Terpaksa Dimadu

0
1
Deskripsi

Ririn tak menyangka, suaminya tiba-tiba minta izin menikah lagi. Ia pun kecewa pada kedua mertuanya, ternyata mereka ada andil terhadap pernikahan kedua Arman. 

Ririn tak bisa menolak, karena meski tak setuju pernikahan kedua suaminya akan tetap dilaksanakan.

Ririn memutuskan bermain cantik atas pernikahan kedua suaminya. Ia menyetujui dan bersedia mengurus persiapan pernikahan suaminya. 

Apakah yang akan dilakukan Ririn? Apakah ia benar-benar siap memiliki madu? Baca selengkapnya di cerbung Terpaksa Dimadu.

Kami sedang dalam perjalanan ke notaris untuk mengurus balik nama rumah yang kami tempati sekarang. Oh, bukan hanya rumah tetapi beberapa kavling tanah yang kami miliki semuanya akan diubah kepemilikannya menjadi namaku. Dengan begitu semua harta yang kami miliki sesaat lagi akan menjadi atas namaku.

Salah kalau kalian mengira aku meminta semua itu. Hanya rumah yang kami tempati saja yang aku minta. Selebihnya Mas Arman sendiri berinisiatif memberikannya padaku. Senang sekali rupanya ia akan mempersunting gadis yang katanya kaya itu.

"Mas yakin akan memberikan semuanya padaku?" tanyaku masih tak percaya.

Mas Arman mengangguk mantap.

"Iya, segitu mah masih sedikit. Nanti kalau Mas sudah menikah dengannya pasti mas akan kasih lebih lagi," ucapnya.

"Yah, ibarat sedang memancing. Yang mas kasih ke kamu itu bagaikan umpan. Masih sedikit dibandingkan apa yang akan mas dapatkan selanjutnya," lanjutnya.

Apa? Umpan? Picik sekali suamiku ini. Ah, darimana pikiran semacam itu berasal? Aku seperti tak mengenalinya saat ini.

"Mas tahu akan dapat harta berlimpah jika menikah dengan Mila. Kenapa tidak dari dulu saja?" tanyaku penasaran.

"Hmm. Kenapa, ya?"

"Kenapa setelah menikah denganku, Mas malah mau menikah dengannya?" tanyaku berusaha mengatur nada bicara sesantai mungkin.

Jujur saja, membicarakan pernikahan ini membuat emosiku kembali naik. Namun, aku harus santai agar Mas Arman tak curiga.

"Bagiamana, ya. Mas sayang sama kamu. Tapi, ternyata Mila masih mengejar-ngejar mas. Terus Bapak dan Ibu selalu menekan agar mas mau menikah lagi. Lagipula kita dapat hidup kaya dengan harta mereka," ucapnya enteng.

Ah, Mas Arman. Ringan sekali sepertinya membicarakan pernikahan ini. Apa benar itu yang ada di hatimu? Bukankah kamu bosan denganku? Aku yang sekarang sudah tak menarik lagi di matamu dan dirimu tegiur dengan kemolekan tubuh jalang itu. Bisa kulihat kau selalu menelan ludah jika berhadapan dengannya.

"Terus, kalau sudah menikah nanti. Mas akan lebih sayang sama siapa?" pancingku.

Mas Arman mengerutkan keningnya.

"Tentu sama kamulah, Sayang. Dulu aku susah dapetin kamu. Sampai rela bersujud di kaki ibu supaya bisa merestui kita. Selain itu, waktu kuliah dari sekian lelaki aku yang berhasil dapetin kamu. Beda dengan Mila belum apa-apa sudah menyerahkan diri, hahahah."

"Menyerahkan diri bagaimana?" selidikku.

Mas Arman tiba-tiba kikuk. Aku jadi curiga apa yang telah terjadi pada mereka di masa lalu. Lantas, perjuangannya dahulu apa benar-benar cinta padaku atau hanya pembuktian saja pada teman-teman di kampus karena berhasil memenangkanku.

Mumpung Haidar masih di sekolah, kami berusaha menyelesaikan urusan hari ini secepat mungkin.

Aku tak mau menitipkan anakku pada ibu mertua. Rencana ini baru permulaan, jangan sampai ibu mertua mengetahui hal ini. Selain itu, memang sejak kecil anakku itu tak dekat dengan neneknya. Begitupun ibu mertuaku, tak sedikitpun mau untuk sekadar menggendong atau mengajak bermain. Oleh karenanya, biar aku berjuang sendiri untuk menyelamatkan hak anakku.

"Ehm, Mas. Tapi kita gak usah cerita-cerita soal balik nama ini ya ke ibu atau bapak," ucapku memohon.

"Ya, gak usahlah, Sayang. Itu, kan rumah mas. Yah, walaupun tanahnya dari mereka tapi kepemilikan atas nama mas. Jadi terserah mas mau diapakan." Aku tersenyum mendengar jawabannya.

Suamiku ini memang sejak dulu romantis. Tapi maafkan aku, Mas. Sejak dirimu tak dapat mengambil keputusan perasaan cintaku padamu sudah menghilang 99%.

Kalaupun sekarang aku bersikap manis padamu semuanya demi Haidar.

Saat ini kami sudah duduk di depan notaris. Segala surat kepemilikan tanah dan rumah yang kami tempati sekarang diserahkan pada pria di depan kami.

"Wah, pilihan bagus ini. Semua surat atas nama istri. Pak Arman pasti sayang banget sama istrinya," ujar Pak Andri, notaris yang mengurus proses balik nama rumah dan tanah kami.

Mas Arman senyum-senyum saja mendengarnya. Aku pun lebih memilih tersenyum simpul menanggapi ini.

"Baik, Pak, Bu. Dokumennya sudah lengkap. Nanti kalau sudah selesai akan kami kabari. Kami usahakan secepatnya  beres," ujarnya.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak sudah dibantu, kami permisi dulu," ujar Mas Arman sambil bangkit dari duduknya kemudian bersalaman. Aku mengekor mengikuti Mas Arman.

Jalan menuju parkiran kami bergandengan tangan. Jika orang melihat kami, tentunya mereka akan mengira rumah tangga kami sedang baik-baik saja. Bukan hanya orang lain. Bahkan Mas Arman sendiri pun masih merasa rumah tangganya baik-baik saja.

Mas Arman langsung pamit pergi lagi ketika kami sampai di rumah. Ketika batu duduk di sofa, tiba-tiba saja ponselku berdering. Kontak dengan nama ibu mertua terpampang di sana.

"Assalamualaikum, Bu," sapaku menjawab telepon.

"Waalaikumsalam. Kamu ada di mana, Rin? Tadi Ibu ke rumah gak ada orang," ucapnya merepet.

"Ririn tadi ke luar sebentar, Bu. Ada perlu," jawabku asal.

"Oh, sekarang sudah di rumah?" tanyanya.

"Sudah, Bu. Ada apa, ya?" tanyaku.

"Kok ada apa? Mulai persiapkan pernikahan Arman, dong. Waktunya cuma tiga bulan, lho. Kalau gak siap-siap dari sekarang mau kapan lagi? Ibu gak mau, ya nanti kalau sampai kurang-kurang." Mendadak aku menjauhkan ponsel dari telinga mendengar suara ibu berbicara tanpa jeda di seberang sana.

Begitulah mertuaku jika ia senang maka  ia akan sangat semangat. Beda sekali waktu persiapan pernikahanku dulu. Segala serba dipersiapkan sendiri hanya aku dan Mas Arman.

"Iya, Bu," jawabku singkat.

"Ya, sudah. Ibu tunggu di rumah," ucapnya sebelum telepon diputus.

Aku menghela napas. Malas sebenarnya. Namun, demi Haidar dan rencana yang telah aku susun, aku harus berpura-pura semangat.

"Nih, uang buat persiapan pernikahan Arman dan Mila," ujar Ibu ketika aku baru saja sampai di rumahnya.

Aku melirik segepok uang yang ada di amplop itu. Berapa ya kira-kira?

"Jumlahnya lima puluh juta," jawab Ibu seperti tahu apa yang kupikirkan.

"Ini untuk apa aja ya, Bu?" tanyaku.

"Ya, untuk semuanya," jawab Ibu singkat.

"Ta-."

"Sisanya kamu minta sama Arman," potong Ibu.

Dahiku mengkerut mendengar ucapan Ibu.

"Kenapa? Gak mau? Nanti juga, kan kamu yang enak. Berkorbanlah sedikit, gak usah perhitungan banget," ucapnya cepat.

Apa? Berkorban lagi? Ajaib sekali keluarga suamiku ini. Beruntung aku sudah bergerak terlebih dahulu. Bisa-bisa, aset suamiku yang merupakan hak Haidar akan habis untuk biaya pernikahan dengan jalang itu.

"Bantu Bapak dan Ibu, Rin. Itu juga terpaksa Bapak gadaikan tanah terakhir yang tersisa. Gak apalah demi dapat ikan yang lebih besar," ujar Bapak memohon.

Aku melongo mendengar ucapan Bapak. Kok pemikirannya sama seperti Mas Arman. Menabur umpan yang tak seberapa demi memancing ikan yang besar.

Hahahaha, ikan? Lagi-lagi ikan. Kasihan sekali Mila dibilang ikan. Jadi penasaran sekaya apa perempuan itu sampai Bapak dan Ibu sebegitu ngebetnya berbesan dengan keluarganya.

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Terpaksa Dimadu
0
0
Ririn tak menyangka, suaminya tiba-tiba minta izin menikah lagi. Ia pun kecewa pada kedua mertuanya, ternyata mereka ada andil terhadap pernikahan kedua Arman. Ririn tak bisa menolak, karena meski tak setuju pernikahan kedua suaminya akan tetap dilaksanakan.Ririn memutuskan bermain cantik atas pernikahan kedua suaminya. Ia menyetujui dan bersedia mengurus persiapan pernikahan suaminya. Apakah yang akan dilakukan Ririn? Apakah ia benar-benar siap memiliki madu? Baca selengkapnya di cerbung Terpaksa Dimadu. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan