
Spoiler
Setiap orang punya kesalahan, bukan? Apa aku maafkan saja si Irma itu? Lagipula dendam-dendaman juga nggak baik, dari matanya saja kelihatan tulus. Hardi membatin sambil terus membuat tatapan pada Irma yang mendadak tulus padanya.
Bab 27
"Ayah. Apa boleh Hardi jatuh cinta pada Adel?" Hardi yang sedang gundah di teras rumah, nekat menanyakan hal itu kepada Yudhis. Sepulang kantor, Hardi singgah di rumah hadiah orang tuanya di kompleks dekat SCBD. Tentu hanya Yudhis yang berada di sana.
Yudhis sempat mengatur napas sebelum menyeruput kopi buatan sang putra. Barulah setelah itu beliau menatap lekat Hardi dari samping tempatnya duduk.
"Nak. Kenapa ragu-ragu? Apa yang membuat kamu bilang begini pada ayah?"
Hardi hanya menggigit bibir bawah sambil menurunkan pandangan. Bahkan dia tak berani menatap sang ayah.
"Jadi rekan kerja yang kamu sempat bawa di unitmu itu ... beneran ada hubungan?" Yudhis harus memastikan dari mulut Hardi sendiri.
Sempat mendengus, Hardi pun membuka mulut. "Bukan pacaran sih. Tapi hanya rekan kerja. Beneran."
"Terus kenapa kamu bilang, apa bisa jatuh cinta pada wanita yang namanya Adel?" Yudhis bertanya heran.
Salivanya terbawa sampai ke tenggorokan Hardi, lalu kembali menjawab. "Kadang Hardi punya rasa pada dia. Kadang di dekatnya, jantung Hardi seperti berdegup kencang. Tapi ... tanda-tanda itu sama persis dengan apa yang dulu Hardi rasakan ketika jatuh cinta dengan Irma. Hardi nggak pengen ... hal itu terulang lagi."
Sudah lumrah bagi Hardi untuk trauma jatuh cinta. Hardi belum menelaah lagi sifat Adelia lebih jauh. Meski setiap hari dia bertemu wanita itu di kantor, tapi paranoid-nya menggelayuti dirinya. Bagaimana jika Adelia punya dua sifat yang bertolak belakang?
Hardi ingin menyingkirkan pikiran buruk itu, tapi tetap saja Hardi perlu mengawasi hal-hal lebih jauh lagi.
"Kalau memang yakin sama Adel, berusahalah dekati dia. Lihat juga sikapnya seperti apa. Jika memang Adel seburuk yang kamu duga, silakan tinggalkan. Ngapain dipikirkan?" Yudhis mantap memberikan nasihat pada Hardi. Setidaknya menjadi pegangan agar Hardi tidak salah melangkah.
Dua kali pacaran pura-pura tanpa hambatan, apa itu bisa menjadi patokan buat kamu untuk memulai hubungan? Tidak, Hardi. Aku masih harus menimbang keputusan terlebih dulu. Aku nggak mau tergesa-gesa. Batin Hardi seolah memojokkan dirinya sendiri.
***
Esok hari, tepatnya pada pukul lima sore, Hardi sedang membereskan sesuatu di meja besar miliknya. Prinsip 'tenggo' adalah hal yang selalu dia terapkan begitu jarum pendek mengarah ke angka lima.
Hardi mematikan layar komputer dan mengambil tas punggung yang ditaruhnya di bawah meja. Sedetik kemudian, Adelia menerobos masuk ke ruangan bahkan tanpa ketukan sama sekali. Membuat Hardi terkejut.
"Adel? Kamu tuh nggak ketuk pintu dulu?" Hardi protes pada Adelia yang sekarang malah melempar senyum padanya.
"Maaf, Mas. Soalnya mau menunggu Mas beres-beres aja. Tadinya pengen pulang bareng Nabila, tapi kusuruh dia pulang duluan karena ingin pulang sama Mas Hardi."
Aku ingin bicara tentang makan malam, Mas. Harap saja Mas Hardi ingat.
Hardi menumpu tas punggung miliknya di belakang tubuh. "Baiklah. Ayo kita pulang bareng. Sekalian pengen ngantar kamu pulang."
"Aku tunggu di pantry ya." Seperti biasa kata-kata andalan Adelia meluncur dari mulutnya, membuat telinga Hardi seakan terbiasa mendengarnya.
Setelah mengunci ruangan manajer, Hardi memanggil Adelia yang sedang meneguk segelas air di pantry, tak jauh dari ruangan divisi.
"Ayo. Ngapain berdiri di situ?" Hardi melangkah lebih dulu ke area lift, hanya 10 kaki dari pantry.
"Kita biasanya pulang bareng kalau aku menawarkan sesuatu. Tapi ini, malah kamu yang minta pulang bareng." Hardi bersuara saat tahu Adelia berada di sampingnya menunggu pintu lift terbuka. "Apa kita masih pacaran pura-pura? Padahal belum waktunya kita begini."
"Maaf, Mas. Kebetulan Kak Tio ada acara makan-makan di kantornya. Entah siapa yang ngajak."
Acara makan-makan di FoodBeary? Hardi tidak mengetahuinya sebab Rendra juga tidak mengabari. Biasanya sahabatnya selalu gerak cepat mengirimi pesan pada Hardi jika ada sesuatu. Tapi ... ada apa gerangan?
"Bilang apa kakakmu?" tanya Hardi akhirnya penasaran.
"Katanya, Pak Umar ngajakin makan malam seluruh tim divisi digital marketing. Nggak tahu juga mereka merayakan apa. Bilangnya sih ... target kampanye iklan baru yang sukses besar. Gitu sih."
Apa Rendra ikut ya dalam makan malam itu? Dia pasti akan bilang ke aku jika ada apa-apa. Batin Hardi menduga-duga.
"Kamu lapar?" tanya Hardi mengalihkan topik. "Aku yakin kamu minta pulang bareng tuh pasti ada apa-apa. Atau kamu mau ngopi?"
"Ngopi," jawab Adelia cepat. "Kita ngopi di Kafe Brilliant. Tahu kan tempatnya, di dalam gedung Heitz?"
Hardi mengabaikan Adelia yang sedang bicara padanya. Justru atensinya teralihkan pada layar ponsel. Irma kembali mengirimi pesan setelah sehari Hardi tidak menanggapi. Namun bukan Irma namanya jika tidak mengancam atau mendesak.
(Mas Hardi. Kamu nggak percaya aku ini sudah baik padamu? Ayolah, aku mau minta damai denganmu. Atau ... kamu mau aku berbuat hal aneh lagi? Setidaknya dengarkan aku dan datanglah.)
Hardi seketika mendengus sambil berusaha menahan amarah. Bahunya tiba-tiba dipegang oleh Adelia, wanita itu peka mendengar kegelisahan Hardi.
"Mas Hardi? Mas tidak apa-apa?" tanya Adelia agak panik.
"Maafkan aku, Adel. Ngopinya ditunda dulu. Aku ada janji dengan ayahku sebentar." Hardi menjawab lancar tanpa terbata-bata. Harap saja kebohongannya tidak terendus oleh Adel. "Kalau kamu mau pulang langsung ke rumah, nggak apa-apa. Naik taksi daring saja. Soalnya mobilku mau ke arah lain, repot jika mengantarmu pulang."
Adelia mengangguk namun sedikit mengerucutkan bibir. "Baiklah, Mas. Hati-hati ya pulangnya."
Hardi tak menanggapi lagi ketika pintu lift mulai terbuka lebar. Mereka berdua masuk di dalamnya sembari Hardi menekan tombol lantai satu.
Sesampainya di depan pintu gedung kantor Oradi, Hardi menemani Adelia memesan taksi daring. Setelah itu barulah Hardi ke basement mengambil mobil miliknya.
Tak lama kemudian, ponsel Hardi berbunyi nyaring saat akan melangkah maju. Hardi mengangkatnya dengan geraman kecil.
"Kamu ini gimana sih? Tidak bisakah kamu sabar dulu?" hardiknya tanpa ragu.
"Sabar. Sabar dong, Mas Hardi. Kok marah-marah? Nggak kayak biasanya." Di seberang, nada lembut terdengar di telinganya. Entah apa niat Irma kali ini. Membujuk Hardi agar berdamai?
"Aku akan datang, tapi cuma nemenin nggak ada obrolan." Hardi menerimanya dengan catatan menjaga diri. Hardi hanya pergi untuk melihat titik lemah Irma jika suatu saat akan balas dendam lagi. Tidak ada niat lain. Hardi harus lebih cerdik lagi melawan Irma.
"Baiklah. Kutunggu di restoran dekat apartemen ya. Sudah aku sharelock." Irma memutuskan telepon lebih dulu. Tak lama kemudian, Irma memberikan pesan kembali. Mengingatkan agar jangan mengulur waktu, atau Irma dapat berbuat apa saja agar Hardi kembali jatuh.
Ancaman itu sebenarnya bisa dihindari, apalagi Hardi yang mulai berani. Namun, tanpa adanya rencana matang, mustahil untuk melewatkan ancaman tersebut.
Hardi niat datang untuk menghadapi Irma dan melawannya jika saja Irma macam-macam padanya.
***
Setelah mengambil mobil di basement dan mengendarainya hampir dua puluh menit, Hardi sampai di tempat yang dimaksud. Restoran tersebut memang berada di dekat gedung Clearbright Apartement, hanya saja bukan gedung A. Restoran itu terletak di depan palang pintu masuk gedung B. Agak berjauhan dengan gedung A meski dilihat dari jauh kedua gedung saling bersebelahan.
Memarkirkan serong mobilnya kemudian masuk dalam restoran yang menyediakan Chinese food sebagai tempat langganan para penghuni Clearbright Apartement. Begitu kakinya berpijak, Hardi disambut dengan meja yang ditata menempel ke tembok sebelah kiri juga sebelah kanan.
Hardi menemukan Irma yang menggunakan cardigan merah muda di meja sebelah kiri. Irma melambaikan tangan saat menemukan Hardi berdiri tegak dekat pintu masuk.
"Tumben kamu pesan makanan. Buat aku semua?" Hardi tak mau gegabah dalam bersikap, memilih untuk baik pada Irma terlebih dahulu.
Sambil menarik kursi, Hardi memandang visual makanan yang disajikan di meja. Bahkan aromanya masih mengepul di hadapannya. Nasi goreng seafood, mi goreng hokkian, mi pangsit, mi kering. Makanan tersebut disajikan dalam jumlah besar.
"Hardi yang kukenal itu makannya banyak tapi tetap menjaga badannya. Sengaja aku pesan porsi jumbo sebagai tanda perdamaian kita."
Hardi membenarkan ucapan Irma. Bagaimana bisa seorang mantan tahu salah satu fakta tersebut? Lagi-lagi Hardi tak mau terbuai. Niatnya hanya mematangkan rencana jika sewaktu-waktu Irma kembali playing victim.
Walaupun dia tak mau melakukan itu seolah masa bodo, namun Irma terus-terusan melawan dengan mengancam. Mana mungkin Hardi tinggal diam?
"Makanlah," pinta Irma sedikit memiringkan tubuhnya ke kanan. "Aku nggak kasih racun. Semuanya ini baru saja tersaji beberapa menit lalu."
Ikuti permainan Irma tidak ada salahnya. Hardi pun mengambil piring kosong sebelah kiri kemudian menyalin mi kering dalam jumlah besar.
Satu suapan masuk dalam mulutnya. Mi yang digoreng bercampur kuah kental yang menyatu justru memuaskan lidahnya. Apalagi bakso, ayam, dan sayur-sayuran sebagai pelengkap menambah kenikmatan dalam makanan tersebut.
"Enak kan?" tanya Irma memastikan. Tidak ada raut sebal yang tercetak di wajahnya. Sama seperti Irma yang dulu dikenal Hardi. "Makanan di sini tuh pantas jadi langganan penghuni apartemen. Mana murah lagi.”
"Kamu tinggal di apartemen?" Hardi mengalihkan topik. Terbaca jelas Irma yang selama obrolan sering membahas apartemen. Terlebih, Hardi sempat melirik barang berkilau di sebelah ponsel Irma, ada kartu akses beserta kunci.
"Iya, aku tinggal di apartemen Clearbright gedung A. Lantai 21. Bukan beli, tapi aku sewa."
Sebenarnya Irma juga baru tahu Hardi tinggal di gedung apartemen itu. Hanya saja tidak disebutkan unit yang ditempati Hardi. Dia mendapatkan informasi tersebut dari Rafli, jauh setelah acara ulang tahun itu.
"Kamu juga ... tinggal di apartemen?" tanya Irma menampakkan keraguannya.
Hardi spontan menjawab. "Iya. Aku juga di gedung A. Lantai 20."
"Wah, meski beda selantai, kita tetanggaan dong."
Hardi fokus memandang raut antusias dari mantan istrinya. Dia tidak boleh terjebak dalam permainan wanita yang pernah merusak hidupnya. Meski perlu mengikuti alur agar dapat mematangkan rencana. Dia yakin Irma sedang menyusun rencana meski berusaha damai dengannya.
"Benar sih." Hardi menanggapi biasa. "Tapi ... Rafli ke mana? Biasanya selalu sama kamu."
Irma langsung menopang dagunya dan membuang napas kasar begitu Hardi bertanya kabar Rafli padanya.
"Rafli pergi ke luar kota. Katanya ada proyek jelajah makanan gitu. Bersama tim-timnya. Enak tuh si Rafli menyantap berbagai macam makanan," tutur Irma mengeluh.
"Kok kamu nggak ikut? Kamu kan yang paling sayang sama Rafli?" tanya Hardi mulai peduli. Namun bukan murni dari hati, sekali lagi mengikuti skenario sang mantan.
"Memang benar. Cuma katanya tidak boleh ada yang ikut, siapapun itu. Istilah kasarnya sih, jangan ngajak keluarga. Mereka mau kerja untuk bikin proyek."
Hardi mengangguk sambil menyalin lagi nasi goreng yang penuh dengan bakso-baksoan yang menggugah seleranya.
"Terus? Gimana brand yang kerja sama denganmu?" Sekali lagi Hardi bertanya menunjukkan kepeduliannya. "Ini sudah sebulan berlalu sejak aku menghancurkan pestamu."
"Mereka ada yang menarik diri. Maklumlah, kesalahan kecil. Setelah berbohong di sosial media, menuduhmu yang bukan-bukan, aku jadi sadar bahwa ternyata kamu bukanlah orang lemah yang kapan saja bisa kujatuhkan. Kuakui kamu berani, Hardi."
Pria yang bersemangat menyendok nasi goreng itu mendadak menurunkan alat makannya, lalu kepalanya mendongak lurus menatap Irma. Kenapa Irma tiba-tiba berubah seperti itu? Apakah Irma sudah tak ingin mengganggu Hardi lagi?
"Kok ... tumben bilang gitu?" tanya Hardi tidak memercayai.
"Aku menyadari kesalahanku, Hardi. Makanya ... aku mau minta maaf ya." Tiba-tiba Irma menyambar tangan Hardi, memegangnya lembut. "Aku tahu harusnya aku tidak menyia-nyiakan kamu dan memilih Rafli. Pokoknya ... aku ingin menebus kesalahanku padamu."
Alih-alih menepis, Hardi malah membiarkan tangannya diayunkan oleh Irma. Entah apa Hardi perlu menelaah perubahan sikap Irma yang tiba-tiba atau justru menerima permohonan maaf Irma.
Setiap orang punya kesalahan, bukan? Apa aku maafkan saja si Irma itu? Lagipula dendam-dendaman juga nggak baik, dari matanya saja kelihatan tulus. Hardi membatin sambil terus membuat tatapan pada Irma yang mendadak tulus padanya.
***
Bab 28
"Masuklah." Rendra mempersilakan wanita blazer itu memijak unit apartemen miliknya.
"Maaf aku merepotkan kamu, sampai harus menjemputku di lobby dulu untuk bisa naik ke unitmu," kata Adelia merasa tidak enak.
"Durasimu 30 menit, habis itu kamu langsung pulang." Rendra mengingatkan dengan suara rendahnya. "Istriku sedang tidur di kamar, jadi jangan terlalu berisik."
Adelia mengangguk, lalu menarik pelan kursi di meja makan. Rendra hanya menyajikan susu kaleng bergambar beruang. Kemudian pria itu ikut duduk di hadapan Adelia.
"Kamu nggak ikut Kak Tio acara makan-makan? Bahkan kamu nggak ngabarin ke Mas Hardi." Adelia bertanya heran.
"Kamu kan tahu istriku sekarang lagi hamil. Aku nggak bisa keluar sampai malam, karena harus menjaga dia sepulangnya dari kantor." Rendra menjawab sambil menyeruput susu miliknya. "Ngomong-ngomong, ngapain kamu di sini? Kamu ada masalah atau sekadar bicara sebagai mantan pacar?"
"Ini ada kaitannya dengan Mas Hardi. Kamu kan yang paling dekat sama dia, makanya aku ingin tanya sesuatu." Ada keraguan di setiap kalimat yang diucapkan Adelia.
"Tanya saja. Aku akan dengar." Rendra menanggapi dengan santai.
"Tadinya aku ingin mengajak Mas Hardi ngopi di Brilliant. Tapi katanya buru-buru mau ke ayahnya makanya nggak jadi. Hanya saja, Mas Hardi sedikit menggeram begitu menerima sebuah pesan. Aku menduga, bukan dari ayahnya. Dia pasti bilang begitu dengan alibi agar dia enggan menerima ajakanku. Bukannya kalau ketemu sama orang tua itu harusnya senang? Kenapa malah menggeram?"
Adelia mulai membuka susu kaleng pemberian Rendra, sambil mengendalikan kegugupannya setelah bicara panjang lebar barusan.
"Kamu itu sungguh pacaran dengan Hardi?" Rendra justru balik bertanya. "Segitu khawatirnya kamu pada dia? Sampai malam-malam ke unit apartemenku cuma menanyakan hal itu?"
"Rendra, plis. Meski kita sudah jadi mantan, setidaknya jangan bersikap dingin kayak gitu." Adelia memelas sambil meraih punggung tangan Rendra. "Aku cuma khawatir terjadi apa-apa padanya. Bukan karena aku menyukai Mas Hardi, apa salahnya mengkhawatirkan manajerku sendiri di kantor?"
Pria dengan kumis tipis itu bergeming. Telunjuknya memegang dagu, tampak memikirkan sesuatu.
"Aku coba telepon Hardi dulu. Tapi aku nggak mau bilang kamu ada di unitku." Rendra segera merogoh ponselnya dari saku celana pendek abu-abu terang yang digunakannya. Lalu mencari kontak atas nama Hardi, kemudian meneleponnya.
Tak lama menunggu, teleponnya diangkat si penerima.
"Halo, Hardi? Lo ada di mana?"
Adelia menatap Rendra dengan raut cemas. Seakan menunggu jawaban yang keluar dari mulut mantannya sendiri.
"Oh, lagi di rumah yang dekat SCBD itu? Ada Om Yudhis di situ? Lo mau nginap di sana?"
Hembusan napas lega mulai terdengar. Setidaknya dugaan Adelia salah. Jika Rendra sendiri yang bilang, maka Adelia tentunya percaya. Tentu Rendra adalah sahabat Hardi yang paling dekat.
"Oke deh, bro. Iya. Titip salam sama Om Yudhis. Iya." Rendra menutup sambungan telepon kemudian beralih bicara pada Adelia. "Dengar sendiri, kan? Hardi memang menemui ayahnya. Juga dia nggak pulang dulu ke apartemen, mau nginap di sana katanya."
Adelia mengangguk pelan, mengerti maksud Rendra. "Iya, terima kasih sudah menolongku untuk menelpon Hardi."
"Lagipula tuh, Del. Kalau memang kamu suka sama Hardi, ungkapin aja perasaan kamu ke dia. Toh, Hardi juga kemungkinan sudah move on dari mantan istrinya. Kamu jangan tinggal diam seperti berharap Hardi yang mengakui perasaannya duluan. Kamu juga harus bertindak, Del," tegas Rendra di setiap ucapannya.
Senyuman ringan terpatri di wajah Adelia. Sungguh, dia merasa Rendra bijak kali ini. Bahkan Rendra mendukung hubungannya dengan Hardi meski hanya sekadar pura-pura. Rendra pun tahu diri sebab dia juga sudah menikah.
"Kamu harus pulang. Sepertinya Vina membutuhkanku sekarang." Rendra langsung berdiri dari kursinya dan melangkah menuju kamar yang tak jauh dari meja makan.
Adelia mulai menenteng tas tangannya di bahu lalu ikut berdiri dari kursi.
Sial, aku melupakan fakta bahwa Rendra sudah beristri. Kenapa aku menganggunya di saat istrinya sedang hamil? Batin Adelia merutuk.
Benar-benar Adelia salah telah membuang waktu Rendra di malam hari. Namun setidaknya Adelia sudah mendapatkan informasi valid tentang Hardi.
Setelah sepatu hak tinggi melekat di kaki, Adelia pun menarik kenop pintu kemudian kakinya memijak sepanjang lorong apartemen menjauh dari unit 20-5.
Di depan pintu lift, Adelia kembali memikirkan Hardi. Entah bagaimana caranya di dalam benaknya terus muncul Hardi. Meski diminta untuk menghilangkan pikiran tentang Hardi, yang ada Adelia sungkan. Mustahil melupakan pria baik macam Hardi.
"Aku yakin Mas Hardi merasakan hal yang sama sepertiku," gumam Adelia menarik napas pelan, juga menghembuskannya pelan.
Begitu pintu kotak besi terbuka lebar, Adelia mulai memasuki dalamnya kemudian menekan lantai satu. Pintu tertutup kembali.
Sementara itu, Hardi mengekori Irma di lantai 21. Tentu di gedung yang sama. Terpaksa Hardi berbohong pada Rendra agar tidak ada yang tahu bahwa dia sedang merencanakan sesuatu yang besar.
Sekali lagi, Hardi bersikap baik hanyalah ingin mengikuti permainan mantan istrinya. Hardi tidak sepenuhnya percaya Irma bisa sebaik itu padanya. Lebih baik berdiri di atas panggung sandiwara Irma dibanding melawan terang-terangan.
"Jadi kamu tinggal di unit 21-6?" tanya Hardi memecah hening.
Unit Irma berada di sebelah kiri. Irma mulai menekan kode akses unitnya.
"Kamu nggak punya kartu akses? Harusnya bisa langsung ditempel, nggak usah masukkan kode akses." Hardi berceletuk, dibalas tawa ringan dari Irma.
"Kartu dibawa Rafli, Mas. Kemungkinan pas packing, dia nggak sadar kartu akses dibawa olehnya." Sembari membuka daun pintu, Irma menggerutu. "Benar-benar Rafli, sudah tahu masih ada orang, malah dia bawa tuh kartu. Hasilnya aku jadi menekan kode akses yang bisa saja aku lupa."
Hardi memasuki unit tersebut dan terkejut ternyata jenis apartemen yang ditinggali Irma memiliki 2 kamar tidur yang terpisah antara ruang utama, dapur, dan lainnya. Entah berapa uang yang dirogoh Irma dan Rafli untuk menyewa unit apartemen 2BR itu.
"Duduklah. Sambil itu aku siapkan piring buat disalin yang sudah kita bungkus barusan," pinta Irma sambil menaruh bungkusan sisa makanan tadi di restoran.
Hardi duduk di sofa, tempat di mana Irma dan Rafli membuat konten. Tampak canggung awalnya, namun dia menjatuhkan tubuhnya tanpa ragu.
Irma menoleh dari dapur. Mantan suaminya itu terlihat santai bahkan sambil celingak-celinguk mengitari pandangan seisi unit.
Rencana untuk menjatuhkan Hardi–sekali lagi– rasanya sia-sia buatnya. Rafli tidak memenuhi keinginannya sebab pria itu buru-buru pergi ke luar kota. Bahkan sebelumnya, Irma memarahi Rafli hingga mereka nyaris bertengkar.
Sadar bahwa semuanya gagal, Irma akhirnya membuka hati untuk Hardi dan ingin memaafkan mantan suami yang telah dia abaikan selama hampir satu tahun pernikahan. Rasa bersalah hinggap di dalam dirinya.
Sambil tersenyum hangat, Irma membuka bungkusan tadi lalu menaruh nasi goreng yang sebelumnya berada di kertas minyak. Lalu ada mi goreng hokkian serta mi kering. Kemudian Irma menatanya di meja makan berukuran agak lebar.
"Makanlah, Mas." Irma mengajak sambil menarik kursi untuknya juga untuk Hardi.
Hardi sendiri masih duduk di sofa sambil memasang ekspresi heran. "Kamu tuh tiba-tiba banget panggil aku Mas. Ada apa gerangan?"
Pertanyaan itu sedari tadi ditahannya saat berada di restoran tadi, baru kesempatan dia melakukannya.
"Ini kan dalam rangka menjalankan misi untuk berdamai." Buru-buru Irma menjawab. "Aku sudah mengaku menyerah. Aku nggak mau mengganggu kamu lagi. Kita baikan aja seperti dulu."
Hardi menarik napas lalu menghembuskannya. Apa pendengarannya tidak salah? Irma benar-benar menyerah? Bahkan di restoran tadi, permintaan maaf Irma sungguh tulus?
"Oh iya soal acara ulang tahun itu ..." Irma kembali berujar. "Soal tindakan Mas Hardi ... itu ada benarnya kok. Aku berhak menerima semuanya. Termasuk video kolaborasi pertamaku dengan Rafli yang diunggah beberapa pekan sebelum perceraian kita. Pujian itu juga ... murni bukan candaan. Aku memuji Rafli karena bosan padamu."
Hardi hanya menjadi pendengar, tidak bangkit dari tempat duduknya. Pandangannya juga tidak mengarah pada Irma, malah mengalihkan pada obyek lain.
"Kamu sungguh tulus dengan apa yang kamu ucapkan?" tanya Hardi memastikan. Wajahnya masih enggan tertoleh dari Irma. "Kamu tahu sendiri. Aku tuh sudah move on dan sembuh dari luka di hatiku. Jika kamu meminta rujuk, maaf. Yang itu aku nggak bisa. Kalau baikan aku bisa."
Lengkungan di bibir Irma terbentuk bak bulan sabit. "Aku sungguh tulus, kok. Tidak apa juga kita baikan. Yang penting, aku nggak akan mengganggumu dan pacarmu itu."
"Aku juga mana mau ganggu kamu dan Rafli. Permainan basi," balas Hardi dengan dingin.
"Makan dulu yuk. Mumpung masih hangat." Irma meminta dengan tutur lembut. Spontan membuat hati Hardi tidak karuan.
Benar-benar seperti Irma yang dulu kukenal. Hanya saja aku sudah berkomitmen agar nggak mau kembali padanya. Batin Hardi mendadak bimbang.
Meski merasa demikian, Hardi tetap bersikeras mengikuti permintaan Irma. Dia bangkit dari sofa lalu berjalan pelan menuju meja makan. Meski beberapa jam belum terisi makanan lagi, rasanya dia ingin menghabiskan semua apa yang tersaji di meja.
"Kamu sendiri nggak makan?" tanya Hardi spontan sambil mengambil sendok yang disediakan Irma.
"Nggak. Aku masih harus menjaga tubuhku," jawab Irma kemudian melepas ikatan rambut yang sempat dikuncir kuda itu. "Nggak apa kan kutinggal mandi dulu? Kamu makan saja."
Hardi mengangguk tanpa menoleh, fokus menyendok nasi goreng ke mulut dengan lahap.
Irma meninggalkan Hardi di meja makan lalu ke kamar untuk menanggalkan semua yang melekat di tubuh, begitu keluar hanya menyisakan kimono untuk menutupi badan rampingnya.
Pria berkemeja itu masih melahap nasi goreng yang tinggal setengah di piring saji. Belum puas, dia menyalin mi goreng lalu menambahkan sambal tumis agar menciptakan rasa pedas di makanannya. Hardi menyendok mi serta bakso bentuk bulat kasar ke mulutnya.
Sempat terlena dengan perlakuan baik Irma, tiba-tiba Hardi seperti tersetrum. Menyadarkannya kembali bahwa dia ingin melihat titik lemah Irma.
Tetapi, mengingat Irma yang mulai tulus padanya justru membuat Hardi mengurungkan niat untuk lebih cerdik lagi. Jika saja Hardi membuka pintu maafnya kepada Irma, berarti masalah selesai. Tidak ada lagi yang mengganggu dirinya. Bahkan Irma memulai hidup baru tanpa dendam terhadap siapapun.
"Aku maafkan saja si Irma itu. Lagipula ... dia tulus melakukannya. Nggak usah ada dendam-dendaman di antara aku juga mantan istriku itu," gumam Hardi mencoba membulatkan tekad.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
