
Spoiler
Lama kelamaan, hubunganku dengan Mas Hardi bakal serius. Tinggal menunggu waktu aja sih.
Bab 23
Malam sebelum bukti terkuak
"Kado apa sih, Mas? Kado besar apa?" cecar Adelia tak memahami.
Hardi mendadak mengeluarkan seringainya. "Surat cerai dan video kolaborasi pertama Irma dan Rafli."
Adelia menghentikan aktivitas menyendok nasi gorengnya. Padahal suapan pertama dinikmatinya barusan.
"Maksudnya, Mas?"
"Aku mau membuktikan pada mereka bahwa aku nggak salah." Hardi menyendok dua kali nasi goreng miliknya. "Aku menceraikan Irma bukan karena aku tidak setia, tapi karena kesalahan Irma sendiri."
"Yakin dengan apa yang Mas lakukan?" Adelia mulai khawatir. "Jika nanti Irma bakal balik membalas Mas Hardi, gimana?"
"Nggak akan." Jawaban singkat Hardi meyakinkan semuanya. "Surat cerai langsung dari pengadilan, mana bisa Irma mengelak? Dia pasti bakal bungkam."
"Benar sih. Omongan Irma waktu Mas dihujat itu kan cuma 'ngomong' nggak ada bukti."
"Penggemarnya Irma fanatik semua. Mereka cuma melihat dari satu sisi aja. Makanya, aku akan memberikan 'kado' besar untuknya."
Nasi goreng beserta bistik ayam nilik Hardi tinggal setengah. Hardi cepat-cepat menyendok makanannya, hingga tak lama piringnya pun menunjukkan kekosongan.
Jus jambu menjadi penutup sajian. Hardi bersendawa sebentar kemudian mendorong kursinya ke belakang hendak berdiri.
"Mau ke mana?" tanya Adelia ketika melihat Hardi beranjak dari kursi.
"Aku ke toilet sebentar."
Hardi berbalik, melangkah kecil menuju daun pintu ruangan VIP.
Tentu saja Hardi tidak ke toilet. Hardi sedang celingak-celinguk mencari seseorang yang mungkin bisa melancarkan aksinya. Dia berada di ruang tengah setelah berjalan menjauh dari ruang VIP.
"Em, mbak?" Hardi memanggil salah seorang panitia berkaos hitam dengan tanda pengenal yang mengalung di leher.
"Ya, ada apa?" Wanita rambut sebahu itu menghampiri Hardi.
"Saya boleh minta tolong? Ini sesuatu yang mendesak."
"Minta tolong apa ya, pak?"
Hardi mulai mendekatkan bibirnya ke telinga wanita tersebut. "Tolong, saat acara berlangsung, saya ingin mbak menampilkan video yang akan saya kirimkan."
Mendadak panitia itu mengerutkan kening, sambil menjauhkan telinganya dari mulut Hardi. "Video ... apa ya?"
"Video ucapan ulang tahun buat Bu Irma Riyanti. Apa boleh?"
Tatapan Hardi penuh harap, semoga panitia itu bisa menyetujui. Hardi menggunakan taktik tersebut agar permainannya berjalan lancar tanpa hambatan.
"Anda mantan suaminya Bu Irma Riyanti ya? Pak Hardi Yudhistira?" tebak panitia itu. "Kalau masalah ginian, saya takut nanti pacarnya Bu Irma atau Bu Irma sendiri marahin saya."
"Ayolah, meski mantan suaminya, saya tetap temannya Bu Irma kok." Hardi berusaha membujuk kembali. Entah bagaimana caranya supaya rencananya berhasil. "Ingat, saya bukan tamu biasa. Saya tamu VIP. Buktinya saya keluar dari ruangan khusus VIP, mana mungkin saya masuk sembarangan?"
Semoga saja dengan embel-embel VIP, panitia tersebut mengizinkan.
Setelah menimbang-nimbang, wanita rambut pendek sebahu itu mengangguk setuju.
"Baiklah. Tapi ini isi videonya bukan macam-macam, kan?"
Mengingat video yang akan ditampilkan berupa sebuah bukti, Hardi justru menghela napas berat. Dia kehabisan kata-kata sekarang. Jika ada yang tahu isinya bukan ucapan ulang tahun, yakin penolakan yang bakal dia terima.
"Bisa panggil ketua panitia?" Hardi mendadak memberikan opsi. Khawatir saja jika wanita itu akan enggan menerima permintaannya lagi kalau mengatakan yang sebenarnya.
"Kebetulan ada di ruang VIP ..." Baru juga menyebut posisi, orang yang dimaksud keluar dari ruangan tersebut.
"Pak Fikri?"
Pria berambut tipis dengan tinggi badan mencapai dada Hardi pun melangkah merespon panggilan tersebut.
"Ini, ada yang mau kasih video ulang tahun buat Bu Irma. Tapi katanya mau manggil Anda dulu."
"Ada apa ya, pak?" tanya Fikri dengan suara beratnya.
"Saya sangat minta tolong. Saya ingin memberikan sebuah kado untuk Bu Irma, tapi bukan dalam bentuk fisik melainkan bentuk file. Apa Anda bisa menampilkannya saat acara berlangsung?"
Tanpa basa-basi, Hardi memberikan flashdisk kecil pada Fikri.
"Jadi ..." Hardi menggigit bibir bawahnya sebentar. Mau tidak mau, Hardi memilih untuk jujur. Daripada harus berbohong. "Ini adalah surat perceraian saya dengan Bu Irma beserta video kolaborasi pertama Irma dan Hardi. Video itu diunggah sebulan sebelum perceraian kami."
Hardi mengatur napas setelah sempat menghentikan ucapannya. "Saya ingin ... orang-orang tahu kalau saya bukanlah seperti yang mereka duga. Tidak setia, sering bermain dengan wanita lain, tidak memberi nafkah."
Fikri dan panitia wanita barusan saling melempar tatapan, berusaha menimbang keputusan besar tersebut.
"Tapi, Pak Hardi. Ini acara ulang tahun seorang influencer kecantikan, Bu Irma Riyanti. Bahkan saya digaji oleh Bu Irma, tim-tim lain juga. Saya menginginkan acara ini sukses tanpa adanya drama. Jika saya ikut permainan Anda, apa Anda mau tanggung jawab jika Bu Irma tidak memberikan uang pada kami?" Ucapan awal sampai akhir yang dilontarkan Fikri begitu serius.
Hardi terpaksa mengeluarkan trik jitu agar mereka dapat menuruti keinginannya. Dirogohnya dompet tebalnya di belakang celana lalu memberikan beberapa lembar uang sebagai pembuktian.
"Jika ini berhasil, saya akan tanggung jawab terhadap penghasilan kalian. Atau begini saja. Saya traktir kalian makan besar. Saya akan membayar kalian dengan makan-makan besok. Bagaimana?"
Fikri berkacak pinggang, menarik napas lalu menghembuskannya. Berulang kali hingga terhenti saat menatap netra hitam Hardi yang penuh binar.
"Saya tahu Anda pasti berat menjalani hidup setelah bercerai dari Bu Irma, tapi ..." Fikri spontan mengulurkan tangan. "Saya akan ikut permainan Anda. Asal, jika Bu Irma bakal mengancam tidak menggaji kami, Anda harus tanggung jawab."
Hardi membalas uluran tangan kasar Fikri. "Baiklah."
***
Esok hari setelah acara ulang tahun
Hardi yang menggunakan kaos oblong putih dan celana pendek selutut sedang menuangkan air panas di cangkir kecil bercorak bunga. Pagi hari, Hardi menginginkan teh lemon sebagai teman sarapan. Sementara untuk makanan, Hardi hanya menyiapkan roti tawar panggang, selada, tomat, daging asap, serta saus mayones yang ditumpuk jadi satu.
Begitu piring lebar menampilkan roti sandwich serta teh dengan aroma menguar ke atas, Hardi duduk di meja makan sembari mengecek ponsel.
Aksinya di acara ulang tahun Irma semalam membuatnya seperti pahlawan kesiangan. Banyak yang memujinya bahkan meminta maaf di kolom komentar postingan terakhirnya di akun Instagram.
Hardi melahap segigit roti isi lalu jempolnya terus mengusap membaca komentar-komentar terbaru. Hardi tidak langsung puas terhadap permainan yang dia buat. Lebih baik melakukan lalu melupakan. Begitulah prinsip Hardi. Setidaknya pikiran orang-orang terbuka terhadap situasi sebenarnya dan tidak terperdaya omongan palsu dari Irma.
Ketika menutup ponsel dan sambung menyesap tehnya, benda pipih tersebut berdenting sekejap. Ada pesan masuk. Hardi mengeceknya cepat.
Alih-alih dari Adelia atau teman dekat lainnya, justru Irma yang muncul di atas daftar riwayat obrolannya.
(Puas kamu? Puas kamu menghancurkan acara ulang tahunku, hah? Semua tamu undangan mulai berpihak kepada kamu. Juga panitia. Kenapa sih kamu membujuk mereka? Kalau aku tahu, aku bisa saja nggak mengundangmu ke acara ulang tahunku. Gara-gara kamu, sebagian brand yang kerja sama denganku mulai menarik diri. Saya rugi besar, tahu nggak?)
Hardi mengabaikan dengan menaruh ponselnya kembali di meja. Rotinya tersisa setengah, demikian tehnya. Hardi merasa energinya cukup terisi.
Kakinya terayun menuju kamar untuk mengambil handuk. Hardi mulai mengalungi handuk di leher. Namun saat meneruskan jalan, tiba-tiba Hardi mendapat telepon. Getarannya cukup kencang di meja.
Hardi meraih ponselnya, dari Adelia. Cepat-cepat jempolnya mengusap ke kanan untuk menjawab.
"Mas Hardi." Adelia menyapa lebih dulu, padahal Hardi baru ingin membuka mulut. "Mas di mana? Masih di apartemen?"
"I--Iya. Aku masih di apartemen, siap-siap mau mandi sih."
"Mas. Setelah pulang kantor, Mas mau nggak main ke rumah?"
Rumah? Apa maksudnya adalah rumahnya Adelia?
"Memangnya kenapa?" tanya Hardi bersikap biasa.
"Ayahku ... ingin melihat Mas katanya. Mau tanya-tanya soal Mas juga. Mungkin ... akting pacar pura-pura kita berhasil sampai berulang kali ayah cecar aku tentang Mas Hardi."
Hardi menciptakan lengkungan manis di bibirnya. "Jadi ... aku disuruh ke rumah buat wawancara gitu?"
Adelia menanggapi candaan Hardi dengan tertawa kecil. "Seperti itu sih, Mas."
"Tapi ... ini masih tergolong pura-pura, kan?" tanya Hardi memastikan.
"Kita masih pura-pura, kok. Tenang aja."
"Sepertinya ayahmu yakin ... dengan hubungan kita."
Hardi belum memikirkan dampak apa yang akan diberikan ayah Adelia jika suatu saat hubungan mereka direstui. Akankah mereka berhenti berpura-pura dan melanjutkan ke hal yang lebih serius? Atau justru sebaliknya?
Tapi ... jika kami menuntaskan misi dengan bilang putus, Adelia bakal dikecewakan lagi. Hardi membatin sejenak.
"Oh iya, Mas. Soal semalam, yang Mas Hardi lakukan ... hebat banget." Adelia memuji di tengah-tengah kesunyian yang sempat menghinggap. "Aku yakin Irma tidak banyak omong lagi karena Mas berikan bukti validnya."
Lagi, senyumannya yang bak bulan sabit terbit begitu saja. "Itu hal biasa, Del. Aku melakukannya supaya pikiran orang terbuka. Meskipun, harus membuka hal yang pribadi sih."
"Jadi gimana? Mas Hardi nggak dihujat lagi?"
"Nggak sih sejauh ini. Tapi masih ada kok orang yang menghujat dengan bilang buktinya direkayasa lah, apa lah. Gitu, gitu. Sekali lagi, hanya satu dua orang kok yang bilang seperti itu."
Terdengar helaan napas lega dari seberang telepon. "Baguslah kalau begitu, Mas."
Hening sempat menghampiri. Tiba-tiba Hardi membuka mulut. "Sampai ketemu di kantor, ya."
Entah kenapa ucapan itu malah membuat hatinya berdegup kencang. Seperti seorang pacar yang meminta kekasihnya menunggu. Harap saja perumpamaannya tidak salah.
"Iya, Mas. Aku tunggu di ruang utama. Kita minum kopi susu bareng." Sedetik kemudian telepon terputus.
Hardi termangu menatap nalar pandangan di hadapan. Ucapan barusan adalah di luar kuasanya. Harusnya yang mengucapkan hal itu Adelia, bukan dirinya.
Mungkinkah ... Hardi mulai jatuh cinta pada Adelia?
Aku merasa nyaman jika berada di sekitarnya. Tersenyum menerima berbagai candaannya, dan ... mengucap hal-hal apa yang biasa sering diucapkan oleh sepasang kekasih. Aku ... beneran jatuh cinta padanya?
***
Bab 24
Bihun goreng menjadi bintang utama dalam makan malam keluarga Budi Kusuma. Mata Nabila berbinar begitu ibunya menyajikan makanan berikutnya di meja makan lebar.
Semua anggota berkumpul di meja makan. Di sebelah kiri, Adelia duduk di samping Hardi. Tak lupa ada Tio yang mendampingi sang adik, duduk di bagian pojok kiri meja. Di pojok kanan, ada Budi yang tidak menampakkan wajah garangnya. Tentu saja di sebelah kanan ada Nabila serta Hesti.
"Kali ini, ayah sengaja mendatangkan nak Hardi untuk menyantap makan malam yang spesial." Budi seperti membawakan suatu acara, begitu berwibawa beliau bicara, itu yang Hardi pandang. "Sebelumnya, ayah mohon maaf ya, nak. Karena ayah sempat salah menduga tentang pacar kamu ini."
Baru terdengar dari telinga Adelia. Ayahnya meminta maaf secara terang-terangan. Padahal sebelumnya sang ayah terus mengekangnya untuk memiliki pacar atau semacamnya. Hingga berujung pada amarah Budi yang tak terbendung, bahkan Budi beranjak dari kursi saat makan malam. Itu sudah sangat lama. Adelia sangat ingat bagian tersebut.
"Ayah. Adel bilang juga apa, kan? Mas Hardi itu orangnya baik. Mana ganteng pula, wajahnya masih segar." Adelia tak ragu memuji pacar palsunya di depan ayah, ibu, kakak, dan adiknya.
"Ayah percaya itu. Ayah percaya." Budi spontan menepuk punggung tangan Adelia, berusaha yakin. Lalu beralih pandangan pada Hardi. "Nak Hardi apa kabarnya?"
Bola mata Hardi agak membesar, kemudian menjawab tentu disertai kegugupan yang melanda. "Sa--saya baik, Om."
"Saya dengar kamu ... mantan suaminya influencer itu ya? Siapa lagi namanya?" Budi menolehkan kepalanya ke anak bungsunya di sebelah kiri jika berada di posisinya duduk.
"Irma Riyanti, ayah." Nabila menjawab semangat.
"Oh iya, Irma Riyanti. Kamu yang dikiranya nggak setia, tapi kamu malah balas mantan istri kamu sendiri di acara ulang tahunnya?" Budi tahu itu semua karena Adelia sempat cerita sebelum kedatangan Hardi di rumah. Ditambah cerita dari Tio yang sempat hadir di acara tersebut.
"Benar, Om. Saya hanya ingin memulihkan nama baik saya agar mereka tidak semena-mena." Hardi menjawab seadanya.
"Dari semua mantannya Adel, sepertinya hanya kamu yang paling bersinar. Mana manajer pula di Oradi." Budi memuji, lagi dan lagi didengar oleh Adelia yang entah keberapa kali beliau melakukan itu.
"Tapi ... kalian nggak terang-terangan pacaran kan di kantor?" Nabila menyela pembicaraan. Jangan lupakan Nabila yang juga kerja di Oradi, pasti si adik juga memantau interaksi antara sang kakak juga Hardi.
"Ngapain kami menebarkan keromantisan di kantor?" elak Adelia. "Di kantor beda lagi. Kami harus profesional. Sesekali kayak bos dan anak buah nggak apa-apa kali."
"Coba disantap bihun gorengnya, nak Hardi." Ibu Adelia meminta dengan lembut. Kemudian tangan Hardi terangkat mulai menyalin bihun goreng ke piring. Tak tanggung-tanggung, dia mengambil dengan jumlah banyak.
"Ayo, makan semuanya." Budi mempersilakan. "Tio, Nabila. Ayo makan."
Tak ada lagi pembicaraan setelah itu. Hanya sendok serta garpu yang menggesek piring hingga menciptakan bunyi yang khas.
"Bihun gorengnya enak, Tante." Hardi memuji di tengah-tengah makan. "Kecap asinnya terasa, tapi seimbang dengan penyedap yang diberikan. Saya malah suka."
Hesti berdecak kagum mendengar pujian tersebut. "Baguslah kalau nak Hardi suka."
"Ditambah topingnya seperti bakso-baksoan, sosis, kol dan sawi. Rasanya ingin nambah lagi deh."
"Mas Hardi." Adelia menyenggol pelan pria di sampingnya, mengingatkan agar jaga sikap. "Ini bukan restoran, ini acara makan malam keluargaku."
Budi tertawa kecil melihat pendangan lucu di depannya. "Kalian ini berantemnya sangat menghibur ayah."
Baru juga mereka berdua tatap-tatapan tajam, namun Budi kembali melontarkan pujiannya pada sang putri juga Hardi.
"Jika saja ... kalian ada rencana untuk menikah ..."
Perkataan Budi tertutupi oleh suara batuk-batuk Adelia saat menenggak air. Sepertinya Adelia gugup membahas soal itu.
"Kamu tak apa?" Hardi menanyakan kondisi Adelia sambil mengelus bahu wanita itu.
"Menikah?" Adelia spontan menanggapi ucapan ayahnya barusan. "Kami masih ingin saling mengenal dulu lebih jauh, ayah. Tenang, nggak akan kejadian seperti Rendra kok. Hardi juga nggak pernah dekat dengan wanita lain, setelah cerai dari mantan istrinya dulu."
"Oh, benarkah?" tanya Budi tidak menyangka. "Baguslah. Ayah hanya terlalu senang melihat putri ayah sendiri pacaran. Tapi ... jika bisa jangan lama-lama pacarannya. Kalau sudah siap, menikahlah. Oke?"
Budi menyudahi obrolan, beliau fokus menyantap bihun goreng serta ayam goreng kecap buatan sang istri.
Adelia melempar tatapannya pada Hardi. Pria rambut belah tengah itu juga fokus menyendok bihun goreng. Sesekali Hardi menyalin nasi goreng di sisi kanan piring yang kosong.
"Setelah makan malam, ayah mau ngobrol banyak tentang Hardi. Tapi bukan di sini, melainkan di kafe. Bagaimana?" Budi menawarkan, lalu bola matanya bergerak melirik Tio. "Jangan lupa, Tio antar ayah ke perusahaan dulu habis itu ke kafe. Hardi harus ikut."
Tio yang sedang melahap nasi gorengnya mengangguk mengiyakan.
"Mengingat kamu yang punya jabatan penting di kantornya Adel, saya jadi penasaran dengan jenjang karirmu." Budi spontan berwibawa. "Jadi saya mau ngobrol banyak tentangmu."
Lengkungan senyum di wajah Hardi mulai tercipta. "Baik, Om. Eh ... Pak."
Adelia juga ikut tersenyum melihat kecanggungan yang dialami Hardi. Untuk pertama kalinya, suasana keluarga justru damai dengan kehadiran Hardi. Meski sempat kecewa karena sang ayah kurang memercayainya, tapi setidaknya harapan Adelia terwujud.
Lama kelamaan, hubunganku dengan Mas Hardi bakal serius. Tinggal menunggu waktu aja sih. Batin Adelia sambil menyendokkan nasi goreng di piring.
***
Irma terus-terusan menatap layar laptopnya. Memastikan penglihatannya tidak salah, Irma mengucek matanya berulang kali.
Subscriber menurun hingga 50 ribu. Followers di Instagram juga menurun 500 ribu. Mungkinkah efek Hardi menjadi pahlawan kesiangan di acara ulang tahunnya?
Di meja kerjanya, Irma memukul meja kuat-kuat sampai mug di sampingnya ikut terangkat.
"Dasar sialan!!!!" teriak Irma. "Pengecut!"
"Ada kekuatan apa ya si Hardi itu?" Rafli membuka pintu kamar sambil memegang secangkir kopi. "Dia kok bisa memegang surat cerai kamu?"
"Ya karena dia yang mengajukan cerai!" seru Irma seolah bosan meladeni kebodohan Rafli.
"Bagaimana tuh pihak Yuuzu? Mereka mau menangguhkan kontrak kamu sebagai BA?" tanya Rafli khawatir, duduk di sisi ranjang.
"Bukan cuma Yuuzu, brand-brand lain mungkin bakal menangguhkan kontrakku. Gara-gara si pengecut itu, semua jadi kena imbasnya!" Irma menyugar rambutnya frustasi. Teriakan kencang lolos dari mulutnya sekali lagi.
"Beb, kamu tuh nggak boleh menyerah. Kamu jangan meratapi nasibmu seperti ini. Kita harus balas Hardi, bagaimanapun caranya."
Irma menoleh menatap tajam Rafli. "Bilangnya aja balas, tapi caranya yang salah. Dia sudah punya bukti perselingkuhan kita."
"Dengan membandingkan tanggal unggah video kolaborasi kita sama surat perceraiannya? Tidak sih. Itu bukan bukti kuat perselingkuhan kita." Rafli kurang memercayai apa yang dilihatnya saat acara semalam.
"Tapi kan, dia memperlihatkan adegan di mana diriku keceplosan memuji kamu. Bukti kuat juga namanya." Irma makin takut jika karirnya benar-benar turun. Memilih menelungkupkan wajahnya di kedua telapak tangan sembari menangis tersedu-sedu.
"Sayang. Kamu tuh lebih mementingkan karir kamu dibanding bukti itu." Rafli mulai menarik kursi kecil di dekat rak buku, kemudian duduk di samping Irma. "Asal kamu tahu. Kata-kata memuji itu kan konteksnya candaan. Apa itu bisa memperdaya mereka agar membenci kamu? Kalau saja Hardi punya bukti kalau kita berpelukan, atau ciuman di suatu tempat, ya hancur kita berdua. Tapi kan sebelum melakukan itu, kita memastikan bahwa tidak ada orang di sekitar kita."
Tentu Rafli sangat percaya, mana mungkin ada orang iseng merekam dirinya sedang bermesraan dengan Irma. Rafli juga melakukannya di tempat yang tidak dijangkau oleh siapapun.
"Saat kita berpelukan, kita nggak tahu bakal tertangkap basah suamimu. Tapi untungnya, tidak ada bukti, kan? Hardi cuma pergok kita?" tegas Rafli. "Yang penting sekarang adalah, kita harus balas Hardi supaya dia mendapat ganjaran yang sama."
"Tapi, gimana caranya?" tanya Irma bingung. "Kita tidak tahu titik kelemahannya di mana."
"Kudengar dia sudah punya pacar. Kamu nggak lihat kan dia gandengan sama seorang wanita yang wajahnya lebih segar dan cantik?"
Irma seakan menyadari sesuatu. Benar juga yang dikatakan Rafli. Saat menyapa Hardi di ruangan VIP, Hardi digandeng oleh seorang wanita yang memiliki kulit putih merona dan riasannya yang natural.
"Kalau aku nggak salah dengar, mereka kerja kantor bareng, bukan? Kok bisa?" Telunjuknya mulai memegang bagian dagu lancipnya. "Setahuku kalau mereka ketahuan pacaran, salah satu dari mereka harus pindah divisi atau harus beda kantor."
"Profesional kali, beb." Rafli menimpali. "Di kantor mungkin mereka nggak pacaran, tapi di luar, mereka terus lengket."
"Iya juga. Tapi ... dengan balas balik, apa semua kejayaanku akan kembali?" tanya Irma tidak yakin.
Rafli mulai memegang kedua bahu Irma lalu menyapukannya sedikit. "Tenang, sayang. Kalau kamu punya ide cemerlang buat balas Hardi, aku akan bantu menemukan 'bumbu' tambahan agar berhasil."
"Iya, tapi idenya apa dulu? Otakku buntu nih!" Irma menutup laptopnya keras, menepis kedua tangan Rafli dari tubuhnya. "Aku tuh nggak terima diginiin. Brand-brand yang kerja sama denganku nggak boleh pergi begitu saja."
"Ingat efeknya, beb." Rafli berdiri memberikan penjelasan. “Barusan aku dapat info dari beberapa brand yang handle kamu. Baru aja.”
"Apa infonya?" tanya Irma penasaran.
"Beruntung efek Hardi memperlihatkan surat cerai dan tanggal unggah video pertama kita, Yuuzu cuma minta kita ganti rugi penjualan yang batal. Tapi baiknya nggak sampai keseluruhan. Terus, brand kosmetik 'Haras' juga hanya take down foto-foto kamu di sosmed. Nggak sampai minta ganti rugi penjualan mereka. Lalu dari aku juga. Cuma pemutusan kerja sama brand makanan bakso aci doang.
"Kalau dipikir-pikir, pengaruhnya nggak terlalu parah, kan?"
Rafli melangkah mendekati Irma, berusaha menenangkan amarah wanita itu. "FoodBeary pun nggak bereaksi apa-apa. Paling penggemar meninggalkan kita, cuma setengah."
Tangan sawo matang milik Rafli pun menjelajahi sekitar wajah Irma, lalu ibu jarinya menyapu pipi bekas tangisan. "Jadi, ini waktu yang tepat untuk balas dendam pada Hardi."
"Cuma bilang balas dendam balas dendam, tapi caranya gimana dulu?" seloroh Irma. "Kita nggak bisa diam begitu saja. Penggemarku juga kejayaanku yang lebih penting."
"Iya, beb. Aku tahu. Makanya ... aku punya cara supaya pembalasan ini berhasil."
Rafli mulai mencondongkan kepalanya berbisik di telinga Irma. Sekilas hanya gemerisik yang terdengar, tentu hanya Irma yang tahu apa yang Rafli ucapkan.
Lengkungan di mulut Irma terbentuk begitu saja. "Jadi, cara itu efektif?" tanya Irma sekali lagi.
"Yah semoga saja sih. Harap tidak ada halangan. Kalau bisa, secepatnya kita akan lakukan." Rafli sangat yakin dengan rencananya.
Entah apakah cara yang diucapkan Rafli dalam bisikan barusan berhasil atau justru membuat Hardi makin cerdik, tapi Irma sungguh tidak memiliki pilihan. Harap saja dengan cara tersebut, Hardi tidak akan berkutik lagi. Irma hanya bisa berharap misi balas dendamnya sukses.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
