
Batal Cerai Bab 5-7
17 lantai aku menaiki tangga manual. Shit! Ini pengalaman paling buruk seumur hidup. Bagaimana bisa, aku, seorang keturunan konglomerat, Sultan ini harus bersusah-payah menaiki tangga manual untuk mencapai apartemenku sendiri? Seumur-umur, baru sekarang aku benar-benar bernasib sial sekali begini. Dan sekali-kalinya menaiki tangga sejauh ini.
Nafasku ngos-ngosan sampai di depan pintu. Kaki pegal bukan kepalang. Emosi naik ke ubun-ubun dan sabarku yang memang hanya seujung kuku rasanya benar-benar hilang sekarang, terbang.
# Batal_Cerai
Bab 5-7
17 lantai aku menaiki tangga manual. Shit! Ini pengalaman paling buruk seumur hidup. Bagaimana bisa, aku, seorang keturunan konglomerat, Sultan ini harus bersusah-payah menaiki tangga manual untuk mencapai apartemenku sendiri? Seumur-umur, baru sekarang aku benar-benar bernasib sial sekali begini. Dan sekali-kalinya menaiki tangga sejauh ini.
Napasku ngos-ngosan sampai di depan pintu. Kaki pegal bukan kepalang. Emosi naik ke ubun-ubun dan sabarku yang memang hanya seujung kuku rasanya benar-benar hilang sekarang, terbang.
Gara-gara perempuan ninja dari desa itu hidupku jadi berantakan begini. Awas saja. Akan kubalas dia. Kubuat menderita.
Aku merutuk sambil membuka pintu dan sengaja tak menguncinya karena Miranda belum tiba. Jelas saja, dia menaiki tangga dari lantai satu sambil membawa tas besar pula. 27 lantai. Pasti lebih berat perjuangannya. Dan itu wajar. Sesuai kastanya bukan? Jelas beda denganku.
Aku masuk dan langsung menenggak air mineral yang disajikan Bi Hali serta menyantap sajian di meja makan. Lalu merebah di sofa ruang tamu. Ya, di sofa. Aku ingin melihat sendiri kena'asan gadis asing itu. Memastikan sekalian, dia masih sanggup berdiri setelah sampai atau mungkin pingsan dan menyerah di setengah perjalanan?
Setengah jam berlalu, belum ada tanda-tanda ia tiba. Lama juga, dasar lelet. Apa dia pingsan di tengah perjalanan lalu ditemukan oleh satpam? Bisa jadi.
Baru kubuka laptop untuk mengecek pergerakan saham, pintu apartemenku terbuka dan gadis itu tiba sambil mengucapkan salam dengan suara pelan. Lantas kujawab dengan sekali bentakan.
Ternyata, dia masih sanggup berdiri tegak. Bayangkan! Ternyata kaki kuda, boleh juga.
Segera kucecar dengan pertanyaan soal berapa usianya. Ya, aku kan samasekali belum mengenalnya. Hanya tahu namanya, Miranda. Nama yang aneh sungguh aneh.
Dan usianya, sembilan belas tahun ternyata! Oh, Tuhan. Itu usia terlalu belia bukan? Untuk aku yang sudah berusia dua puluh sembilan tahun ini. Pasti dia sangat kekanak-kanakan. Sudahlah dari desa, aneh pula, awas saja kalau manja juga.
Maka sengaja kubentak-bentak agar terlatih dewasa. Ya, aku tak sudi menerima kemanjaan gadis usia belia sepertinya. Awas saja kalau cengeng. Bakal kukurung di kamar mandi biar tahu rasa.
Serangan pertama aku berhasil telak. Dia terlihat gemetaran. Ketakutan? Ck, kampungan memang. Baru segitu juga. Sungguh bukan pasangan impian. Tidak ada menarik-menariknya. Tidak ada tantangannya.
Lalu ia cepat memasuki kamar seperti kuperintahkan barusan. Biar sajalah, daripada aku mual melihatnya yang sungguh suram.
.
.
.
Padahal kuharap ia tak keluar-keluar sampai besok pagi. Atau selamanya sekalian. Ternyata, tak berapa menit berlalu, baru saja aku membuka neraca dan pergerakan saham, ia sudah muncul lagi di depan pintu kamar yang tadi kutunjuk untuknya.
Ada apa? Apa dia sangat tahu diri atau memiliki insting atas niatku untuk memintanya pindah tidur di kamu pembantu?
Ia berdiri di sana, dengan kaki gemetaran. Aku bisa melihat dari kaki berlapis kaus kakinya yang terus ia gerak-gerakkan di lantai.
Kenapa gemetaran begitu? Takut denganku? Ya, pasti begitu. Dasar kampungan.
Kulirik dengan ujung mata sosok suram yang memuakkanku itu.
"Em...."
"Kenapa gemetaran?! Ketakutan?!" Aku bertanya dengan nada penuh kemenangan.
"Lapar. Ada makanan?" tanyanya kemudian.
Hits. Lapar? Jadi sejak tadi dia gemetaran karena lapar? Kukira karena takut denganku.
"Di dapur. Tapi jangan makan yang ada di meja makan. Masak sendiri!" jawabku dengan suara datar.
"Baik, kak, eh... Om," jawabnya sambil menuju dapur.
Apa dia bilang? Kakak? Anak kecil memanggilku kakak, enak saja. Untung dia ingat dan segera meralat.
Aku meletakkan laptop di meja dan mengikutinya ke dapur. Mulai detik ini, aku dan dia harus membuat kesepakatan.
Dia menuang air ke dalam gelas. Sepertinya kehausan sekali. Tentu saja, mendaki 27 lantai. Ck. Dan masih sanggup berdiri. Boleh juga.
Ia baru menarik kursi dan akan minum sembari berniat melepaskan penutup wajahnya itu ketika aku datang dan refleksi langsung mencegahnya.
"Jangan dibuka!" teriakku yang menghentikan gerakan tangannya dari membuka kain bernama cadar itu.
Huh, hampir saja aku bakal melihat pemandangan yang bakal membuatku semakin ilfeel padanya. Bakal semakin merusak mood ku hari ini dan sampai tiga bulan ke depan. Ya, bagaimana kalau tadi aku sedetik saja terlambat dan dia keburu membuka cadarnya? Lalu memperlihatkan wajahnya yang sudah pasti tidak cantik, penuh noda, penuh jerawat barangkali, atau yah tak menarik samasekali. Tidaklah, jangan sampai. Amit-amit. Wajahnya ditutup begitu saja sudah cukup membuatku kesal, bagaimana kalau dibuka? Karena yang ditutupi sudah pasti demi mengaburkan kekurangannya. Begitu kan?
Ia mengerjap. Hanya matanya yang bisa terlihat.
"Dengar. Em... Miranda. Namamu Miranda kan?"
Dia mengangguk. Aneh sekali bicara dengan orang seperti ini. Seperti bicara dengan patung yang bermata. Tapi itu lebih baiklah, daripada aku terpaksa harus melihat wajah jeleknya kan? Apalagi kulitnya yang mungkin penuh kurap dan panu, dia kan gadis desa, pasti tak pernah perawatan. Huh.
"Selalu gunakan pakaianmu yang seperti ini di dalam rumah ini. Juga penutup wajahmu itu. Jilbab, baju, kaus kaki. Jangan pernah dibuka. Apalagi di depanku. Saat makan, tidur, saat apapun. Paham?!" Aku menunjuk dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Ia harus faham aturan ini.
Aku tahu, itu akan sangat menyulitkannya. Apalagi saat makan atau akan minum seperti ini. Bayangkan, bagaimana dia bisa makan dengan wajah tertutup seperti itu? Aku tertawa puas sekali dalam hati. Jangan-jangan dia jadi tidak bisa minum dan makan. Rasain!
Ia mengangguk. Paham.
Parah yah nih anak. Manutan banget. Nggak ada ngebantahnya.
Ia malah minum dengan santai. Tanpa membuka kain penutup wajahnya, hanya menarik kain itu ke depan lalu memasukkan gelas ke dalamnya. Saat mengeluarkannya, air segelas itu sudah habis saja. Oh, sialan. Dia pintar juga rupanya. Punya cara sendiri untuk minum dengan cara seperti itu. Kukira dia akan menahan kehausan.
Tak apalah, yang penting, jangan sampai saja aku melihat wajahnya. Nanti aku muntah-muntah kan gawat jadinya.
"Kalau saat mandi?" Tiba-tiba ia bertanya. Polos sekali.
"Ya buka saja. Masa mau mandi dengan pakaian begitu? Aneh. Kalau di kamar mandi atau kamar kecil terserah. Tapi kalau sudah di luar jangan."
"Oh, oke," jawabnya santai.
Santai?
"Kalau sholat juga nggak pakai cadar." Ia menjelaskan. Padahal, siapa juga yang minta penjelasan? Dan siapa juga yang mau lihat-lihat dia lagi sholat?
"Sholatnya selalu di dalam kamar, jangan di luar!" Aku mengingatkan.
"Siap."
Oh, nantang.
"Dengar! Kita harus membuat kesepakatan," ucapku dengan menatapnya tajam.
"Ya?" Matanya mengerjap lagi. Menatapku juga. Dengan santai saja.
.
"Dengar! Kita harus membuat kesepakatan," kataku dengan menatapnya tajam. Agar dia paham, keseriusan yang kusampaikan. Soal pernikahan ini. Yang kulakukan karena terpaksa saja.
"Ya?" tanyanya dengan membalas tatapanku. Baru kusadari, matanya beriris coklat, terlihat... terlihat... indah... yah lumayan lah.
Ah, apa-apaan sih? Jelas saja matanya lumayan bagus, pasti hanya itu kelebihannya. Makanya matanya tak ditutupi dan hanya bagian itu yang diperlihatkannya. Coba kalau tak bagus, pasti ditutupi juga seperti bagian tubuh dan wajahnya yang lain. Kasihan sekali, hanya matanya yang bagus coba.
Aku segera menyingkirkan pikiran soal matanya yang 'lumayan' itu.
"Kau boleh tinggal di sini sampai tiga bulan ke depan. Selama itu, kau hanya boleh tidur di kamarmu sendiri. Atau, kau bisa tidur di kamar pembantu, dekat dapur. Terserah. Yang penting jangan di kamarku. Paham?" Aku memangku tangan di depan dada dengan arogan. Masih menatapnya yang tak beranjak dari duduk di kursi sejak tadi. Supaya dia tahu, aku sangat tak menginginkannya. Apalagi sampai mengharapkannya. Amit-amit tujuh turunan. Kami jelas beda kasta.
Ia mengangguk. Tanda mengerti.
Mengangguk? Kenapa anak ini penurut sekali? Huh, sangat tidak kritis. Seharusnya kan dia membantah atau paling tidak bertanya 'kenapa'. Sampai di sini aku makin paham, seberapa cetek 'otaknya' gadis ini. Tidak kritis atau malah mungkin tidak jalan. Beda sekali dengan gadis kota yang selalu menuntut alasan karena otak mereka lebih dewasa dari usianya.
Jadi kesimpulannya, gadis ini selain tidak cantik juga tidak pintar. Seperti yang kuduga. Tak selevel denganku yang cerdas ini pastinya.
"Kita hidup masing-masing. Kamu dengan hidupmu, aku dengan hidupku. Aku tak akan mencampuri hidupmu dan kamu jangan pernah mencampuri hidupku. Anggap saja kita hidup bertetangga. Yah, hanya bertetangga kamar. Atau yah anggap kita nggak usah saling kenal lah. Intinya, hidup masing-masing. Lagipula, aku memang tak suka dengan orang asing." Aku mempertegas. Lalu menunggu reaksinya. Bagaimana rasanya menjadi seseorang yang tak dianggap bahkan sejak hari pertama seperti ini?
Dan tahu apa reaksinya? Lagi-lagi, mengangguk sepakat. Menjengkelkan ya ini orang. Nggak ada ngelawannya, samasekali. Atau karena terlalu nyadar diri? Ya, pasti itu alasannya. Baguslah kalau dia paham tanpa harus kujelaskan perbedaan kami yang bagai langit dan bumi ini.
"Belum selesai. Dengar. Setelah tiga bulan, kau silakan saja gugat cerai aku. Paham?"
Kali ini dia tak mengangguk. Diam dan memandang. Mungkin sedang berpikir.
Dan aku tersenyum sinis mengejeknya. Baru kena kan sekarang setelah aku katakan hal itu. Ya, memperdilakannya untuk menggugat cerai aku. Bukan sebaliknya. Sebab aku ini pintar. Aku bisa memperhitungkan apa yang akan terjadi jika aku yang menceraikannya. Opa bisa saja mencegah atau sengaja mempersulit prosesnya, sebab tahu, aku menikahinya memang karena terpaksa saja. Sedangkan Opa mengharapkan aku bertahan dengannya.
Beda hal kalau Miranda yang menggugat cerai aku. Artinya, ia yang memulai. Seolah ia yang tak suka menikah denganku, maka Opa pasti lebih mudah bersepakat. Dan kami lebih mudah untuk berpisah kan? Ya, itu tujuan utamanya. Bebas dari pernikahan sialan ini.
Meski itu memang menjatuhkan harga diriku. Hellow, seorang Aldo digugat cerai? Nggak mungkin sekali.
Karena aku tahu, gadis ini tak mungkin tak suka denganku. Pria tampan, pintar, dan kaya raya ini. Aktris sampai model ternama saja pada ngantri untuk kukencani, apalagi dia yang bukan apa-apa. Tapi maaf-maaf saja, aku tak level dengan gadis desa yang pasti tak cantik rupa dan tak ada hebat-hebatnya seperti dia.
"Paham?" Ternyata untuk point ini harus kutanya ulang, tingkat pemahamannya.
Dia masih diam. Hanya matanya yang kulihat mengerjap dengan ekspresi wajah yang tentu saja tak bisa kulihat. Kalau kelihatan ekspresinya, pasti lagi jelek banget.
"Anggap saja tiga bulan ini anugerah buatmu kan. Bisa hidup enak, tinggal di apartemen keren dan memandangi cowok ganteng setiap hari. Yah, nikmati saja. Hanya tiga bulan. Tiga bulan lagi di tanggal yang sama dengan hari ini, kau bisa gugat cerai aku." Aku mengangkat bahu dengan ringan, memberikan kode mengejek sebenarnya.
Agar dia benar-benar mengingat dengan jelas. Tanggal penting yang kusebutkan.
Aku meninggalkannya setelah itu. Tak peduli perasaannya. Buat apa juga peduli kan?
Tapi dua langkah meninggalkannya, kok aku merasa berdosa dan... seperti ada yang aneh begini ya? Tiga, empat, lima langkah, makin aneh rasanya.
Enam langkah.
GUBRAAK!!
Aku jatuh, guys, terpeleset di lantai basah apartemen. Pantas dari langkah kedua tadi rasanya aneh, ternyata Bi Hali sedang mengepel. Aku menginjak lantai basah. Bersabun pula. Aku memang sangat perfeksionis, selalu kuperingatkan Bi Hali agar lantai kudu dipel pakai sabun banyak-banyak, biar kumannya hilang, tak boleh sekedar dipel biasa seperti orang kebanyakan.
Tapi kalau terinjak begini pasti aku terbanting lah. Asem memang.
Aku menatap tajam Bi Hali yang menutup mulut ketakutan.
Pinggangku sakit akibat terbanting di lantai keramik ini. Sialan. Miranda hanya melihat saja lagi. Bukannya bantuin.
Uh, sudah kubilang gadis ini pembawa sial memang.
.
.
.
Hari pertama berlalu dalam kesialan dan mengakibatkan pinggang serta bokongku kesakitan. Belum lagi kaki yang pegal-pegal habis manjat tangga 17 lantai.
Aku menghabiskan beberapa jam dengan pijat dan rileksasi dari terapis profesional. Di dalam kamarku tentu saja.
Untung tak cedera parah. Setelah tertidur beberapa jam, aku terbangun dengan tubuh lebih rileks. Jauh lebih mendingan.
Kukirik, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika terbangun. Aku segera membuka laptop dan meneruskan pekerjaanku, mengurusi perusahaan yang sedang bermasalah.
Gadis desa itu?
Entahlah, sejauh ini dia tidak mengganggu. Lebih tepatnya, karena aku yang tak menganggap kehadirannya.
Selepas kesepakatan dan insiden terjatuhku tadi, aku meninggalkannya ke kamar dan tak keluar sampai pagi. Makan malamku diantar oleh Bi Hali, delivery order dari restoran langgananku. Dan gadis desa itu, entah dia makan apa, makan atau tidak, aku tak peduli.
Aku berangkat sangat pagi karena ada briefing proyek lebih awal. Jadi pukul enam pagi, aku sudah bersiap. Sebelum ke kantor aku sudah menyiapkan diri dengan rapi dan tampan di dalam kamar, seperti biasa. Lalu melangkah ke dapur untuk sarapan.
Aku lupa memberitahukan Bi Hali kalau hari ini aku akan berangkat lebih cepat. Jangan-jangan dia belum selesai menyediakan sarapanku. Kacau.
Tapi aku salah ternyata. Saat tiba di meja makan, sarapan nasi goreng lengkap dengan salad dan minuman hangat sudah tersaji. Oh, good job, Bi Hali. Dia memang pembantuku yang bisa diandalkan walau kesalahannya kemarin yang menyebabkan aku jatuh masih sulit kumaafkan.
Belum sempat kuhirup susu hangat yang sudah kuangkat gelasnya ini, tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok gadis desa itu di depan wastafel dapur. Seperti, sedang membereskan sisa memasak. Dia menggunakan rangkaian pakaian serba hitam pagi ini. Seperti burung hantu saja. Tak ada menarik-menariknya. Wajahnya, tentu saja masih tertutup kecuali matanya. Seperti kesepakatan kami kemarin kan. Lebih tepatnya, atas permintaan dan perintahku.
Kenapa dia ada di sini? Jangan-jangan dia yang memasak dan menyiapkan sarapan ini.
Kuletakkan lagi gelas minuman yang hampir kuminum sedetik lalu. Menatap tajam bergantian pada Miranda dan Bi Hali. Meminta jawaban.
"Siapa yang membuat minunan dan sarapan ini?" Suaraku terdengar datar.
"Non Miranda, Tuan." Bi Hali yang menyahut. Dengan wajah berbinar.
Apa? Dia yang membuatkanku makanan dan minuman? Ini pasti makanan dan minuman selera desa. Mana tahu dia selera masakan kota sepertiku. Tidak enak, tidak higienis, sembarangan. Uh, aku bergidik.
Aku langsung beranjak berdiri sambil mengangkat gelas minuman di tangan. Mendekati wastafel tempat dimana ia berdiri sekarang. Lalu... kutuangkan minuman itu ke dalam wastafel sambil menatap dan berbisik padanya agar Bi Hali tak perlu mendengar.
"Dengar, sudah kubilang kemarin, kita hidup masing-masing saja. Jangan pernah membuatkanku minuman atau makanan apapun. Tidak perlu. Kamu tidak tahu seleraku. Dan aku tak biasa memakan makanan desa. Kalau mau membuat minuman atau makanan, buat untukmu sendiri saja. Jangan pernah buatkan untukku. Aku bisa delivery dari restoran mahal atau masakan yang dibuat chef profesional. Yang sesuai seleraku. Faham?"
Dia menatap sejenak susu hangat yang kutumpahkan di hadapannya.
Lalu sejenak matanya mengerjap. Entah bagaimana ekspresinya. Tapi ia mengangguk lagi, tanda faham.
Aku segera beranjak pergi. Tanpa sarapan. Selera makanku hilang. Huh, lebih baik aku sarapan di kantor saja. Daripada memakan masakannya. Bisa sakit perut aku jadinya. Mana cocok perut sultan memakan masakan kampungan.
Tapi sampai di kantor, aku malah dikejutkan oleh reaksi alam yang mengejutkan.
Oh kumohon jangan!
.
.
.
Aku mual. Sial!
Muntah di kamar mandi. Pasti magh-ku kambuh. Ini pukul sepuluh dan aku belum sarapan. Macet membuatku tak sempat makan pagi di kantor. Padahal di apartemen juga tadi tidak makan. Lalu langsung menghadiri meeting pentingku.
Segera kuhubungi dokter keluarga selepas meeting yang tadi kupimpin. Dokter itu datang, memeriksakan dan memberi obat yang membuatku lebih baikan.
Opa menelepon, mengingatkan agar aku cuti bulan madu dulu. Tiga hari, atau bahkan satu minggu. Katanya agar cepat 'jadi anak'. Dih, geli dengarnya. Melihat wajah gadis desa bertutup muka itu saja aku tak sanggup, bagaimana mungkin akan membuat anak dengannya? Mustahil.
"Kamu datang meeting hari ini, Aldo? Opa kan sudah bilang, kamu liburan dulu, bulan madu. Baru kemarin menikah masa sudah masuk kerja? Proyek itu serahkan ke Alfin atau Alex saja." Opa menginterupsi dari seberang telepon.
Aku membuang nafas malas.
Menyerahkan proyek ini untuk ditangani Alfin dan Alex? Sama artinya perusahaan ini bunuh diri. Mereka mana bisa mengatasi proyek penting seperti ini. Yang ada malah mengacaukan. Sudah berkali-kali nyaris terjadi, dan selalu aku yang menyelamatkan. Kenapa Opa tak jua mengambil pelajaran sih?
Dari semua cucu Opa, hanya aku yang pintar. Itu fakta, bukan fitnah. Alfin dan Alex mana pernah serius mengerjakan pekerjaan di kantor ini. Hanya bergaya-gaya untuk kemudian dipamerkan pada para wanita. Angga apalagi. Hanya numpang nampang meeting sesekali lalu lebih banyak selfie-selfie, menggodai karyawan-karyawan seksi di kantor ini.
Fuh, nasib sial memang memiliki saudara seperti mereka semua. Tak ada serius-seriusnya. Lebih sial lagi, saat aku yang lebih banyak berbuat untuk perusahaan Opa ini, malah aku yang ditumbalkan untuk menikahi gadis desa itu. Uwargh! Betapa ini tidak adil bukan?
Jelas saja aku masih menjomblo sampai Opa keduluan menjodohkan. Aku sibuk, sangat sibuk mengurus pekerjaan. Lalu sangat selektif memilih wanita yang mengantri kukencani. Lantas berakhir dengan tak kupedulikan satu per satu.
Aku ini pemilih dan perfeksionis sekali. Kriteria calon istriku tak boleh sembarangan. Tak cukup modal tampang cantik, seksi, dan menggoda seperti selera Alfin, Alex, dan Angga. Tidak bisa. Harus yang sempurna luar dalam. Kalau hanya oke di luar tapi otak dengkul di dalamnya, jelas kutolak mentah-mentah.
Apalagi kalau sudah tak menarik di luar lalu sangat tak memenuhi kriteria dari kualitas isi dirinya juga. Itu bencanaaa! Seperti aku yang terjebak harus menikahi gadis desa si Miranda itu. Sudah jelek, dari desa, udik dan nggak ngerti apa-apa pula. Nasib sial sejagat raya.
"Kamu pulang, Aldo. Temani Miranda."
"Tapi Opa, ada meeting lagi siang ini--"
"Serahkan pada Alfin."
"Opa, mana bisa dia--"
"Opa tunggu kamu sampai di apartemen segera. Jangan lancang lagi membuang minuman yang Miranda buatkan untukmu. Itu tidak sopan. Jangan main-main dengan pernikahan ini dan jangan fikir Opa tidak tahu. Nanti malam kalian Opa undang makan malam di rumah. Opa tunggu."
Huh. Mana bisa Opa dibantah. Dan eh tunggu dulu... dari mana Opa tahu kalau aku membuang minuman yang dibuatkan gadis desa itu? Jangan-jangan dia mengadu. Memang cari perkara. Lihat pembalasanku.
Masuk ke apartemen segera kucari dia. Di dalam kamar. Kuketuk pintu kamarnya lalu dengan pandangan penuh permusuhan kutatap mata beriris coklatnya. Apa sih maksudnya ngadu-ngadu ke Opa?
"Bicara apa aja ke Opa?" Aku langsung ke inti. Tidak ada basa-basi.
Aku benar-benar tak sabar ingin memarahi gadis lancang ini.
"Opa? Opa datang?" Ia malah menengok ke belakang punggungku, berjinjit. Tapi mana sampai, aku jelas jauh lebih tinggi darinya.
"Sst. Kamu nelepon Opa? Ngadu? Maksudnya apa? Kita kan sudah buat kesepakatan. Aku dan kamu, kita hidup masing-masing saja di apartemen ini. Jadi nggak perlu ngadu-ngadu begitu!"
Hening. Hanya kulihat matanya mengerjap. Lalu semilir kudengar suara bicara pelan dari balik dinding penyekat.
"Iya, Tuan. Tuan Aldo sudah pulang. Lagi marah-marah...." Bisikan.
Aku terkesiap. Memicingkan mata dan dalam hitungan detik berpaling. Menangkap bola mata mengintip dari sela dinding pembatas. Bi Hali. Jadi dia yang mengadu.
Nyaris aku kehilangan kontrol dan langsung menarik handphone itu lalu memecatnya, saat sadarku lebih cepat bekerja. Mana mungkin aku melakukannya. Bi Hali pasti sengaja ditugaskan Opa untuk memata-mataiku dan Miranda. Uh, seperti penjahat saja dinata-matai begini.
Opa pasti lebih percaya dan membela Bi Hali. Dan lagi, Opa paling tidak suka siapapun dari keluarganya sembarangan memecat pekerja. Bisa menjadi bahasan yang tak ada habis-habisnya.
Jadi. Kutenangkan jantung yang terbakar ini. Harus berakting biar dia meralat aduannya. Dan aku bisa segera menyingkirkannya, dari apartemen ini. Hih, aku tak sudi dimata-matai begini.
Aku berpura-pura tak menyadari sedang diiintip oleh Bi Hali, berpaling lagi menatap Miranda yang masih terlindung tubuhku di depan pintu kamar ini. Sepertinya dia tak mendengar bisikan Bi Hali di telepon tadi. Jelas saja, kupingnya tertutup kain yang sepertinya tebal begitu. Pasti budeg jadinya.
Ya ya ya. Ini terpaksa. Terpaksa aku berakting kan jadinya. Supaya Bi Hali meralat aduannya dan melaporkan yang baik-baik tentang prilakuku pada Opa. Soal pernikahan sialan ini.
"Oh tidak, Sayang. Aku hanya bercanda." Sengaja kunyaringkan sekali suara agar Bi Hali mendengar. Seakan bicara pada Miranda. Lalu aku tertawa garing dan maju tanpa peduli dengannya yang berdiri di daun pintu.
Gadis desa itu refleks mundur mengikuti langkahku yang mendekat. Lalu setelah tubuhku masuk sepenuhnya ke dalam kamarnya juga, segera kututup pintu. Menguncinya.
Agar Bi Hali mengira aku sedang 'mendatangi' istriku. Seperti yang diperintahkan Opa.
Langkahku kelewatan, mungkin karena aku tidak fokus atau justru malah karena terlalu fokus? Maka aku terus saja melangkah, sampai dia yang melangkah mundur terantuk sisi ranjang. Terhempas ke atas springbed itu. Dan aku jatuh nyaris menimpanya. Untung tanganku yang kekar dan kuat ini sempat bertumpu. Jadi aku tak menindih tubuhnya yang tak berbodi itu. Ya, tak berbodi. Pakaiannya selalu longgar. Tak pernah terlihat ada lekuk tubuh di sana. Pasti tubuhnya rata. Makanya menggunakan pakaian longgar begitu. Rata seperti tiang.
Setengah meter tubuhku bertumpu di atas pembaringan, tepat di atasnya. Sialnya justru wajahku yang nyaris-nyaris tersentuh wajahnya yang tertutup kain itu. Untung tertutup kain, kalau tidak, wajahnya yang pasti penuh noda dan jerawat itu bisa terkena kulitku. Lalu kuman dan bakterinya menodai wajah tampanku ini. Kan bahaya. Hanya saja, mata beriris coklatnya malah seperti membius mataku. Terlihat, indah banget.
Ih, apa-apaan? Mana sudi aku punya istri cuma modal mata doang. Mata doang yang bagus. Lainnya minus. Nggak level lah.
Dan dalam jarak wajah kami sekarang ini, seperti ada yang menyentuh ujung hidungku. Sesuatu di balik kain penutup wajahnya. Apa ini? Hidungnya? Ah, tidak mungkin hidungnya semancung ini.
Aku segera bangkit saat matanya mengerjap. Seperti baru sadar dari sandraan pandangan mata beriris coklat itu. Jangan-jangan gadis ini punya ilmu pelet dan tadi sedang menghipnotisku. Bahaya memang. Di desa kan biasa ilmu-ilmu ghoib begitu. Mengerikan.
Aku segera berdiri dan menepu-nepuk paha serta depan bahuku. Selalu, dengan gaya arogan dan sombongku. Takut dia berdebu, dan ada debu di pakaiannya menempel di jas mahalku.
Dia bangkit juga. Duduk di tepi ranjang. Menatapku sepertinya.
"Ada Opa?" Dia memecah kesunyian yang sempat tercipta. Menanyakan hal yang tadi tak terjawab.
"Nggak," jawabku singkat. Lalu melepaskan sepatu dan jas serta dasi, menaruhnya di atas nakas. Cuek naik ke atas pembaringan.
"Jangan kegeeran kalau aku masuk ke kamar ini. Cuma numpang ngadem bentar. Biar Bi Hali nggak ngadu macam-macam ke Opa." Aku menjelaskan sebelum ia salah sangka.
Iya, kalau ia salah sangka, aku tak tega saja akhirnya dia kecewa. Karena harapan dan cintanya padaku bertepuk sebelah tangan. Nanti dia kira aku beneran 'mendatanginya' karena suka. Padahal ini hanya sandiwara.
"Ngadu?" Tanyanya dengan nada polos seperti biasa.
"Sudah deh. Kamu nggak akan ngerti biar aku jelasin juga. Udah terusin tadi kamu lagi apa, asal jangan naik ke atas ranjang ini. Aku mau istirahat," usirku sambil berpangku tangan dan berbaring di atas tempat tidur.
"Oke. Mii mau wudhu, mau sholat dzuhur. Om sholat juga kan? Nih sajadahnya ada dua." Ia mengambil sebuah sajadah dari dalam lemari dan meletakkannya di sampingku.
Sholat? Dia nyindir atau apa?
Tapi aku malas berdebat. Jadi kudiamkan saja. Pura-pura tidur, memejamkan mata. Sementara dia beranjak ke kamar mandi. Lalu kudengar gemercik suara air. Pasti dia sedang berwudhu.
Aku membuka mata lagi. Mengamati kamar yang baru semalam dihuninya ini. Sudah tertata rapi. Dan mataku menangkap meja di sebelah pintu yang tadinya kosong. Sekarang penuh terisi buku-buku. Buset deh, jadi kemarin dia bawa-bawa tas besar isinya kebanyakan buku-buku ini? Banyak bener. Jangan-jangan dia habis ngerampok perpustakaan umum desa. Buat dia jual ke pasar loak kali. Bikin malu aja. Bahaya bener nih cewek ternyata.
Aku langsung mengalihkan pandangan dari melotot ke arah meja saat ia melangkah ke luar dari pintu kamar mandi. Menggelar sajadah persis di sisiku.
"Kalau sholat juga nggak pakai cadar."
Penjelasannya kemarin segera terbayang dalam benakku.
Sekarang dia akan sholat dan aku ada di dalam kamarnya.
Tepat saat aku menoleh, saat itu tangannya bergerak ke belakang kepala, melepaskan tali pengikat cadarnya.
Kenapa aku jadi deg deg an begini?
.
.
.
Bersambung
Batal Cerai
- Lebah Ratih
Kukira menikahi wanita nelangsa yang tak layak dianggap ada. Ternyata, dia bidadari surga yang membuatku tergila-gila.
Komen dong ya, biar saya semangat up datenya hihi ๐. Terimakasih sudah mampir, baca sampai TAMAT yuk. ๐
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
