Toko Bahagia

0
0
Deskripsi

Di cari toko bahagia dan penjualnya

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Kisah Diara "Aku Terlalu Baper!" #serial
1
0
Aku dilahirkan sebagai perempuan yang diberi nama Diara. Inilah kisah Diara.. Secara fisik, aku menarik. Berat badan ideal, tinggi badan 157 cm. Bapak Ibu Jawa, tapi aku lahir di Jakarta.  Memiliki keluarga yang utuh adalah impian orang-orang pada umumnya. Dahulu, akupun begitu. Namun, sejak usiaku yang 12 tahun aku lebih suka sendiri. Aku benci untuk pulang ke rumah. Aku suka makan di dapur, bukan di meja makan. Ketika aku di ruang tamu dan menonton TV, lalu ada anggota keluargaku datang menemaniku, aku langsung berpindah ke kamar tidurku. Aku bisa sangat humoris dan ceria ketika aku berada di luar rumah. Aku bisa sangat bawel ketika bersama teman-temanku di sekolah. Namun, ketika aku sampai di rumah, aku bahkan tidak bisa mengatakan apa yang aku tidak suka, ataupun yang aku suka. Aku tidak bisa mengatakan apa yang aku mau, dan aku tidak mau. Kenapa begini?? Mari dengar cerita menurut versiku. Aku tumbuh di keluarga sederhana. Ayahku seorang Engineer di perusahaan otomotif ternama. Kami tinggal dirumah yang cukup bagus, perumahan nasional yang dicanangkan pemerintah yang sudah hampir setiap tahun direnovasi oleh ayahku. Ayah punya motor, juga sebuah mobil kijang kapsul yang pada tahun 2000-an masih bisa dibilang mewah. Kami bisa sebulan sekali pergi nonton ke bioskop sekeluarga. Paling tidak, ya kami makan di luar bersama. Kami hidup 3 bersaudara. Kakak pertamaku seorang perempuan, dan kakak keduaku seorang laki-laki. Aku si bungsu perempuan, yang sangat dimanja dan dimomong oleh kakakku. Tapi seingatku, aku tidak pernah menangis untuk meminta dibelikan sesuatu, karena orang tuaku sudah mencukupinya. Kakak perempuanku berumur 7 tahun lebih tua dariku, dan kakak laki-lakiku berumur lebih tua 5 tahun dariku. Kami semua punya tugas bersih-bersih rumah masing-masing. Kakak perempuanku yang biasa ku panggil Mbak Sita, bertugas membantu ibu mengurus rumah seperti menjemur pakaian, masak, setrika dan lain-lain. Kakak laki-lakiku yang biasa kupanggil Mas Dede , bertugas membersihkan rumput halaman, buang sampah, membersihkan kamar mandi, dan menguras kolam ikan. Lalu, aku! Aku bertugas merapikan tempat tidur dan menyiram tanaman.  Bagaimana gambaran keluarga kami? Sangat harmonis bukan? Oh, tentu tidak.. tidak seharmonis itu. Ayahku seorang ditaktor, tempramental dan ringan tangan. Banyak hal yang membuat beliau cepat marah, lalu memukul ibu. Kesalahan kecil yang kami lakukan, akan berimbas kepada ibu. Karena menurut ayah, ayah sudah cape mencari nafkah. Maka ibu yang harus bertanggung jawab dengan urusan rumah. Masalahnya, hal biasa yang menurut kami, bisa menjadi hal yang luar biasa untuk ayah kami. Kami, sangat sering menyaksikan ayah memukul ibu. Misal, hanya karena ayah tidak suka dengan lauk yang ayah makan, makanan yang sudah disajikan untuk ayah bisa tiba-tiba ditumpahkan ke lantai. Misalnya lagi, ayah mencari penggaris yang biasa ayah pakai untuk menggambar, dan aku yang meminjam tapi lupa mengembalikan, ibuku yang dilempar kursi kayu.  Bukan sekali-duakali ibu kabur meninggalkan ayah karena tempramen ayah. Namun, entah bagaimana ayah selalu meyakinkan keluarga ibu untuk menjemput ibu pulang. Meskipun kami tahu, ibu hanya khawatir pada anak-anak.  Kami sebagai anak, tidak ingin melihat ibu disakiti. Tapi, kami juga sangat butuh ada ibu.  Sesekali, aku pernah membentak ayah ketika ayah memarahi ibu. Ayah, ibu cape udah masak, nyuci, tapi ayah marah-marah mulu! Alhasil, pada saat itu reaksi ayah yang sedang memegang sendok makan langsung dilempar ke mukaku, dan berakibat benjol dikeningku. Sejak saat itu, aku dan kakak - kakakku tak pernah berani bicara di depan ayahku. Jika ayah ada, kami yang tadinya tertawa dan bercanda, bisa langsung berhenti.  Pola seperti ini, yang akhirnya aku pahami. Aku simpan ketika masa pertumbuhanku sebagai anak. Aku bisa sangat pendiam ketika bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Aku selalu takut salah berbicara. Aku, selalu takut mengungkapkan apa yang aku pikirkan. Apa yang aku mau, serta apa yang aku tidak mau.  Tanpa aku sadari, pola itu yang membentuk persepsi dan sikapku untuk lebih suka menyendiri, dibandingkan dengan orang lain yang berhubungan dengan kerluarga, atau orang yang lebih tua, atau orang yang tidak membuatku nyaman.  . . Kembali ke cerita masa lalu. Saat aku berusia 9 tahun, ayahku tiba-tiba memutuskan pindah rumah ke daerah kampung. Karena ayah mulai bisnis properti dan jual beli tanah, ayah ingin lokasi rumah yang lebih luas, bukan tipe perumahan. Lalu kami tinggal dipelosok daerah Bekasi yang pada saat itu masih banyak daerah kampung. Aku harus kehilangan teman kecilku, dan tetangga yang sudah kami anggap keluarga. Karena sifat ditaktor ayah, tak ada satupun dari kami yang secara detail tahu rencana-rencana dan aktifitas ayah dengan bisnisnya. Bahkan ibu pun bingung, karena ayah sering tidak kasih ibu uang bulanan. Bahkan untuk bayaran sekolah pun menunggak. Belakangan kami tahu, penyebab ayah sangat pelit pada keluarga adalah uangnya dipakai modal bisnis.  Aku sendiri memang masih setengah hati untuk pindah, sehingga dengan teman sekolahku yang baru pun aku kurang akrab. Entah mengapa mereka membully-ku?, mungkin karena aku pindahan dari kota. Mereka selalu mendiskriminasi, aku tidak cocok main dengan mereka. Namun, semakin mereka menyudutkanku, aku semakin senang karena aku bisa menyendiri. Pada saat itu, dalam hatiku mengatakan bahwa mereka berbeda denganku, sedangkan menurut mereka aku yang berbeda, karena tidak mengakrabkan diri pada teman baru. Lalu, sampailah pada saat aku harus ditegur oleh Bu guru karena aku menunggak bayaran sudah sampai 6 bulan. Setiap aku masuk aku selalu ditanya Kapan bayaran? Sudah bilang orang tua kamu belum? Kenapa orang tua kamu ngga dateng sih. Hal yang aku sesalkan Bu guru selalu bertanya didepan kelas, didepan anak-anak, aku semakin dibully dan dipojokkan.  Sesampai di rumah, ibuku hanya bilang Nanti, tunggu ayah gajian. Sepulang ayah kerja, aku lihat ibu dipukuli ayah lagi karena mengutarakan kekurangan sehari-hari dan bayaran anak sekolah. Dasar perempuan ga tau di untung, udah bagus saya kasih makan, bukannya mikir, minta-minta terus kerjanya.. Itu, yang keluar dari mulut kotor ayahku, ketika ibu meminta tanggung jawabnya sebagai pemberi nafkah. Kata-kata ayah yang kasar memang kerap aku dengar dari dahulu, namun setelah pindah kata-kata itu menjadi 10 kali lipat sering keluar dari biasanya. Setidaknya dulu ayah mencukupi kebutuhan kami, ibupun tak perlu sampai meminta dan menagih uang bulanan. Karena aku tahu, untuk itu semua ibu meminjam uang sana sini tanpa sepengetahuan ayah. Sehingga ibu ditagih hutang, dan ayah hanya bisa marah-marah ketika ibu minta jatah bulanan. Ini membuatku berpikir, ibuku sudah cukup pusing dengan keadaan, sehingga aku pikir, aku tidak perlu menambah pusing ibu dengan keluhan-keluhanku.  Aku bahkan tidak pernah lagi menyampaikan pada ibu kalau Bu guru dan teman-temanku memperlakukanku buruk di sekolah. Pada saat ujian, aku tidak punya kartu ujian karena tunggakan SPP yang belum kunjung dibayar. Teman-temanku menghinaku, menyoraki aku dengan kata-kata Ih Gak punya nomor mah pulang aja...!, orang kota masa miskin..! Karena kalau kita tidak punya kartu ujian, kita tidak tahu harus duduk di mana, sehingga mereka semua tahu, bahwa aku belum bayar SPP. Lalu ketika mulai ujian, ketika mengisi daftar hadir, nama ku selalu tidak ada dalam daftar dan kutulis secara manual. Pengawas ujian pun bertanya, Diara Pertiwi, kenapa nama kamu ngga ada di daftar ujian? Mana kartu ujian kamu? Aku dengan sabar menjelaskan aku belum dapat kartu dan belum bayar SPP, lalu pengawas akan bilang harus berdiskusi dengan pihak sekolah lainnya dulu, lalu kembali dan mengatakan Ok, kamu boleh ikut ujian dulu sementara ini,Hari berganti hari, dengan pengawas yang berbeda lagi, kejadian sama harus aku lalui lagi. Hanya pasrah dan bersabar lagi untuk menjelaskan. Karena aku sudah pasrah dengan respon orang-orang, bahkan aku tidak boleh ikut ujian pun aku sudah pasrah. Kejadian ini aku rasakan sejak kelas 4 SD sampai naik ke kelas 5 SD. Aku yang berumur 10 tahun mencoba bijak untuk menghadapinya sendirian, karena aku tidak ingin membuat ibuku dimarahi ayah. Aku memilih untuk memendam semuanya sendiri.  Tapi, ada dititik aku jenuh dengan cemoohan teman-teman sekolahku setiap hari. Aku memilih menghindari masalah. Aku serinh bolos sekolah. Aku main sepuasnya dengan anak kampung lain. Aku main layangan, aku memanjat pohon sawo di kebun orang. Aku menikmati hari-hari itu, tanpa orang rumah tau apa yang aku lakukan. Karena aku berangkat sekolah dan pulang tepat waktu. Sehabis pulangpun, aku pamit lagi main, sampai batas jam 4 sore, sebelum ayah pulang.  Namun, karena aku sering bolos aku sering kena hukuman karena aku tidak mengerjakan PR (tugas). Aku bahkan tidak tahu ada tugas karena aku keseringan mangkir. Kalaupun aku tahu ada tugas, aku bahkan tidak punya buku paket untuk mengerjakannya. Sekolah, menjadi sumber depresi pada saat itu.  Suatu ketika, aku kebablasan, aku semakin sering bolos, setiap hari berturut-turut sampai akhirnya aku bolos 2 bulan akumulasi. Wali kelasku datang ke rumah, dan membuat ibuku shock, karena baru tahu aku bolos selama itu, dan wali kelasku mengancam bahwa aku tidak akan naik kelas kalo terus begini. Sampai rumah, aku sedih... harus melihat ibuku menangis. Lalu aku mulai bisa mengungkapkan alasan ku bolos karena aku selalu di bully teman dan ditangih bayaran.  Bersamaan dengan itu, saat akan kenaikanku kelas 6 SD, kami menerima kabar bahwa ayah ditipu, dan bisnisnya bangkrut. Sialnya, baru saja bulan lalu ayah memutuskan mengundurkan diri dari tempatvayah bekerja. Ayah menjual semuat aset yang ada, mengirim kakak perempuanku yang baru saja lulus SMA (Sekolah Menengah Atas) sebagai TKW ke Hongkong, dan membuangku ke tanteku (adik ayah) karena ayah bilang sudah tidak sanggup membiayai sekolahku. Ibuku menangis sejadinya karena dipisahkan oleh anak-anak perempuannya. Namun kerasnya ayah membuat ibu tak bisa apa-apa. Pada umur 12 tahun, aku diurus oleh tanteku. Ayah fix pailit, dan jatuh sakit stroke. Ibu harus berjualan di pasar dengan kakak lelakiku untuk memenuhi kebutuhan hidup dan obat ayah.  Aku merasa kecewa dengan keluargaku. Mereka membiarkan membuangku kepada orang lain, aku menyalahkan mereka yang tidak bertanggung jawab oleh masalah mereka yang tidak aku pahami saat itu. Entah kenapa aku juga kecewa pada ibuku, yang menurutku tidak memperjuangkan aku.  Aku terpaksa tinggal dengan tanteku. Yang katanya akan lebih baik masa depannya kalau mereka mengurusku. Aku harus berbagi kamar dengan sepupuku, yang merupakan anak angkat mereka juga. Aku yang tidak tahu apa-apa. Harus menerima kenyataan, bahwa aku tidak berbeda dengan pembantu mereka di rumah tanteku. Jadi tanteku ini seorang pengajar, dan suaminya Oomku seorang dokter. Mempunyai anak angkat yang 4 tahun lebih tua dariku, yang bernama Lira, dan anak kandung yang saat itu berumur 3 tahun bernama Rommi. Hubunganku dengan anak angkatnya tidak baik-baik saja. Aku sering difitnah, selayaknya cerita bawang putih bawang merah menurut versiku.  Awalnya mereka bilang, aku hanya cukup jaga rommi, anak mereka yg masih kecil itu. Tapi nyatanya, aku bangun jam 4 pagi, dan aku harus nyuci baju. Selesai jemur aku bersih - bersih pekerjaan lain seperti nyuci piring, nyapu, ngepel dan lainnya.  Aku pun tidak mengerti mengapa Lira dibiarkan tidak membantuku, bahkan dia sering ikut menyuruhku. Padahal sebelum aku datang ke rumah itu, Lira lah yang mengerjakan tugas-tugas yang aku kerjakan.  Mungkin mereka lebih menyayangi Lira, karena Lira diurus sejak kecil, dan Lira lihat mencari muka pada tanteku, menurut pengamatanku. Bahkan ketika aku difitnah, mereka lebih percaya Lira, dibandingkan penjelasanku. Suatu ketika aku harus pulang telat karena ada kerja kelompok, dan aku menelepon rumah, kebetulan Lira yang angkat. Lalu aku mengatakan untuk izin pulang telat karena ada tugas kelompok. Pada saat itu, aku masih SMP dan Hp masih merupakan barang mewah untuk seumuran kami miliki, sehingga terjadilah hilangnya komunikasi antara aku dan tanteku. Sepulang dari tugas kelompok, tanteku marah sejadi-jadinya, bilang aku anak liar dan kaku. Tiba-tiba tante marah karena aku tidak memberi kabar karena pulang telat. Aku bilang aku sudah telepon dan bilang pada Lira. Namun, Lira menyangkal pernah terima telepon dariku. Tante dan Oomku percaya pada Lira, bahkan tante mengatakan ke tetangga bahwa aku anak yang kaku, keras kepala dan liar. Siklus ini kembali lagi melekat di mentalku. Aku memutuskan untuk menjadi pendiam di rumah. .  Aku benci keluarga ini, mereka selalu mengungkit apa yang sudah mereka kasih. Padahal aku diperlakukan seperti pembantu. Hanya saja mereka membayarnya dengan uang sekolah dan kebutuhanku.  Ketika acara keluarga besar kumpul, aku melihat nenekku, dan aku juga ingin diperlakukan sebagai cucu yang lain, tapi tidak... aku tetap diperlakukan seperti pembantu di keluarga besar ini. Hanya karena ayahku sudah gagal dan sakit. Aku benci keluargaku, aku benci keluarga ini, aku benci pulang ke rumah, tapi aku tak punya rumah untuk benar-benar aku bisa pulang dengan sosok aku yang sebenarnya.  Inilah perjalanan seorang Diara. Yang jauh didalam alam bawah sadarnya ingin jauh dari keluarga. Sadar atau tidak, Diara sangatlah palsu dan pemilih. Dia bisa sangat pendiam di rumah, dan dia bisa jadi periang di luar rumah.  Berawal dari sini, Diara menjadi karakter yang tertutup, dan sensitif. Meskipun di luar rumah dia bisa mengambil peran yang periang. Tapi, sifat sensitif dan mudah tersinggung sudah melekat padanya, sehingga teman-temanya melabeli-nya Diara Si Sensi.., kalau bahasa sekarangnya ya Baper alias Bawa Perasaan. Ya, aku Diara mengakui bahwa Aku terlalu Baper  Bagaimanakah kelanjutan kisahku? Tunggu di Next episode ya.. Kisah Diara #TheSerries  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan