Bab 22: Tentang Rasa Takut

160
21
Deskripsi

“Ohhh, jadi pengen dicemburuin?” 

 

Sepanjang hari Alit jadi gloomy sendiri. Pikirannya makin penuh. Di sisi lain, dia merasa bersalah, dan enggak seharusnya mendiamkan Brian seperti itu. Namun, dia juga bingung harus bagaimana di saat kepalanya dipenuhi oleh berbagai macam kekhawatiran. 

Dan obrolan singkatnya dengan Brian tadi pagi sedikit membantunya mengenyahkan seluruh kekhawatiran yang ada di kepalanya. Setidaknya, dia tahu kalau Brian sudah cukup dewasa untuk diajak berdiskusi. Sekarang, kepalanya penuh dengan berbagai topik diskusi yang perlu dibahas untuk meredakan berbagai kekhawatiran tanpa sebab di kepalanya. 

Tanpa sadar jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Ia melongokkan kepalanya ke kanan-kiri, mendapati kubikel di sekitarnya sudah kosong. Sudah jam makan siang. Namun, pekerjaan Alit masih banyak, dan dia terlalu malas beranjak. Lagi-lagi, ia sengaja melewatkan makan siangnya. Gadis itu memilih merogoh laci mejanya untuk mengeluarkan susu kotak dan sebungkus snack bar untuk mengganjal lapar. 

Belum sempat dia membuka snack-nya, seseorang memanggilnya dari belakang. “Saras!” 

Langsung terlihat Faiq tersenyum ke arahnya sambil menenteng sesuatu yang menguarkan wangi familiar. 

“Ya ampun, Ras. Jam makan siang gini, masihhhh aja lanjut kerja. Nih, makan dulu!” Faiq mengeluarkan satu kotak Hokben dari paperbag yang dibawanya. Karena Alit enggak segera menerima, pria itu meletakkan di meja kerja Alit. “Kamu nih, kebiasaan banget ya, suka nunda-nunda makan? Enggak kasihan sama lambungmu?” 

“Wah, makasih banyak ya, Mas. Aku tuh emang belum laper karena tadi udah makan croissant dua biji.” 

“Makan croissant jam berapa?” 

“Jam sembilan.” 

“Itu namanya sarapan kali, Ras. Dah tuh makan duluuu.” 

“Makasih banyak ya, Mas! Dalam rangka apa nih, tiba-tiba traktir?” Alit berusaha mengeluarkan candaan ringan, yang ditanggapi dengan tawa kecil Faiq. 

“Hokben lagi ada promo buy one, get one free. Pas ngeliat, langsung keinget kamu. Ternyata enak juga ya, Hokben ini. Pantes aja, kamu suka banget!” 

“Iya kannnn, emang Hokben tuh fast food paling enak sedunia tauu! Heran kenapa banyak yang ngatain,” sahut Alit antusias. 

“Setuju. Tapi tetep nggak bagus kalo tiap hari, kan? Jadi, ini sesekali aja ya, Ras. Ya udah, buruan dimakan gih, mumpung masih anget!” 

“Makasih ya, Mas!” Alit terkekeh, sambil membuka kotak Hokbennya. 

Kemudian Faiq beranjak menuju ruangannya sendiri, meninggalkan Alit yang sedang memisahkan sumpitnya.  

Sebenarnya kalau Faiq enggak membelikan, sepertinya dia juga bakal memesan Hokben sendiri nanti sore. Makanya ketika mendapatnya lebih dulu, sebelum dia memesan, Alit jadi girang banget. Dia menikmati setiap suap makan siangnya dengan suka cita, sambil sesekali menyelesaikan desainnya. 

Dalam sekejap mood-nya meningkat drastis. Makanan favoritnya ini enggak pernah gagal membuatnya bahagia. Tidak hanya itu, tanpa sengaja, Alit mendapati sesuatu yang membuat mood-nya semakin baik lagi. 

Dia sedang di toilet usai menghabiskan kotak Hokbennya, lalu terdengar obrolan dari luar bilik toilet yang menyedot perhatian Alit. 

“Tuh kan, apa gue bilang, Mas Faiq tuh naksir Saras! Kelihatan banget kali, dari cara dia natap Saras tuh beda!” 

“Iya, gue juga ngerasa kok. Kalau ngomong ke Saras kayak lembut banget. Giliran ngomong ke gue juteknya minta ampun!” 

Dalam hati Alit menyahut, “Itu sih, karena mukamu yang sinis dan banget. Gimana mau bisa ramah, tiap orang lihat mukamu, bawaannya mau gampar, sadar nggak?!

“Gue pernah denger Mas Faiq minta maaf ke Saras yang masalah Pak Setyo dulu itu. Dia ngebelain Saras banget di depan Janeta. Terus minta maaf ke Saras, karena udah dalam situasi ini, Saras jadi terpojokkan banget. Terus muji-muji Saras gitu. Mana Sarasnya juga senyum-senyum doang sok cantik lagi! Najis!” 

“Wah, asli, nggak suka banget gue liat mukanya. Sok imut banget anjir!”

“Beberapa kali gue mergokin Mas Faiq ngecekin kubikel Saras gitu tiap jam pulang. Mungkin ngarep bisa nebengin Saras ya?” 

“Eh, tapi bukannya Saras tuh udah ada pacar ya?”

“Iya, gue pernah lihat juga dia dijemput sama cowok naik Mercy di lobi.” 

“Bisa aja itu bukan pacarnya.” 

“Ah, si cowok Mercy itu ya! Gue pernah lihat mereka pelukan di lobi. Enggak mungkin kalau bukan pacarnya.” 

“Mana ganteng banget lagi, cowoknya.”

“Iya lagi. Gue sempet kaget ngeliat ada cowok secakep itu di lobi. Gue pikir klien dari mana. Eh, nggak tahunya nungguin Saras. Gila ya, dia mukanya polos-polos gitu, tapi bisa dapetin cowok secakep itu?” 

“Jangan nilai orang dari covernya. Bisa jadi mukanya sok polos gitu, tapi aslinya lebih pro dari elo, Ta.” 

“Tapi kalau emang beneran udah punya pacar, kenapa dia masih nanggepin Mas Faiq coba? Kemarin gue lihat Mas Faiq traktir dia kopi. Sekarang gue lihat dia dibeliin Hokben. Mana senyam-senyum lebar banget gitu lagi! Ganjen banget!” 

Jadi, kalau aku dikasih makanan favoritku sama orang lain harus gimana? Harus marah-marah? Atau nangis-nangis terharu?!

“Ya mungkin aja, dia kerja di sini tuh cuma alibi, buat nutupin status aslinya. Mungkin sebenernya dia ani-ani? Supaya besok kalo dia bikin tiktok, bisa bikin konten belanja hedon, terus vlog a day in my life as budak korporat. Biar orang ngira dia bisa hedon karena kerja sendiri. Padahal mah, aslinya ….” 

“Bisa jadi. Sekarang dia lagi berusaha menjilat Mas Faiq biar bisa dapetin klien perusahaan gede, supaya portfolionya bagus. Atau mungkin biar akhir tahun nanti dapet reward karyawan terbaik?”

“Atau mungkin, buat nambah pemasukan. Siapa tau Mas Faiq mau jajanin dia juga kan sepulang kerja. Biasanya ani-ani gitu kan, serakah. Enggak cukup dari satu gadun.” 

Alih-alih tersinggung, kini Alit malah susah payah menahan tawa mendengar ocehan orang-orang di luar sana. Dia pun yakin, kalau Brian tahu soal ini, pria itu pasti tertawa lebih keras lagi. Bisa-bisanya Alit dituduh sebagai ani-ani hanya karena punya pacar kaya raya? 

Haruskah Alit lebih banyak memamerkan kekayaan Brian, agar mereka semua makin kepanasan?

Dan soal Faiq, Alit sama sekali enggak merasa kebaikan Faiq ini dilandasi oleh rasa suka seperti yang mereka tuduhkan. Pria itu bahkan jarang mengajak ngobrol Alit. Beberapa kali mereka satu lift, meski cuma berdua, Faiq enggak pernah mencuri kesempatan untuk membuka topik obrolan atau apa. Faiq pun enggak pernah membahas hal di luar pekerjaan. 

Selama ini, dia bersikap baik pada Faiq, yaaa karena Faiq juga memperlakukan dia dengan baik. Alit bukan tipe orang yang bisa tetap ramah pada orang-orang menyebalkan yang lebih dulu enggak suka padanya. 

Memang sih, beberapa kali Faiq suka mentraktir dia kopi, snack ringan, atau makan siang, seperti yang dilakukan hari ini. Namun, itu juga enggak berarti apa-apa. Maksudnya, bukankah hal semacam itu sudah biasa dilakukan antar teman kantor? 

Ah, mungkin aja mereka iri karena enggak pernah ditraktir Faiq? 

Karena tidak bisa menahan tawa lebih lama lagi, Alit keluar dari bilik toilet, yang seketika membuat obrolan tiga orang menyebalkan itu berhenti. Ketiganya tampak menegang, saling bertatapan. Sementara Alit dengan santainya menyempil di antara mereka untuk cuci tangan. 

Sayangnya, Alit enggak kepikiran harus merespon dengan kalimat seperti apa. Dia masih terlalu heran dengan berbagai spekulasi orang-orang tentangnya. Setelah kinerja Alit meningkat belakangan ini, mereka enggak bisa lagi mengatai hasil pekerjaannya. Sekarang, mereka jadi menggunjingkan status asmaranya. Alit benar-benar tidak habis pikir. 

Situasi canggung itu ternyata bertahan sampai seharian. Meski Alit bersikap biasa saja, dan tetap mengajak bicara teman setimnya kalau ada perlu, mereka semua terlihat sangat menghindari Alit. Entahlah, Alit bingung juga dengan situasi ini. Padahal dia enggak tersinggung sama sekali. Kenapa malah mereka yang kelihatan tersinggung banget dan mendiamkan Alit?

Sampai jam pulang kantor, suasana di sekitarnya sangat sepi. Hanya ada deru halus printer, juga suara keyboardyang saling bersahutan antar kubikel. Padahal biasanya teman-temannya selalu berisik di sela pekerjaan. Entah itu sambil membicarakan gosip hangat terkini, atau sekadar curhat colongan tentang teman atau pacar masing-masing. 

Alit pamit duluan, karena Brian sudah menunggu. Biasanya Alit jarang pamitan seramah ini, kalau mau pulang. Tapi karena dia lagi bahagia, enggak ada salahnya sesekali beramah-tamah sedikit.  “Aku balik duluan ya, Mbak Janeta. Deadline yang untuk besok udah beres semua kok. Besok pagi bisa aku kirim ke e-mail.” 

“Enggak bisa dikirim sekarang aja?” Janeta menyahut tanpa menatapnya. Dia adalah satu dari ketiga orang yang menggosipkan Alit di toilet. 

“Sori ya, Mbak, enggak bisa nih. Gadunku udah jemput di bawah. Dia bisa rewel seharian kalau nungguin aku kelamaan. Susah juga, ngebujukin dia kalau lagi rewel gitu.” 

Sekalian aja kan, enggak usah tanggung-tanggung. 

Setelahnya, tanpa menunggu sahutan dari Janeta, Alit melenggang meninggalkan kubikelnya. Sayup-sayup ia bisa mendengar suara mereka langsung heboh merumpi. 

Sungguh, Alit enggak bisa menahan tawa lagi. Kalau beberapa waktu lalu dia merasa terasingkan karena enggak punya teman di kantor, sekarang Alit mulai bisa menikmati setiap waktunya sendirian. Punya teman dekat di kantor juga belum tentu akan memberikan dampak baik. Kalau temannya hobi menyebarkan fitnah dan merumpi enggak jelas begitu, yang ada dia jadi capek sendiri setiap hari memperoleh energi negatif. 

Jadi, enggak punya teman itu nggak masalah. Yang penting punya pacar ganteng yang naik Mercy. 

Lihatlah betapa sempurnanya perawakan pacarnya itu. Dari kejauhan, penampilannya sangat mencolok dengan tinggi 185cm, yang lebih tinggi dari rata-rata orang di sekitarnya. Alit langsung merangsek masuk ke pelukannya, mengabaikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Dalam hati dia berharap teman setimnya yang tadi menggunjingkannya di toilet itu juga menyaksikan adegan romantis ini.  

Brian ikut tersenyum lebar sambil membalas pelukannya. Keduanya berjalan beriringan menuju lift untuk sampai ke basement. 

“Perasaan ini bukan tanggal-tanggal gajian? Kok kelihatannya happy banget?” 

Memang kalau dibandingkan dengan mood Alit tadi pagi, keceriaannya sore ini sangat bertolak belakang. Dia kembali tertawa. Enggak menyangka berbagai ketakutan dan kekhawatiran yang membuatnya gloomy seharian, bisa hilang begitu saja setelah mendengar dongeng yang dikarang teman kantornya. 

“Nggak tahu, aku dari tadi bawaannya mau ngakak aja. Masa temen kantorku tuh sempet ngeliat kita beberapa kali, kan. Terus ngerumpi di toilet, ‘Itu si Saras punya gadun ya, yang sering jemput dia naik Mercy itu? Jangan-jangan dia kerja di sini cuma alibi buat nutupin statusnya yang sebenernya cuma ani-ani?’ Mereka curiga, dibalik tampang polosku, bisa jadi aku adalah pro player yang bisa menggaet banyak gadun, enggak cuma satu. Lucu banget nggak sih?” 

Sesuai dugaan, Brian terpingkal-pingkal enggak karuan, sambil memukul-mukul pahanya. Kini mereka sudah berada di dalam mobil yang membuat teman-temannya iri setengah mati. Masih dengan sisa-sisa tawanya, Brian memasangkan seatbelt Alit dan sempat mencuri kecupan di bibir sekilas. 

“Bisa-bisanya, orang yang enggak bisa ciuman kayak gini dikira pro player?” 

Alit langsung merengut dengan tatapan sengit. “Nggak bisa? Tapi kamu nagih terus?!” 

“Bisa, Sayang. Tapi kan, kamu baru bisa setelah kursus sama aku semaleman?” Brian mengedipkan sebelah matanya. “Kamu harus berterima kasih sama Gadunmu ini, udah ngajarin gimana caranya ciuman yang pro.” 

Alit terbahak lagi. “Aku beneran ngakak terus dari tadi, dengerin mereka ngarang cerita panjang lebar soal aku. Dan yang paling kocak tuh, mereka ngira managerku naksir sama aku. Terus nuduh aku godain managerku juga, biar nambah koleksi gadun satu lagi. Padahal interaksiku sama managerku tuh, enggak seintens itu lho! Bahkan buat bercanda aja aku masih segan. Dan menurutku, Mas Faiq tuh emang ramah ke semua orang. Kalau Mas Faiq enggak ramah ke mereka, ya harusnya mereka tanya ke diri masing-masing, salahnya di mana. Bukannya malah mikir yang enggak-enggak soal aku.” 

“Emang dia ngapain aja?” Kini Brian mulai melajukan mobil meninggalkan parkiran. Tampang jenakanya sudah berubah serius ketika mengeluarkan pertanyaan itu. 

“Dia siapa? Managerku?” 

Brian hanya mengangguk kecil. 

“Hmmm … Mas Faiq tuh sempet ngebelain aku pas lagi debat sama Mbak Janeta soal kasus Pak Setyo yang waktu itu lho! Bukannya aku udah cerita ya? Dan menurutku, pembelaan Mas Faiq itu masuk akal sih. Emang Mbak Janeta yang salah, kan? Terus setelah ada masalah itu, Mas Faiq yang sebelumnya cuek banget, jadi lebih ramah ke aku. Tapi ramahnya masih biasa aja sih. Enggak pernah bahas hal di luar kerjaan. Palingan ya cuma bercandain aku, kenapa kalo kerja serius banget, kayak lagi ngejar setoran. Terus kalo lewat kubikelku suka ngingetin makan gitu, semisal pas udah jam makan siang aku masih kerja. Ya gitu-gitu doang sih, enggak ada perhatian yang gimana-gimana banget.” 

Brian manggut-manggut. “Dia udah punya pacar?” 

“Nggak tau deh, kalau itu. Di tangannya enggak ada cincin, dan aku enggak peduli juga, dia punya pacar apa enggak. Untuk apa juga aku tahu? Tapi emang beberapa kali dia sempet traktir aku kopi. Pas lagi ada buy one get one free, dia kasih kopi gratisnya buat aku. Terus … pernah jajanin aku brownies. Hmmm … apa lagi ya? Beliin croissant juga pernah. Sama tadi dia beliin Hokben buat makan siang.” 

“Baik banget ya, dia?” 

Alit berusaha mengulang kalimat Brian di kepalanya, mencari tahu apakah nada bicaranya mengandung unsur kecemburuan atau tidak. Namun, dilihat dari ekspresinya yang juga santai, Alit yakin enggak ada kecemburuan yang melingkupi wajah Brian sekarang. 

“Itu tuh masih wajar, kan? Pas beliin croissant, dia juga beliin yang lain kok. Kadang aku juga suka lihat dia ngasih kopi ke resepsionis, atau traktir OB gitu. Dia emang baik banget dan suka traktir-traktir. Kebetulan aku yang lumayan sering kebagian traktirannya, karena mungkin pas jam makan siang, aku yang paling males turun ke kafetaria.” 

“Pas beliin Hokben, cuma kamu yang dikasih?” 

“Iya. Soalnya emang cuma aku yang belum makan siang. Yang lainnya udah pada cabut duluan.” 

“Waktu ngasih Hokben, dia bilang apa?” 

“Katanya … itu ada promo buy one get one free. Pas lihat promonya, dia langsung keinget aku, terus beli deh. Dia juga bilang, jadi suka Hokben gara-gara tahu aku suka Hokben. Keren juga ya, aku, berhasil meracuni banyak orang buat suka sama Hokben juga. Bening juga dulu kurang suka. Gara-gara aku sering beli Hokben, dia jadi suka banget!” 

“Hokben buy one get one free? Di cabang mana tuh? Coba kamu buka Instagram Hokben buat cari tahu promonya.” 

“Kenapa? Kamu kamu beli promonya juga? Nggak papa kok, kalau aku makan Hokben lagi. Aku beneran bisa makan Hokben terus sehari tiga kali.” Meski agak bingung dengan permintaan Brian, Alit tetap mengambil ponselnya untuk mencari tahu. 

“Masa kamu enggak ngerasa aneh sih? Hokben tuh nyaris enggak pernah bikin promo buy one get one free lho, Lit. Kalau coffee shop mah, aku udah sering denger. Bahkan seminggu sekali selalu ada promonya. Tapi Hokben? Biasanya promo bundling family pack, atau diskon paket yang apa tuh, yang paling murah, jadi dua puluh ribuan aja.” 

Sebagai penggemar setia Hokben, Alit baru menyadari kejanggalan itu. “Eh, iya ya. Kenapa aku enggak nyadar? Mana yang tadi dia beliin ke aku tuh paket D. Biasanya kan yang suka diskon tuh Paket Hoka Hemat ya. Ini juga aku cek di Instagramnya enggak ada pamflet promonya.” 

Tanpa disangka, Brian menjentikkan jemarinya di udara. “Kalau gitu sih, udah fix.”

Fix apa?” 

“Dia beneran naksir kamu. Bilang buy one get one free itu ya, cuma modus lah. Aslinya sih, emang niat mau traktir kamu. Apalagi dia sampe bilang, kalau dia suka Hokben karena kamu,” ujar Brian santai, yang membuat Alit makin bingung. 

Maksudnya, kalau analisa Brian memang benar, Faiq naksir Alit, kenapa pria yang berstatus sebagai pacarnya ini enggak kelihatan cemburu sama sekali? 

“Masa sih? Tapi di luar itu, dia biasa aja lho. Enggak pernah modus ngajak ngobrol apa gitu. Pernah aku lagi minum teh sendiri di pantri, dia masuk ke pantri buat ambil minum. Cuma ngangguk sekilas, terus udah, duduk di meja pojok. Enggak ngajak ngobrol sama sekali, sibuk sama hapenya sendiri. Bukannya kalau orang naksir tuh bakal suka modus-modus nggak jelas kayak kamu gitu ya?” 

Brian tertawa lebar menyadari betapa polos pacarnya ini. Tangannya terulur untuk memberantakkan tatanan rambut Alit dengan gemas. “Ya kan, di luar sana ada banyak macem tipe cowok, Sayang. Ada yang ugal-ugalan kayak aku. Ada yang gerakannya diem-diem, ambil celahnya pelan-pelan. Ada yang cuma dipendam, nggak pernah nampakin perasaaannya sama sekali.” 

“Terus kalau emang Mas Faiq naksir aku beneran, pendapat kamu gimana?” 

“Ya nggak papa,” sahut Brian santai. “Itu kan perasaan dia. Hak dia. Lagian, kamu cantik banget gini, siapa yang enggak naksir coba? Udah cakep, jago gambar juga. Desain-desainmu bagus banget, aku sempet ngintip iPad-mu kemarin. Emang sulit sih ya, nahan diri buat enggak naksir cewek sekeren kamu?” 

Ini benar-benar di luar dugaan Alit. Dia pikir, Brian akan menjadi pacar yang overprotective dan tukang cemburu. Melihat bagaimana pria itu begitu gigih mengejarnya, juga bagaimana ambisiusnya Brian, bukankah title tukang cemburu sangat cocok melekat padanya? 

Namun, lihatlah sekarang. Pria itu tampak santai sekali. Bahkan sesekali mencuri pandang ke Alit dengan senyum lebar dan tatapan berbinar-binar. Memuji makeup Alit hari ini tanpa ada nada kesal sedikit pun. 

“Dari tadi pagi aku tuh mikir, apa yaaa, yang beda dari kamu. Ternyata eyeliner-nya. Bagus nih, Sayang. Matamu jadi keliatan lebih tajem gitu, cantik. Biasanya bulet banget kayak mata Dora. Kalau gini, jadi keliatan lebih dewasa gitu. Cantik. Makin jago ya kamu.” 

Menurut Alit, puncak paling tinggi dari pujian yang membuatnya sangat bahagia adalah ketika makeup-nya dipuji dengan detail. Apalagi akhir-akhir ini Alit memang sedang belajar secara intens cara membuat eyeliner yang lebih rapi. Dan ketika hasil kerja kerasnya dipuji dengan tatapan lembut seperti itu, kebahagiaan Alit langsung berlipat ganda. Ia sudah melayang ke langit ketujuh, seandainya tangan Brian enggak menggenggamnya. 

“Kamu enggak cemburu, di kantorku ada orang yang naksir aku?” tanya Alit pelan. 

Brian tertawa meledek. “Ohhh, jadi pengen dicemburuin?” 

“Iya lah! Kamu tuh sebenernya sayang sama aku beneran nggak sih? Kamu enggak takut Mas Faiq ngerebut aku dari kamu?” 

Tepat usai pertanyaan Alit terucap, mobil Brian berhenti di lampu merah, sehingga Brian bisa memusatkan perhatian padanya. 

“Emang kenapa aku harus takut?” 

“Jabatan Mas Faiq lebih tinggi dari kamu. Meski duitnya tetep banyakan kamu, tapi jabatannya lebih oke buat dipamerin. Dan dari pengalaman kerja Mas Faiq yang kayaknya udah dua atau tiga tahun jadi manager, kemungkinan tahun ini dia bisa naik jabatan.” 

“Dan meskipun dia udah naik jabatan, tetep lebih banyak duitku, kan?” sahut Brian santai. 

“Iya, sih. Tapi aku sama dia ketemu terus tiap hari loh!” 

“Kita juga ketemu terus setiap hari, kan?” 

“Tapi Mas Faiq tuh ganteng lhooooo!” 

“Sama aku ganteng mana?” 

Kali ini Alit enggak menjawab. Karena tentu saja jawabannya lebih ganteng Brian seratus kali. Mungkin semisal Alit enggak punya Kakak seganteng Uca, dan Uca enggak berteman dengan Brian, maka Alit bakal menobatkan Faiq sebagai pria paling ganteng dan hot. Bahkan Rafly pun kalah jauh. 

Masalahnya, Kakaknya sendiri aja ganteng banget dan sampai sekarang enggak ada satu pun orang di dunia nyata yang bisa mengalahkannya. Lalu peringkat kedua adalah Brian, pacarnya yang makin hari kelihatan makin ganteng seiring dengan bertumbuhnya cinta di hatinya. 

Melihat Alit yang terdiam lama, Brian mengecup punggung tangan dalam genggamannya itu beberapa kali, sampai akhirnya mobilnya berhenti di sebuah parkiran kafe. Perkataannya setelah ini memang lebih baik diucapkan saat mereka bisa saling bertatapan. Jadi, ia berusaha menahan diri sampai mobilnya bisa terparkir sempurna. 

“Sayang, setiap orang tuh punya barometer masing-masing. Enggak bisa disamain satu sama lain. Tingkat toleransinya juga beda-beda. Dan apa yang managermu lakuin itu, masih bisa ditoleransi. Asalkan dia enggak terang-terangan menarik perhatianmu, atau modus macem-macem, aku nggak papa.” 

Alit mengangguk. Bukankah seharusnya ia bersyukur karena pacarnya pengertian, sehingga ia enggak perlu menghabiskan energi buat meladeni ngambeknya saat cemburu?

“Lagian, aku percaya sama kamu. Kamu pasti udah punya batasan sendiri sejauh mana kamu menerima perhatian laki-laki lain. Iya, kan?” 

Kini Alit mengangguk lagi. “Makasih, udah percaya sama aku.” 

Namun, ternyata itu enggak membuat Brian lega. Ketika Alit memeluknya, ia masih bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal perasaan Alit. 

“Apa lagi selain itu?” 

“Apanya?” tanya Alit pelan, masih sambil memeluknya. 

“Selain batasan cemburu, kita perlu bahas apa lagi?” 

Tidak ada jawaban. Alit pun bingung dengan apa yang dia rasakan sekarang. Sehingga ketika Brian mengurai pelukannya, ia kembali menggeleng. 

“Kalau kamu sendiri, batasanmu dalam cemburu tuh sejauh mana? Kamu bakal cemburu kalau ada cewek di kantorku yang perhatian sama aku dengan traktir-traktir gitu?” 

“Iyalah! Aku udah bilang, kan, kalau aku tuh cemburuan banget? Aku enggak suka kamu balesin komentar cewek-cewek, meski itu cuma bercanda, apalagi kalau mengarah ke … kapan nih, nongkrong bareng lagi di bar ini dan itu? Aku enggak suka kamu nongkrong sama cewek.” 

“Meskipun rame?” 

“Ramenya tuh harus lebih dari sepuluh orang, yang beneran rame gitu. Kalau cuma berempat, atau berenam gitu, aku nggak suka. Apalagi kalau jumlah ceweknya lebih banyak. Kecuali kalau cewek yang ikutan nongkrong itu pacar-pacarnya temenmu.”

Brian manggut-manggut. “Terus misal ada juniorku traktir aku kopi buy one get one free, gimana?” 

Kali ini Alit terdiam. “Boleh, tapi harus yang beneran buy one get one free. Nggak boleh yang emang dia niat mau traktir kamu.” 

“Kalau emang dia mau traktir aku karena berterima kasih atas bantuanku di kantor secara profesional? Atau semacamnya gitu gimana? Itu kan cuma kopi, Sayang. Aku enggak mungkin langsung naksir dia, cuma gara-gara ditraktir kopi.”

“Ya kalau kopinya dikasih mantra aneh-aneh sama dia, terus kamu jadi kepincut gimanaaaa?” 

“Jadi, nggak boleh ya?” 

“Nggak boleh. Kalau kamu juga enggak suka hal yang sama, mulai sekarang aku bakal nolak semua traktiran dari Mas Faiq.” 

“Emang kamu bisa nolak? Meskipun itu Hokben? Kamu tetep bisa nolak?” Brian tampak skeptis, sambil terkekeh. “Kamu tuh orang paling enggak enakan buat nolak, yang pernah aku kenal lho!” 

Alit merengut. Memang benar sih. Apalagi dia enggak terlalu akrab dengan Faiq, makin sulit lagi dia menolak. “Mulai sekarang, aku bakal berusaha buat ngasih batasan lebih tegas, dan menolak semua hal yang emang aku enggak mau, tanpa rasa enggak enakan.” 

Brian manggut-manggut. “Coba praktekin, gimana kamu bakal nolak kopi pemberian dari managermu itu?” 

Lalu secara mendadak, mereka malah melakukan reka adegan. Brian berdeham sejenak, memulai aktingnya dengan mengatakan, “Ini ceritanya aku managermu, ya?” 

“Baru jam segini kok udah kelihatan ngantuk aja sih, Safaraz?” 

“Managerku manggilnya Saras!” ralat Alit yang juga mulai memasang ekspresi mengantuk. 

“Oh, oke, ulang.” Brian berdeham lagi sambil bersedekap. Lalu mengambil botol air mineral yang ia letakkan di pintu mobil, ceritanya itu adalah kopi. “Baru jam segini kok udah kelihatan ngantuk aja sih, Ras? Nih, ngopi dulu! Pas banget ini hari Senin, jadi ada promo buy one get one free. Ak-Saya pilih yang decaf buat kamu, biar lebih sehat, enggak kebanyakan kafein.” 

Alit tertawa. Aktingnya langsung rusak melihat bagaimana Brian berbicara panjang lebar dengan tampang serius. “Mas Faiq tuh enggak seperhatian ituuuu! Dia mana kepikiran beliin aku kopi decaf? Biasanya dia ngasihnya caramel machiato biasa. Paling less sugar aja sih, biar enggak kebanyakan gula gitu katanya.” 

“Berarti tetep aku yang lebih care sama kamu, kan? Jadi sampai sini kamu ngerti ya, kenapa aku enggak cemburu sama managermu itu?” 

“Ya kan, aku udah bilang juga, kalau hubunganku sama managerku tuh enggak seakrab itu.” 

Brian mengangguk, lantas wajahnya berubah serius. “Ya udah, terus ini gimana kamu bakal nolak kopi dari managermu ini?” 

“Sori, Mas, barusan pacarku ngechat, dia udah ngirimin aku kopi. Bentar lagi sampe kayaknya,” ujar Alit sambil mengangkat telapak tangannya. “Terus aku bakal langsung ngechat kamu, minta dikirimin kopi beneran. Problem solved!” 

Senyum Brian mengembang bangga. “Pinternya pacarkuuuu!” 

“Kamu juga harus nolak gitu ya, kalau dikasih kopi sama cewek mana pun di kantormu? Aku bakal langsung mesenin pake ojol, kalau kamu ngechat aku.”

Kepala Brian mengangguk, tapi wajahnya terlihat kurang nyaman. “Aku boleh tanya sesuatu?” 

Perasaan Alit langsung enggak enak. 

“Apa?”

“Kenapa kamu secemburu itu, kalau aku berinteraksi sama cewek lain? Walaupun itu sekadar interaksi kasual biasa?” 

Alit menjawabnya sambil memeluk Brian erat. “Aku takuttt!” 

“Takut kenapa, Sayang?” Pertanyaan itu terdengar lembut sekali. 

Takut kehilangan kamu lah! Karena Alit percaya, bahwa sebuah hubungan itu dimulai dari interaksi kecil yang berlanjut terus menerus. Ia khawatir, berbagai macam interaksi Brian di luar sana, lambat laun berubah menjadi hubungan lain yang Alit benci. Meskipun Brian enggak berniat selingkuh, tapi siapa yang tahu ke depannya akan seperti apa?

Namun, Alit enggak menyuarakan itu. Hanya mengeratkan pelukannya. Sebenarnya bukan cuma itu sih. Semenjak permainan singkatnya truth or kiss beberapa hari lalu, ada banyak sekali ketakutan yang berkecamuk di kepala Alit. 

Hanya saja, dia bingung harus mengutarakannya bagaimana, agar Brian enggak tersinggung. Makanya sejak tadi, bibirnya masih terkatup rapat. 

Pria itu mengurai pelukan dengan perlahan. “Sayang, dengerin aku dulu!” 

Pandangan mereka bertautan. Hangat sorot mata Brian mengalir sampai ke dadanya, membuat kekhawatirannya perlahan mencair. 

“Aku ngerti, pasti langsung muncul berbagai macam ketakutan di kepalamu, setelah apa yang kita bahas kemarin. Itu wajar kok. Tapi, bisa nggak, kamu berusaha buat menghapus semua ketakutan itu pelan-pelan?” 

Alit hanya diam. Sebelah tangan Brian terangkat untuk merangkum wajahnya. Ibu jarinya mengelusi pipinya lembut, lantas melanjutkan kalimatnya lagi. “Kita bisa nggak, hidup di masa sekarang aja? Enggak usah terlalu larut mikirin yang udah terjadi di masa lalu? Dan enggak usah terlalu khawatir dengan apa yang akan terjadi di masa depan? Karena itu cuma akan bikin kita kehilangan masa sekarang. Kita jadi enggak bisa menikmati apa yang sedang kita jalani sekarang.”

Perlahan Alit mengangguk. Mungkin di mata Brian, Alit adalah buku terbuka yang mudah sekali dibaca. Sehingga tanpa Alit mengatakan apa pun, pria itu sudah bisa mengetahui semuanya. 

Sorot mata Brian seperti memiliki kekuatan magis untuk mengurai gumpalan rasa takut yang memenuhi kepalanya. “Jangan pernah memelihara rasa takut di kepalamu ya? Mencintai dan takut kehilangan itu dua hal yang berbeda, Sayang. Kamu bisa cinta sama aku sebesar apa pun itu. Tapi kamu juga enggak boleh takut kehilangan aku dengan begitu besar. Karena rasa takut itu adalah hal negatif yang bisa melukai kamu di masa depan.

“Semakin kamu takut kehilangan, maka kamu akan semakin keras berusaha mempertahankan apa yang kamu punya. Dan itu enggak baik juga. Ibaratnya, kayak lagi menggenggam pasir. Kalau terlalu kuat mencengkeram, pasirnya malah akan habis berjatuhan. Kamu malah akan kehilangan sesuatu yang sekuat tenaga kamu pertahankan itu.” 

Alit tidak sanggup berkata-kata lagi mendengar bagaimana Brian berbicara dengan begitu lembut dan hangat. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah kembali menenggelamkan diri pada dekapan hangat yang selalu berhasil memberikan rasa aman untuknya. 

“Ngerti maksudku kan, Sayang?” tanya Brian lagi sambil mengelusi rambut Alit. 

“Iya, ngerti.” 

“Jadi, kita sepakat buat saling mencintai dan saling percaya tanpa rasa takut ya?” 

“Iya.”

“Yuk turun! Ini kafe serba matcha. Pasti kamu suka deh. Enggak cuman jual matcha latte, tapi banyak dessert enak rasa matcha semua. Es krim matcha juga ada! Yuk!” 

Bola mata Alit langsung menghijau. Seperti Tuan Crab yang melihat segunung uang. “Aku boleh borong semua dessertnya buat dicobain satu-satu?” 

Tanpa disangka, Brian menggeleng. “Belinya satu atau dua menu aja dulu. Jangan berlebihan, ah. Kita punya banyak waktu. Bisa ke sini tiap hari, nyobain satu-satu. Enggak harus sekarang semua. Kayak perutmu bisa nampung semuanya aja.”

Alit merengut. “Kalau buat matcha, aku beneran bisa makan banyakkkk banget tau!” 

“Iya, tapi tetep enggak bagus. Pilih dua atau tiga aja.” 

“Kamu tuh niat jadi gadunku nggak sih? Pelit banget!” 

Bukannya tersinggung, Brian malah terbahak-bahak. “Sebagai ani-ani, kalau minta dijajanin, galak juga ya kamu? Harusnya mintanya yang manis dong! Sambil ngerayu manja dulu! Ayo cepetan! Nanti aku beliin semua yang kamu mau.” 

Kemudian Alit turun dari mobil duluan sambil menyibakkan rambutnya sombong. “Aku bisa bayar semuanya sendiri!” 

Memang betulan bisa. Tapi Alit enggak mau bayar sendiri. Pada akhirnya, dia merengek di depan kasir dengan manja. “Sama tambah Miles Crepe juga yaa, Masss? Itu kelihatan enak bangettt!” 

“Ya udah, berarti Tiramisu Matcha-nya enggak jadi? Apa Strawberry Matcha Cake-nya yang diganti?” 

“Nggakkk, bukan digantii! Tapi ditambahhh yaaaa? Itu porsinya kecil, pasti bisa aku habisin semuanyaa, Masss!”

“Berarti es krimnya yang enggak jadi?” 

“Ihhhhh, sama es krimnyaa jugaaa! Lihat tuhhh Mbaknya udah ngambilin es krimnya, masa nggak jadi? Udah sih, nggak papaaa! Sekali-kaliii! Habis ini aku enggak jajan lagi deh sampe besok pagi!” 

“Bukannya pelit, tapi gulanya itu lho, Lit, astagaa!” 

“Ya kan aku bilang sekali-kaliii! Habis ini aku bakal minum air putih yang banyakkk ya, Massss? Terus sampai besok aku nggak akan makan manis-manis lagi. Boleh kan? Boleh dong! Makasihhh, Masss!” Alit tersenyum lebar kegirangan ketika Brian tidak mengatakan apa-apa lagi. “Mbakk, tambah Miles Crepe satu yaa! Mau yang paling kiri ituu yaa! Iya, yang paling kiri. Itu taburan matcha-nya keliatan lebih banyak hehe.” 

Petugas kasir yang melayani Alit ikut tertawa kecil. “Lucu banget sih, Mas, Adeknya. Mana mungkin bisa nolak ya, Mas, kalau kayak gini? By the way, kita pakai gula rendah kalori kok, Mas. Jadi enggak perlu terlalu khawatir yaa!” 

Brian hanya mengangguk kecil. Ekspresinya langsung berubah datar. Padahal sejak memasuki kafe, tangannya setia bertengger manis di bahu Alit. Memangnya aura kasmaran di antara mereka kurang menonjol ya, sampai dikira kakak-adik?!

 

 

 

***

 

 

Jadi begitu, guys. Masnya enggak cemburuan seperti yg kalian harapkan. 

Brian: Kenapa gue harus cemburu kalo yang dibucinin Alit cuma gue?

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Hello Shitty
Selanjutnya Bab 23: Alice in Wonderland
106
18
“Mau ikut ke rumah Mama nggak, Sayang?” 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan