Selanjutnya
Ranting Patah Part 1 - 4 (TamaT)
Berkali kali kucoba menghubungi HP Febi, keponakanku yang kuliah di Semarang, tapi selalu dijawab si Veronica, sekretaris nasional dari Telkomsel. Akhirnya aku spekulasi untuk langsung saja ke tempat kost-nya, aku masih punya waktu 2 jam sebelum schedule pesawat ke Jakarta, rasanya kurang pantas kalau aku di Semarang tanpa menengok keponakanku yang ikut denganku.
Tiba tiba kudengar suara sandal yang diseret dan langkah mendekat, aku tersadar, dengan agak gugup aku menuju kamar mandi, bukannya menghentikan mereka. Kubasuh mukaku dengan air dingin, menenangkan diri seakan ingin terbangun dan mendapati bahwa itu adalah mimpi, tapi ini bukan mimpi tapi kenyataan. Cukup lama aku di kamar mandi menenangkan diri sambil memikirkan langkah selanjutnya, tapi pikiranku sungguh buntu, tidak seperti biasanya ide selalu lancar mengalir dari kepalaku, kali ini benar benar mampet. Ketika aku kembali melewati kamar itu menuju ruang tamu, kudengar tawa cekikikan dari dalam.
Nggak apa Mas, ntar kan bisa lagi dengan variasi yang lain sayup sayup kudengar suara manja keponakanku dari kamar, tapi tak kuhiraukan, aku sudah tak mampu lagi berpikir jernih dalam hal ini.
Kok lama Om, mulas ya Tanya Desi begitu melihatku dengan wajah lusuh, sambil menikmati lumpia entah yang keberapa.
Aku diam saja, duduk di sofa ruang tamu.
Kamu bohong bilang Febi nggak ada, ternyata dia di kamar dengan pacarnya kataku pelan datar tanpa ekspresi.
Dia menghentikan kunyahan lumpianya, diam tak menjawab, kupandangi wajahnya yang hitam manis, dia menunduk menghindari pandanganku, diletakkannya lumpia yang belum habis di meja tamu.
Jadi Om memergoki mereka? katanya pelan
Ya, dan Om bahkan melihat apa yang mereka perbuat di kamar itu
Lalu Om marahi mereka? kok nggak dengar ada ribut? Desi mulai penuh selidik
Entahlah, Om biarkan saja mereka melakukannya aku seperti seorang linglung yang dicecar pertanyaan sulit
Ha?, Om biarkan mereka menyelesaikannya? Om menontonnya? cecarnya
Aku makin diam, seperti seorang terdakwa yang terpojok, Desi pindah duduk di sebelahku.
Om menikmatinya ya bisiknya, tatapan matanya tajam menembus batinku.
Entahlah
Tapi Om suka melihatnya kan? desaknya pelan ditelingaku, kurasakan hembusan napasnya mengenai telingaku.
Aku mengangguk pelan tanpa jawab.
Om
Aku menoleh, wajah kami berhadapan, hanya beberapa millimeter hidung kami terpisah, kurasakan napasnya menerpa wajahku. Entah siapa yang mulai atau mungkin aku telah terpengaruh kejadian barusan, akhirnya kami berciuman. Kejantananku kembali menegang merasakan sentuhan bibir Desi, kulumat dengan penuh gairah dan dibalasnya tak kalah gairah pula.