
Kamu pernah berpikir, nggak, apa yang dipikirkan kucing peliharaanmu yang waktu itu kamu sapa saat berlindung dari guyuran hujan?
Kucing yang mengikutimu hingga ke warung Indomie langgananmu. Yang menerima dengan lapang dada nama pemberianmu. Yang menjadi langganan tempat bercerita panjang lebar meski hanya diladeninya dengan kata ‘meong’.
Kucing itu, rupanya punya cerita.
Aku masih ingat dengan jelas. Hari itu adalah kali pertama kami ditakdirkan untuk bersua.
Posisinya tengah berjongkok di halte bus, tepatnya di depan kardus bekas yang ditaruh asal-asalan. Mata bulat perempuan itu mengerjap beberapa kali. Jari telunjuknya diarahkan dengan perlahan ke arahku, seolah-olah tubuhku adalah hal paling rapuh yang ada di dunia. Padahal kenyataannya, hati perempuan itu lah yang lebih rapuh usai semangatnya dipatahkan oleh realita.
Air matanya lalu mengalir bak tak mau kalah dengan derasnya guyuran air hujan. Perempuan itu meracau di sela tangisnya. Sedikit yang betul-betul kedengaran; pada intinya dia merutuki betapa hidup sangat tidak adil untuk dirinya dan diriku. Lalu dia merengek lagi. Begitu hingga hujan mereda kemudian sepenuhnya berhenti.
Perempuan itu lalu bangkit dari posisinya, mengembuskan napas berat sebelum meninggalkanku. Aku lantas keluar dari dalam kardus, berencana menemaninya hingga tiba di rumah. Namun rupanya, dia tidak langsung pulang. Sebuah warung mie instan jadi tempat yang disambanginya kala itu.
“Indomie Kari Ayam dua bungkus jadi satu, Mas. Nggak pake tambahan apa-apa.”
Usai menyebutkan pesanan, perempuan itu mengambil tempat duduk di sudut. Alangkah terkejutnya dia saat mendapatiku mengeong di samping kakinya.
“Kamu kenapa ikut? Takut sendirian?” tanyanya. Terdengar seperti ingin menangis lagi, tetapi dibatalkan oleh kedatangan pesanannya.
Kepulan asap menguar dari mangkuk warna putih di atas meja. Aku mengeong lagi, menatap perempuan itu lekat-lekat sementara dia sibuk menyeruput mienya. Ketika seisi mangkuk telah tandas, kedua tangan perempuan itu diulurkan untuk mengangkat tubuhku, sangat hati-hati. Dengan suara paraunya dia berkata padaku, “Kamu ikut aku ke rumah, ya?”
Begitulah awal mula aku punya babu dari kalangan manusia.
Kalau kata kucing-kucing liar di sekitarku, babuku adalah seorang Babu Amatir. Bisa dilihat dari cara dia memilih nama; Meong Oyen Mbul dan dipanggil Meong. Klise sekali, bukan? Sangat bisa ditebak kalau ini kali pertamanya memiliki majikan dari kalangan makhluk berbulu.
Walau tanpa perlu dijelaskan, aku tahu kalau arti namaku adalah kucing oranye berbadan gembul. Suara yang kuhasilkan memang berbunyi Meong. Lalu, Oyen diambil dari warna oranye buluku dan aku setuju-setuju saja. Tetapi Mbul? Jelas-jelas badanku kurus sekali waktu kali pertama si Babu memutuskan untuk menaikkan tahtaku jadi majikannya.
Namun hati kecilku sedikit tersentuh tatkala perempuan berambut sebahu itu tiba-tiba curhat, “Aku kasih kamu nama Mbul tuh ya, sebagai doa biar kamu rajin makan banyak-banyak dan punya badan gembul. Biar enak dipeluk sama diunyel-unyel.”
“Meong meong meong meong,” kataku dengan nada merajuk. Artinya: kalau aku kurus berarti aku nggak enak dipeluk-peluk, begitu?
Seolah paham sedang dimarahi aku sebagai majikannya, si Babu lantas membalas ucapanku, “Bukan gitu, Meong! Aku tuh cuma nggak suka aja kalau orang-orang ngejek kamu karena terlalu kurus. Kata mereka, aku nggak bisa jadi babu yang baik buat kamu.”
Di pangkuan si Babu, aku menjilat-jilat buluku yang mulai terlihat lebih kucingsiawi setelah mendapat perawatan amatir. Babuku turut mengelus lembut sambil melamun. Entah apa yang ada di pikirannya. Bisa jadi dia sedang memikirkan ucapan tetangga serta teman-temannya yang mengejek betapa kurusnya aku. Atau, bisa saja dia tengah memikirkan hasil tes masuk perguruan tingginya setelah hari itu—hari di mana kami bertemu dan dia membawaku ke kediamannya—ditolak jalur undangan. Atau … dia sedang memikirkan perkara ultimatum orang tuanya untuk segera membuangku karena kata mereka, aku ini suka mencuri dagangan tetangga pemilik toko kelontong di depan rumah.
“Meong,” panggil Babuku. Aku menoleh, menampakkan raut muka bingung. Babuku kemudian bilang, “Kamu tahu nggak, Meong, kenapa aku suka makan mie kari ayam kalau lagi sedih?”
Aku mengeong. Artinya: nggak tahu.
“Waktu aku masih kecil, aku sering liburan di rumah Nenek. Kadang, aku kangen sama Mama tapi nggak mau pulang. Jadi, Nenek masak Indomie rasa kesukaannya biar aku berhenti nangis. Sampai sekarang, kalau lagi sedih, aku cuma mikir soal makan Indomie Kari Ayam.”
Seperti yang sudah kubilang, orangtua babuku tidak begitu menyukai keberadaanku di sini karena alasan yang sudah kusebutkan. Padahal, aku hanya mengambil beberapa bungkus Indomie berbeda varian rasa untuk babuku.
Tetapi aku kerap kali mengulang aksi yang sama hingga babuku lagi-lagi disuruh untuk cepat-cepat membuangku. Hal itu lantas membuat si babu bersedih lagi hari ini, dan memasak Indomie rasa Kari Ayam lagi. Sebelum menyantap Indomie-nya, babuku melipir ke dapur karena lupa mengambil garpu.
Rasa penasaran mendadak menyergapi diriku. Bagaimana sih, rasanya? Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, kutengadahkan wajah pada pinggiran mangkuk, meresapi aroma nikmat yang menguar lewat gumpalan asap tipis di udara. Tanganku terulur sedikit, hendak mencapai isi mangkuk dan mencicipi rasa yang menggugah itu kalau saja kaki mungilku tidak terpeleset di ujung meja dan….
Seisi mangkuk mie tumpah ke wajahku.
Babuku berseru panik. Seperti biasa, aku hanya bisa mengeong untuk merespons apa pun.
Dengan sabar, babuku memandikanku lagi sebelum membersihkan kekacauan yang kubuat. Saat babuku sibuk, aku menyambangi toko kelontong di depan rumah dan mengambil sebungkus Indomie rasa Soto Spesial.
Aku sendiri pernah mencoba varian ini saat diajak beberapa kucing liar di sekitar perumahan berkeliling. Kesan pertama yang tercecap oleh lidahku adalah … segar dan gurih! Kalau bisa dideskripsikan, Indomie rasa Soto Spesial itu seperti rengkuhan orang yang kausayangi; hangat serta membawa kebahagiaan.
Kalau boleh jujur, aku ingin babuku mencoba lebih banyak rasa yang tersedia. Itulah alasan mengapa aku sering membawakannya sebungkus Indomie dari toko kelontong di seberang rumah. Akan tetapi, dia tidak pernah mengerti.
Kecuali hari ini.
Kupikir dia akan mengembalikan mie yang kubawa pada pemiliknya. Nyatanya tidak! Dia malah membayar barang itu kemudian memasaknya di rumah.
“Tadi pagi rasa ayam bawang, trus mie goreng rendang. Sekarang rasa Soto Spesial. Maksudnya apa sih? Kamu mau makan juga?”
Kuarahkan kepalaku pada pintu rumah yang kini menampakkan figur kedua orangtua babuku. Sudah kutebak, karena mereka berdua memang seringkali pulang bersama dari kantor. Aku mengeong beberapa kali. Maksudku, makan bareng orangtuamu dong! Babuku ini memang sedikit bebal, pemirsa.
Sejenak kulihat babuku termegap. “Ma, Pa, mau makan Indomie, nggak? Aku abis beli Indomie rasa kesukaan Mama sama Papa. Oh iya, tenang aja karena aku yang masak!”
Akhirnya, dia sadar!
Beberapa menit berselang, aku melihat keluarga penghuni rumah ini duduk satu meja dalam sebuah percakapan sederhana tetapi bermakna. Babuku terlihat amat senang. Begitu pula dengan diriku.
Mata babuku terlihat berbinar kala mencicipi segarnya kuah Indomie Soto Spesial. Aku mendapatinya mengarahkan jempol ke arahku.
“Ma, aku minta maaf ya,” ucap babuku. “Aku sering melawan ucapan Mama akhir-akhir ini apalagi soal adopsi Meong. Tapi Mama harus tau, Meong nggak senakal yang Mama kira! Dia memang kucing warna oranye, tapi dia cinta damai. Aku janji bakal ajarin dia jadi kucing penurut.”
Mama babuku terlihat ingin menangis. Namun babuku tidak berhenti sampai di situ. Pada papanya, dia berujar, “Pa, aku juga minta maaf karena nggak lolos SBMPTN dan tiba-tiba bawa Meong ke rumah. Aku bakalan belajar lebih giat. Meong ini kucing yang suportif! Jadi, biarin dia tinggal di rumah ini, ya?”
Dengan perasaan haru bercampur sedih, aku melangkahkan kaki ke luar rumah diiringi pelukan yang terjadi di antara babuku dan orangtuanya. Sekarang, aku bersiap untuk menghadapi kehidupan tanpa perlu merepotkan babuku lagi.
Sebab misiku sudah selesai.[]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
