Unreplied

0
0
Deskripsi

Sudah 3 tahun Jeremy memendam rasa pada Renata. Ia pun meyakinkan diri untuk menyatakan perasaannya di hari graduasi.
 

"Heh, bengong aja," celetuk Jemima mengagetkan Jeremy yang melamun memandang pada jendela kelas.

Jemima ikut melongokkan kepala, mencari tahu apa yang menyita perhatian kembarannya itu. Ia lantas mengulum senyum jahil. "Kalo naksir, ya bilang, lah!"

"Apa, sih!" gerutu Jeremy sambil mengibaskan tangan. "Sana. Ngapain lo ke kelas gue?"

Jemima manyun. Ia menunduk. Jarinya memilin pegangan kain pada tas jinjing di tangannya. "Padahal gue baik, loh, mau kasih bekal buat lo yang ketinggalan di rumah." Seketika air wajahnya berubah lagi. "Udah, lah. Gua kasih Gio aja makanannya. Dah, Jeremy sayang!" pamitnya langsung balik badan meninggalkan Jeremy yang sudah menunjukkan wajah kesal.

Lelaki 18 tahun itu kembali menoleh pada jendela, melanjutkan lamunannya pada seorang gadis bertubuh kecil di tengah lapangan yang sibuk mengatur Vincent yang sedang memegang kamera SLR di tangan untuk memfoto sejumlah panitia buku tahunan.

Terhitung sudah tiga tahun Jeremy diam-diam memperhatikan Renata, anak IPS yang ia kenal gara-gara MOS. Gadis kecil bersuara cempreng yang sering kelihatan ribut dengan Hera yang nggak kalah berisiknya. Ribut, tapi sedetik kemudian mereka sudah menempel lekat seperti permen karet. Perempuan mungil yang menemaninya di UKS waktu Jeremy memaksakan diri untuk masuk sekolah padahal kepalanya lagi pusing bukan main (dan terbukti ternyata dia kena DBD).

Buat Jeremy, Renata itu mirip peri kecil yang membawa terang yang gemerlapan.

Tinggal beberapa hari lagi sebelum acara graduasi dan Jeremy masih belum berani menyatakan perasaannya pada Renata.

.
.
.

"Eh!"

Tangan Jeremy nyaris bersentuhan dengan tangan seseorang. Ia menoleh dan langsung berhadapan dengan wajah Renata. Seketika kepala Jeremy kosong.

"Buat kamu aja," kata Renata sambil mengulum senyum. Tangannya segera mengambil botol minuman lain dari lemari es lalu membayarnya pada penjaga kantin.

Rasanya Jeremy lupa bernapas. Ia meraih sebotol minuman isotonik di lemari es lalu ikut membayarnya.

Matanya memandangi minuman isotonik itu dan punggung kecil Renata di lorong sekolah.

Jeremy mengambil langkah cepat-cepat mengejarnya.

"Ren," panggil Jeremy.

"Ya?" Renata menoleh dengan tangan siap minum teh botolan di tangan.

"Buat lo aja," kata Jeremy dengan wajah super datar demi menyembunyikan detak jantung yang menggila di dalam sana. Tolong ingetin dia juga buat napas.

Mata Renata mengerjap. Ia menerima botol minuman isotonik itu dan secepat kilat Jeremy langsung bergegas pergi, meninggalkan banyak tanda tanya di kepala Renata.

.
.
.

"Jer, Jer," panggil Jemima yang langsung masuk ke kamar Jeremy. Kebiasaan. Kembaran lima menitnya itu memang nggak tahu aturan dan senang sekali menerobos masuk teritori Jeremy.

Jeremy yang sedang tidur tengkurap di kasur menoleh. Kembarannya itu langsung duduk di kursi meja belajarnya dengan mata bulat berbinar.

"Tau, gak?"

"Nggak," sambar Jeremy.

"Ih! Gue belom ngomong apa-apa!" sungut Jemima.

Jeremy hanya diam.

"Tau, gak, Renata ditembak Vincent!" kata Jemima heboh.

Nyut...

Kok mendadak rasanya nyeri ya?

Jeremy langsung menggulingkan badan memunggungi Jemima. Si adik lima menit langsung memukuli punggungnya.

"Heh! Dengerin dulu lanjutannyaaa!"

Apa lagi yang harus didengar? Vincent itu mantan Ketua OSIS angkatan mereka. Cowok supel yang cepat dekat dengan semua orang. Mengingat Renata dulu adalah Sekretaris OSIS, bukankah wajar mereka bersama?

Jeremy memang seharusnya memendam perasaan ini jauh-jauh.

"Vincent ditolak."

"Ha?" Jeremy langsung menoleh. "Bohong, lo!"

Wajah Jemima tertekuk. "Lo nggak percayaan sama gue. Ini gue denger langsung dari Hera! Nggak mungkin Hera salah dapet info."

Seketika Jeremy mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Ia kembali berbaring memunggungi Jemima.

Kalau yang sepeti Vincent saja ditolak, apalagi dia?

Jeremy cuma murid biasa. Nilai biasa saja. Nggak ikut OSIS. Cuma ikut ekskul tenis meja yang juga tidak pernah membanggakan sekolah. Ibarat bayangan, ya Jeremy itu bayangan. Ada, tapi sering tidak disadari keberadaannya.

Jemima kadang merasa prihatin dengan kakak lima menitnya itu.

Sebenarnya, Jeremy nggak jelek, kok. Wajahnya lumayan. Tapi Jeremy lebih sering membiarkan rambutnya jatuh lurus menutupi dahi dengan model mangkok yang nggak berubah sejak jaman SD. Padahal, kalau dia mau sedikit lebih modis dan ganti gaya rambut undercut seperti teman-teman mereka, pasti kelihatan ganteng!

"Jer, ini udah tahun terakhir kita, lho. Lo masih nggak mau bilang ke Renata?"

"Nggak."

"Yakin nggak bakal nyesel?" pancing Jemima. Ia bangkit berdiri dari kursi besar Jeremy yang menenggelamkan badannya. Ia melirik kembali pada Jeremy yang masih tak acuh.

"Mending bilang daripada nggak sama sekali. Kalo kaya gini, lo cuma pengecut yang kalah sebelum perang. Pengen di-notice tapi nggak ada usaha," cibir Jemima lalu meninggalkan kamar Jeremy dengan bunyi debuman pintu.

Diam-diam, kata-kata Jemima menancap telak di hati Jeremy. Lelaki itu termenung sambil melihat tanggal di layar ponselnya.

Sisa dua hari sebelum graduasi.

.
.
.

Dua hari berlalu dengan sangat cepat. Tahu-tahu, Jeremy sudah berada di aula sekolah dengan jas hitam dan dasi biru gelap. Jemima di sebelahnya sudah cantik dengan kebaya merah muda dan wajah berias sejak jam lima pagi tadi. Perempuan itu menerima banyak bunga dari teman-temannya dan Jeremy jadi tangan tambahan untuk membawakan bunga-bunga Jemima.

Mata Jeremy diam-dian mencuri pandang ke arah gadis mungil dengan kebaya Bali warna putih yang membelit tubunya erat. Wajah Renata berhias riasan tipis yang membuat ia kelihatan semakin cantik. Rambutnya disangguk rendah dengan hiasan bunga-bunga kecil. Ia memegang sebuah buket bunga mawar besar pemberian Vincent yang seketika membuat Jeremy minder. Diam-diam ia melipat kembali surat biru muda yang sudah ia siapkan untuk Renata ke dalam saku jasnya.

Acara graduasi sudah selesai. Tinggal sesi foto-foto yang membuat spot-spot aestetik di sekolah dikuasai oleh kerumunan orang.

Jeremy menurut saja ketika Jemima menarik tangannya ke salah satu dinding polos di aula.

"Gio, tolong fotoin, ya!" katanya pada seorang laki-laki yang sejak setahun belakangan dekat dengan Jemima. Bilangnya sih teman, tapi tiap hari laporannya lebih-lebih pacar.

Jemima melingkarkan lengannya di lengan Jeremy lalu tersenyum cerah ke arah kamera. Sedangkan Jeremy tetap dengan wajah datarnya.

"Jer, senyum dikit!" perintah Jemima ketika melihat hasil fotonya.

Jeremy memutar mata ketika harus mengulang foto. Ia berusaha menampilkan senyum terbaiknya.

"Nah! Gini, dong! Kan ganteng," puji Jemima.

Orang tua mereka sudah lebih dulu kembali ke mobil (mengingat betapa banyaknya teman-teman yang mengajak Jemima foto di sana-sini dengan berbagai gaya). Jeremy sebenarnya juga ingin kembali ke mobil kalau tidak ingat dengan bunga-bunga Jemima yang sudah seperti toko bunga.

"Renata!" seru Jemima sambil melambaikan tangan ketika melihat gadis mungil itu baru keluar dari toilet. "Foto, yuk!"

Jeremy segera menyingkir ke sebelah Gio yang masih jadi tukang foto dadakan untuk Jemima.

Renata mendekat dengan senyumnya dan langsung berpose di sebelah Jemima.

"Selamat ya, juara umum IPS!" ucap Jemima membuat Renata tertawa.

"Makasi, Jem."

Jemima langsung menoleh pada Jeremy yang masih menunggunya. "Jer, foto gih sama Renata. Biar ada kenang-kenangan."

Seketika Jeremy jadi kaku. Ingin nolak, tapi ingin foto juga.

"Ayo!" Jemima langsung menarik tangan Jeremy agar berdiri di sebelah Renata yang sudah siap untuk di foto lagi.

"Aku boleh rangkul tangan kamu, gak?" tanya Renata meminta izin. Kepalanya mendongak pada Jeremy yang lebih tinggi darinya.

"Boleh," jawab Jeremy dengan lidah kelu dan jantung yang langsung berdetak antara senang dan gugup jadi satu.

Kepala Renata agak miring sehingga terlihat dekat dengan Jeremy. Jeremy, lagi-lagi, berusaha tersenyum tipis yang membuat Jemima menyerah untuk mengarahkan. Sepertinya memang otot wajah Jeremy hanya bisa mengangkat ujung bibirnya beberapa derajat.

"Selamat, ya, Jer," kata Renata selesai mereka berfoto. Ia menyodorkan jabat tangan yang segera dibalas Jeremy. "Habis ini kamu lanjut kuliah di mana?"

"Di kedokteran UI."

"Wih... keren banget," puji Renata tahu benar kalau masuk kedokteran UI sulitnya bukan main. Dan Jeremy bisa masuk lewat SMNPTN adalah hal yang lebih keren lagi.

"Lo lanjut ke mana?" tanya Jeremy balik meski sudah tahu jawabannya. Tentu saja, Jemima yang memberi tahu.

"Aku ke UMN, ambil DKV."

Boleh tidak kalau Jeremy berharap supaya waktu berhenti sesaat sehingga ia bisa bersama Renata lebih lama?

"Ren," panggil Jeremy. "Gue mau ngomong sesuatu."

Mata Renata yang dihiasi bulu mata palsu yang lentik menatap mata Jeremy penuh rasa ingin tahu. "Apa?"

Tahu-tahu sudut itu sudah sepi. Jemima dan Gio sudah meninggalkan mereka entah sejak kapan.

Jeremy mengambil napas dalam-dalam, meyakinkan dirinya sendiri sebelum berucap.

"Gue suka sama lo sejak tiga tahun lalu."

Mulut Renata bungkam. Matanya tak lepas dari Jeremy membuat laki-laki berwajah datar itu keringat dingin. Toh Jeremy juga tidak berharap Renata akan membalas. Ia hanya kepikiran kata-kata Jemima soal kalah sebelum perang.

Paling tidak, satu beban kejujuran sudah lepas dari bahunya, kan?

"Nggak usah dipikirin. Gue... gue cuma pengen ngomong itu aja sebelum kita pisah," kata Jeremy sambil membuang muka.

Renata menunduk. Tangannya berautan, saling memainkan kuku-kukunya yang dilapisi kutek bening.

"Seandainya kamu ngomong ini dua tahun yang lalu, aku pasti tahu jawabannya, Jer," lirih Renata yang masih tertangkap telinga Jeremy.

Laki-laki itu diam, kembali menatap Renata yang masih tertunduk.

"Dulu aku suka sama kamu. Tapi ngelihat kamu dingin dan selalu menghindari aku, aku kira kamu nggak suka sama aku. Jadi aku putusin untuk ngelupain perasaan aku ke kamu," aku Renata dengan senyun kecut di bibir.

Sakit.

Benar kata Jemima. Harusnya Jeremy mencoba. Bukannya diam saja dan berharap akan di-notice. Nyatanya, Jeremy yang tidak pernah sadar dengan sinyal yang Renata berikan.

Ia hanya bisa tertunduk dengan sesal yang kini menyayat hati.

"Tapi kita tetep bisa jadi teman, kan?"

Itu kata lain dari penolakan, kan?

"Iya," jawab Jeremy dengan seluruh daya yang tersisa.

Renata berusaha mengulum senyum manis.

"See you at the top ya, Jer," kata Renata lalu berbalik meninggalkan Jeremy dan penyesalannya.

Seandainya...

Seandainya Jeremy sedikit lebih peka dan sedikit lebih berani...

.
.
.

The End

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya New Love : Extended || MarkHyuck
20
1
Warning : fanfiction, gsChapter 1-7 bisa dibaca di sini__________Mark akhirnya memacari Haechan, si fluffball kelebihan energi itu!Ya… senang sih cintanya berbalas, tapi daripada itu, Mark merasa malu.β€œDia menjilat ludahnya sendiri!”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan