokus mengutak-atik laptop di atas meja. Terlihat wajahnya masih ada bekas memar, dan sedikit membengkak.Anak-anak yang lain saling berbisik, menerka-nerka apa yang terjadi.Wajah pak Bos kenapa tuh, abis berantem kayaknya, Vera setengah berbisik, sambil mengiris bawang untuk acar.Pasti dipukuli. Mungkin sifatnya kasar, nggak menghargai perasaan orang, celetukku yang masih merasa kesal atas kejadian malam tadi.Kini aku sudah mengetahui, kalau dia adalah Bang Malik, Abangku. Tapi melihat sikapnya tadi malam, menyisakan sedikit luka.Bukannya menanyakan bagaimana keadaanku, atau bagaimana aku bisa bertahan hidup di kota ini. Dia malah mentah-mentah menolakku.Mungkin saja dia malu mengakui, karena hidupnya sudah sempurna saat ini. Aku pun tak akan sudi untuk mengiba, apa lagi sampai mengemis menuntut pengakuan.Berantem sama pacar kali, ya. Vera menerka-nerka.Mungkin aja.Kalau begitu, pasti ceweknya yang kasar, Cha. Tampang kayak Pak Malik, mana mungkin tega bersikap kasar sama cewek. Lihat aja cara ngomongnya, lemah lembut gitu. Dasar emang ceweknya aja yang kasar. Aku melotot ke arah Vera, merasa seolah sedang mengataiku..Jam dua belas bel berbunyi. Kami menghentikan aktivitas, untuk kemudian beristirahat makan siang.Aku mencuci tangan di wastafel di depan toilet. Kulihat Bang Malik keluar dari balik pintu toilet laki-laki.Toilet di tempatku, hanya ada dua pintu. Masing-masing untuk pria dan wanita, dengan wastafel yang berjejer di depannya.Dalam sekejap kami saling bertatap muka, lalu aku membuang pandangan dan melempar tisu ke tempat sampah secara kasar, berlalu pergi meninggalkannya.Tak peduli lagi, apakah dia akan marah atau malah memecatku. Aku benar-benar tidak peduli. Sakit, itu yang kurasakan saat diacuhkan oleh orang yang kita sayang.Aku berjalan menuju ruang makan, yang sengaja tidak dilengkapi dengan meja dan kursi. Hanya karpet besar yang terpasang di area luas, agar para karyawan bisa beristirahat sambil tiduran, karena jam istirahat yang cukup panjang.Aku mengambil kotak makan, yang memang sudah disiapkan oleh perusahaan untuk masing-masing karyawan. Aku duduk berselonjor merapatkan tubuh ke dinding, bergabung dengan yang lain.Tak lama Malik menyusul dan mengambil tempat di dinding seberang, tepat di depanku.*****Kami duduk saling berhadapan, walau dengan jarak yang lumayan jauh. Aku memasang wajah kecut tanpa senyum. Melahap makanan sedikit demi sedikit.Pak, wajahnya kenapa? Oji nyeletuk tanpa basa- basi.Hah! Berani sekali anak itu menggoda atasannya.Iya Pak, abis berantem ya, sama pacarnya? Yang lain mulai berani.Bang Malik hanya tersenyum, saat digoda oleh anak buahnya. Aku melirik sekilas, ingin melihat seperti apa ekspresinya. Apakah marah, atau merasa tidak senang dengan kelancangan orang-orang yang harusnya bersikap hormat padanya.Tak disangka, sekilas mata kami saling beradu. Entah sejak kapan ia melihat ke arahku. Dengan cepat aku membuang pandangan ke sembarang arah.Nggak mungkinlah pacar saya yang ngelakuin, sahutnya tanpa diduga-duga. Pacar saya nggak sekasar itu. Ini hanya kerjaan orang gila yang sok mau jadi pahlawan!Whattt....! Nasi yang baru masuk kemulutku menyembur keluar. Dia mengataiku orang gila? Kata-katanya barusan terdengar seperti sedang menyindirku.Oh, jadi Pak Bos udah punya pacar, ya? Vera menimpali, tanpa mempedulikan aku yang dari tadi batuk-batuk karena tersedak.Ciee... cieee.... Dek Vera patah hati nih. Ulu uluuu... sini sama Abang, Dek. Lagi-lagi Oji menggoda.Yang lain pada bersorak. Saat itu suasana menjadi riuh karena ternyata pak Bos tidak menjaga jarak dengan bawahannya, kecuali aku.
.Jam istirahat sudah habis. Kami kembali ke dapur setelah membersihkan kekacauan yang kami buat saat makan siang. Begitulah biasanya kami beraktivitas.Tidak terasa sudah satu tahun aku bekerja di sini. Dan aku begitu betah.Semua pekerjaan sudah hampir selesai. Kucatat semua produksi yang dikerjakan oleh divisi bagian. Aku, selaku ketua tim bertanggung jawab mencatat semua jumlah pesanan dari berbagai outlet yang tersebar hampir di seluruh mall di Medan dan melaporkannya ke leader, yaitu Bu Rini.Antarkan ini ke Pak Malik, Cha, perintah bu Rini seraya memberikan beberapa lembar kertas.Baik, Bu. Aku menyanggupi.Sebenarnya enggan melakukan tugas ini, karena tak ingin terlibat pertemuan langsung dengan saudara yang tidak mengakuiku itu.Tapi aku tak ingin mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan. Kuletakkan kertas-kertas itu di meja kerjanya tanpa kata-kata.Apa ini? tanya Pak Bos. Entah memang tidak tahu, atau hanya ingin berbasa basi mengajakku bicara.Aku mengangkat bahu, tanda tidak tahu atau tepatnya bilang Entah, lalu ngeloyor keluar seenaknya. Entah kenapa jadi hilang rasa takutku.
.Sepulang kerja, aku menunggu ojek online di depan gerbang. Satu persatu para karyawan menghilang. Ada yang berjalan ke simpang jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Ada yang berjalan kaki, karena jarak temat kost dekat dari kerjaan, ada juga yang di jemput oleh anggota keluarganya.Tinggallah aku sendiri yang belum juga bergerak karena signal ponselku yang lemah, hingga susah loading untuk memesan ojek online.Terdengar suara klakson mobil mengejutkanku. Kaca depan terbuka, dan laki laki di belakang kemudi memanggilku dari dalam.Naik! perintahnya. Aku tak begitu saja menurut, kupacu kaki untuk berjalan menjauh. Tak lama mobil itu mendahului, berhenti, dan menghadang jalanku. Aku menghentikan langkah, menanti dia yang dengan sigap sudah berdiri di hadapanku.Deg!Jantung ini kumat lagi*****Ia berdiri kokoh di hadapanku dengan kedua tangan disilangkan ke dada. Aku diam, dengan suara detak jantung yang kian bergemuruh.Kenapa menghindar terus? Kamu dengar kan, kalau saya nyuruh kamu masuk. Budeg, ya?Bukannya bapak sendiri yang meminta saya untuk nggak bicara lagi sama bapak? jawabku, mengembalikan ucapannya.Ia menjambak rambutnya sendiri. Ah, tidak. Dia hanya mengusap dan merapikannya saja. Tak ditemukan sisa-sisa bekas jambakan. Semua masih tertata rapi pada tempatnya.Oke, saya salah ngomong. Saya mungkin meracau malam itu. Saya minta maaf karena udah kelewat kasar sama kamu. Sekarang kamu masuk ke mobil, kita bicarakan ini pelan-pelan. Ada yang ingin saya tanyakan sama kamu.Lembut sekali ucapannya. Memang seperti inilah gaya bicara Bang Malik yang kukenal dulu. Bukan seperti pria yang kasar, dan temperamen tadi malam.Tapi tidak, aku tak mau lagi terpancing. Aku sudah memutuskan untuk tidak membahas hal ini lagi. Melupakan semuanya. Melupakan kalau kami pernah bersaudara.Nggak mau! Aku berlalu pergi dan meninggalkannya lagi.Belum sempat aku menjauh, ia menarik paksa tanganku untuk naik. Dibantingnya pintu seperti memberi aba-aba jangan coba-coba keluar!Mobil melaju. Aku diam dan tak bertanya atau berteriak-teriak seperti korban penculikan, ke mana dia hendak membawaku.Aku sudah cukup lama tinggal di Medan. Tahu tentang seluk beluk jalanan di kota ini. Bahkan jalanan kecil sekali pun. Walau tersesat, aku pasti bisa menemukan jalan pulang.Ya. Aku mantan driver ojek online. Tapi hanya bertahan selama beberapa bulan saja, karena sepeda motor yang menjadi mata pencaharianku ditarik paksa oleh dealer karena menunggak.Boro-boro buat bayar cicilan, untuk makan dan isi bensin pun terkadang tak mencukupi. Kutandai jalanan yang kami lewati tadi, jalan menuju ke arah tempat tinggalku.Sebentar saja kami sudah memasuki kawasan ruko rumah Belanda, tempat aku dan Aira tinggal. Aku tak jadi diculik.Rumah kamu di mana? Tanyanya, setelah memarkir mobil di seberang ruko.Ngapain?Mau bicara sama orang tua kamu.Orang tua? Cih! Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan mungkin sampai mengenalmu. Buat apa?Cuman ingin memberi tau, bahwa anaknya harus segera dibawa ke psikiater.Psikiater? Bukannya itu tempat.... Aku berpikir sejenak.Bapak pikir saya gila? Bapak pulang aja. Kalau bapak merasa terganggu, besok saya buat surat pengunduran diri. Aku turun dan membanting pintu dengan keras.Eh, eh, kamu ngomong apa barusan? Kamu ngancam saya?Siapa yang ngancam? Saya juga nggak mau ketemu sama Bapak lagi. Aku bersikeras dan berjalan masuk ke perumahan.Kusapa beberapa sekuriti dengan tersenyum dan sedikit menundukkan kepala. Kubiarkan ia mengikuti dari belakang. Tak lama aku sampai di depan rumah bergaya khas Belanda tersebut.Menaiki tangga, dan menuju teras rumah. Aku berani pulang setelah Aira memberi kabar melalui pesan whatsapp, bahwa suami sirinya sudah kembali ke luar kota karena istrinya sedang sakit.Ini rumah saya. Bapak masih nggak percaya? Aku membuka kunci pintu, dan mempersilakannya masuk. Rumah terlihat sepi, tak ada tanda-tanda kalau Aira sedang di dalam.Mana orang tua kamu? Ia masih bersikeras.Mati! Aku menyumpah.Apa? Ia setengah frustasi, mendengar jawaban tak pantas dari mulutku.Kamu ini perempuan, atau apa? Tidak baik ngomongin orang tua seperti itu. Ia menceramahiku.Tanpa ia tahu dadaku sudah kembang kempis menahan sesak. Aku tak dapat lagi menahan diri. Emosiku jadi tak dapat kukendalikan. Kuhempaskan tas yang ada di tangan ke lantai dengan penuh amarah.Kalau aku punya orang tua, hidupku tidak mungkin akan menderita seperti ini! bentakku.Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan mungkin hidup di panti asuhan terkutuk itu. Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan pernah sudi mengenalmu. Haaa... Aku semakin histeris dan berteriak meluapkan semua amarah.Akhirnya kulontarkan semua kata-kata yang sudah terpendam selama ini. Menangis sejadi-jadinya agar lega perasaan hati, tanpa peduli apa lagi yang akan dipikirkannya.Tuk kesekian kali, aku menangis di hadapa pria asing ini. Tanpa segan dan rasa malu.Dalam tangisan kurasakan tubuhnya mendekat. Menarik wajahku, dan membenamkan di dadanya. Hangat sekali, persis sewaktu dulu.Chaca, benarkah ini kamu?*****part 3Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan.Abang jahat, Abang jahat, teriakku.Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit.Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf.Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.******POV MALIKHannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan. Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa.Setidaknya itulah cerita yang kudengar dari pengurus panti tentang riwayat hidupku. Hari- hariku selama berada di sana tidaklah seindah anak-anak seusiaku pada umumnya. Begitu juga anak-anak lain.Hidup kami penuh siksaan dan juga derita. Tak ada kasih sayang, bahkan tak ada izin sama sekali untuk orang lain mengadopsi. Mereka lebih senang meminta sumbangan yang diberikan langsung kepada pihak panti.Saat usiaku enam tahun, aku mendengar suara tangis bayi dari luar pagar. Aku segera berlari memanggil pengurus panti. Bayi itu dibawa masuk untuk kemudian dirawat sebagai penghuni baru.Tak ada peninggalan apa pun, baik pakaian ganti atau secarik pesan. Hanya terbungkus selimut yang cukup tebal berwarna merah muda, lalu diletakkan di dalam keranjang rotan.Hanya itu yang kuingat tentang kejadian malam itu. Entah kenapa aku begitu iba pada bayi malang itu, nasibnya tidak lebih baik dari aku. Aku menatap wajah dan bibir mungilnya.Benar-benar cantik. Cantik seperti bidadari pada buku cerita yang kubaca di perpustakaan panti.
Annisa. Pengurus panti menyematkan nama itu. Artinya wanita, cuma itu saja. Tak ada arti khusus untuk membuat nama bagi mereka.Aku akan menuliskan nama Annisa pada akte kelahirannya. Kurasa nama itu pun terlalu bagus untuk bayi yang tidak punya asal usul seperti dia, gerutu pengurus panti.Wajahnya yang manis dan bibirnya yang imut membuatku begitu menyukainya. Chaca, kuberi dia nama panggilan seperti anak kecil yang belum bisa menyebut kata dengan huruf S.Hari berlalu, waktu berganti. Kami tumbuh bersama sebagai kakak adik. Aku tak tega kalau dia juga mendapat perlakuan yang sama dengan kami. Dengan segala cara aku melindunginya agar tak pernah tersentuh hukuman.Hingga pada suatu hari Chaca membuat kesalahan fatal. Gadis polos itu berceloteh kepada salah seorang donatur tetap yang mengajaknya ngobrol. Sang donatur menanyakan langsung kepada kepala Panti apakah benar kalau anak-anak di sini tidak pernah diberi makanan yang layak.Dengan segala cara, ia menjelaskan dan meyakinkan bahwa tidak pernah ada kejadian seperti itu. Ibu kepala panti murka dan marah besar.Chaca dipukuli dan ditampar berulang kali didepan semua anak. Tubuhnya dipukul dengan rotan yang biasanya memang digunakan untuk menghukum para penghuni.Aku berteriak sekuat tenaga untuk membuatnya berhenti. Tapi orang-orang suruhan kepala panti dengan kasar memegangi kedua tanganku hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu kusaksikan sendiri tubuh Chaca digiring menuju lorong dan menghilang.******
Emosiku berapi-api. Usia remaja tak membuatku takut takut dalam bertindak. Jam sembilan malam saat semua orang tertidur lelap, aku menyelinap masuk ke kantor.Kubuka paksa lemari itu dengan perlahan, kumasukkan semua yang ada ke dalam tas ransel yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Pernah secara tak sengaja aku memergoki Kepala panti menyimpan sesuatu di situ dengan sangat berhati-hati.Ya. Uang itu kini sudah berpindah kedalam ranselku. Aku bergegas menuju gudang tempat Chaca disekap. Kami melarikan diri malam itu.
.Menjelang pagi aku dan Chaca berpindah tempat duduk yang semula di samping pengemudi, kini berganti duduk di bak belakang. Sungguh nikmat udara pagi hari ini. Udara kebebasan yang seumur hidup belum pernah kami rasakan.Aku berterima kasih kepada Bapak supir yang baik hati, begitu kami sampai tujuan. Aku hendak memberinya uang, tapi dia menolak. Beliau pun melanjutkan perjalanan.Ini kota Medan ya, Bang? tanya Chaca dengan senyum tersungging di bibirnya yang masih memar. Aku mengajaknya beristirahat di halaman sebuah masjid.Iya, Cha. Ini kota impian Abang. Kita akan tinggal di kota ini. Chaca mau, kan?Mau. Kemana pun Abang pergi, Chaca pasti ikut.Apa pun yang terjadi kita akan tetap tinggal di sini.Tapi kita mau tinggal dimana, Bang? Kita kan nggak punya uang.Uang kita banyak, Cha. Chaca mau makan apa aja, pasti Abang beliin.Betul, Bang? Chaca tertawa kegirangan.Aku membersihkan diri dan mengganti pakaian yang mengisi ranselku. Tak lupa kumasukkan sepasang baju untuk Chaca.Chaca keluar dari kamar mandi masjid dengan wajah bersih dan segar. Aku menyisir rambutnya yang lurus dan memoles bedak bayi di pipi mulusnya.Sudah jadi kebiasaanku di panti mengurus Chaca seorang diri. Jadi semua kebutuhan Chaca sudah kumasukkan ke dalam ransel.Orang orang yang keluar masuk area masjid selalu menoleh ke arah kami. Bahkan ada ibu- ibu yang memuji kelihaianku mengurus adik.Kami pun pergi meninggalkan tempat itu. Kulirik sepenggal alamat di secarik kertas yang aku bawa. Kumasukkan kembali di kantong kecil bagian ransel.******
Aku dan Chaca menikmati makan dengan lahap saat kami memasuki sebuah rumah makan Padang. Aku memesan segelas jus jeruk untuk Chaca. Senyumnya merekah dengan tulus. Tak pernah kulihat dia sebahagia itu sebelumnya.Kami menyusuri jalanan kota Medan. Chaca sungguh takjub melihat gedung- gedung yang menjulang tinggi. Inilah kota impianku. Satu satunya kota yang pernah kulihat seluruh gambarannya dari majalah yang ada di perpustakaan panti. Hingga aku bermimpi untuk bisa menginjakkan kaki dan tinggal di sini.Aku kembali ke halaman masjid Raya yang terletak di tengah kota, setelah ke sana sini mencari pekerjaan. Chaca meenyambutku dengan gembira karena aku membelikan makanan yang aku janjikan tadi sebelum pergi.Aku sengaja meninggalkannya di situ, agar tidak merasa bosan di dalam kamar yang aku sewa. Juga tak ingin ia merasa lelah mengikuti perjalananku.Sudah tiga hari ini kami tinggal dan tidur di kamar sempit yang hanya ada kasur tipis. Aku menempati kamar itu atas saran Bapak penjaga kebersihan di masjid. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan, agar uang yang kubawa tak terpakai seluruhnya.Syukurlah di hari berikutnya, Abang tukar parkir mau mengajakku turut serta bekerja dengannya. Dan di situlah aku sekarang, menjadi tukang parkir di Masjid Raya Medan.******Aku menggiring sebuah mobil ke area parkir. Menuntun supir di belakang kemudi mengikuti arahanku. Kendaraan terparkir. Aku memberikan karcis ke supir yang baru keluar.Sesekali ku lirik halaman masjid tempat biasa Chaca bermain, sembari menungguku selesai kerja. Chaca tak terlihat dari tadi. Mungkin ke toilet.Aku membeli dua potong semangka di area tempatku bekerja. Akan kuberikan kepada Chaca saat dia kembali nanti. Aku menghitung jumlah uang yang kudapat hari ini. Sudah hampir jam dua belas, dan saatnya untuk membelikan Chaca makan siang.Aku memesan satu pincuk mie kuning ditambah dengan bihun lalu disiram bumbu pecal yang menjadi favorit Chaca. Makan siang dan dua potong semangka sudah di tangan, tapi Chaca sama sekali tak terlihat.Kemana dia? Aku celingak-celinguk ke sana kemari, tapi Chaca tak muncul juga. Perasaanku mulai tak enak.Tidak mungkin Chaca bermain sampai ke tempat yang jauh tanpa berpamitan. Dia hanya bermain di sekitar halaman depan atau duduk di depan bersama Abang penjual buku agama islam.Tiba-tiba dari arah belakang seseorang menutup mulutku, lalu menyeret paksa tubuhku ke dalam sebuah mobil. Aku meronta ronta hendak melepaskan diri dan segera keluar. Namun sesaat kurasakan sesuatu menyentuh tengkukku dengan begitu keras. Lalu semua terlihat gelap.Aku membuka mata dengan perlahan. Kepalaku masih sempoyongan akibat pukulan tadi. Samar-samar terlihat gadis kecil sedang menangis ketakutan.Chaca? Aku memanggil gadis kecil yang terduduk dengan tangan dan kaki terikat. Aku yang masih sempoyongan mendekat dan segera melepaskan ikatan tangan dan kakinya.Kami berada di sebuah bangunan kosong yang aku sendiri tidak tahu di mana. Aku menarik tangan Chaca mengajaknya berlari, tapi belum sempat aku melangkah, Chaca berteriak.Bang Malik, awaaass.... Aku tersungkur akibat tendangan dari seseorang yang muncul di belakangku.Siapa kalian? tanyaku pada kedua lelaki berwajah sangar itu. Mereka berpakaian seperti preman dengan banyak tato yang hampir menutup seluruh tangan.Preman yang satu menarik kerah baju, lalu meninju wajahku dengan sangat keras.Di mana uang yang kau curi, ha? Dasar maling kecil! pekiknya sambil mengarahkan kembali tinjunya.Darah menyembur keluar dari mulutku. Pelipisku terkoyak terkena sabetan cincin besar yang di pakainya. Tidak salah lagi, mereka adalah utusan kepala panti. Aku berusaha bangkit tapi terlalu lemah.Dimana uang itu? Preman itu kembali berteriak. Masih diam saja, ha? Akan kubunuh gadis kecil itu. Dia memberi kode kepada temannya untuk membawa Chaca.Jangan sentuh dia. Jangan sentuh adikku. Aku memohon sambil menagis.Katakan di mana kau simpan uang itu!Uangnya sudah habis. Tolong jangan sakiti kami. Aku kembali memohon.Bug!Sepatu keras miliknya mendarat di wajahku. Berkali kali tanpa ampun. Aku berlutut agar mereka melepaskan kami.Chaca berteriak-teriak menangis melihat keadaanku, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena lelaki yang satunya mencengkram paksa tangannya agar tak bergerak.Preman itu kembali menendangku hingga terpental. Wajahku menghantam batu besar yang ada di depan. Darah kembali memenuhi seluruh wajah.Aku terdiam, tak dapat bergerak. Suara tangis Chaca perlahan sunyi, tak dapat lagi kudengar. Pandanganku mulai kabur, dan kulihat Chaca diseret paksa dan menghilang di kejauhan.Gelap, tak ada lagi cahaya. Tak ada lagi suara, hingga tak ada lagi apa pun yang kurasa. ********POV CHACAAku menyandarkan tubuh di sandaran sofa, diikuti juga oleh Bang Malik. Kini kami berdua menjadi lebih tenang setelah sebelumnya saling histeris dan belum bisa menghilangkan rasa keterkejutan masing-masing.Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya saling memandang tanpa ucapan. Masing-masing tak tahu harus mulai bertanya dari mana. Tak apa buatku. Asal dia masih ada, dan mau mengakuiku.Bang Malik akan mengenalkanku pada keluarga angkatnya besok. Tak mau lagi menunda-nunda dan merahasiakanku dari mereka.Mereka pasti juga sangat senang melihatmu, Cha, ujarnya menyemangatiku.Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Terdengar suara pintu depan terbuka, dan tak lama tertutup kembali.Kamu baru pulang, Ra? tanyaku saat Aira berdiri mematung melihat ada tamu laki laki yang kini duduk mesra di sampingku.Hai, jawabnya setengah melongo, sambil mengangkat telapak tangan untuk menyapa.Aku bangkit dan merangkul lengan Bang Malik untuk berdiri. Kutarik ia mendekati Aira sambil menyandarkan kepalaku ke lengannya.Jangan kaget ya Ra, apalagi pingsan! seruku menggoda. Ini Bang Malik, Abangku.Seketika Aira melotot sembari memutup mulut dengan dua tangan, merasa tak percaya.Aku bilang jangan kaget, godaku lagi.Ini Aira, Bang. Teman baik Chaca. Giliran Aira yang kuperkenalkan.Bang Malik mengulurkan tangan Terima kasih karena telah menjaga Chaca-ku, ucapnya yang membuat mataku nanar dan kembali menghangat.
.Kamu serius? tanya Aira lagi, begitu Bang Malik pulang.Udah kubilang kan, kalau firasatku benar. Bos baruku itu memang Bang Malik.Omong- kosong macam apa itu? Kamu percaya kalau dia masih Abangmu yang dulu? Apa kamu yakin kasih sayangnya masih seperti dulu? Ingat Cha, manusia bisa berubah.Aku terdiam. Mencoba menepiskan semua prasangkanya.Aku percaya. Bang Malik masih menyayangiku seperti dulu.Tidak ada ikatan darah di antara kalian. Dia bisa saja sudah melupakanmu. Aku cuman gak mau kamu terluka, Cha.Ya, sesayang itu Aira padaku.******Keesokan harinya aku kembali bekerja seperti biasa. Entah kenapa hari ini hari yang begitu membuatku bahagia. Perasaanku lega karena semua sesak di dada perlahan mulai sirna. Tidurku begitu nyenyak malam tadi. Tak ada lagi mimpi buruk tentang tragedi berdarah waktu itu.Aku mengiris bawang merah tipis-tipis untuk dijadikan bawang goreng. Sesekali kuarahkan pandangan ke kantor untuk melihat kegiatan Bang Malik.Ah seandainya saja aku tak mengganti namaku menjadi Clarissa, mungkin Bang Malik akan mengenaliku lebih cepat.Sepulangnya kerja aku menunggu Bang Malik di pintu gerbang. Tak lama dia muncul dengan mobil CRV hitam miliknya. Ini tuk kesekian kalinya aku duduk di samping kemudi bersamanya.Kami sampai di sebuah rumah mewah di kawasan elite Setia Budi. Aku tak begitu terkejut, karena sebelumnya juga sering keluar masuk untuk mengantarkan makanan saat masih menjadi driver ojek online. Walaupun hanya sampai pintu di gerbang.Tapi tak bisa di pungkiri lagi, ini adalah pengalaman pertamaku untuk bisa masuk sampai ke dalam rumah tersebut.Aku mencoba bersikap biasa saja, agar tak terlihat kampungan di mata keluarga Bang Malik. Aku tak ingin dia merasa malu.Bu Sam muncul di ruang tamu, aku tak tahu apakah dia menandaiku sebagai salah satu dari ratusan, atau bahkan ribuan karyawannya.Kurasa kami hanya bertemu beberapa kali saja saat dia datang berkunjung ke dapur bagian produksi restoran, milik keluarga mereka.Aku mencium punggung tangannya, disambut baik oleh senyumannya. Kulihat bulir-bulir air di sudut mata, lalu menerkamku dengan pelukan hangatnya.Ada apa ini?******part 4Bahagia! Itu yang aku rasakan. Sambutan yang hangat membuatku merasa diterima oleh keluarganya. Meskipun aku tak pernah mengenal mereka secara langsung. Setahuku, Bu Sam tipe wanita yang tidak banyak bicara, disiplin dan juga tegas.Beberapa kali kami bertemu, tapi tak pernah bertegur sapa. Aku takut dia beranggapan aku hanya memanfaatkan Bang Malik dengan maksud tertentu. Bagaimanapun, kehidupan sosialku sudah jelas berbeda dengan Abangku yang sekarang.Bagaimana jika dia mempengaruhi anak angkatnya itu agar tak berhubungan lagi denganku? Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.Makan malam kali ini hanya ada kami bertiga. Hal itu sudah terbiasa karena suami Bu Sam memang sering bepergian ke luar kota. Sementara putra kandungnya masih kuliah di luar negeri.Menginap saja di sini. Mama sudah menyuruh Wak Sanah membereskan kamar. Besok kemasi barang- barangmu dan bawalah kemari! Bu Sam membuka suara di sela-sela makannya.Aku dan Bang Malik saling menoleh.Maksud Mama apa? Pria berhidung mancung itu ingin menegaskan apa yang ada di pikirannya. Pikiranku juga, tentunya.Chaca akan tinggal di rumah ini.Apa ini tidak terlalu tiba tiba, Ma?Bukankah adikmu juga anak Mama? Tidak ada salahnya kalau kita tinggal bersama. Wanita itu terdengar seperti tak ingin dibantah.Aku tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi aku takut menolak perintah bos besarku itu, tapi di sisi lain aku masih merasa canggung berada di tengah- tengah keluarga Bang Malik.Aku tahu Bang Malik juga pasti mengerti apa yang aku pikirkan tanpa perlu berkata apa-apa. Laki-laki berparas rupawan itu kembali membujuk Mamanya.Kasi Chaca waktu, Ma. Biarkan Malik mengantarnya pulang malam ini.Baiklah, jangan berpikir terlalu lama. Seorang gadis haruslah tinggal bersama keluarganya. Apa sekarang kamu tinggal di kamar kost? Bu Sam menyelidiki.Tidak, Bu. Saya tinggal di rumah teman. Sudah seperti saudara sendiri, jawabku agak gugup.Malik satu-satunya keluargamu. Kalian harus tinggal bersama agar dia bisa menjagamu layaknya seorang kakak. Aku hanya terdiam, tak lagi menjawab.Minggu depan Papamu sudah kembali ke Medan, Mama harap semuanya berjalan dengan lancar, sambungnya lagi.Baik, Ma. Bang Malik terlihat lega, setelah sebelumnya seperti merasa bersalah karena membebaniku dengan permintaan Mamanya.Selesai makan dan mengobrol seadanya, aku memberanikan diri untuk pamit. Masih merasa canggung untuk berlama-lama di rumah itu. Bang Malik mengantarku pulang, memacu mobil bergerak ke jalan.Kenapa Bu Sam nyuruh Chaca tinggal di rumahnya, Bang? Apa itu nggak berlebihan? Chaca jadi merasa nggak enak.Nggak papa kok, Cha. Mama memang begitu orangnya, selalu baik sama siapa aja.Memang Mamanya Abang tau tentang Chaca?Iya. Abang cerita semuanya. Kamu nggak usah khawatir. Mama tau tentang kita.Kapan Abang cerita?Setiap saat, setiap waktu, selama hampir empat belas tahun. Suaranya terdengar berbeda.Apa itu? Seperti sebuah getaran dari bibirnya. Apa dia akan menangis? Aku terdiam. Kata-katanya membuatku merinding. Benarkah dia mengenangku begitu dalam? Bahkan saat kami bertemu kembali, dia tetap mengenangku sebagai adiknya yang sudah lama menghilang?Pantas saja dia sangat marah saat aku mengaku-ngaku sebagai adiknya. Dia tidak ingin ada yang menggantikan posisi adik yang sudah dianggapnya mungkin tiada.Kupikir, aku lah satu-satunya yang menderita di sini. Tapi mendengar semua ceritanya, aku jadi merasa bersalah. Ya Tuhan, takdir apa ini. Mengapa kami dipisahkan hingga selama ini.Kami sampai juga di depan rumah. Aku mengajaknya untuk mampir minum teh, tapi dia menolak dan menyuruhku cepat masuk dan beristirahat.Jangan terlalu dipikirkan kata-kata Mama. Jangan merasa terbebani, atau merasa tidak enak, ujarnya sambil mengelus kepalaku.Hangat. Menenangkan. Aku suka itu.Tidur yang nyenyak malam ini, jangan lupa cuci kaki, baca doa, dan mimpi indah.Aku tertawa kecil mendengarnya. Dengan mata yang menghangat pastinya. Kata-kata yang selalu dia ucapkan sewaktu kecil dulu. Kata-kata yang selalu terngiang di benakku dan hingga kini masih menjadi mimpi buruk bagiku.Kini semua itu telah lenyap bersama dengan kehadirannya. Membuat ada kelegaan dalam hati, karena tujuan hidupku mungkin telah tercapai. Ya, hidup kembali bersama Abangku selamanya.*****Hari ini aku sedang libur. Bang Malik ingin aku menemaninya ke kantor pemasaran rumah Belanda, di mana aku dan Aira tinggal.Dia bilang cukup tertarik dengan area tempat ini. Atau jangan-jangan dia ingin membeli rumah, agar bisa selalu dekat denganku? Angan-angan yang ada di kepala membuatku tersenyum.Kenapa senyum-senyum sendiri? Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkahku.Abang mau beli rumah? tanyaku girang.Hem, gumamnya, membenarkan ucapanku.Lihat-lihat dulu. Siapa tau cocok.Rumahnya bagus kok, Bang. Chaca dan Aira betah tinggal di sini.O, ya? Nggak mau pindah? Sepertinya Malik sedang menyindirku atas permintaan Mamanya tempo hari.Apaan sih, jawabku, sambil mendorong pelan tubuhnya.Namun di dalam hati aku penasaran, seberapa banyak uang yang dimilikinya sampai bisa langsung membeli rumah dengan tiba-tiba seperti ini. Apa dia akan mewarisi semua harta warisan keluarga Bu Sam?Bukannya Bu Sam juga punya anak laki laki, yang pasti akan menjadi pewaris sah seluruh hartanya? Kalau Bu Sam memang sesayang itu pada putra angkatnya ini, kenapa hanya diberi jabatan sebagai Kepala dapur?Bukankah seharusnya dia berhak mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dari itu? Ada banyak posisi di kantor pusat. Ah, kenapa tiba-tiba aku jadi matrealistis seperti ini?Kalau Bang Malik sampai tahu aku berpikiran picik seperti itu, dia pasti akan kecewa.Ayo makan! Makanan apa yang enak di sekitar sini? tanya Bang Malik, membuyarkan pikiranku tadi.Abang lapar? Kenapa tadi nggak makan nasi goreng buatan Chaca?Abang hanya ingin minum kopi.Minum kopi? Ayo. Di depan sana ada kopi yang enak. Aku bersemangat.Kami berjalan kaki menyusuri jalan di sepanjang ruko-ruko yang masih banyak kosong. Sengaja kuminta ia meninggalkan mobilnya di depan rumah, agar bisa berjalan kaki seperti ini. Merangkul lengannya adalah hal yang sangat kurindukan selama ini.Kami memasuki sebuah kafe yang belum terlalu ramai pengunjungnya. Bang Malik memilih duduk di area teras, guna mendapat udara segar.Aku memesan dua cangkir kopi yang dicampur krimer kental manis. Orang Medan menyebutnya kopi sanger. Sedikit pahit, namun begitu nikmat. Aku menyeruput kopi dari cangkirku. Sementara pria di sampingku dari tadi sibuk membalas chat yang masuk ke ponselnya.Chat dari siapa? Abang punya pacar? Aku penasaran, memberanikan diri bertanya.Memang kenapa, kalau Abang punya pacar? jawabnya santai tanpa menoleh ke arahku.Oh, jadi Abang punya pacar? sahutku pelan.Tiba-tiba ponselnya berdering. Dengan cepat ia menjawab.Iya, Tan, sahutnya.Oh, ya ampun. Bahasa Bang Malik begitu lembut terdengar. Untuk ukuran laki-laki dewasa, dia pasti begitu populer di kalangan teman-temannya.Dengan postur tubuhnya yang tinggi tegap, wajah yang tampan dan juga mapan, memanglah tidak masuk akal kalau sampai saat ini dia tidak punya pacar. Aku memang benar-benar tak lagi sebanding dengan kehidupannya.Iya, kamu udah di mana? Ha? Iya, masuk aja sampai ke daerah ruko ya. Dia terdengar seperti mengarahkan seseorang ke suatu tempat.Apa nama kafe ini? Dia setengah berbisik kepadaku, menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya.Terrazzo, jawabku singkat. Ia mengulangi nama kafe yang kusebutkan tadi. Rupanya seseorang yang dari tadi menghubunginya sedang menuju ke sini.Tak lama muncul seorang wanita yang melambaikan tangan ke arah kami. Dia keluar dari dalam mobil sedan yang baru terparkir di seberang jalan.Bang Malik membalas lambaian tangannya. Seketika wanita itu telah berdiri di hadapan kami. Bang Malik menyambut kedatangannya dengan penuh senyuman. Wanita itu langsung menyodorkan tubuhnya untuk kemudian menyentuh pipi kanan dan pipi kiri bang Malik dengan pipinya.Darahku berdesir. Wanita mana yang tidak tahu malu mencium seorang pria di depan umum seperti ini, kalau tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka. Tidak salah lagi, wanita itu pasti pacar Abangku.*******Setelah saling menempelkan pipi dengan Bang Malik tadi, dia langsung mengarahkan pandangan ke arahku.Hai, kamu pasti Chaca. Wanita itu mengulurkan tangannya dengan senyuman ceria. Terlihat barisan gigi putih berderet, yang membuatnya terlihat sangat manis.Cantik sekali. Membuatku merasa tidak percaya diri berada di tengah-tengah mereka. Aku menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu.Kenalin, aku Tania. Dia melanjutkan ucapannya .Oh, jadi kata Tan yang disebut Bang Malik tadi adalah Tania.Ayo duduk, ajak Bang Malik. Tania kemudian duduk di kursi kosong yang ada di hadapan kami.Waw, kamu cantik sekali Chaca. Kalian terlihat mirip. Kalau diperhatikan, hidung kamu mancung seperti Malik. Wanita itu terlihat sangat ramah dan mudah melemparkan pujian kepada orang yang baru ditemuinya.Tulus kah? Mirip apanya? Kami bahkan tidak punya ikatan darah sedikit pun.Tentu saja, adikku ini sangat cantik, ujar Bang Malik, sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. Kapan kamu sampai, Tan?Kemarin sore.Kenapa nggak bilang? Aku bisa jemput kamu di bandara.Sengaja. Biar nggak ngerepotin.Ya enggaklah, santai aja. Kaya baru kenal aja. Lama di sini?Hemmm.... Tania tampak memutar bola matanya dengan wajah menggoda Kayak nya lama deh.O, ya. Bagus dong. Mereka berdua terlihat akrab. Sesekali mereka juga melibatkanku dalam percakapan yang hanya aku jawab seadanya.Entah kenapa aku merasa sangat rendah diri saat Bang Malik memperkenalkanku dengan orang-orang yang selama ini berada di sekelilingnya. Mereka terlihat dari kalangan yang jelas-jelas berbeda jauh dari kehidupanku.Apakah suatu hari nanti, Bang Malik akan tersadar dan mulai malu mengakuiku? Apakah suatu saat dia juga akan menjaga jarak? Ada perasaan takut yang begitu kuat dalam hatiku.Bang Malik pamit pulang setelah mengambil mobil. Tania mengantar kami sampai ke halaman rumah dengan mobilnya . Aku berbasa-basi menawarinya mampir, tapi dia bilang masih punya urusan lain.Next, aku pasti mampir, janjinya padaku. Masih dengan senyuman yang begitu memikat. Bang Malik pasti begitu tergila-gila dengan pesona Tania.Aku yakin mereka masih punya rencana lain untuk menghabiskan waktu bersama lebih lama lagi. Tanpa aku.Aku merasa terasingkan. Merasa kalau Abangku kian punya kehidupan lain. Dan itu menyakitkan.
.Aku membaringkan diri di sofa. Aira muncul dari dapur membawa secangkir kopi.Mau? Aira mengangkat cangkir yang berada di tangannya.Enggak. Aku baru minum, jawabku malasKenapa? Kok lemas gitu. Bukannya abis ketemuan sama Abang beb? Dia tergelak.Abang beb apaan. Aku melempar bantal kursi kepadanya.Mendadak lihat-lihat rumah. Mo kawin? celetuknya.Astaga! Aku terperanjat. Kenapa tadi tak terpikirkan olehku alasan Bang Malik ingin membeli rumah. Ternyata ucapan Aira yang ceplas-ceplos lebih masuk akal ketimbang khayalanku tadi.Iya. Kurasa juga begitu.Serius?Tadi aku dikenalin sama calon istrinya, jawabku ketus, meski hanya menerka-nerka.Aira meletakkan cangkir kopinya di atas meja.Gimana orangnya?Cantik. Cantik sekali. Ramah, pintar, terpelajar. Dia bahkan dari keluarga kaya. Sempurna. Puas? Aku menghela napas, seperti tak terima dengan penilaian yang kubuat sendiri.Kamu cemburu? Aku tak menjawab. Jauhi dia, atau kamu akan terluka, Cha.Aku hanya merasa iri karena ada orang lain lebih dekat dengannya dari pada aku. Mereka terlihat begitu akrab seperti sudah bertahun tahun saling mengenal. Tanpa terasa air mata mengalir di sudut netra.Apakah masih ada aku di hatinya, Ra? Bahkan kenangan kami hanya secuil dibandingkan jarak perpisahan kami.Aku mulai menangis di pelukan Aira. Kurasakan tangannya menepuk-nepuk pundakku dengan ketulusan.*******
Malam ini, Bu Sam kembali memintaku makan malam di rumahnya. Sepulang kerja, Bang Malik mengajakku mampir ke toko baju di sebuah mall, agar tak usah bolak-balik pulang ke rumah.Aku juga tidak ingin merepotkannya, karena letak rumahku dan rumahnya berlawanan arah. Kami memasuki sebuah toko dengan brand ternama. Aku memegang sebuah baju terusan tanpa lengan yang kalau kupakai, pasti akan melekat sampai ke kulit. Kuingat dulu Aira sering memakai baju seperti ini untuk memamerkan tubuh seksinya. Aku terkikik geli melihat baju model begitu.Heh, heh. Apa ini? Mau jadi biduan? Malik dengan tiba-tiba mengapit leherku dengan lengannya. Berpikir kalau itu adalah baju yang akan aku kenakan.Enggak kok, siapa juga yang mau makek baju kek gini. Aku meletakkan kembali gantungan baju tersebut. Merasa geli.Coba yang ini! seru nya, sembari menempelkan dress selutut di tubuhku, tanpa melepaskan tangannya dari leherku. Dia menarikku ke depan cermin. Bagus, kan? Ia setengah berbisik di telingaku. Membuat darahku kembali berdesir.I iya, jawabku sedikit gugup. Kupandangi cermin di depan sambil memperhatikan posisi kami yang berdiri sejajar. Aku memegangi lengannya dengan rasa yang tak biasa.Sana masuk. Langsung pakek aja. Abang tunggu di depan, lanjutnya, melepaskan pelukan itu.Aku keluar dengan pakaian baru yang dipilihnya. Sebuah gaun yang sangat cantik. Gaun baru dengan merek ternama. Kulihat harga bandrol yang tertera, sepuluh kali lipat dari harga baju preloved yang biasa aku beli di situs online.Tak lupa bang Malik juga membelikanku sepatu baru. Flatshoes berwarna hitam jadi pilihanku.Gimana, Bang? tanyaku sambil memain-mainkan kaki.Hem, bagus.Beneran? Bukan karena bosan? Aku sedikit merajuk. Bang Malik spontan menarik hidungku dengan gemasnya.Kamu itu, pakai apa aja udah cantik, jadi nggak usah bawel. Bosan apanya? Abang bisa temani kamu seharian kalau mau.Senyum bahagia kuukir sempurna di bibir. Kata-kata itu memberiku sedikit harapan. Dia masih Bang Malikku yang dulu.Makasih ya, Bang. Chaca jadi ngerepotin.Jangan sungkan. Kamu masih tanggung jawab Abang. Mulai sekarang, kalau perlu apa-apa bilang aja.Nggak usah, Bang. Chaca juga kerja. Punya penghasilan sendiri. Kenapa harus minta sama Abang?Jangan ngelawan, Chaca. Kalau Abang bilang minta, ya minta, ucapnya tegas.Iya, iya. Chaca nurut. Puas? rajukku.Nah, begitu. Dia kembali mengacak rambutku.Masih ada waktu. Ayo cepat! Bang Malik merangkulku berjalan menuju tempat selanjutnya.Ke mana? Kakiku menyeret mengikuti langkahnya.Ikut aja!Kami sampai di depan sebuah salon kecantikan ternama. Segera aku menghentikan langkah.Kenapa? Malik ikut berhenti.Ngapain ke salon? Chaca gak suka dandan. Emang Chaca jelek? Abang malu lihat penampilan Chaca? protesku.Siapa bilang? Abang ngajak kamu ke sini buat creambath, biar rileks. Biar kamu nggak terlalu tegang kalau ketemu lagi sama Mama.Aku tertegun. Benarkah hanya itu alasannya?Malam ini juga ada Papa. Biar kepala kamu ini nggak terlalu stres. Bang Malik kembali menekan kepalaku dengan gemas.Bang Malik, seperhatian itu kah kamu denganku. Sampai-sampai dapat membaca pikiranku sekarang ini. Siapa yang tidak stres. Menghadapi beberapa orang asing yang sudah merawat dan membesarkan Abangku hingga menjadi seperti sekarang.Aku duduk menghadap cermin saat seorang pekerja salon memijat lembut kepalaku. Nikmat sekali. Benar-benar membuatku merasa nyaman. Kulirik Abangku yang dari tadi memainkan layar ponsel di ruang tunggu dengan santai.Perhatian banget pacarnya ya, Kak, puji gadis yang sedang melayaniku saat ini. Jarang-jarang lho, ada yang nungguin pasangannya sampai selama ini. Biasa kalau udah nganter, ditinggal gitu aja, sampai selesai baru dijemput.Ada perasaan bahagia di hatiku mendengar ucapannya. Seandainya saja itu benar-benar terjadi, menikah muda pun tak jadi masalah. Aku bersedia. Asal itu dengan Bang Malik.Dia Abang saya, ucapku dengan polosnya. Lalu kembali memandang laki-laki itu dari dalam cermin.*****part 5Aku dan Bang Malik sampai ke rumah besar itu lagi. Jantungku kembali berdegub tak karuan. Aku menghela napas, sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki ke pintu depan.Santai aja, ada Abang. Ia mencoba menenangkanku. Merangkulku masuk ke dalam, seolah tahu apa yang sedang aku rasakan.Kami tiba di ruang tamu keluarga dan...Hai Chaca, kita ketemu lagi. Bak anggota keluarga, Tania muncul menyambutku dengan senyumnya yang elegan.Oh, eh, hai.... Aku merasa gugup menjawab sapaannya.Kamu di sini, Tan? Bang Malik juga seperti tak tahu kedatangannya.Iya dong. Tante ngundang aku. Nggak boleh, hem? tanyanya manja.Menyebalkan.Ya boleh, lah. Malik terlihat bersemangat.Hish....Ayo Chaca, kasi salam sama Papa. Bu Sam menimpali. Aku langsung berjalan mendekati laki-laki yang kuperkirakan usianya hampir enam puluhan itu.Sangat kontras dengan penampilan Bu sam yang terlihat awet muda dengan style hijab syari yang menjadi busananya sehari-hari. Aku meraih uluran tangannya dan meletakkannya di dahiku.Sudah besar kamu rupanya, kelakar Pak tua itu, seolah-olah sudah mengenalku sejak kecil.Sambil menunggu makan malam disiapkan, kami berkumpul untuk ngobrol. Tania terlihat akrab dengan keluarga ini. Tentu saja, bukankah sebentar lagi dia juga akan menjadi bagian dari mereka?Coba aja kalau Haikal ada di sini ya, Tante? Pasti makin seru! ujar Tania, menyebut entah nama siapa.Oh, kangen? Tiba tiba terdengar suara seorang pemuda datang dari ruangan lain.Kal.... Tania melompat, berlari dan langsung memeluk pemuda tadi.Ya, Tuhan. Apa-apaan wanita ini. Sama sekali tidak punya sopan santun di depan orang tua. Kemarin baru saja saling menempelkan pipi pada Bang Malik. Sekarang main nubruk saja seperti banteng pada pria lain. Dasar tidak punya akhlak.Kapan kamu pulang, Kal? Aku udah beberapa hari di sini. Biasanya kalau pulang ke Indonesia kamu selalu ngabarin aku. Tania bergelayut manja.Benar-benar wanita yang aneh.Sengaja, mau ngasi surprise, jawab pemuda tadi. Kaget, kan? Senyum riang terukir di bibir tipisnya.Huh, dasar. Kapan kamu sampai?"Tadi siang, tapi langsung tidur. Biar fresh buat kita begadang malam ini. Ya kan, Ma? Kulihat pemuda itu mengedipkan sebelah mata pada Mamanya.Hemm.... dasar.Jadi ini, laki laki bernama Haikal yang disebut Tania tadi. Tidak salah lagi, dia pasti putra kandung bu Sam yang kuliah di luar negeri. Kulihat Bang Malik juga berjalan mendekatinya. Kamu ngerjain Abang juga, ha? Dia mendapatkan leher itu, kemudian mengepitnya dengan lengan. Lalu mengacak rambutnya yang lurus dan mengkilap itu.Ampun Bang, ampun, rintihnya. Mereka terlihat sangat akrab, kemudian berpelukan dengan erat.Itu Chaca? Kudengar ucapannya, sambil melihat ke arahku.Bang Malik mengangguk, sambil memberikan kode agar aku mendekat. Aku berjalan mendekati mereka, mengulurkan tangan.Dengan cepat dia menyambutku dengan pelukan. Aku terdiam, sambil melirik Bang Malik. Bang Malik tersenyum, seolah menyetujui tindakan adiknya itu. Oh Tuhan, kenapa mereka semua seperti ini. Seenaknya saja memeluk wanita yang jelas-jelas bukan mahramnya. Membuatku merasa risih karena tak biasa.Akhirnya makan malam pun tiba. Mereka tetap mengobrol dengan semangat. Sesekali mereka juga melontarkan pertanyaan kepadaku. Keberadaan dua orang ini sedikit mencairkan suasana, dari makan malam sebelumnya.Tania sungguh beruntung, bisa dengan mudah bergaul dengan seisi rumah. Bang Malik juga terlihat dekat dan sangat menyayangi adik laki lakinya itu. Apakah masih ada arti diriku selama ini, di saat dia sudah memiliki keluarga sempurna seperti ini?******Bang Malik memilih mengantarku pulang, ketimbang ikut nongkrong bersama Haikal dan Tania. Kulihat raut kekecewaan pada wajah gadis itu, saat Bang Malik dengan tegas menolak ajakan mereka.Berbeda dengan Haikal, lelaki itu terlihat lebih santai menyikapi pilihan saudara angkatnya. Kudengar mereka memutuskan untuk pergi berdua saja tanpa Abangku. Tanpa kami.Kenapa Abang menolak ajakan mereka? tanyaku saat di perjalanan.Udah malem. Besok Abang harus bangun pagi buat inspeksi seluruh outlet. Jadi harus tidur cepat. Biar nggak kesiangan. Bang Malik beralasan.Kenapa Haikal tiba-tiba pulang? Bukannya dia kuliah di luar negeri?Ia mengangguk Lagi ambil cuti. Haikal bilang lagi kangen sama keluarga.Aku tak percaya. Jelas mereka semua sudah dibohongi oleh Haikal. Sesaat kuingat percakapan mereka di halaman belakang tadi.Saat itu aku baru selesai dari toilet. Haikal dan Tania duduk di kursi teras samping, membelakangiku.Kamu beneran ambil cuti? Kok mendadak? tanya Tania, sambil menyisir rambutnya dengan jari untuk diletakkan di bahu kirinya.Aku dengar dari Mama kalau kamu lagi di Medan, jadi aku putuskan untuk pulang.Apaan, sih. Gombal aja. Bilang aja kamu mau lihat adiknya Malik. Iya, kan? Udah ngaku aja. Aku juga penasaran seperti apa gadis yang selama ini membayangi hidupnya.Jadi, kamu datang karena hal itu? Haikal terdengar kecewa.Hem... Tania mengangguk pelan. Aku juga ingin mengenalnya lebih dekat. Aku harap Chaca mau bersikap akrab denganku.Masih ingin mencari perhatian Bang Malik? Nada bicara Haikal semakin terdengar kecewa.Kal, kamu jangan seperti itu. Kamu kan tau sendiri gimana perasaan aku sama Abangmu.Terus, gimana dengan perasaan aku? Padahal kamu tau sendiri gimana rasanya menahan perasaan, tanpa mendapat balasan. Itu juga yang aku rasakan selama ini, Tan.Cih! Cinta segitiga rupanya.Kuabaikan kembali percakapan itu. Bergegas pergi meninggalkan mereka karena takut bang Malik terlalu lama menunggu.Besok temani Abang lagi ya, ke kantor pemasaran rumah. Sepertinya Abang tertarik dengan lokasinya. Bang Malik menyadarkanku dari lamunan.Aku diam, malas membahas urusan pribadinya lagi. Jelas-jelas rumah itu untuk dia tempati bersama Tania. Kenapa juga harus melibatkanku.Bisa, kan? sergah Bang Malik, karena aku tak menjawab.Kenapa harus melibatkanku untuk persiapan rumah tanggamu. Kenapa tak mengajak Tania saja. Membuatku semakin merasa rendah diri.Chaca ada janji sama Aira, jawabku berbohong.Ke mana? Nadanya terdengar heran, tidak menyangka kalau aku akan menolak.Mau belanja bulanan, udah pada habis semua.Ya, Nanti Abang antar sekalian. Sepertinya dia tidak ingin dibantah. Dan itu membuatku kesal.Kenapa nggak sama Tania aja sih. Kenapa harus sama Chaca? ketusku.Lho, kok kamu jadi jutek gitu. Emang Abang salah ngomong? bujuk Bang Malik dengan lembut.Aku tetap diam, tak ingin mengutarakan rasa tidak sukaku terhadap hubungannya dengan Tania. Tak lama kami sampai. Aku membuka pintu mobil dan bergegas keluar tanpa berpamitan.Bang Malik mengikutiku dari belakang, menarik tanganku yang hendak menutup pintu depan. Dia masuk tanpa kupersilakan.Aku menghempaskan bobot tubuh di atas sofa. menyandar sambil memalingkan wajah menghindarinya.Kamu kenapa tiba-tiba marah kek gini? Kamu lagi kesal? Kamu lihat sendiri, kan? Keluarga Abang semuanya menerima kamu. Nggak ada yang salah dengan hubungan kita, jadi kamu nggak usah merasa minder atau nggak enakan. Apalagi harus bawa-bawa Tania! Malik mulai berbicara tegas, seolah-olah tahu kalau aku merasa rendah diri di hadapan keluarganya.Abang sendiri yang menjaga jarak. Kita baru aja ketemu, tapi kenyataannya abang selalu sibuk dengan urusan pribadi Abang.Maksud kamu apa? Kapan Abang begitu?Abang mau nikah sama Tania, kan? Makanya Abang buru-buru mau beli rumah. Aku berterus terang, karena tahu Bang Malik tak mungkin bisa dibohongi lagi.Kalau Abang secepat itu mau nikah sama Tania, lebih baik nggak usah lagi temuin Chaca. Lupain aja semua tentang kita. Chaca nyesal udah ketemu sama Abang. Aku bangkit dari tempat duduk, hendak ke kamar. Tapi Malik menekan kedua bahuku dan menahannya agar kembali ke posisi semula.Jarak yang begitu dekat membuatku melupakan segala hal tentang hubungan kakak adik. Apa dia tidak normal, memperlakukan aku sedekat ini. Padahal tidak ada ikatan darah di antara kami? Apa dia tidak merasakan apa pun?Malik menghela napas, berusaha memberi penjelasan kepadaku setenang mungkin. Megusap pipiku dengan lembut dan membelai rambutku seperti anak kecil.Memangnya ada yang salah, kalau Abang mau nikah? Bukankah harusnya kamu ikut bahagia, kalau Abang juga bahagia?Dia menatapku dengan teduh. Membuat imajinasiku pikiranku melanglang buana entah kemana.Chaca nggak suka Abang menikah sama Tania! ketusku. Seberani itu aku mengucapkan kata yang terdengar begitu egois. Dan aku benar-benar sadar akan kata-kata itu.Bukannya kamu dekat sama Tania? Dia juga bersikap baik sama kamu. Kenapa tak suka?Nggak suka aja. Chaca cemburu! celetukku begitu saja.Tiba-tiba terdengar gelak tawa dari mulutnya. Merasa lucu dengan sikapku yang begitu berterus terang.Apa dia tidak marah?Chaca, Chaca. Kamu polos banget sih. Dasar anak kecil. Ia menarik hidungku dengan gemas.Chaca udah dewasa, Bang. Bukan anak kecil lagi, protesku.Oh, ya? Kalau kamu udah dewasa, nggak akan mungkin ngomong seperti ini. Hanya anak kecil yang berani jujur tentang rasa cemburunya. Ia kembali tertawa. Dan itu seperti sedang mengejekku.Udah Chaca bilang Chaca bukan anak kecil. Chaca udah dewasa! tegasku.Oh, ya? Sedewasa apa? tantangnya dengan senyum penuh ejekan. Membuat emosiku berada di ujung puncak.Tak sadarkah apa yang ia lakukan saat ini? Sudah tak ada jarak lagi di antara kami. Bang Malik terus memandangku seperti menatap bayi yang lucu. Aku tak ingin melewatkan kesempatan ini. Kepalang tanggung, persetan dengan harga diri.Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Menyentuh bibir lembut itu tanpa meminta persetujuan. Dia diam tak bergerak. Mematung, dan kuharap ikut menikmati aksi gilaku itu. ******part 6Bang Malik seolah baru sadar dari keterkejutannya. Segera ia mendorong tubuhku hingga terhempas ke sandaran sofa. Dia bangkit dengan mata melotot dan wajah memerah.Kurasa dia benar-benar marah kali ini. Dia mundur sejenak tuk menenangkan diri, lalu kembali menghampiri, sambil mengibas-ngibaskan jari telunjuknya ke arah mukaku.Si..si siapa yang ngajarin kamu seperti ini? Bang Malik bertanya dengan suara gagap.Aku diam, tak berani menjawab. Dipukulnya ubun-ubunku dengan jari tengah yang setengah ditekuk seperti sedang mengepal.Aww... sakit, Bang! Aku menggosok kepalaku bekas pukulannya. Lumayan juga rasa sakitnya.Mendengar suaraku yang seperti tanpa penyesalan, ia menarik daun telingaku. Hingga mau tak mau aku meninggikan sedikit tubuhku untuk mengikuti gerakan.Ampun, Bang, sakit. Aku mengaduh dan menyerah. Menyingkirkan tangannya, dan kembali mengusap telinga yang pasti sudah memerah.Ayo jawab! Sudah berapa kali kamu melakukan hal seperti ini? Mau jadi wanita nakal, ha?Maaf, Bang. Chaca nggak sengaja. Hanya itu yang bisa aku ucapkan.Sepertinya memang tak ada yang ia rasakan atas perlakuanku tadi.Berani-beraninya kamu memperlakukan Abang seperti itu, ha?Maaf. Chaca khilaf. Aku menyerah. Menggigit bibir bawahku merasa bersalah.Hisshh...argghh... awas kamu ya. Kita belum selesai bicara! Malik mulai salah tingkah.Berjalan ke sana ke mari sambil menjambak rambutnya sendiri. Melihatku sekilas, lalu cepat-cepat pergi dan membanting pintu.Hufftt....Aku terduduk lemas di atas sofa. Merasa malu setengah mati. Menyesali apa yang baru saja aku lakukan. Apa yang akan dipikirkannya nanti tentang aku? Ia pasti sedang kacau. Haruskah aku menghubunginya sekarang, lalu meminta maaf dan berjanji bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi lagi?Tiba-tiba terdengar suara tawa Aira yang arah belakang. Aku langsung menoleh dan mendapatinya sedang memegang perut menahan tawa.Agresif juga kamu, Cha. Tawanya semakin keras. Entah apanya yang lucu.Sejak kapan kamu di situ? Aku mendelik tajam ke arahnya.Sejak dengar suara pintu dibuka, sahutnya santai sambil berjalan ke arahku.Kok nggak bilang?Takut mengganggu.Ish... kamu lihat semuanya? Aira kembali terkikik sambil memegangi perutnya kembali.Ia mengangguk. Sontak aku menutup kedua wajahku menahan malu.Kalian berdua sama-sama polos ya? celetuk Aira.Polos apanya? Mungkin ini memang yang pertama bagiku, tapi mana mungkin dengan dia.Kamu nggak lihat, mukanya Abang kamu tadi begitu merah? Aku berani bertaruh, kalau ini juga yang pertama baginya.Mana mungkin. Dia bahkan tak membalas dan hanya diam.Berani banget kamu kek gitu? Siapa yang ngajarin? sindirnya. Memang kamu pernah pacaran?.
Aku melakukan pekerjaan seperti biasa. Setiap saat kulirik Bang Malik yang tengah fokus di layar komputer, dari balik dinding kaca yang tembus pandang sampai ke dalam ruangannya.Tak ada tegur sapa, meski sempat bertemu pandang. Sepertinya dia pura-pura tidak melihatku. Kenapa harus menghindar?Jantungku masih saja berdebar mengingat peristiwa semalam. Apa yang akan dilakukan Bang Malik terhadapku. Apa kini dia akan menjaga jarak, atau malah memutuskan hubungan? Bukankah aku ini memang tak ada apa-apa baginya?Seperti biasa saat jam istirahat aku dan yang lainnya makan siang di aula. Sudah lima belas menit berlalu, tapi ia belum muncul juga. Biasanya walau tak duduk dekat denganku, ia selalu menyempatkan diri untuk bergabung dan makan bersama kami.Abang nggak makan? Kuberanikan diri mengirimkan pesan whatsapp padanya.Aku menatap layar, belum juga ada balasan darinya. Mungkin masih sibuk di kantor. Aku memberanikan diri menyusulnya ke dapur, menuju kantor. Tapi tak ada. Ke mana dia? Apa dia benar-benar sengaja menghindar?Pak Malik tadi pamit, katanya mau makan siang di luar. Suara itu tiba-tiba muncul memberi tahu.Eh, iya, Rik, sahutku.Aku juga mau ngasi laporan. Pak Malik bilang letakkan di kantor, ada janji sama seseorang, katanya. Erik menjelaskan.Seseorang? Tania, kah? Ya, pasti dia. Mungkin merasa bersalah atas apa yang terjadi di antara kami, hingga ingin cepat-cepat menemui Tania untuk menghilangkan rasa bersalahnya.Oke, Rik. Makasih. Aku duluan, ya. Aku kembali ke aula. Merebahkan diri berbantalkan tubuh tambun bu Rini yang sudah tergeletak dari tadi.*****Bel berbunyi, tanda jam operasional kerja sudah berakhir. Anak-anak berhamburan keluar seperti anak ayam yang baru lepas dari kandangnya. Aku mengambil ponsel dari tempat penyimpanan, karena sesuai aturan tidak boleh memegang benda itu saat jam kerja berlangsung.Ada dua panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Tak lama ponselku kembali menyala. Dengan cepat aku menggeser layarnya yang berlogo hijau.Halo! Aku menyapa.Chaca, kamu ada waktu sore ini? Suara Tania rupanya di seberang sana. Pasti Bang Malik yang memberikan nomerku padanya.Nggak ada kok, kenapa Tania? Mencoba seramah mungkin.Aku pengen ngobrol aja sama kamu. Nanti sore aku jemput, ya? Kita ngobrol sambil minum kopi. Kata-katanya bukan seperti permintaan, melainkan lebih mirip sebuah perintah.Baiklah. Aku mengakhiri pembicaraan, dan menutup percakapan.Hari ini Bang Malik tidak berada di kantor, karena setelah makan siang, dia tidak kembali karena harus mengadakan inspeksi ke seluruh outlet.Mungkin kesempatan ini dimanfaatkan Tania untuk menemuiku. Karena selama ini, sepulang kerja aku sering menghabiskan waktu bersama Abang yang sudah lama tak bertemu.Sepulang kerja kulihat mobil sedan gadis itu sudah terparkir di seberang jalan. Aku menghampiri, dan langsung masuk menemuinya.Udah lama? Aku berbasa basi.Enggak. Baru nyampek, kok. Tania menjawab dengan senyum manis seperti biasanya.Tania memarkir mobil di kafe Terrazzo, tempat pertama kali kami berkenalan. Kafe yang masih satu kawasan dengan perumahan Belanda tempatku tinggal.Bagaimana perasaanmu setelah bertemu kembali dengan Malik? Tania memulai pembicaraan.Senang, sahutku singkat.Kamu belum melupakannya selama ini?Melupakan bagaimana?Bukankah saat itu kamu masih berusia tujuh tahun? Rasanya sulit bagi anak seusia itu untuk mengingat sesuatu.Aku masih ingat. Tidak mungkin bisa lupa begitu saja.Apakah selama ini kamu juga mencarinya?Aku juga bingung bagaimana harus menjawab. Memang selama ini aku hanya sibuk bekerja untuk mempertahankan hidupku dan juga orang yang telah merawatku. Sampai-sampai aku tidak kepikiran untuk mencoba mencari tau tentang dirinya.Bagaimana seandainya jika sampai saat ini kamu belum bertemu dengan Malik. Bahkan kamu tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Apa kamu akan tetap hidup bahagia seperti sekarang? Tania terus menanyakan hal-hal yang membuatku bingung.Tania, kamu ini wartawan atau apa? Aku mencoba mencairkan suasana yang membuatku merasa tegang.Kini aku sadar, aku tak seingat itu terhadapnya. Ingatan-ingatan masa lalu yang hanya secuil dari usiaku sekarang, perlahan memudar. Terseret kerasnya hidup yang kujalani selama ini.Kasih sayang yang dulu aku rasakan sebagai adiknya, kini telah hilang. Sosok Bang Malik yang kukenal sekarang adalah sosok seorang laki-laki dewasa, tampan, baik hati dan juga mapan.Wanita mana pun takkan mungkin bisa menghindar dari pesonanya. Ingatanku perlahan memudar tentang Bang Malik yang saat itu masih remaja. Kini dia benar-benar telah jauh berbeda.Jawab saja. Bagaimana perasaanmu sebenarnya.Maaf, tapi aku sama sekali nggak ngerti arah pembicaraanmu. Kenapa mengungkit ungkit masa lalu kami? Aku mulai risih.Aku minta maaf. Tania menyadari keagresifannya. Aku hanya penasaran saja dengan hubungan kalian. Apa menurutmu, Malik masih seperti kakakmu yang dulu?Tentu saja. Dia tak berubah sama sekali. Aku mulai percaya diri.Jangan terlalu dekat, ucapnya yang terdengar dingin.Ada sesuatu yang menusuk di relung hati. Mungkinkah Tania cemburu? Padahal selama ini dia baik-baik saja denganku. Tidak mempermasalahkan kemanjaanku dengan Bang Malik. Atau jangan-jangan, dia sudah tahu kalau aku dan Bang Malik bukan saudara kandung?Bukankah kalian harus menjaga jarak, Cha? Kenapa sampai mempengaruhi Malik untuk tinggal bersama? Hanya berdua? Tania mulai menunjukkan emosi dengan kata-kata yang tak kumengerti.Berdua? Kapan aku mengajaknya seperti itu. Bukankah Mamanya yang memintaku untuk tinggal di rumahnya?Kau bicara apa? tanyaku ragu.Jangan berpura-pura. Sifatmu tak seperti yang terlihat dari luar. Kau licik! ketusnya, setelah menggeram.Apa maksudmu? Berhenti ikut campur urusan kami, Tania. Urus saja urusanmu sendiri. Aku mulai berani.Kamu menyukai Malik, kan? Kamu sama sekali tidak menganggapnya sebagai seorang kakak, kan? Ucapan Tania tak lagi lemah lembut seperti biasa. Dia benar-benar terdengar marah.Apa ini? Dia sudah tahu?Tentu saja aku masih menyayanginya sebagai seorang kakak. Aku masih berusaha menutupi.Seorang kakak? Dia tersenyum sinis.Kamu bahkan bukan adik kandungnya.Aku begitu terkejut dengan perkataan Tania. Tak menyangka kalau dia akan seterus terang ini tentang status hubungan kami sebenarnya. Kenapa Bang Malik mengatakan itu padanya. Apa itu berarti ia tak sungguh-sungguh menganggapku sebagai keluarga?Kau sudah tahu? Ada yang menghangat di mata ini.Siapa pun pasti tau jika melihat tingkahmu saat di dekatnya. Kau menyalah artikan kasih sayang dan caranya memanjakanmu. Kau pikir aku tidak bisa melihatnya. Kau menyukainya, Chaca. Kau pasti sangat berharap kalau Malik akan menjadi kekasihmu.Cukup, Tania! Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini? Apa salahku padamu? Kau takut aku merebutnya darimu?Merebut? Kamu sama sekali tidak sebanding denganku, Chaca. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, jika suatu hari Malik mengajakku menikah. Kata-kata Tania sangat menusuk dan terkesan menyepelekanku.Tidak sebanding? Apa yang kau maksud karena aku miskin dan berpendidikan rendah? Apa semua orang kaya selalu mempermasalahkan itu? Air mataku jatuh begitu saja. Kata-katanya bahkan tak membiarkan mataku untuk berkedip.Maafkan aku, Chaca. Aku tidak bermaksud seperti itu. Dia terlihat menyesal menatapku.Kau benar, Tania. Kata-katamu membuatku sadar. Orang kaya hanya butuh titel dan gelar. Bukan hati.Chaca, bukan itu maksudku.Sikapnya mulai melunak. Takutkah dia, kalau aku akan mengadu kepada Bang Malik? Aku tak dapat lagi menahan air mata ini. Aku bangkit dan berdiri, lalu pergi meninggalkannya begitu saja.
*******part 7POV TANIAAku, Tania Anjani. Lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang cukup terpandang di Ibu kota. Putri tunggal dari seorang pengusaha tambang dari Kalimantan.Pekerjaan Papa membuat aku dan Mama terpaksa berpindah-pindah kota untuk mengikuti kegiatannya. Sampai akhirnya Mama sering sakit-sakitan, dan memutuskan untuk menetap di Jakarta.Hanya Papa yang sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Medan adalah kota yang paling sering dikunjunginya. Bahkan aku dan mama pernah tinggal selama beberapa tahun di sini, sampai papa tiba-tiba mengajak kami pindah lagi ke Jakarta.Banyak kenangan indah yang terjadi padaku di sini. Saat itu usiaku baru 13 tahun. Papa mengajak aku dan Mama menghadiri acara syukuran di rumah sahabat lamanya.Aku bermain bersama Haikal yang sudah hampir dua tahun tak kutemui. Haikal adalah putra tunggal dari sahabat Papa yang bernama Om Ridwan dan istrinya Tante Syamsiah yang biasa kupanggil Tante Sam.Pasangan suami istri tersebut adalah pemilik salah satu restoran terbesar di kota Medan yang mempunyai outlet hampir di seluruh mall di kota ini. Aku dan Haikal sudah akrab sejak kecil. Kalau tidak kami yang datang, pastilah keluarganya yang berkunjung.Tania, kenalin ini Bang Malik. Sekarang dia sudah jadi Abangku. Aku terkejut mendengar ucapan Haikal.Kenapa dia bisa jadi Abangmu? Aku berbisik di telinga Haikal. Apa Papamu menikah lagi?Pemuda tampan yang diakui Haikal sebagai kakak laki-lakinya nya itu tertawa melihat tingkahku. Wajahnya tampak sangat menawan saat tertawa. Aku yang saat itu masih beranjak remaja langsung terpesona.Ngapain bisik-bisik, kalau toh kedengaran juga, ucapnya. Aku langsung menutup mulut karena malu.Kenalin, aku Malik. Kamu pasti Tania, kan? Haikal cerita banyak tentang gadis manis pujaan hatinya, ujarnya, sambil mengulurkan tangan.Pipi Haikal memerah mendengar ucapan Malik dan langsung lari bersembunyi dari kami.Itulah kali pertama aku mengenalnya. Usianya hanya dua tahun di atasku. Aku dan Malik masih saling berkomunikasi walaupun tidak tinggal di kota yang sama.Sampai pada saat lulus SMA, Malik memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Aku sangat senang, karena kami jadi begitu dekat. Aku yang saat itu masih kelas dua SMA merasa seperti merasakan cinta monyet, walaupun tak pernah direspon olehnya.Sampai pada akhirnya, Malik mengakui bahwa selama ini dia terus dihantui mimpi buruk tentang adiknya. Kejiwaannya terganggu karena rasa bersalah yang teramat dalam terhadap satu-satunya keluarga yang ia miliki. Hingga tak pernah terpikirkan darinya untuk hidup dengan bahagia.Aku merasa iba mendengar semua kisah tentang kakak beradik itu. Tapi apa yang bisa kulakukan?Aku menceritakan semua kejadian itu kepada tante Sam. Wanita berhati lembut itu tak kalah kaget denganku. Selama ini dia hanya mendengar bahwa Malik memiliki seorang adik perempuan yang hilang entah kemana.Sama sekali tak pernah tahu soal mimpi buruk itu. Tante Sam memilih mengirim Malik ke luar negeri untuk meneruskan kuliahnya. Semula aku kecewa, tapi demi kebaikan pria yang kucintai, aku pun melepasnya dengan ikhlas.Semoga kamu bisa melupakan kejadian itu ya, Lik, pesanku, saat berada di bandara untuk ikut mengantar kepergiannya.Terima kasih, Tania, ujarnya dengan suara lembut.Malik berjalan meninggalkan aku dan keluarganya. Ku tatap ia dengan perasaan hampa, sampai tak terlihat lagi.*****Dua tahun berlalu.Malik kembali dari luar negeri untuk meneruskan kuliahnya yang terhenti di sana. Tidak betah katanya. Saat itu aku yang baru lulus sekolah SMA ikut mendaftar di Universitas yang sama.Sejak aku tahu tentang mimpi buruk Malik, aku bercita-cita ingin menjadi seorang psikolog. Aku ingin sekali membantunya lebih dekat, lebih dalam sebagai seorang profesional.Itu semua sudah terwujud, kini aku resmi mendapat gelar seorang Sarjana Psikolog. Cita citaku hanya satu, menjadi psikolog pribadi untuk orang yang kucintai.Saat Malik menjadi senior di kampusku, banyak gadis-gadis yang ingin mendekatinya. Wajah tampan dan sifatnya yang lemah lembut membuat para wanita begitu tergila-gila dibuatnya.Untung saja Malik tak pernah peduli dan memberikan respon berlebih pada mereka. Hal itu membuat perasaanku yang bertahun-tahun sudah terpendam, tak pernah pudar.Suatu hari Tante Sam memberi kabar, bahwa Malik menemukan adik perempuannya. Aku pun turut merasakan kebahagiaan yang sudah lama ingin dirasakannya. Meski sedikit merasa kecewa, karena berita itu tak kudengar langsung darinya.Aku menunggu hingga beberapa hari, tapi Malik tak juga menghubungi. Aku menyerah. Malik mungkin sedang asik sendiri dengan adiknya yang sangat dia rindukan, hingga sedikit melupakan tentang aku.Kuputuskan untuk mengunjungi mereka ke Medan. Mungkin dengan aku mendekatkan diri pada adiknya, dia jadi akan lebih memperhatikan aku dan bisa membuka hatinya.Perkenalan pertamaku dengan Chaca sangat lancar. Aku berhasil memukau perhatian Malik yang begitu senang melihat keakrabanku dengan adiknya. Chaca juga termasuk gadis yang manis. Usianya yang masih sangat muda membuatku berpikir sangat mudah untuk memasuki kehidupannya. Kurasa kami akan bisa berteman.Tapi semua pikiran itu hilang, manakala kulihat tingkah laku mereka berdua yang tak wajar. Aku tahu Malik sangat ingin memanjakan adiknya, tapi tidak dengan gadis itu.Dari sisi psikologisnya, aku tahu Chaca tak lagi menganggap Malik sebagai seorang kakak. Melainkan layaknya wanita menyukai laki-laki. Timbul rasa curiga di pikiranku, bahwa mereka bukanlah saudara kandung.Tanpa rasa bersalah Malik mengakui semuanya, tapi baginya itu bukan Masalah. Walaupun tidak ada hubungan darah sama sekali, tidak merubah sedikit pun perasaan sayangnya pada gadis itu.Tolong rahasiakan ini dari keluargaku, pintanya.Kenapa harus merahasiakannya? Apa pentingnya itu? Semua orang tau kalian dibesarkan dari panti asuhan yang sama.Aku tidak ingin Chaca terluka. Aku satu-satunya keluarga baginya. Dia masih terlalu muda untuk mendengar status tidak penting seperti itu. Aku tidak ingin dia lari dariku karena merasa dirinya seperti orang asing. Dia terlihat begitu memujanya.Chaca sudah cukup dewasa, Lik. Dia juga pasti sudah paham situasi ini.Tidak, Tania. Bagiku Chaca masih kecil dan butuh perhatian. Aku juga curiga dengan teman serumahnya itu. Sepertinya dia bukan wanita baik-baik. Aku tidak ingin Chaca terlibat lebih dalam dengannya.Apa yang sedang kau pikirkan, Lik? Perasaanku mulai tidak enak.Aku akan membeli sebuah rumah. Aku dan Chaca akan tinggal bersama. Chaca butuh pengawasan orang dewasa sepertiku, Tania.Bak petir disiang bolong, kata-kata Malik sangat menyakitiku.Kamu tidak bisa melakukannya, Malik. Chaca bukan adikmu. Kalian tidak bisa tinggal berdua dalam satu atap.Jangan ngawur Tania. Aku hanya menganggap Chaca sebagai adik. Jadi kamu jangan berpikir yang macam-macam.Bukankah Chaca bisa tinggal di rumah Mamamu? Kurasa itu akan lebih masuk akal, kalau kau tidak punya niat apa-apa.Chaca nggak nyaman di sana. Apa lagi sekarang ada Haikal. Dia mungkin akan merasa rendah diri melihat kami.Aku tidak peduli, Lik. Kalau kamu tetap melakukannya, aku akan bilang semuanya pada keluargamu. Aku tidak main-maik, Malik. Aku mengancam.Apa yang terjadi padamu, Tania? Kenapa tiba-tiba kamu jadi seperti ini?Malik masih bisa selembut dan setenang ini menghadapi sikapku yang sedang berapi-api. Begitu bahagia kah dia saat ini?Aku mengusap air mata dengan punggung tanganku, seperti bocah yang tengah dinasehati Ayahnya. Aku tak lagi sungkan seperti biasanya.Kapan kamu akan membuka hati padaku, Lik? Aku tau kamu juga pasti tau tentang perasaanku. Kamu juga sudah menemukan Chaca, apalagi yang membuatmu menunggu? Jatuh sudah harga diriku sebagai wanita di matanya.Tania.... Tidak bisa kah sedikit saja kamu mengerti perasaanku? Sampai kapan aku harus menunggu lagi? Aku mencintaimu Malik. Tangisku pun pecah tanpa peduli lagi dengan anggapannya.Maafkan aku Tania. Aku masih belum bisa...******part 8Sudah beberapa hari ini aku dan Bang Malik tak saling bertegur sapa. Sebenarnya aku memang bersalah. Dia punya hak untuk marah dan mendiamkanku seperti ini.Kemarin-kemarin aku mencoba menghubungi, walau tidak digubris. Tapi setelah pertemuan dengan Tania kemarin, aku jadi malas untuk meneruskannya.Aku yang super sensitif dan benci untuk mengemis, tak ingin lagi jadi penghalang di antara mereka. Kubiarkan saja semua berjalan seperti sebelum mengenalnya. Pantang bagiku unyuk merengek, memohon sesuatu di depan seseorang, bahkan Bang Malik sekali pun.kehidupan masa kecil yang kuhabiskan dengan sekolah sambil berjualan di pasar menjadikanku anak yang mandiri. Kerasnya hidup miskin, tak membuatku menjadi gadis yang manja dan meminta belas kasihan orang. Cha, ada Malik di depan. Aira tiba-tiba muncul di pintu kamar.Aku menutup wajah dengan bantal, tak menggubris.Nggak mau ketemu Abang lagi? Suara Bang Malik menyusul dari belakang Aira.Aku membalikkan badan, langsung menenggelamkan wajah di balik bantal.Kenapa hari ini nggak masuk? Kini Bang Malik telah duduk di sisi ranjang. Aku diam tak menjawab.Sakit? tanyanya lagi.Peduli apa? Aku menjawab ketus, tanpa menoleh.Oh, masih ngambek? Dia mengusap lembut rambutku yang menutupi wajah.Kata-kata Bang Malik masih lembut, seperti sedang membujuk anak kecil yang sedang merajuk. Aku membalikkan badan dan langsung duduk bersandar.Abang sendiri yang nggak mau lagi bicara sama Chaca. Chaca nggak mau lagi kerja sama Abang, rajukku. Kok gitu?"Abang marah-marah terus. Chaca kan udah minta maaf. Kalau nggak bisa maafin, buat apa lagi kita ketemu.Mana bisa Abang marah lama-lama sama kamu. Bang Malik menggawil hidungku. Abang udah maafin. Lain kali jangan seperti itu lagi. Apa lagi sama laki-laki yang baru kamu kenal.Aku merasa senang karena Bang Malik begitu pemaaf. Aku berjanji akan melupakan semua perasaan nakalku padanya, dan mulai lagi menganggapnya sebagai kakak..
Ponselku berdering. Lagi-lagi nomer tak dikenal. Tapi ini bukan lagi nomer Tania.Hallo. Aku menjawab panggilan.Datanglah ke rumah sekarang. Mama ingin bicara.Bu Sam? Ada apa ini? Kenapa mendadak?.Untuk ketiga kalinya aku kembali ke rumah besar itu lagi. Kali ini sepi, hanya Bu Sam yang sejak tadi menungguku di ruang tamu.Seperti biasa aku meraih tangan dan menempelkannya ke pipi, menunjukkan rasa hormat dan sopan santun kepada yang lebih tua.Mataku berkeliling mengitari setiap sudut ruangan. Tapi tak melihat tanda-tanda keberadaan Bang Malik dan Haikal.Mereka tidak ada di rumah, jawab Bu Sam tanpa kutanya, seolah tahu apa yang sedang kucari. Tania ikut bersama mereka, sambungnya lagi.Oh, begitu, jawabku, sedikit merasa sungkan. Aku juga tidak bertanya.Berapa usiamu sekarang?Dua puluh satu, Bu.Sudah berapa tahun kerja di SunCo? Kenapa tiba-tiba bertanya? Apakah dia akan memecatku? Atau aku sudah membuat kesalahan. Setahuku, beliau tidak pernah berbuat semena-mena pada karyawannya.Sudah setahun, jawabku tanpa berani bertanya kembali.Kenapa tidak melanjutkan kuliah? Kan banyak juga anak-anak bagian produksi yang kuliah malam.Oh, itu. Saya.... Aku mengusap belakang kepala karena bingung.Lanjutkan saja pendidikanmu. Nanti Mama bantu.Dia terus saja memanggil dirinya Mama, meski kata itu tak pernah kusebutkan untuk dirinya. Aku diam, tak tahu apa yang ingin dikatakan. Benarkah Bu Sam sebaik yang dikatakan Bang Malik? Dia bahkan ingin membayar uang kuliahku yang pasti akan mengeluarkan banyak biaya.Padahal dia baru beberapa bulan ini mengenal aku secara langsung. Sedikit rasa lega dan bahagia atas perhatiannya.Kalau kamu bersedia, pergilah ke luar negeri. Kamu bisa pilih negara mana yang kamu mau. Mama akan mengurus semuanya.Sungguh aku begitu terkejut dengan perkataannya. Dari sini aku sudah mengerti, kemana arah pembicaraan ini. Tidak ada bedanya dengan permintaan Tania tempo hari. Dia juga ingin aku menjauh dari anaknya.Maafkan saya, Bu. Saya tidak bisa menerima niat baik Ibu. Sebenarnya saya juga punya niat untuk melanjutkan kuliah. Tapi tidak sampai jauh-jauh ke luar negeri. Itu pun saya bayar dengan uang saya sendiri. Ibu tidak perlu repot repot, tegasku.Aku berbohong, tak pernah terlintas sedikit pun dibenakku untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Bisa menamatkan sekolah sampai SMA saja aku sudah bersyukur.Saat itu yang kupikirkan adalah bagaimana caranya bekerja menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Tapi setelah melihat orang-orang yang hidup bersama Bang Malik, pikiranku mulai berubah.Aku juga bisa seperti mereka. Tak ingin direndahkan oleh orang-orang itu. Aku akan mulai mensejajarkan diri agar bisa hidup berdampingan dengan Abangku.Malik juga dulu sempat kuliah di luar negeri, lalu melanjutkan kuliah di Jakarta. Biar dekat dengan Tania, katanya.Apa-apaan wanita ini. Kenapa harus menyebut-nyebut nama Tania. Apa dia sengaja, ingin membuatku cemburu atas kedekatan mereka?Iya, Bu. Saya sudah tau. Bang Malik sudah pernah cerita. Aku mengukir senyum palsu.Ou... baguslah kalau begitu. Ia tersenyum lega. Oh iya, Mama ingin minta pendapatmu. Mama berencana ingin menjodohkan Tania dengan Malik. Sepertinya mereka sudah cukup umur untuk menikah. Bagaimana menurut kamu?Menikah? Secepat itu? *******Baiklah. Aku sudah bisa menangkap tentang arah pembicaraan ini. Aku hanya bisa diam, tak ingin membantah. Lagi pula aku sudah berjanji untuk tak lagi mencampuri urusan anaknya.Bagaimana, Chaca? Bu Sam mengulangi pertanyaannya.Saya tidak berhak mencampuri urusan Bang Malik. Kalau Bang Malik bahagia, tentunya saya juga merasa senang.Sakit, itu yang kurasakan saat ini.Terlihat guratan kebahagiaan di wajahnya. Bisa kurasakan ada sedikit kelegaan tersirat dari senyumannya.Sudah hampir jam sepuluh malam, Bang Malik yang kutunggu-tunggu tak kunjung pulang. Tak tahukah dia kalau sedari tadi aku di rumah bersama Mamanya?Sudah malam, Bu. Saya pamit pulang, ya. Aku meminta izin, disertai anggukan bu Sam.Wanita bergamis batik itu mengantarku sampai ke depan pintu. Hingga senyum merekah begitu dilihatnya kepulangan kedua anak lelakinya itu.Chaca? Kamu udah lama di sini? Bang Malik langsung menyapa, ketika melihatku berdiri sejajar dengan Mamanya.Iya, Bang, sahutku sambil menoleh ke arah bu Sam.Udah malam, Abang antar pulang. Ia memutar tubuh hendak meninggalkan teras.Biar Haikal yang mengantar Chaca, Lik. Langkahnya terhenti mendengar titah sang Mama.Haikal? Pemuda yang satunya menunjuk dirinya sendiri dengan heran. Oke! sahutnya beberapa detik kemudian.Bisa kulihat kalau mereka anak-anak yang penurut. Tak ada penolakan sedikit pun dari Haikal.Biar Malik aja, Ma. Malik takut Chaca akan merasa canggung. Bang Malik berusaha membantah.Chaca sudah besar, dia juga harus mengenal Haikal sebagai kakaknya juga. Lagi pula, ada yang ingin Mama sampaikan sama kamu.Aku bergeming. Wanita ini pasti akan membicarakan tentang rencana pernikahan yang dia bicarakan padaku tadi. Kenapa hatiku masih saja merasa sakit. Persetan dengan keluarga ini. Aku muak..Mobil melaju membelah jalanan. Aku masih diam, tak tahu harus berbicara apa. Haikal masih terlihat santai, namun juga masih tetap diam. Benar apa yang dikatakan Abangnya, kami masih benar-benar merasa canggung.Mama ngomong apa? Akhirnya Haikal berhasil membuka percakapan.Pernikahan, jawabku setenang mungkin.Kudengar tarikan napasnya memanjang.Pernikahan siapa? Memang kamu nggak tau, kalau Mama kamu mau menjodohkan Tania dengan Bang Malik? Sisi jahatku mulai memanasinya. Aku tahu dia juga akan terbakar api cemburu mendengar berita ini.Tania, dan Bang Malik? Dia mengulangi ucapanku, mungkin berharap aku salah bicara.Kenapa? Bukannya selama ini mereka memang pacaran? Aku berusaha mengorek informasi dari Haikal.Enggak, mereka nggak pernah pacaran. Haikal mulai terpancing.Sedikit ada kelegaan di hatiku, kalau anggapanku selama ini adalah salah. Dasar Tania pembohong.Mobil memasuki area kompleks, kulirik wajah Haikal tampak muram.Minum kopi? ajaknya.Eh? Apa dia akan curhat padaku malam ini? Mencurahkan segala isi hati yang saat ini sedang patah? Baiklah, kurasa kini kami sedang senasib. Tidak ada salahnya saling menghibur.Boleh, sahutku.Dia memesan kopi esspresso yang paling pekat. Dahinya nengernyit menyesap kopi kental itu. Pahit, tapi dia terlihat begitu menikmatinya.Kayak orang tua! ejeknya saat melihatku meneguk teh jahe panas yang kupesan.Takut gak bisa tidur. Aku beralasan.Baca do'a lah, ujarnya seperti seorang ustaz. Cukup membuatku untuk tersenyum.Dia merapatkan punggung ke sandaran kursi. Berulang kali menghela napas. Aku mengerti sekali bagaimana perasaannya saat ini. Haruskah aku bekerja sama dengannya untuk memisahkan mereka?Tidak! Aku sudah sering melihat cara itu di ftv yang dulu sering ku tonton, dan semuanya tidak ada yang berhasil. Pemeran utama akan tetap bersama pemeran utama. Aku dan Haikal, hanyalah pemeran figuran.Kamu punya pacar? Kurasa dia mulai ngelantur bertanya tentang kehidupan pribadiku.Penting? sahutku asal. Haikal terkejut dengan caraku menjawab.Kamu sama sekali nggak mirip sama Bang Malik, ketusnya.Aku pun ikut merasa terkejut dengan ucapannya. Apakah semua orang sudah tahu, kalau kami bukan saudara kandung?Bang Malik orangnya lemah lembut, sopan. Nggak kayak kamu, judes. Dia meneruskan kata-katanya. Aku sedikit lega karena hanya itu alasannya.Seandainya bukan secangkir espresso yang ada di hadapannya, pastilah aku mengira kalau lelaki ini sedang mabuk.Habis kamu kepo, sih! jawabku asal.Bip bipNada pesan di ponselku berdering.[ Udah nyampek? Jangan terlalu malam tidurnya! ] Bang Malik mengirimiku pesan.[ Di ajak Haikal ngopi,] balasku cepat.Tak lama terdengar nada dering panggilan dari ponsel Haikal.Iya, Bang?Iya, sebentar lagi. Baru juga jam sebelas.Iya, iya. Hemm.Iya! Haikal mengakhiri panggilan.Abang kamu tuh, nyuruh pulang, ejeknya lagi.Ya udah sana pulang. Anak perawan gak boleh pulang malam-malam. Aku tak mau kalah.Yang disuruh pulang kamu, bukan aku. Posesif amat sama adiknya.Kamu kan juga adiknya. Udah, sana pulang. Aku jalan kaki aja. Udah deket kok. Aku bangkit, sementara Haikal membayar minuman kami.Aku berjalan meninggalkan kafe, sampai terdengar suara langkah kakinya mengejarku.Ada apa? tanyaku menghentikan langkah.Aku antar.Nggak usah, kamu pulang aja.Aku malas pulang.Kenapa? Aku pura-pura tidak tahu.Masih mau minum kopi di rumah kamu. Boleh, kan?Boleh, tapi adanya kopi sachet.Iya, nggak papa.Haikal meninggalkan mobilnya di parkiran kafe dan memilih jalan kaki bersamaku. Sesekali di tendangnya bebatuan kecil yang berserakan di aspal jalan.Hatiku dan hatinya saat ini satu sama. Sama-sama bertepuk sebelah tangan. Menyukai seseorang yang salah. Seseorang yang hanya bisa menjadi sahabat baginya, dan seorang kakak bagiku.Aku sampai di depan rumah, lampu depan masih menyala. Kulihat Aira menatapku kembali heran.Siapa lagi kali ini? Aku tertawa geli dengan pertanyaannya. Akhir-akhir ini aku seperti ngelunjak, karena bolak-balik membawa laki-laki asing ke rumahnya.Haikal, jawabku.Oh, adiknya Malik.Aku mempersilakan Haikal duduk, dan langsung ke dapur menyiapkan kopi yang aku janjikan tadi. Dari dapur terdengar suara dering ponsel Haikal menyala kembali. Entah dari siapa.Kami asik mengobrol, Aira tak kalah heboh. Dia keluar dari kamar sambil mengambil kartu domino. Kurasa Haikal sedikit terhibur setelah bolak-balik mengalahkanku dan berhasil membuatku menghabiskan satu teko air putih sambil berjongkok.Dia tak henti-hentinya tertawa, sambil berkali-kali menghempaskan kartu ke lantai. Dia cukup percaya diri memenangkan semua permainan.Dasar penjudi ulung, umpatku.Sejenak aku terkenang saat om Jaka juga selalu mengumpulkan orang-orang di rumah. Bermain judi dan mabuk-mabukan sampai pagi.Sana masuk kamar! Jangan sampai kesiangan. Bukannya besok kamu ujian? Kunci pintunya! perintahnya padaku yang saat itu mulai beranjak remaja.Setelah memastikan nenek juga sudah tertidur, aku langsung masuk ke kamar yang satunya dan segera mengunci pintu.Minimnya pengalaman membuatku kalah telak dari mereka. Kakiku sampai kesemutan karena tak ada harapan untuk bisa menang. Di sela-sela permainan, terdengar suara bel dari pintu depan.Siapa yang bertamu malam-malam begini? Aira menatap heran kepadaku. Aku mengangkat bahu, lalu mengambil kesempatan untuk berdiri.Dengan kaki yang masih kesemutan, aku berjalan tertatih membuka pintu. Wajah gusar itu langsung melotot ke arahku sesaat pintu terbuka.Bang Malik..?****part 9Aku mempersilakan dia untuk masuk. Dilihatnya Haikal dan Aira masih duduk bersila di lantai beralas karpet bulu berwarna coklat, saling melempar kartu.Haikal menoleh, melihat siapa yang datang.Ngapain Abang malam-malam ke sini? tanyanya heran.Bukannya tadi Abang suruh cepat pulang? Bang Malik beralasan.Kan Chaca udah di rumah. Kenapa Abang nyusul ke sini?Ya, buat jemput kamu lah. Udah jam berapa ini? Ayo pulang! Haikal tampak mengernyit, heran.Tumben, gumamnya. Biasa juga kalau Haikal pulang pagi, Abang nggak pernah nanyak.Bang Malik tampak tergugup sendiri. Salah tingkah dengan ucapan Haikal. Lalu memandang ke arahku.Duduk dulu, Bang. Chaca buatin kopi, ya? Aku berusaha menghilangkan kegugupannya. Abangku tersenyum menyambut tawaranku.Nggak usah, Cha. Bang Malik buru-buru. Aku juga udah mau pulang kok. Haikal nyerocos sebelum Bang Malik menjawab. Iya kan, Bang?Bang Malik kembali gugup, lalu dengan cepat Haikal merangkul dan menyeret abang angkatnya menuju pintu depan.Bang Malik berulang kali menoleh ke belakang, melihatku yang sedang mengikuti mereka. Tak ada kata apa-apa selain tatapan dengan tubuh yang tetap terseret oleh rangkulan Haikal.Abang beradik yang aneh.****Aku kembali membuat laporan dan menyerahkannya kembali ke Bu Rini. Seperti biasa, atasanku itu juga menyuruh memberikan sebagian berkas ke kantor Bang Malik.Kuletakkan tumpukan kertas di atas meja. Dia menatapku dalam seperti biasa. Sakit melihat tatapan seperti itu terus menerus. Apa lagi mendengar tentang perjodohan itu. Tapi aku berusaha tegar, agar dia tak lagi bimbang atau merasa bersalah.Hari ini kita makan siang di luar, ya? ajaknya.Chaca makan di aula aja, Bang. Nggak enak kalau dilihat sama yang lain.Maksudnya, kamu malu jalan sama Abang? tuduhnya.Justru Chaca yang nggak mau buat Abang malu, jawabku. Udah ya, Chaca masih banyak kerjaan. Aku bergegas ke luar dari kantornya.Jam dua belas, bel kembali berbunyi. Aku memasuki aula, dan langsung berbaring di paha Vera yang sedang berselonjor.Sesekali golek di pangkuanku napa kau ,Cha, celetuk Oji yang masih kental dengan logat khas Medannya. Kepingin pulak aku ngelus-ngelus rambut kau itu.Sontak yang lain pada bersorak. Sudah tidak heran lagi mereka melihat tingkah Oji, yang selalu membuat gaduh seisi dapur dengan tingkahnya.Bah, si Erik yang ganteng aja ditolak si Chaca. Mau kau pulak lagi meter-meter dia. Mana lah lepel, timpal bang Ucok, sekuriti yang juga sedang bergabung dengan kami.Aku sudah tidak heran melihat tingkah polah para karyawan dapur di sini. Tidak pernah saling memasukkan hati dengan candaan mereka. Sampai kulihat Bang Malik memasang wajah kecut.Tumben sekali. Biasanya dia juga ikut menikmati kata-kata hiburan dari Oji. Bahkan terkadang dia juga ikut tertawa. Apa yang salah kali ini?Aku kembali berbaring sebelum akhirnya mengambil kotak makan siang dan menghabiskannya.Waktu pulang telah tiba. Kulewati Abangku yang tengah mengobrol serius di pos sekuriti. Dia melihat sekilas ke arahku, lalu melanjutkan percakapannya kembali.Bip bip[ Tunggu Abang. ][ Pulang bareng.] Bang Malik menyempatkan mengirim pesan di sela-sela pembicaraan.Tak lama mobilnya sudah berhenti di tempatku biasa menunggu. Aku masih merasa tidak enak dengan yang lain, jika sampai ada yang melihatku selalu diantar pulang olehnya. Maka kuputuskan untuk menunggu di depan kios yang sudah kosong saat sore hari, tak jauh dari dapur produksi.Wajahnya masih terlihat cemberut. Sepanjang jalan hanya diam. Apa ini ada kaitannya dengan ajakan makan siang yang aku tolak tadi? Bang, soal.... Erik siapa? Staff gudang itu? Jadi dia suka sama kamu? Sejak kapan? Bang Malik menyerangku dengan beberapa pertanyaan, sebelum aku sempat meminta maaf.Oh, itu. Itu kan bisa-bisanya mereka aja. Erik sendiri nggak pernah ngungkapin perasaan kok sama Chaca.Tapi Oji bilang, Erik pernah ngasi kamu coklat saat hari valentine tahun lalu.Duh, ngapain sih si Oji bahas-bahas tentang aku sama dia. Atau jangan-jangan...Abang ngapain nanyak-nanyak ke gitu sama Oji? Kalau dia berpikiran yang macam-macam tentang kita, gimana?Macam-macam apa?Benar, macam-macam apa? Apa yang kutakutkan? Tidak ada yang salah pada hubungan kami. Aku dan Bang Malik hanyalah sebatas abang dan adik. Wajar kalau dia perhatian terhadapku.Lain kali jangan sembarangan tiduran di depan laki-laki. Tidak baik. Lagi-lagi dia berbicara dengan ketus.Bukannya Mama Abang sendiri yang buat peraturan seperti itu. Kalau tidak boleh tiduran, kenapa tidak dibuatkan meja dan kursi untuk makan siang?Eh? Kulihat senyum seringai dari bibirnya. Seperti seorang penjahat yang merencanakan sesuatu.Sejak kapan kamu akrab sama Haikal? Lagi-lagi pertanyaan aneh.Jelas-jelas dia tahu malam itu adalah malam pertama aku dan Haikal jalan berdua. Soal terlihat akrab, masak iya aku bilang kalau aku dan dia sama-sama bernasib sial dan lagi patah hati. Bisa-bisa mereka bertengkar gara-gara memperebutkan Tania.Terdengar suara nada dering dari kantongnya. Kulirik ada nama Tania di sana, sedang memanggil. Ada rasa tak enak di wajahnya saat melihatku.Angkat aja, Bang. Chaca nggak papa kok. Ku buang pandangan ke arah jendela, saat iya menjawab panggilan.Aku lagi jalan ke rumah Chaca. Bang Malik menjawab. Entah apa yang Tania tanyakan di seberang sana.Oke, nanti aku ke sana. Ponsel kembali di tutup.Aku diam, bergeming. Enggan untuk bicara, meski di mulut aku berucap menerima, tapi hatiku masih tetap saja merasa sakit.Tania mau melamar kerja di Rumah Sakit. Bang Malik menjawab tanpa kutanya. Aku tak menyahut. Masih membuang pandangan ke jendela.Kebetulan teman Abang satu profesi dengan Tania. Seorang psikolog. Kamu mau ikut?Nggak, Chaca mau langsung pulang.Nggak marah, kan?Marah kenapa?Nggak kok. Nggak papa. Ia mengacak-acak rambutku seperti biasa, lalu kembali fokus dengan mobilnya.Egois! Dia melarangku untuk tidak ikut campur urusan pribadinya, tapi dia sendiri selalu mencampuri urusan pribadiku. Bahkan dia juga mengorek-ngorek informasi dari masa laluku di tempat bekerja.Dan yang paling aku takutkan, bagaimana jika ia sampai tahu dengan siapa aku hidup, dan siapa yang sudah merawat dan membesarkanku sedari kecil hingga aku bisa sampai seperti sekarang ini. Aku sering sekali mengelak saat dia bertanya, bagaimana kehidupanku selama ini.Dan dengan alasan itu pulalah, aku tak berani bertanya bagaimana dia bisa hidup dengan semua keberuntungan ini.****Hari ini hari liburku. Sengaja aku tak memberi tahu Bang Malik karena tak ingin dia juga mengambil hari libur yang sama. Aku tak mau dia mengikuti, ke mana aku akan pergi.Berbagai macam lauk dan juga sayur telah ku siapkan sedari subuh tadi. Telah kukemas ke dalam box bertingkat tiga. Lalu tinggal membeli perlengkapan bulanan lainnya di minimarket.Mau ku antar, Cha? tanya Aira yang baru selesai mandi.Enggak usah, Ra. Aku naik grab aja.Aku sih pengen ikut, tapi hari ini aku ada janji sama temen, ucapnya menggoda, sambil mengedipkan sebelah mata.Jangan macem-macem lah, Ra. Kalau suamimu sampai tau, bisa-bisa kamu di tendang dari rumah ini. Apa lagi kalau kamu sampai pacaran pake semua fasilitas yang dia berikan.Tenang aja, Cha. Mas Harris nggak akan datang dalam waktu dekat. Dia lagi liburan keluar negeri sama istrinya.Terus kamu pengen balas dendam dengan pergi sama cowok lain, gitu? Kamu cemburu?Cemburu? Dengan orang tua itu? Aira tertawa. Nggak mungkin. Aku cuman butuh uangnya.Aku menggeleng melihat tingkahnya yang semakin hari makin tak terkendali. Dia tahu dia cantik, maka dari itu dia tak ingin menyia-nyiakan anugerah yang diberikan kepadanya.Termasuk menjerat beberapa lelaki untuk dipacari.Aku keluar dari minimarket dengan beberapa kantong belanjaan. Kebetulan kemarin sudah masuk gaji dari perusahaan. Seperti biasa, setiap bulan aku selalu mampir ke rumah nek Joyah, orang yang sudah merawatku sedari kecil dulu.Rumah kecil itu kembali mengingatkanku akan kenangan lama. Saat nenek pertama kalinya membelikanku seragam merah putih.Ingat, ya. Bilang kalau raport kau hilang kena banjir. Jadi kau tidak perlu mengulang dari kelas satu lagi.Aku mengangguk, menyetujui apa yang nenek perintahkan. Saat itu usiaku sudah hampir delapan tahun, tidak akan cocok lagi jika harus mendaftar di kelas satu.Satu-satunya jalan adalah dengan berbohong, bahwa saat itu aku sudah duduk di kelas tiga.Nih, jajan sekolah. Makan yang banyak, biar cepat besar. Kalau ada yang mengganggu, bilang kalau kau ponakan Om Jaka! seru lelaki tinggi bertubuh kekar itu. Ada tato di setiap bagian tubuh dan tangannya.Terkesan menyeramkan, tapi kalau sudah kenal, dia hanyalah seorang anak laki-laki penurut yang takut pada ibunya.Wajah nek Joyah juga tak kalah sangar, dengan lengan besar yang menggelambir, dia juga lebih terlihat seperti seorang preman. Wajar lah anak laki-lakinya juga seperti itu.Sepulang sekolah, aku membantu nenek berjualan di pasar. Sementara om Jaka berkeliaran di sekitar pasar sambil menjaga kendaraan di parkiran.Hatiku sakit, manakala kulihat beberapa anak laki-laki ikut menjaga parkir bersamanya. Berteriak-teriak, lalu saling tertawa setelah sebelumnya saling meledek dan berkejar-kejaran.Aku benar-benar merindukan saat-saat itu. Saat Bang Malik sesekali mengecek keberadaanku, lalu kembali menata kendaraan yang ingin singgah.Nih, es cendol. Udah sana pulang. Kerjain aja peer mu. Jangan sering-sering berkeliaran di pasar! Om Jaka memberi perintah.Biar Chaca bantuin Nenek, Om, sahutku.Nanti Om yang beresin dagangan, ujarnya lagi, sampai aku menurut dan mau pulang.Lamunanku terhenti saat pintu rumah terbuka. Kulihat wajah tua nenek melempar senyum ke arahku.Tubuhnya tak lagi sekekar dulu, diabetes ikut menggerogoti lemak-lemak yang dulu menempel di tubuhnya.Masuklah. Nggak kerja kau? tanyanya dengan jalan yang sudah tidak sekuat dulu.Lagi off, Nek, sahutku sambil menata makanan di meja makan, lalu menyusun belanjaan yang aku beli tadi. Sebagian di kulkas, dan sebagian lagi di lemari untuk keperluan kamar mandi.Minggu depan, Jaka sudah bisa dibebaskan, ujar nenek.Benarkah? Chaca pikir masih beberapa bulan lagi.Katanya ada remisi, dan masa potong tahanan karena berkelakuan baik.Aku dan nenek tertawa bersamaan. Entah kelakuan baik seperti apa yang dilakukan Om Jaka, sampai-sampai petugas penjara ingin segera membebaskannya.Mudah-mudahan Om Jaka benar-benar bertobat ya, Nek. Nggak mau main judi dan mabuk-mabukan lagi, doaku menyenangkan hati orang tua itu.Biar kapok dia, timpal nenek dengan mata berkaca-kaca.Minggu depan biar Chaca kesini lagi, Nek. Nanti Chaca buatkan makanan kesukaan Om Jaka.Kalau kau sibuk tak usah pala datang. Kayak orang penting aja, keluar dari penjara mau di sambut-sambut segala.Aku kembali tertawa mendengar umpatan judes nenek setiap membicarakan anak laki-laki satu-satunya itu. Meski begitu, aku tahu hatinya sangat terluka saat mendengar om Jaka ikut terjaring saat razia di lapak perjudian.Selesai menata semua belanjaan yang kubawa, kukeluarkan sebuah amplop berisi uang, kuselipkan di dalam sebuah kaleng biskuit yang sudah kosong.Jangan lagi meninggalkan apa pun di sana! sergah nenek sedikit berteriak.Aku tersentak kaget. Memang beginilah caraku memberikan sedikit uang kepada nenek tua itu. Karena jika ku berikan langsung, dia pasti akan melempar dan tidak mau menerimanya.Cukupi saja kebutuhanmu, jangan menjadikanku sebagai beban.Mataku memerah menahan tangis.Nenek bukanlah beban buat Chaca, sama sekali bukan, Nek. Aku mulai terisak.Kau hidup dengan baik saja aku sudah merasa senang. Pikirkan saja dirimu sendiri! Dia berkata tanpa menoleh kepadaku.Aku tahu, karena dia tak ingin aku melihat genangan air dari mata tuanya itu. Kupeluk tubuh yang mulai melemah itu dari belakang. Menyandarkan kepala dan tenggelam dalam tangisan.Chaca sayang sama Nenek... ***Tidak terasa sudah malam. Aku pamit pulang setelah selesai bercengkrama dan membantu merapikan tumpukan-tumpukan pakaian yang belum sempat di setrika.Orang tua itu begitu keras kepala saat ku ajak untuk tinggal bersama dan mencari kontrakan yang dekat dengan tempat kerja.Aku lebih nyaman tinggal di rumahku sendiri, jawabnya dengan suara lantang.Sudah hampir jam sepuluh saat aku sampai di depan rumah. Kulihat mobil Abangku sudah terparkir di halaman depan. Aku bergegas naik, dan kudapati dia duduk di teras dengan wajah yang tegang.Kurasa Aira juga belum pulang, sehingga tidak ada yang membukakan pintu dan menyuruhnya masuk.Udah lama, Bang? tanyaku.Dari mana kamu? Jam segini baru pulang? Suaranya terdengar tidak suka.Chaca baru keluar kok, Bang, dustaku.Baru keluar? ulangnya dengan nada menyindir. Kenapa hape kamu matikan?Aku memang sengaja mematikan ponsel karena tahu, dia akan segera menghubungi begitu tahu aku tidak masuk kerja.Hape Chaca lowbet, Bang. Aku kembali berbohong.Apa itu yang kamu bawa? Dia melirik box yang kupakai untuk membawa bekal ke rumah nenek tadi.Oh, ini...Barusan Chaca mau beli bakso di depan. Tapi udah abis. Jadinya kosong. Apakah terlihat sekali kalau itu cuman alasan?Payah sekali aku ini.Masuk yuk, Bang. Biar Chaca buatin kopi buat Abang. Aku berusaha mencairkan suasana dan segera membuka kunci pintu tanpa menghiraukan apa lagi yang dipikirkannya.Namun sebelum sempat terbuka, kepalan tangannya telah mendarat duluan di pintu.Aku terperangah kaget dengan sikap arogannya, sikap yang tak pernah kulihat sebelumnya. Matanya memerah, menatap tajam ke arahku.Sejak kapan kamu jadi seorang pembohong?****part 10Abang kenapa? tanyaku tergugup. Kulihat wajahnya penuh dengan amarah.Abang tanya, kamu dari mana? Dia mulai berteriak. Aku jadi takut melihatnya.Cepat aku membuka pintu, lalu menggapai lengannya, memaksanya untuk ikut masuk. Aku tak ingin ada keributan yang didengar oleh tetangga.Dia terduduk di sofa sambil mengusap rambutnya, lalu bersandar. Aku duduk di meja tamu, tepat di hadapannya. Kugenggam kedua tangan yang masih mengepal, belum hilang rasa geramnya mendengar semua omong kosongku tadi.Maafin Chaca ya, Bang. Chaca pergi nggak bilang-bilang sama Abang.Sejak dari makan siang tadi, Abang bolak-balik ke sini nyariin kamu. Dan kamu bilang baru aja keluar? Dia kembali mengungkit kebohonganku.Jangan marah, Bang. Chaca pergi ke rumah saudara.Saudara? Kamu punya saudara? Aku mengangguk.Siapa? Aku diam, tak berani menjawab.Dimana? Hem? Kamu bohong lagi, kan?Abang punya keluarga, kenapa Chaca nggak boleh?Dia terdiam, mungkin merasa ucapanku ada benarnya.Kalau benar ada, kenalin sama Abang.Mana mungkin aku memberitahukan siapa mereka padanya. Bang Malik pasti akan membencinya.Aku terdiam, tak ingin membantah. Aku benci jika lagi-lagi harus bertengkar. Lalu bergegas bangkit, sampai tangan itu kembali menarikku.Kamu mau ke mana? Abang belum selesai!Chaca mau ngambil kotak obat, buat ngobatin luka di tangan Abang. Dia melepas, kemudian membiarkanku pergi.Setelah mendapatkan kotak P3K, aku duduk di sisinya sambil membersihkan luka bekas menghantam pintu depan tadi. Untungnya pintu tersebut terbuat dari kayu jati asli, sehingga tak meninggalkan bekas, apalagi kerusakan.Kamu pergi sama Erik? Kamu pacaran sama dia, ha? Lagi-lagi pertanyaan aneh yang tidak masuk di akal.Kenapa Chaca harus pergi sama dia? elakku kesal.Dia juga mendapatkan jadwal off hari ini.Mana Chaca tau. Kami kan beda divisi.Mulai besok, jadwal karyawan Abang yang atur.Terserah! sahutku malas.Tapi kamu nggak pergi sama dia, kan?Enggak! bentakku, sambil menekan lukanya dengan plaster.Sakit, Chaca.... rintihnya lembut.Dasar laki-laki tidak berperasaan. Jangan hanya karena aku sudah berjanji tidak akan mengulangi kelakuan nakalku tempo hari, dia bisa bersikap semanis ini di depanku. Bagaimanapun juga, aku masih memiliki perasaan, masih memiliki gejolak untuk menyerangnya.Seharusnya setelah malam itu kami harus menjaga jarak, bukan? Ah, ya. Kami? Bodohnya aku. Bahkan dia tidak merasakan apa pun dengan kejadian itu. Cintaku hanya bertepuk sebelah tangan.
.Sudah tengah malam, namun Aira belum juga pulang. Aku tidak heran, karena hal itu sering dilakukannya saat suaminya sedang tak ada.Berbeda dengan Bang Malik. Dia terlihat cemas meninggalkanku sendirian.Chaca nggak papa, Bang. Udah biasa kok ditinggal sendiri. Abang pulang aja. Aku mencoba menenangkannya.Bukannya kamu bilang suami Aira tidak ada di sini? Lalu dia menginap sama siapa? Eh, itu...Tadi pagi suaminya datang, lalu mendadak mengajak pergi liburan. Aku berusaha menutupi perbuatan Aira, walaupun aku tahu kalau Bang Malik mulai menaruh rasa curiga dengan kehidupannya.Menginap di rumah Mama! ajaknya. Biar besok berangkat kerja dari sana.Tidak akan! Siapa yang mau berlama-lama di sana, menghadapi nyonya besar yang membuatku merasa tak nyaman. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, aku segera menolak.Ya udah, biar Abang aja yang nginap di sini. Masuklah ke kamar, biar Abang tidur di sofa.Apa? Nginap? Tidak bisa!Abang pulang aja, nanti di cariin. Aku beralasan.Kamu yang ikut, atau Abang yang di sini!
.Haikal melempar senyum dari kejauhan, setelah tahu aku akan datang.Main kartu? usulnya, setelah kami mendekat.Udah malam, Kal, sela Bang Malik.Wajah Chaca masih segar tuh, Bang. Ya kan, Cha? Alisnya naik turun menggodaku.Males, kamu curang, sahutku mengekor di belakang Abangnya.Tak ada penyambutan dari orang tua mereka, mungkin sudah tertidur dari tadi. Lagi pula, ini sudah lewat tengah malam. Masih bisa besok untuk menyapa.Kami bertiga telah sampai di ruangan yang begitu besar. Kamar tamu saja bisa sebesar ini. Haikal merebahkan diri di ranjang yang akan kutempati.Ngapain kamu di situ? Bang Malik meletakan bungkusan pakaian gantiku di sisi ranjang.Mo bobok sama Chaca, godanya genit, sambil mengedipkan sebelah mata kepadaku.Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia terlihat lebih santai ketimbang Abangnya yang hari-hari selalu terlihat serius dan kaku.Ada-ada aja kamu. Ayo keluar! Biar Chaca bisa tidur nyenyak, tegasnya. Jangan keluar, Chaca!Ada kamar mandi di dalam. Kunci pintu, awas ada nyamuk yang masuk, sindirnya, sambil melirik ke arah Haikal.Takut amat adiknya di gigit nyamuk, balas Haikal genit, menggoda Abangnya.Iya, nyamuk nakal, timpal Bang Malik lagi.
.Aku membaringkan diri di ranjang besar. Kupikir kamarku di rumah Aira adalah kamar ternyaman yang pernah kutempati. Tapi nyatanya, hari ini tempat tinggal Bang Malik yang seperti istana ini, jauh lebih nyaman untuk kutiduri.Dia memang sangat beruntung. Kebaikan dan ketulusan hatinya selama ini, mampu memberikan nikmat dan anugerah yang luar biasa.Rasa nyaman dan sejuknya ruangan membuatku tak berlama-lama untuk segera memejamkan mata. Berharap akan datang mimpi indah yang akan jadi kenyataan di kemudian hari.*****Aku tersentak mendengar suara ketukan di pintu kamar. Dengan malas aku meraih ponsel yang tergeletak begitu saja. Baru jam lima subuh, siapa yang iseng membangunkanku sepagi ini?Pria itu sudah berdiri di depan pintu, lengkap dengan pakaian sholatnya. Baju koko dan juga sarung yang sudah terpasang rapi di pinggangnya.Subhanallah...Ganteng sekali dia saat ini. Begitu dewasa dan terlihat sempurna. Pemandangan yang sungguh indah menjelang fajar.Ini mukenanya, cepat siap-siap. Yang lain udah nunggu! Dia menyodorkan perlengkapan salat untukku.Aku menyusul ke ruangan khusus yang dijadikan mushola untuk mereka berjamaah. Di sana sudah menunggu orang tua dan juga adiknya, Haikal.Dari sini aku baru menyadari, bahwa rejeki yang mereka dapat bukan semata-mata hanya karena usaha dan kerja keras saja, tapi juga selalu bersyukur dan berdoa, terutama menjalankan kewajiban dalam beribadah.Sedangkan aku? Masih bisa menghafal surah tiga Qul saja sudah bagus. Astaghfirullah alaziim... Seketika aku malu pada keluarga ini. Keluarga yang kupikir hanya hidup dalam ke aroganan dan hanya memikirkan duniawi saja, nyatanya iman mereka jauh berada di atasku.Bahkan lelaki bergaya slengean seperti Haikal, tampak kalem dalam balutan busana yang sama persis seperti laki-lakiku saat ini.Ayo Chaca, tunggu apa lagi? Panggilan Bu Sam membuyarkan lamunanku.Aku berdiri sejajar di shaf paling belakang bersama bu Sam. Sementara Haikal di barisan depan bersama papanya. Lalu sholat subuh yang khusyu' itu, di imami oleh Bang Malik, lelaki yang semakin membuat jantungku berdetak kian cepat.Bang Malik sangat beruntung bisa berada di tengah-tengah keluarga seperti ini. Keluarga yang benar-benar bisa membimbingnya menjadi laki-laki yang baik seperti sekarang ini..Aku sudah siap mengenakan seragam kerja, kemudian menyusul ke meja makan. Suasana masih terasa menegangkan bagiku.Gimana, Chaca? Apa tidurmu nyenyak tadi malam? Bu Sam menyapa sambil mengoles roti di piringnya.Iya, Bu. Nyenyak, jawabku dengan senyum terindah.Kenapa tidak membiasakan diri memanggil Mama? Iya kan, Pa? Wanita berhijab itu memandang wajah suaminya.Lalu kemudian Bang Malik dan Haikal juga saling berpandangan.Lantas, aku harus memandang ke mana?Benar Chaca, kamu kan adiknya Malik. Tidak ada salahnya kalau kamu juga membiasakan diri menjadi bagian dari keluarga ini. Pak Ridwan menyetujui usul istrinya. Pasangan yang sempurna.Gimana kamarnya? Nyaman, tidak? kata-kata Bu Sam mulai enak di dengar. Benar kata Bang Malik, dia tidak punya maksud apa-apa terhadapku. Dia hanyalah seorang wanita dan seorang Ibu yang baik hati.Nyaman, Bu. Eh, Ma. Aku bingung sendiri. Seolah-olah sudah setuju kalau dia jadi mamaku.Tapi setidaknya aku belum bisa melupakan ucapannya tentang menjodohkan Bang Malik dan Tania. Tarik kembali ucapan itu, baru kita bisa akrab seutuhnya.Ou, baguslah. Mungkin itu bisa jadi kamar kamu untuk seterusnya.Kali ini aku dan Bang Malik yang saling bertatapan. Terserah Haikal mau memandang ke mana.Chaca mau tinggal di sini, Ma? tanya Haikal penasaran.Mungkin kesal karena tak ada lawan tuk saling memandang.Iya, biar Chaca tinggal di sini saja. Tidak baik tinggal bersama teman yang sudah bersuami. Lagi-lagi wanita itu memberi alasan. Alasan yang tidak masuk akal bagiku.Bukankah sama saja? Di rumah Aira atau di istana ini, kalian sama-sama orang asing buatku.Setidaknya Abangmu Malik tinggal di rumah ini. Dengan gaya khas bicaranya yang elegan, dia melanjutkan ucapannya. Bu Sam seperti mendengar isi hatiku barusan.Lagi-lagi permintaan konyol. Kalau mau aku pergi dari rumah Aira, ayo belikan aku rumah. Kalau kalian menganggapku keluarga, cepat berikan aku rumah dan sebuah mobil. Aku juga tidak mau kalah dengan Tania.Atau kalau tidak, naikkan jabatanku lebih tinggi dari Bu Rini, atau boleh juga sejajar dengan Bang Malik. Atau kalau perlu jadikan aku direktur atau CEO sekalian.Aku puas walau itu semua hanya mampu kuucapkan dalam hati. Kalau sampai semua kata-kata itu keluar dari mulutku, aku jamin roti selai di piring bu Sam akan segera berpindah ke wajahku.Ma... Sapaan Bang Malik seperti memelas. Bukankah kita udah membahas ini sebelumnya? Chaca butuh waktu, Ma.Wajah Bang Malik terlihat kaku, salah sendiri kenapa mengajakku menginap. Hal yang seharusnya bisa dihindari, malah harus dibahas kembali.Lagi pula, kenapa dia bercerita tentang Aira yang jelas-jelas tidak dia sukai. Semua itu jadi membuat mamanya merasa cemas, atau dengan alasan lain, bisa merusak nama baik keluarga.****Abang sih, pakek ngajak Chaca nginap segala. Kan mamanya Abang ngungkit-ngungkit masalah itu lagi. Aku protes saat di perjalanan.Iya, maaf. Kamu pasti merasa nggak nyaman.Iya. Mama Abang terlalu pemaksa. Chaca nggak suka.Jangan begitu, kalau kamu udah ngenalin mama, kamu pasti jatuh hati dan bakalan sayang banget sama dia.Benarkah? Seperti aku menyayangi nenek dan Om Jaka? Benar, seburuk apa pun kita melihat seseorang, tidak boleh hanya menilai seseorang dari luarnya saja.Orang yang terlihat buruk dari luar, bisa saja dialah yang akan menjadi malaikat pelindung bagi kita. Sedangkan manusia berwajah malaikat, bisa saja sebenarnya adalah seorang iblis yang sedang memakai sebuah topeng.Kami sampai tepat waktu, para staf yang lain memandang heran saat aku turun dari mobil milik bos mereka.Sejak kapan Pak Malik jadi supir kau, Cha? ledek Oji saat bersamaan kami mengisi absen dengan finger print di pintu masuk.Barusan! sahutku cuek.Otomatis, hari ini aku akan menjadi selebritis yang akan dikerumuni para wartawan sampai satu minggu ke depan. Membahas gosip yang akan di sebar Oji, sebentar lagi.Jam makan siang dimulai, aku terperangah heran melihat aula tempat makan siang sekarang. Sudah berjejer rapi barisan meja dan kursi. Tak ada lagi karpet yang membentang luas untuk sekedar merebahkan diri.Jahat sekali, gumamku dalam hati.Ini usul Pak Malik lho, Cha. Vera melaporkan.Udah tau! sahutku malas.Kulihat Bang Malik duduk di sudut ruangan, sambil memajukan bibir bawahnya ke arahku, sedang menirukan mulutku yang mengerucut karena ulahnya.Aku membawa kotak nasi dan duduk di hadapannya.Udah puas? sindirku.Iya, puas, sahutnya santai.Norak! Dia tertawa.Kudengar beberapa karyawan saling berbisik, sambil memandang ke arah kami. Terserah, aku tidak peduli. Begitu juga dengan Bang Malik. Dia tak canggung lagi untuk selalu dekat denganku.Selesai makan siang, Bu Rini kembali mengumpulkan kami untuk mendengar pengumuman baru lagi. Kak Juli datang dengan Haikal mengekor di belakangnya.Mulai saat ini, ada Bapak ganteng satu lagi yang akan bergabung di dapur kita, ya, jelasnya. Beliau akan menjadi pengawas yang akan selalu memantau pekerjaan kalian.Pengawas? Maksudnya mata-mata? Tidak pernah ada posisi itu sebelumnya. Apa-apaan ini?Kubuang pandangan ke arah Bang Malik yang juga sedang menoleh ke arahku. Wajahnya sama terkejutnya dengan kami semua, lalu dia menggelengkan kepala memberi kode bahwa dia juga tidak tau apa-apa soal ini.Silakan, Pak Haikal. Perkenalkan diri dengan cewek-cewek kece di sini! Kak Juli mempersilakan dengan candaannya.Dengan percaya diri Haikal maju dengan senyum yang sumringah, lalu melempar pandangan ke arahku. Tersenyum nakal, lalu mengedipkan sebelah mata kepadaku.Benar-benar tidak waras...*****Bersambung….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan