NAKSIR SAHABAT KAKAK BAB 1-22 (FULLPART)

3
0
Terkunci
Deskripsi

BAB 1. 

Elyna baru saja turun dari taksi. Meski taksi itu sudah pergi menjauh. Namun, Elyna masih berdiri di samping koper berukuran sedang yang masih manis berdiri di sebelahnya. Ada dus berukuran sedang di atas koper itu. Titipan dari Mamanya. 

Ya, dia sedang berdiri di depan pagar rumah kakaknya, Evan. Dulu dia pernah tinggal di situ saat masih kuliah. Meski dia harus naik kereta menuju kampus, namun, orang tuanya lebih memintanya tinggal dengan kakaknya, dibanding kost setelah dia...

27,421 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
220
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya DIMADU DENGAN SAHABAT FULLPART BAB 1-32
4
0
BAB 1“Jadi, Nak Firman, kapan orang tua Nak Firman akan datang melamar Rani?” tanya Ayah Rani. Namanya Maharani. Usianya nyaris kepala tiga. Karir di kantornya bagus, hingga dia melupakan mencari pendamping. Di saat semua teman sekolah dan teman kuliah sudah membahas masalah menikah dan berkeluarga, Rani justru sibuk dengan karirnya. Lama-kelamaan, dia menarik diri dari aktivitas sosialnya. Entah bagaimana awalnya, Firman, penanggungjawab proyek yang bekerjasama dengan kantor Rani menjalin hubungan dekat dengannya. Yang tadinya hanya sebatas urusan kerja, lama-kelamaan hubungan keduanya menjadi nyaman dan saling bergantung. Tak jarang Firman bertandang ke rumah Rani dari sekedar mengantar pulang, hingga benar-benar menghabiskan waktu di saat luang. Firman yang tidak menyangka dengan pertanyaan Ayah Rani, tergagap. Dia tak menyangka jika harapan orang tua Rani sampai sejauh itu. Karena, Firman sendiri selama ini hanya ingin mengisi kekosongan selama mengerjakan proyek di Surabaya. Kantor Pusat tempat Firman bekerja berada di Jakarta. Begitu juga dengan keluarganya. Di Surabaya, dia hanya bertugas sementara hingga proyeknya selesai. Karena hanya sementara, tak mungkin istrinya harus keluar dari pekerjaan untuk mengikuti penugasannya. “Tidak enak sama tetangga. Rani anak gadis, sering pergi dengan laki-laki yang bukan siapa-siapanya,” sambung Ayah Rani sebelum Firman menjawab. “Maaf, Om. Saya belum bisa memastikan. Soalnya sampai tahun depan kantor saya di Jakarta sedang sibuk-sibuknya. Dan sepertinya tidak bisa saya tinggalkan.“ Firman mencoba mencari alasan. Ingin menjawab yang sesungguhnya, kalau sebenarnya dia adalah pria beristri, sepertinya bukan saat yang tepat. Bagaimana bisa seorang pria beristri dekat dengan wanita lain? Jika dia melakukannya, pasti Ayah Rani akan mengusirnya. Firman pikir, lebih baik untuk mengulur waktu, sementara dia punya jawaban yang tepat. “Kami paham dengan kesibukan Nak Firman. Begini saja, saya sebagai orang tua, takut kalau kenapa-kenapa. Apalagi Rani kan anak perempuan kami satu-satunya. Bagaimana kalau kalian menikah dulu saja. Nanti, kalau Nak Firman sudah longgar, kita bisa perkenalan orang tua, sekaligus mengurus untuk meresmikannya.” Ayah Rani memberi solusi.Pria paruh baya itu sudah sangat menginginkan Rani segera mengakhiri masa lajang. Usia hampir kepala tiga adalah usia yang rawan. Apalagi Rani punya karir yang bagus. Pria biasa saja, pasti akan minder mendekati Rani. Dulu, saat Rani belum jadi siapa-siapa, ayahnya sudah berusaha mengenalkan dengan beberapa anak sahabatnya. Namun, selalu saja ditolak. Kini, anak-anak sahabatnya satu persatu sudah berkeluarga. Hanya Firman satu-satunya lelaki yang terlihat serius dengan Rani. Selain tampang rupawan, Firman terlihat sebagai pria baik-baik. Pria rumahan yang bertanggungjawab. Juga tidak neko-neko. Jadi, apalagi yang harus diragukan? Apalagi usia Firman yang masih muda, seumuran dengan Rani terlihat mereka adalah pasangan yang cocok. Entah apa yang ada dalam otak Firman saat itu. Dia menerima saja tawaran dari Ayah Rani, tanpa memikirkan keluarganya di Jakarta. Pernikahan siri yang dilakukan hanya mengundang tetangga kanan kiri, memang tak membuat tetangga curiga. Justru tasyakuran yang dilakukan untuk memperjelas hubungan mereka dan menyampaikan alasan tentang kesibukan Firman. Ayah Rani berjanji akan segera meresmikan hubungan keduanya di Kantor Urusan Agama, begitu proyek Firman selesai. Tak terasa, pernikahan mereka sudah menginjak usia empat bulan. Proyek Firman di Surabaya juga sudah usai. Firman sudah kembali ke Jakarta, dengan alasan pekerjaan di kantor pusat, namun sesekali juga mengunjungi Rani. Apalagi Jakarta-Surabaya bukanlah jarak yang jauh. Citra, istri Firman yang di Jakarta, tak pernah sedikit pun menaruh curiga. Firman masih sama seperti sebelumnya. Sering ke luar kota, karena memang itulah pekerjaannya. Citra juga tidak pernah mempermasalahkan keuangan karena dia juga bekerja. Gaji Firman memang 100% Citra yang pegang. Tapi, semua bonus ada di tangan Firman. Di samping itu, Rani yang juga wanita karir tak pernah menuntut materi dari Firman. Sehingga empat bulan punya dapur dua, tak pernah sedikit pun terendus oleh kedua istrinya.“Sayang, minggu ini aku akan meninjau proyek di Surabaya selama seminggu,” kata Firman saat sarapan pagi bersama Citra dan anak-anaknya. Citra sudah biasa ditinggal dinas ke luar kota oleh Firman. Dia merasa tak pernah ada yang aneh. Apalagi kehidupan keluarganya baik-baik saja. Citra adalah cinta pertama Firman. Mereka kuliah satu kampus. Citra adik tingkat Firman dan salah satu mahasiswi popular. Namun, cintanya jatuh pada Firman. Mereka berdua nikah muda, saat baru lulus kuliah. Kala itu, Firman belum siapa-siapa. Citra rela hidup susah tinggal mengontrak di rumah petak. Saat Firman masih sibuk sana sini mencari pekerjaan, Citra sudah bekerja sebagai staf admin di salah satu perusahaan swasta. Seiring waktu, Firman diterima bekerja di tempatnya yang sekarang. Atas dukungan Citra, karirnya melesat. Citra sendiri tak pernah memikirkan karir. Dia sudah merasa cukup meski sudah senior hanya sebagai staf. Dia lebih mementingkan keluarga dan sering menolak untuk dipromosikan karena khawatir tidak sebebas sekarang jika tanggung jawab pekerjaan bertambah. Sebagai wanita rumahan, Citra pun lebih mementingkan keluarga. Tak heran jika karirnya hanya begitu-begitu saja. Kalah jauh dengan yuniornya. Selain itu, Citra juga menarik diri dari aktivitas media sosial. Dia sering merasa minder dengan teman-temannya. Dia yang dulu popular, sekarang kalah jauh dengan teman-temannya. “Iya, Sayang. Ohya. Aku juga minta ijin, sabtu ini ada reuni, boleh ya?” sahut Citra. Citra sebenarnya kurang menyukai acara kumpul-kumpul. Tapi, karena acara reuni kali ini hanya reuni kecil geng nya SMA, rasanya tak ingin untuk dilewatkan meskipun dia harus menempuh ratusan kilometer. Dia sudah kangen mengenang masa mudanya setelah sekian lama berjibaku dengan urusan rumah tangga. “Ya boleh, terserah Mama. Yang penting hati-hati,” jawab Firman. Pria itu mengecup kening istrinya, sebelum kemudian meninggalkan Citra untuk berangkat ke kantor. Anak-anak biasanya urusan Citra. ***ETW***“Jadi, kapan kita akan menikah secara resmi?” tanya Rani sambil bermanja di bahu Firman. Minggu ini Firman sedang dinas ke Surabaya selama seminggu. Setiap dinas ke Surabaya, tentu saja Firman akan menginap di rumah Rani. “Nanti, Sayang. Mas belum sempat mengurus surat-suratnya,” dalih Firman. Rani hanya dapat menghela nafas untuk bersabar. Bagaimanapun Rani sangat ingin segera meresmikan hubungan mereka dan mengundang teman-temannya untuk hadir di acara resepsi pernikahannya. Rani selalu merasa risih jika bertemu teman lamanya dan ditanya statusnya. Sebuah buku nikah, jauh lebih berharga dibandingkan hanya gambar foto berdua dengan Firman. “Nggak usah sedih. Pasti nanti segera aku urus,” bujuk Firman sambil menjawil dagu Rani. ***ETW***Sore itu Rani dan Firman sengaja jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Apalagi yang tidak dia lakukan selain menghabiskan waktu dengan Firman mumpung dia sedang di Surabaya. “Makan yuk, Mas. Aku lapar, “ ajak Rani sambil menggamit lengan Firman menuju Foodcourt di lantai lima pusat perbelanjaan terbesar di kota Surabaya. “Aku ke toilet dulu ya, Ran,” kata Firman setelah memesan menu. Sedang Rani memilih menunggu menu yang dipesan sambil memainkan ponselnya. “Hai! Rani kan? Maharani?” Seorang wanita dengan baju tunik dan jilbab pasmina menyapa Rani. Dia mendekat, memastikan yang disapa adalah benar sahabatnya saat SMA dahulu. Sekilas Rani mengingat-ingat. “Ya ampun Citra! Apa kabar?” Rani bangkit dari duduknya. Ia segera menghambur ke pelukan Citra. Mereka berdua bersahabat saat masih SMA. Rani hampir tak mengenal Citra. Ibu muda itu jauh berbeda dengan saat SMA dulu. Dulu dia terlihat modis dan berkelas. Sementara sekarang, jauh terlihat sederhana. Sejak lulus SMA keduanya terpisah. Mereka kuliah di kampus yang berbeda. Keadaan juga yang membuat keduanya tidak saling kontak. Rani yang menarik diri dari aktivitas sosial karena belum berkeluarga. Citra yang menarik diri karena kesibukan bekerja dan punya tiga orang anak di usia belum genap tiga puluh tahun. “Sedang apa di Surabaya? Sama Siapa?” Rani memindai sekitar, memastikan ada seseorang yang sedang bersama Citra. Bahkan, Citra belum sempat menjawab pertanyaan Rani sebelumnya. “Ya ampun, Ran. Kan tadi ada reunian khusus teman-teman sekelas kita, cewek-cewek aja. Ternyata temen-temen kelas kita banyak yang di Surabaya. Kamu tadi di cari-cari lho. Acara ini 'kan sudah diposting di grup. Sudah lama dan sering dibahas,” ujar Citra antusias.Sebenarnya, Citra tahu acara itu juga karena ada salah satu yang men-japri-nya. Tapi, ia sama sekali tidak ingat untuk menghubungi salah satu sahabatnya, Rani. Waktu itu malah kepikiran kalau Rani salah satu yang bakal datang, karena memang orang tua Rani orang Surabaya. Kebetulan mereka dahulu SMA di Solo, saat orang tua Rani yang asli Surabaya pindah tugas ke kota itu. Sementara, Citra sendiri asli Solo. Rani tertegun sejenak. Dia memang malas mengecek percakapan di grup alumni sekolah maupun kuliah. Bahkan sampai ribuan notifikasi, saking tidak pernah dibukanya kedua grup itu. “Trus yang lain mana?” tanya Rani penasaran. “Udah bubar semua. Cuma sebentar kok tadi. Makan-makan, udah,” Citra menjawab dengan antusias. “Kamu nginep dimana?” tanya Rani. Dia ingin menawarkan sahabatnya menginap di rumahnya. Bisa ngobrol-ngobrol sampai malam, seperti saat masih gadis dulu. “Aku nggak lama. Ini langsung balik Jakarta. Kebetulan papanya anak-anak juga lagi keluar kota,” jelas Citra. Ada rona kecewa di wajah Rani. “Padahal aku kangen. Dah lama banget nggak ketemu,” sungut Rani. Masih seperti dulu. “Kamu apa kabar?” tanya Citra seraya mengambil tempat duduk berhadapan dengan Rani. “Baik!” Pandangan Rani yang semula ke Citra, beralih ke belakang Citra. “Eh, aku kenalin ya sama suami aku,” kata Rani saat melihat Firman menghampirinya. Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat. Seketika mata Citra langsung membulat sempurna. Begitu juga Firman. Dia tak menyangka Citra ada di Surabaya. --Bab 2Citra yang duduknya berhadapan dengan Rani, segera menoleh ke belakang mengikuti arah Rani melihat. Seketika mata Citra langsung membulat sempurna.Begitu juga Firman. Pria itu tak menyangka Citra, istrinya, ada di Surabaya. “Citra!” Citra mengulurkan tangannya sambil tersenyum menyebutkan namanya, seolah tidak mengenal Firman. Firman ragu melihat uluran tangan itu. Namun, demi menutupi fakta yang sesungguhnya di depan Rani, terpaksa dia menerima uluran tangan singkat itu. “Mas, ini Citra sahabatku SMA.”Bak disambar petir mendengar ucapan Rani. Mata Firman seketika membulat, lalu segera mencoba mengendalikan diri. Firman segera menunduk, tak berani menatap Citra lebih lama. Gemuruh di dadanya tak karuan. Degup jantungnya menjadi tak menentu. Rasa bersalah dan malu pada istrinya, bercampur menjadi satu. Bersamaan dengan itu, Rani pindah posisi duduk, mendekat ke Citra. Kini, kedua istrinya duduk bersebelahan, membuat denyut jantung Firman semakin tak karuan. Sedang Citra berlaku sebaliknya. Meski hatinya hancur, tapi mata wanita itu tajam menatap pada Firman. Lelaki yang sudah bertahun didampinginya, dari bukan siapa-siapa. Dan kini, setelah sedikit saja menjadi orang, nyatanya telah berani bermain api di belakangnya. “Ohya, Rani. Aku naik pesawat jam enam. Jadi, mesti buru-buru ke bandara. Aku duluan, ya.” Citra berucap dengan suara bergetar, menahan luka yang menganga. “Citra, kami antar, ya. Ya, Mas?” Rani yang berbahagia, dapat memamerkan punya suami pada sahabatnya ini, tak segan memberi tawaran, sekaligus memohon pada suaminya agar bersedia mengantar sahabatnya ke bandara. Firman tergagap. Ia bingung antara menghiyakan atau menolak. Posisinya sungguh sulit. “Ngga usah, Rani. Aku sudah pesan taksi. Sampai ketemu lagi ya.” Citra setengah berlari kecil menuju lift setelah memberikan pelukan pada sahabatnya. Hatinya sudah hancur. Air matanya pun tak kuasa terbendung. Dia menolak karena sudah tak tahan lagi. Tak mungkin dia akan bersama Firman dan Rani lebih lama lagi. Apalagi, Rani tampak sangat bahagia. Di dalam taksi menuju bandara, pikiran Citra berkelana tak tentu arah. Salah apa dia dengan Firman hingga suaminya itu dengan tega mengkianatinya. Tragisnya, dengan sahabatnya sendiri. Apa yang kurang dari Citra? Apakah dia kurang baik dalam melayani Firman?Citra menggeleng. Selama ini, kehidupan mereka baik-baik saja. Setiap ada pertengkaran, hanya pertengkaran kecil yang tak berarti. Semua akan selesai dengan pelukan hangat dan saling memaafkan. Lalu mengapa Firman berpaling? Sampai di Jakarta, Citra segera membersihkan diri. Anak-anak sudah tertidur pulas. Besok adalah jadwal Firman kembali ke Jakarta. Citra harus sudah bisa berfikir jernih dan tidak mengedepankan emosi. Saat ini, yang dipikirkan Citra adalah nasib ke tiga buah hatinya.Aku tak boleh rapuh, desis Citra. Malam semakin larut, Citra pun tak dapat memicingkan mata. Bulir bening di matanya tak jua berhenti mengalir. Bayangan Firman dan Rani masih tampak jelas di pelupuk mata.Kenapa harus Rani? Kenapa? tanya Citra dalam hati. Mas Firman, apa yang kamu inginkan sesungguhnya, Mas? Apakah kamu selama ini tak bahagia denganku? Atau sebenarnya kamu tidak mencintaiku? desis Citra lagi. Citra menggeleng.Semuanya seperti hanya mimpi. Bukan nyata. Kegembiraannya bertemu teman lama, justru membawanya melihat kenyataan yang sama sekali di luar dugaan. ***ETW***Rani sudah tertidur pulas. Namun mata Firman tak juga terpejam. Pikirannya sibuk menyiapkan apa yang akan dikatakan esok kepada Citra. Alasan apa yang bisa dia sampaikan? Khilaf? Apa benar khilaf? Terlalu klise!Ada penyesalan dalam lubuk hati Firman. Tapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan, Firman pun belum sanggup mengatakan yang sesungguhnya kepada Rani. Terlebih orang tua Rani. Ini memang sebuah kesalahan. Tapi bagaimana ia dapat memperbaikinya? Apa yang harus Firman katakan nanti, kepada orangtua Citra, kepada orang tuanya tentang status barunya. Penyesalan pun tiada berarti. Akankah Citra menerima Rani? Ataukan Citra akan menerima maafnya? Berbagai kemungkinan memenuhi otak Firman. “Mas, bangun. Sudah pagi. Kamu harus berangkat dengan penerbangan pertama kan?” Rani menggoyang-goyang bahu Firman. Pria itu tertidur kala pagi hampir menyapa, sehingga membuatnya bangun kesiangan.Firman segera beranjak ke kamar mandi. Pikirannya masih dipenuhi hal-hal yang meresahkan. Tak pernah dia merasakan seresah ini. Dia sangat mengkawatirkan penerimaan Citra setiba di Jakarta nanti. “Kamu kenapa, Mas? Kok seperti ngga senang mau balik ke Jakarta? Mau besok aja balik Jakarta?” goda Rani.Rani tentu saja masih ingin bersama Firman lebih lama. Kalau tidak kerja, rasanya ingin ikut Firman ke Jakarta. “Mas, boleh ngga akhir pekan ini aku yang ke Jakarta? Aku juga ingin jalan-jalan dan nginep di rumahmu,” kata Rani saat mengantar Firman ke bandara. “Mas, kok diem aja.” Rani menyenggol lengan Firman.“Eh—Iya boleh. Nanti Mas atur,” jawab Firman tergagap. Sepertinya Firman harus menyiapkan apartemen jika sewaktu-waktu Rani memaksa datang ke Jakarta. Tidak mungkin diajak menginap di rumahnya atau di hotel. Tapi yang terpenting sekarang adalah, bagaimana dia harus berbicara dengan Citra, dan mengambil hati Citra kembali, pikirnya.Mobil yang membawa Firman dari Bandara Soekarno-Hatta sudah tiba di depan rumah Firman. Rumah di daerah penyangga Jakarta. Rumah yang dibangun dengan keringatnya bersama Citra. Tak ada arti apa-apa Firman tanpa Citra. “Papa pulang!” teriak Rio dan Romi sambil menghambur ke luar rumah. Anak-anak yang berumur 5 dan 3 tahun ini memang sedang aktif-aktifnya. Firman segera membentangkan tangannya dan memeluk kedua buah hatinya. “Adik Rara mana?” tanya Firman sambil menciumi kedua putranya. “Lagi sama Mama,” jawab Rio sambil berlarian masuk kembali ke rumah. Jantung Firman bergemuruh saat dia melangkah masuk ke dalam rumah. Dia sudah membayangkan bagaimana Citra akan marah kepadanya. Dipindainya dalam rumah. Tidak ada Citra di ruang tamu, ruang tengah ataupun ruang makan. Firman bergegas ke kamarnya sambil membawa kopernya. Kosong!Firman menghela nafasnya. Mempersiapkan mentalnya untuk bicara dengan Citra. Wanita yang sepanjang hidupnya setia padanya, tak pernah sedikitpun membuatnya marah dan kesal. Tapi kini, dia telah menyakitinya, di depan mata kepalanya. Firman beranjak ke kamar Rara. Dibukanya pintu kamar itu perlahan. Jantungnya bergemuruh saat dilihatnya ada Citra di sana sedang duduk dikursi membelakanginya. Menghadap ke jendela besar yang menghadap ke luar. Tentu saja, Citra pasti sudah tau kedatangannya. Dari jendela itu, Citra bisa melihat lalu lalang di depan rumahnya. Pelan-pelan Firman berjalan mendekati Citra. “Dik, “ panggil Firman.Citra bergeming. Air mata Citra belum juga berhenti menetes. Sejak pagi memang dia memutuskan mengurung diri di kamar Rara dan meminta Mbak Susi, pengasuh Rio dan Romi, untuk mengajak anak-anak bermain tanpa mengganggunya.Citra ingin sendiri. Hanya Rara yang ada dipelukannya. “Dik, Mas minta maaf,” bisik Firman sambil membungkukkan badannya, mendekap tubuh Citra dari belakang. Rara yang sedang menyusu, langsung bangun begitu mendengar suara Papanya. Tangan mungil Rara mengapai-gapai papanya minta digendong. Bayi belum berumur setahun itu serta-merta terkekeh begitu melihat papanya melepas rengkuhan pada mamanya dan menyambut gapaian tangannya. Citra tetap bergeming. Pandangannya masih kosong ke luar jendela.Firman dibuat salah tingkah melihat Citra yang hanya berdiam. Biasanya, istrinya itu selalu hangat menyambut kedatangannya, meski selama ini, diam-diam dia telah berkhianat. Hingga malam menjelang, Citra masih saja belum mengucapkan sepatah kata pun pada Firman. Lidahnya masih kelu. Citra hanya berbicara ke anak-anak, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi, tidak ke Firman. “Dik, kamu nggak tidur di kamar?” tanya Firman saat sudah larut malam, Citra masih di kamar Rara. Hati Firman sangat pedih. Jika ingin memilih, sepertinya lebih baik Citra memarahinya, memakinya, dibandingkan didiamkan seperti ini. Citra yang biasanya periang dan cerewet, tiba-tiba berubah menjadi dingin. Firman duduk di tepi ranjang milik Rara, dimana Citra terbaring membelakanginya sambil memeluk Rara. Diraihnya jemari tangan Citra.Wanita itu tak menepisnya, tapi juga tidak menyambutnya.Citra seperti sudah mati. “Dik, Mas minta maaf.” Diciumnya jemari tangan itu. Air mata Firman pun tak kuasa dibendung. Menetes hingga terjatuh membasahi selimut yang menutupi tubuh Citra.Namun Citra bergeming. Dia sudah mati rasa.***ETW***Saat pagi menjelang, Citra terbangun. Pandangannya memindai pada Firman yang masih tertidur dengan posisi duduk di lantai dan kelapa menyandar di kasur. Namun, Citra sama sekali tidak terenyuh. Sayatan sembil masih terasa dalam jantungnya. Pelan-pelan Citra beranjak dari kamar Rara. Seperti biasa, Citra segera menunaikan tugas rumah tangganya dari pagi buta, termasuk menyiapkan perlengkapan kerja Firman. Lalu, semua hal di rumah itu berjalan normal, seperti tak terjadi apa-apa. Papa masih capek, ya, Ma? Begitu Rio dan Romi bertanya. Mereka sudah paham kalau kadang ada saat Papanya tidak bisa diganggu. Firman pun terbangun saat matahari menyoroti dalam kamar, dan terdengar suara rengekan Rara.Pria itu memindai sekitar setelah mengerjap. Tak ada Citra di kamar. Hanya bayi mungil itu yang mulai tak nyaman karena hari telah siang. Segera Firman meraih Rara dalam gendongan dan membawanya turun untuk mencari Citra. “Mbok, Bu Citra mana?” tanya Firman ke Mbok Sumi, asisten rumah tangganya. “Sudah berangkat barusan, sama anak-anak,” jawab Mbok Sumi sambil meraih Rara untuk segera dimandikan. Firman menghela nafas.Sakit sekali rasanya didiamkan oleh Citra. Baru kali ini dalam hidupnya dia tidak dianggap. Ponsel Firman bergetar saat dia hendak masuk ke dalam mobil. [Mas, Sabtu ini aku jadi ke Jakarta, ya. Aku sudah pesan tiket. Antar aku ketemu Citra, ya!]. --BAB 3[Weekend ini aku ke Jakarta, lho. Kita ketemuan, ya.] Sebuah pesan masuk ke ponsel Citra.Citra hanya mengernyit. Tidak ada namanya. Tepatnya, Citra belum menyimpan nomor kontak itu.Citra memilih memasukkan kembali ponsel itu ke dalam laci meja kerjanya. Tak ada niat membalasnya segera. Pekerjaan kantornya yang menumpuk, membuatnya melupakan segala masalahnya. Dan Citra sangat bersyukur dengan hal ini. Karena membuatnya tidak tenggelam dalam emosi. Sayangnya, saat dia memasuki rumah, emosinya kembali terkuras. Melihat anak-anak yang ceria, membuat dia teringat masa-masa bahagianya bersama Firman, yang kini hancur dalam sekejap.Menjelang tidur, Citra membuka kembali ponselnya yang sejak siang tadi hanya berada di tas kerjanya. Dilihatnya berderet notifikasi pesan singkat disana. [Hei, nggak dibales, sih. Ini Rani.] Pesan itu masuk beberapa saat setelah pesan yang pertama. [Aku boleh main ke rumahmu, kan? Aku ingin lihat keponakanku yang lucu-lucu.] Pesan berikutnya terbaca oleh Citra. [Nanti kita jalan-jalan ya. Kamu ajak keluargamu, aku ajak suamiku.]Citra mengenggam ponselnya erat. Hatinya semakin hancur. Rani, Maafkan aku. Citra segera meletakkan ponselnya di nakas setelah dinon-aktifkannya ponsel itu. Seolah tak ingin membaca pesan dari Rani. ***Sudah hampir seminggu sejak kepulangan Firman dari Surabaya, Citra masih mendiamkannya. Citra seperti marah namun tak dapat mengungkapkan. Dia hanya bisa diam membisu. Firman pun tak jua berani buka suara untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi. Lidahnya menjadi kelu melihat kebisuan Citra. Bahkan, menyentuh Citra pun Firman menjadi segan. Firman tahu, dia sudah melakukan kesalahan besar. Tapi tak tahu bagaimana caranya memperbaiki. Tapi itu semua hanya terjadi antara Firman dan Citra.Citra masih seperti biasa pergi bekerja dan mengurus kebutuhan rumah tangga. Beruntung mereka punya dua asisten yang mengurus rumah dan anak-anak. Firman hampir lupa kalau hari ini Rani akan ke Jakarta. Untungnya, tidak sulit mencari apartement full furnished di Jakarta. [Mas, jangan lupa jemput, ya. Aku sudah mau boarding] Sebuah pesan dari Rani masuk ke ponsel Firman. Firman yang dari tadi mematung melihat Citra yang masih terdiam di kamar Rara, segera beranjak. “Mas …. ” Panggilan lirih Citra menghentikan langkah Firman.Langkah Firman pergi di hari libur seolah memberi isyarat bagi Citra kalau Firman tak benar-benar minta maaf padanya. “Ceraikan aku….” lanjut Citra. Airmatanya masih mengurai, menganak sungai membasahi wajah cantiknya. Kalimat singkat yang meluncur dari mulut Citra sontak membuat hati Firman hancur berkeping-keping. Itu adalah kata-kata yang paling ditakuti Firman. Bodohnya dia, kenapa tidak dari dulu dia menyadari bahwa kesalahannya akan membuat kata itu meluncur dari mulut Citra. Firman berbalik dan berjalan mendekati Citra yang duduk menyendiri di depan jendela kamar Rara. Dia melipat kakinya di depan Citra, agar bisa melihat wajah Citra dari dekat. Diraihnya jemari tangan Citra dan ditautkannya dengan jemarinya erat. “Mas, minta maaf. Jangan pernah katakan itu. Jangan hukum mas seperti ini.” Air mata Firman luruh. Tapi Citra bergeming. Menatap Firman saja rasanya enggan. Citra lebih memilih menatap luar jendela. Melihat kendaraan yang melintas di depan rumahnya. Hingga bunyi ponsel membuat Citra menoleh, karena Firman tak jua mengangkatnya. “Angkat, Mas,” kata Citra. Namun, Firman justru membuat nada diam di ponselnya. Tak ada keinginan mengangkat, meski tahu siapa yang memanggil. Citra menjadi geram. “Aku memaafkanmu, jadi tolong tinggalkan aku,” jawab Citra tanpa sedikitpun menatap Firman. “Pergilah, jangan buat sahabatku luka,” lanjut Citra. Kata-kata Citra sungguh menyakitkan. Citra hampir tak pernah berkata sekaku ini. Biasanya dia akan berkata yang lembut dan hangat.“Dik…” Firman tergugu di hadapan Citra. Dibenamkannya kepalanya ke pangkuan Citra, berharap Citra akan melunak. Firman merasa sudah tidak ada harganya dihadapan Citra. Panggilan ponsel kembali terdengar. “Pergilah, Mas. Jangan membuat sahabatku menunggu.” Citra berdiri dari kursi tempat dia duduk. Pangkuannya sudah basah dengan air mata Firman. Tak ada gunanya menangis sekarang. Semua sudah terjadi. Bagi Citra, yang terpenting adalah kejelasan menghadapi masa depan. ***“Maaf, Sayang. Mas terlambat. Macet,” dalih Firman saat menjemput Rani di bandara. Firman melajukan mobilnya menuju apartemen yang baru kemaren dipesannya. Beruntung dia sempat melihatnya terlebih dahulu, dan meninggalkan beberapa setel baju cukup buat menghabiskan akhir pekan bersama Rani. “Kamu kok bengong, Mas dari tadi. Apa kamu nggak suka aku ke Jakarta?” tanya Rani setelah beberapa saat merasakan kebisuan.Firman memang hanya diam sambil mengemudikan mobilnya. Beda jauh dengan saat di Surabaya, dia selalu banyak bicara, meskipun biasanya hanya menanggapi cerita Rani. Rani memang hampir tak pernah mencecar menanyakan hal pribadi ke Firman. Bagi Rani, mungkin Firman tipe laki-laki yang tidak suka ditanya hal pribadi. Toh, selama ini Firman punya alasan mengapa dia belum bisa bertemu dengan orang tua Firman. “Maaf, Rani, Mas banyak kerjaan. Sepertinya Mas tak bisa menemanimu jalan-jalan akhir pekan ini karena lembur,” dalih Firman.Sebenarnya, dia tak ingin meninggalkan Citra dalam keadaan seperti ini. Dia ingin memperbaiki hubungannya dengan Citra terlebih dahulu. “Ngga papa, Mas. Nanti aku janjian ketemu Citra. Siapa tau dia bersedia menemaniku jalan-jalan bersama keluarganya,” lanjut Rani. Degup jantung Firman berpacu lebih kencang saat mendengar kata-kata Rani. Bagaimana mungkin Citra akan mengajak keluarganya jalan-jalan dengan Rani. Bagaimana kalau Rani sampai tau, dia-lah suami Citra. “Atau, aku bisa nginap di rumah Citra aja. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. dulu kami sering menghabiskan waktu bersama, bercerita sampai pagi kalau dia sedang menginap di rumahku.” Rani bercerita dengan antusias. Seperti tak ada beban di hatinya.Sebaliknya, cerita Rani, membuat Firman merasa semangkin nelangsa, menyadari kebodohannya. Mengapa baru sekarang dia tahu, kalau Rani adalah sahabat Citra. Firman merasa, tak hanya menghancurkan keluarganya, tapi juga menghancurkan persahabatan istrinya. Di pemberhentian lampu merah, Firman sejenak mendongakkan kepalanya. Mencegah air mata menetes dari sudut matanya. Menarik nafasnya dalam-dalam untuk mengurangi beban dalam dadanya. “Rani, maaf Mas harus kembali ke kantor,” kata Firman saat sudah mengantar Rani sampai apartemennya. “Mas sudah pesankan makan siang, sebentar lagi datang,” sambung Firman sambil mengecup puncak kepala Rani. Maafkan aku Rani, harus membohongimu. Bisik Firman dalam hati sambil meninggalkan aparmen milik Rani. Beruntung Rani sangat memahami kesibukan Firman dan tak banyak bertanya. Rani segera mengambil ponselnya. Dengan antusias ditekannya nomor Citra.“Hai, Citra. Kok pesanku tidak dibalas? Dari tadi pagi juga aku hubungi, non-aktif. Apa kita bisa ketemu sekarang?” tanya Rani dari ujung telpon. “Maaf, Rani, aku kemaren banyak kerjaan kantor. Selamat datang di Jakarta. Jadi kita ketemu?” sahut Citra berusaha senormal mungkin. Diredamnya gejolak hatinya dalam-dalam. Ada luka di sana. Tapi, Citra tak ingin melukai sahabatnya. Toh, dia bisa sedikit bersandiwara. Citra segera bersiap-siap setelah menyerahkan pekerjaan rumah dan urusan anak-anak ke Mbok Sumi dan Mbak Susi, kedua asisten rumah tangganya. “Mau kemana, Dik?” tanya Firman yang sudah berdiri di ambang pintu.Citra hanya melihatnya melalui cermin di depannya, lalu sibuk kembali memulas wajahnya, untuk menyembunyikan rona sedih di wajah cantiknya.“Mau ketemu Rani,” jawab Citra pendek. Tapi, jawaban itu sungguh menyakitkan bagi Firman. “Maaf, Mas. Aku pergi dulu. Rani sudah menunggu,” kata Citra sambil keluar dari kamarnya. Citra pergi menjauh meninggalkan Firman yang masih berdiri terpaku. --BAB 4[Share loc, ya. Aku jemput!] Citra dengan semangat mengirimkan pesan ke Rani setelah duduk di belakang kemudi. Dia sudah terbiasa menyetir sendiri. Tak hanya mengantar anak-anak sekolah, namun juga belanja dan bekerja, selama ini sudah terbiasa dengan mobil sendiri.Hatinya sedikit lega karena Firman ada di rumah. Artinya tidak perlu energi untuk banyak bersandiwara di depan Rani. Meskipun tetap saja Citra mesti bersandiwara seolah-olah Firman suami Rani adalah Firman yang berbeda dengan suaminya. Citra melajukan mobilnya menuju apartemen Rani setelah memperoleh lokasi. Dia ingin mengorek banyak hal tentang hubungan Rani dan Firman. Seberapa lama Firman, yang dia pikir setia, telah mengkhianatinya. “Mana suamimu?” tanya Citra begitu masuk ke apartemen milik Rani penuh selidik. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Keningnya berkerut. Apartemen ini masih kosong!Dalam hati Citra berfikir keras. Jadi, Firman benar-benar tak punya tempat tinggal lain, selain rumah yang mereka tempati. Seculas apa permainan Firman sebenarnya? tanya Citra dalam hati. “Suamiku lembur, dia sibuk sekali,” jawab Rani. Ah, Rani kasihan sekali dirimu. Andai kau tahu, dia telah berbohong padamu. Batin Citra. “Mau langsung jalan sekarang?” pertanyaan Rani membuyarkan lamunan Citra. “Aku haus, boleh aku minta minum, Rani,” tanya Citra.Sebenarnya Citra masih ingin sejenak di tempat ini. Dia ingin tahu bagaimana Firman bersandiwara. Rasanya tak percaya Firman pernah tinggal di apartemen ini. Sedangkan sejak menikah saja semua kebutuhannya, Citra yang urus.Bergegas Rani membuka kulkas yang ada di dapur. Keningnya berkerut. Kenapa kulkas ini kosong? Tak ada satupun makanan tertinggal di kulkas. Rani lalu membuka lemari dapur, berharap menemukan gula dan kopi di sana. Kosong!Tiba-tiba perasaan Rani tidak enak. Mengapa masih bersih semua? Perabot dapur pun seperti tak pernah tersentuh. “Sepertinya suamiku sibuk sekali, Cit. Dia bahkan tak sempat belanja,” kata Rani kemudian. “Benar juga. Pasti dia tiap saat tinggal pesan antar. Laki-laki kadang mau simple nya aja,” timpal Citra berusaha menghibur Rani. Rani mengangguk. Dia segera menepiskan kecurigaannya. Nanti saja dia akan bertanya pada Firman setelah pulang dari jalan-jalan. “Yuk, jalan aja kalau begitu,” ajak Citra. Mereka berdua menuruni lantai apartemen dan menuju ke parkiran. “Jadi kamu baru pertama ini mengunjungi suamimu?” tanya Citra setelah mereka duduk di sebuah Cafe. “Iya. Suamiku sibuk sekali. Dia sering bilang kalau Sabtu Minggu pun mesti harus kerja. Inipun aku sedikit memaksa karena aku ingin ketemu denganmu,” jawab Rani antusias. Ya, Rani sangat antusias. Baru kali ini dia bertemu teman lama dengan status barunya. Biasanya Rani selalu menghindar jika bertemu teman lama yang rata-rata sudah menikah. Meskipun Rani sukses di karir, tetap saja tidak nyaman dengan statusnya yang masih single. Citra mendengarkan cerita Rani dengan seksama. Sepertinya Rani sangat bahagia dengan pernikahannya. Rasanya tak tega bagi Citra untuk menyakiti Rani. “Kapan kamu kenal suamimu?” tanya Citra lagi. “Lima bulan lalu. Dia ada proyek di Surabaya. Kebetulan aku yang handle proyek kerjasama dengan perusahaan Mas Firman.” Rani melanjutkan ceritanya. Ada rasa nyeri di relung hati Citra saat mendengar Rani memanggil suaminya dengan sebutan Mas. Meskipun harusnya biasa saja. Itu panggilan lumrah bagi orang Jawa. Sambil mendengarkan cerita Rani, pikiran Citra mengembara.Lima bulan lalu, memang Firman cukup lama di Surabaya. Bahkan, sering mengajaknya berakhir pekan ke sana dengan anak-anak, tapi selalu ditolaknya. Pekerjaan kantor Citra yang sibuk, membuatnya enggan keluar kota di akhir pekan. Dia lebih memilih menghabiskan waktu di rumah dengan anak-anak. Apakah karena itu Firman berpaling?Citra menghela nafasnya. 'Maafkan aku, Mas,' batinnya.Perih rasa hatinya menyadari khilafnya yang mengabaikan ajakan suaminya menghabiskan akhir pekan di Surabaya kala itu. “Ayahku tidak suka aku dekat dengan Mas Firman tanpa ikatan,” lanjut Rani. “Beliau selalu bertanya ke Mas Firman kapan akan melamarku setiap Mas Firman mengantarku pulang.” Sorot mata keceriaan terpancar dari wajah Rani yang cantik, menambah luka di hati Citra.“Hingga sekarang, sebenarnya kami masih nikah siri, tapi aku bahagia. Nanti kalau Mas Firman sudah tidak sibuk, dia akan mengenalkanku ke orangtuanya, sekalian kita akan menikah secara resmi,” lanjut Rani. Tiba-tiba kepala Citra terasa pening. Memikirkan kebahagiaan yang Rani impikan. Sudah hilangkan cinta Firman kepadanya? Sebegitu dalamkah cinta Firman kepada Rani? “Hei, kok malah ngelamun. Kamu kenapa? Kok nangis?” tanya Rani saat melihat mata Citra sudah berkaca-kaca. “Rani, aku bahagia. Akhirnya kamu mendapatkan pasangan yang kamu impikan,” kata Citra lirih sambil mengusap air matanya. Meskipun kata-kata itu sebenarnya hanya untuk menutupi hatinya yang remuk. “Makasih, Citra. Nanti, kamu harus datang ya kalau aku menikah!” ancam Rani dengan wajah berbinar. “Pasti, Rani!” jawab Citra mantap. 'Biarlah luka ini akan sembuh dengan berjalannya waktu. Tak ada gunanya mempertahankan Firman, jika ternyata dia tidak bahagia bersamaku. Biarlah Rani dan Firman berbahagia dan aku akan mencari kebahagiaanku sendiri,' gumam Citra dalam hati. ***ETW***Citra mengantar Rani sampai lobi apartemennya, lalu ia langsung pulang. Memasuki gerbang rumahnya, dilihatnya Firman sedang main dengan ketiga buah hatinya. Rara tampak nyaman di gendongan papanya sambil mengejar kedua kakaknya yang berlarian kesana kemari. Canda tawa menggema membuat rumah menjadi ramai. Hati Citra semakin perih melihatnya. Akankah momen seperti ini akan tetap ada kedepannya. Apakah ini semua akan segera berakhir? Istana yang dia bangun dengan cinta, akankah segera terkoyak? Maafkan mama, anak-anakku. Firman segera beranjak mendekati Citra saat melihat Citra berdiri mematung melihat anak-anaknya.Namun, Citra segera menjauh saat menyadari keberadaan Firman.Firman hanya bisa mendesah. Semakin sulit dan jauh rasanya Citra dalam jangkauannya. “Rara, sama Mba Susi dulu,” kata Firman sambil menyerahkan Rara dari gendongannya. Firman bergegas menghampiri Citra yang langsung masuk ke kamarnya. Citra selalu langsung ganti baju dan cuci tangan seusai bepergian sebelum menemui anak-anaknya. “Mas, sebaiknya kamu bersama Rani malam ini, kasihan dia,” kata Citra tanpa menatap saat Firman masuk ke kamarnya. Sejak peristiwa itu, Citra memang enggan bertatapan langsung dengan Firman. Itu sangat menyakitkan bagi Firman. “Aku akan tetap di sini, sampai kamu mau memaafkanku,” jawab Firman lirih. “Aku sudah memaafkanmu, Mas. Tolong, jangan sakiti Rani. Cukup aku saja,” sahut Citra sambil meninggalkan Firman. Citra bergegas keluar kamar untuk menemui anak-anaknya. Baginya, sibuk dengan anak-anak jauh lebih baik dibanding harus melayani permintaan Firman yang sudah sangat terlambat. ***ETW***Rani membuka lemari baju yang ada di kamar apartemen itu. Hanya beberapa setel baju Firman di sana. Kemana baju-bajunya yang lain? Baju-baju yang sering dipakai saat di Surabaya. Dipindainya seluruh ruangan di apartemen itu. Tak ada sepatu atau sendal milik Firman tertinggal di sana? Tak ada pernak-pernik milik Firman seperti yang ditinggal di rumahnya. Parfum, deodoran, pisau cukur. Rani segera menghilangkan dugaan kotornya. Di ambilnya ponsel untuk bertanya langsung ke Firman. [Sayang, maaf, Mas lembur malam ini di kantor. Besok aku baru ke sana sekalian mengantarkanmu ke bandara] Rani menghela nafas. Rani memang paham kesibukan Firman. Di Surabaya pun sering lembur di kantor sampai malam. Firman juga punya kebiasaan mematikan ponsel saat bekerja. Jadi percuma saja jika dia menghubungi saat ini. Rani memutuskan untuk bersih-bersih sebelum beranjak tidur. Tapi, lagi-lagi dia heran. Mengapa kamar mandi ini tidak ada peralatan mandi? Bahkan pasta gigi dan sikat gigi sekalipun tidak ada. Sabun untuk toilet dan tisu pun tak ada. Pikiran Rani tiba-tiba menerawang penuh dugaan liar. Apakah apartemen ini baru disewa? Lalu, dimana Mas Firman tinggal sebenarnya? Gumamnya dalam hati.--BAB 5Setelah menidurkan anak-anak, Citra masih melihat Firman duduk di depan TV. Setiap melihat Firman, denyut jantungnya seperti terpompa lebih cepat. Ada rasa gusar dan marah. Tapi semuanya tak bisa diungkapkan. Mungkin, terlalu sakit luka yang tertoreh. Tak pernah sedikitpun terbersit Firman akan mengkianatinya. Laki-laki yang dulu sangat di cintainya. Seorang ayah yang sangat sayang kepada anak-anaknya. Sepertinya, semua itu hanya akan tinggal kenangan. “Mas, pergi temui Rani. Kamu sudah menghancurkan hidupku. Janganlah kamu hancurkan hidup Rani,” kata Citra lirih penuh penekanan. Hati Citra berkata, sepertinya lebih baik dia tak melihat Firman di rumah ini. Itu jauh lebih baik bagi emosinya. Dibandingkan melihatnya hanya akan menambah luka hatinya. Bayangan Firman bersama Rani pun semakin membuatnya terasa nyeri. Firman menatap ke arah Citra. Tapi, Citra segera berpaling dan bergegas pergi menjauhinya. “Dik, Mas ngga akan pergi sebelum kamu maafkan.” Firman sudah berdiri di belakang Citra.Firman berusaha memberanikan diri memeluk Citra. Ada perasaan rindu yang menggebu. Tetapi, sering kalah dengan rasa bersalahnya. Citra segera menepiskan tangan Firman yang berusaha meraihnya. “Sudah kukatakan, aku memaafkanmu. Temui Rani. Atau kamu tak akan menemuiku lagi selamanya,” ancam Citra. Citra menatap tajam Firman sejenak. Lalu membuang pandangannya ke arah lain. Firman terkesiap. Citra sama sekali tak pernah bicara keras kepadanya. Apalagi menatapnya dengan tatapan mengintimidasi seperti itu. Meskipun Citra adalah pribadi yang mandiri, tapi dia selalu lembut dan manja. Firman masih diam mematung. “Baiklah. Kalau kamu ngga mau menemui Rani sekarang. Biarlah aku suruh dia datang kemari dan tidur danganmu di rumah ini,” teriak Citra. Citra tak dapat membendung air matanya. Dengan kasar diraihnya ponselnya di nakas dan memencet nomor Rani. Sigap Firman merebut ponsel itu sebelum nada sambung terdengar. Lalu melemparnya ke kasur. “Baik, aku pergi!” BrakkkkFirman meninggalkan kamar dengan membanting kasar pintu itu. Itu adalah kekasaran pertama yang pernah dia lakukan. Firman tidak menuju ke apartemen di mana Rani menginap. Dia memilih menenangkan diri di hotel. Pikirannya kacau. Kalut. Sejak Citra mengetahui hubungannya dengan Rani, Firman sudah tak memaafkan dirinya sendiri. Dia tak ingin menyentuh Rani hingga Citra mau kembali padanya lagi. Rasa bersalah kepada Citra yang begitu besar membuatnya menjadi tak menginginkan Rani. Tapi, bagaimana bisa? Ini pasti akan sangat melukai Rani. Gadis yang sangat memimpikan pernikahan yang sempurna. Akankah impian itu akan hancur karena ulah Firman.Firman merutuki dirinya yang bodoh. Bodoh karena terbuai nafsu sesaat sehingga tak pernah berfikir jauh. Tak pernah terfikir maghligai rumah tangga yang enam tahun dibangun hancur berantakan karena ulahnya. Tak pernah berfikir orang tuanya, orang tua Citra, orang tua Rani, bahkan anak-anaknya yang mungkin akan terluka karena kebodohannya. Firman termenung dalam diam. Siapa yang bisa membantu menjernihkan otaknya. Tidak mungkin dia menceritakan ini kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya sangat menyayangi Citra. Apalagi orang tua Citra, sangat mempercayainya akan dapat membahagiakan Citra. Namun kini? Semua telah hancur. ***ETW***Pagi-pagi, Firman bergegas kembali ke rumahnya. Istana yang dia bangun bersama Citra. Kini, dia bisa merasakan kerinduan yang nyata. Kerinduan kepada anak-anaknya. Padahal baru beberapa jam dia tinggalkan. “Ayah lembur?” tanya Rio saat menyambutnya di pintu rumah.Firman langsung menghaburkan pelukannya ke anak sulungnya. Sulung yang baru berusia 5 tahun pun sudah mengerti lembur. Pasti, Citra yang sangat pintarlah yang mengajarkan anaknya untuk memahami papanya. Hanya papa yang bodoh yang menyalah gunakan pemahaman anaknya. Tiba-tiba hati Firman merasa perih kembali. “Mama mana?” pertanyaan itu refleks muncul dari mulut Firman. Itu adalah pertanyaan pertama yang selalu dia ucapkan Ketika masuk rumah. Kini terasa menyakitkan. Menyakitkan karena sambutan Citra sudah tak sehangat dulu. Dulu, setiap mendengar suara mobil Firman, Citra akan tergopoh-gopoh mendekat dengan Rara di gendongannya. Menghambur pelukan. Tapi sejak pengkianatan itu terkuak, tak ada pelukan dari Citra. Kadang Citra bersandiwara memeluknya jika anak-anak sudah bertanya, tapi dingin dan sekedarnya saja. Semua terasa hambar. Firman sangat merindukan semuanya. “Mama lagi main sama Dik Romi dan Dik Rara,” jawab Rio sambil berlari ke dalam. Bergabung dengan kedua adiknya yang sedang bermain lego di ruang tivi. Firman segera duduk di antara anak-anaknya. Romi dan Rara yang mengetahui kehadiran papanya langsung mendekat. “Cuci tangan dulu, Mas,” seru Citra terdengar ketus. Dulu kata-kata itu meskipun ketus tapi terdengar lembut. Firman memang selalu ceroboh. Datang dari luar tidak cuci tangan dulu, tapi langsung memegang anak-anak karena sangat merindukannya. Ah, Firman mendesah. Semoga kebahagiaan bersama anak-anak dan Citra tak kan pernah berakhir. Aku akan mempertahankannya, sampai kapanpun.“Kalau kamu capek, biar aku yang mengantarkan Rani ke bandara. Istirahatlah.”Kata-kata Citra terdengar menyindirnya. Tapi, Firman jujur sangat senang dengan tawaran Citra. Dia akan lebih memilih bersama anak-anak dirumah hari ini. Firman tak ingin membiarkan hari ini segera berlalu. ***ETW***“Makasih, ya, kamu mau repot nganter aku. Sebenarnya aku bisa saja pesan taksi,” kata Rani begitu Citra sampai dalam apartmennya. “Suamimu lembur lagi?” tanya Citra menyelidik. Dia ingin tahu, sebohong apa Firman ke Rani.“Heem. Dia semalam katanya lembur di kantor. Aku tak biasa menganggunya saat dia bekerja. Ngga papa. Yang penting aku bisa ketemu sama kamu,” jawab Rani. Ah, Rani. Kamu masih seperti yang dulu. Polos dan selalu berprasangka baik. Apakah karena kesamaan itu, kita dulu menjadi dekat. Dan kini, terperangkap cinta lelaki yang sama. Lelaki yang memanfaatkan kepolosan dan prasangka kita. Betapa naifnya kita, Ran. Batin Citra. “Cit, apa kamu bisa tolong aku?” tanya Rani sesaat sebelum mereka berpisah di area bandara. Rani menatap Citra dalam-dalam. “Tentang?” “Sebenarnya, aku tidak mau melibatkanmu. Tapi aku tak tahu siapa yang bisa aku mintai tolong.” Rani melanjutkan. Pikirannya masih menerawang tentang benda-benda di kamarnya yang terlihat aneh. Seperti apartemen baru ditinggali. “Aku penasaran, Mas Firman sepertinya tidak tinggal di situ. Lalu, di mana dia tinggal sebenarnya. Kenapa dia tidak mengajakku ke tempat tinggalnya? Bukankah aku istrinya?” lanjut Rani penuh curiga. “Hilangkan pikiran burukmu,” hibur Citra. “Sekarang katakan padaku, apa yang bisa kubantu,” tanya Citra kemudian. “Aku kasih nomer Mas Firman. Tolong kamu cari tahu siapa dia sebenarnya. Demi aku, Citra. Berjanjilah kamu bersedia.” Rani menatap Citra penuh harap. “Baik. Aku janji!” jawab Citra sambil memeluk erat sahabatnya.Ada luka di sana. Perih rasanya. Tapi demi kebahagiaan sahabatnya, dia harus berfikir keras bagaimana caranya memberitaukan ke Rani tanpa membuatnya sakit. Sesakit yang dirasakannya. --BAB 6Pagi itu, Citra menjadi kurang fokus pada pekerjaannya. Pikirannya menggembara, mencari strategi bagaimana dia harus mengatakan siapa Firman sesungguhnya pada Rani. Citra menghela nafas. “Sepertinya aku harus segera mengambil keputusan, sebelum Rani tahu semuanya,” batin Citra. Ibu muda itu tak ingin sahabatnya merasakan sakit hati, seperti yang dirasakannya. Wanita manapun, pasti tak mau hatinya diduakan. Baik dia sebagai istri pertama, maupun istri kedua. Mendadak, nada panggilan masuk ke ponsel Citra. Meski tak biasa menerima panggilan saat jam kerja, pagi itu melihat nama Rani tertera di layar, Citra segera bangkit. Dia keluar ruangan sejenak, mencari tempat yang agak sepi untuk menerima panggilan telepon. “Citra, akhirnya benar katamu. Sepertinya kamu nggak perlu repot mencari tahu tentang Mas Firman. Lusa, aku pindah tugas ke Jakarta. Aku dapat mutasi ke kantor pusat di Jakarta.” Suara Rani dari seberang telepon terdengar ceria, namun, sontak membuat Citra ternganga. Pikiran Citra menjadi kalut. Bagaimana kalau benar Rani akan mutasi ke Jakarta? Pasti cepat atau lambat semua bangkai ini akan tercium olehnya. Kenapa secepat itu? Kenapa harus lusa? Bisa jadi, Rani sudah lama mengajukan kepindahan, dan dia punya alasan kuat karena suaminya ada di Jakarta. Meski belum resmi, bisa jadi alasan itu dapat diterima secara personal oleh perusahaannya. Apalagi perusahaan tempat Rani bekerja pasti mengenal Firman, karena mereka dahulunya bekerja sama. “Halo, Halo … Citra? Masih di sana?” tanya Rani karena tidak mendengar respon dari Citra.Suara Rani membuat Citra tersentak dari lamunan. “Iya, Ran. Aku turut seneng kalian bisa bersama,” jawab Citra dengan perasaan tak karuan. Dia tak dapat membayangkan nasib keluarganya ke depan. Terbanyang ketiga anak-anak mereka yang masih kecil dan butuh kasih sayang papanya. Bahkan selama ini mereka cukup dekat, haruskah terpisahkan dengan cepat? Citra sekuat tenaga menahan agar air matanya tak harus menetes. “Maaf, ya, Ran. Nanti kita sambung lagi. Aku dipanggil Bos, dalih Citra, tak mau memperpanjang pembicaraan, sekaligus ingin menutupi kepedihan hatinya. Citra menghela nafas setelah menutup telponnya. Sepertinya, dia harus segera menuntaskan masalah ini dengan Firman. Keputusannya sudah bulat. Sepertinya, dia sudah tak mampu bertahan dengan pengkianatan. Apapun alasannya. Citra kembali ke mejanya. Benaknya masih mengingat-ingat. Bagaimana bisa dia lima tahun hidup dalam pengkhianatan? Apakah dia bisa dengan mudah memaafkan dan melupakannya? Sementara kini, hatinya terasa sudah membeku. Setiap melihat Firman, rasanya hati tersayat sembilu. Kalau orang lain, bisa saja menyebut Rani seorang pelakor. Tapi, Citra tahu, Rani tidak salah. Firman lah yang membuka pintu untuk Rani. ***ETW***Tidak seperti biasanya, Citra ijin pulang lebih cepat. Keputusan berpisah dengan Firman harus segera dia selesaikan. Dia tak ingin lebih lama tersakiti. Keberadaan Rani di Jakarta tentu akan sangat menyakitkan jika masih bertahan dengan Firman. Sudah habis kepercayaannya terhadap Firman. Laki-laki itu hanya akan menebar kebohongan demi kebohongan untuk menyenangkan salah satu diantara mereka. Itu yang Citra tidak bisa terima. Buat apa berbahagia di atas kebohongan. Bukankah itu teramat menyakitkan? Segera Citra mengemas barang-barang pribadi milik Firman ke dalam koper. “Dik, apa yang kamu lakukan?” Lelaki itu sudah berdiri diambang pintu. Firman mendapati istrinya dengan isak tangis mengemas baju-bajunya ke dalam koper berukuran besar. Perempuan itu seolah tak mengindahkan ucapannya. Sesekali disekanya air mata yang membasahi wajahnya dengan lengan bajunya. “Stop! Hentikan!” Firman meraih tangan Citra. Ia merengkuh istrinya itu ke dalam pelukan. Tapi, lagi-lagi Citra berusaha menepiskannya. “Mas, kumohon. Bahagiakan Rani.” Suara Citra bergetar. Tangannya berhenti memasukkan pakaian ke dalam koper. Dia terduduk di lantai, di sebelah koper yang masih terbuka. Lengannya tak henti-henti menyeka air mata. “Mas, Rani akan pindah ke Jakarta. Segera kamu pindahkan bajumu ke apartemen, atau dia akan mengetahui kamu adalah laki-laki pecundang!” ucap Citra di antara isak tangisnya. Mata Firman membulat. Apa? Rani pindah ke Jakarta? Bahkan dia belum mengetahui berita ini. Apa Rani sengaja menyembunyikan rencana ini? pikir Firman. Kadang wanita penuh kejutan. Mereka sulit ditebak. “Dua hari lagi dia akan datang. Kembalilah engkau padanya. Dia lebih membutuhkanmu,” lanjut Citra. Seketika Firman merasakan lututnya lemas. Dia luruh terjatuh di lantai. Pandangannya kosong.“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan,” desis Firman lirih nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk. Bahkan tangannya mengacak rambutnya karena tak tahu harus berbuat apa. Dengan gerak cepat, Citra segera menyelesaikan mengemas barang-barang Firman, lalu ia menutup koper tersebut. “Sekarang kamu pilih, Mas. Aku atau kamu yang pergi!” seru Citra. Citra makin mantap untuk berpisah. Tak ada gunanya dipertahankan. Bahkan berbicara saja rasanya enggan. Sejak peristiwa pengkianatan itu tersingkap, Citra merasa tak ada upaya dari Firman untuk berbicara baik-baik dengannya. Tak pernah ada pembicaraan tentang kelanjutan hidup mereka. Ketika Citra memilih diam karena menahan sakit, Firman pun juga diam. Lalu, buat apa dipertahankan? Padahal, Citra menunggu itikat baik dari Firman. Firman hanya dapat menatap Citra dengan tatapan kosong. Rasanya hukuman ini belum seberapa berat dengan kesalahan yang dia perbuat. “Aku pergi, Citra. Tapi untuk kembali. Aku akan kembali kepadamu setelah kuselesaikan urusanku dengan Rani.” Firman mengambil koper dan melangkah gontai keluar kamar.Firman menuruni tangga. Dari tempatnya, terlihat anak-anak mereka yang ceria bermain di ruang tengah. Hatinya berdenyut nyeri. Tidak! Semua tak boleh berakhir, guman Firman. Semua harus bertahan. Janjinya dalam hati. “Papa mau kerja lagi?” Rio yang sedang bermain di ruang tengah menghampiri papanya. Seperti bukan hal yang aneh melihat Firman keluar masuk rumah membawa koper. Sayangnya, Firman harus membayar pemahaman anak-anaknya dengan sebuah pengkianatan. Lelaki macam apa aku ini? gumamnya dalam hati. Firman ingin menjerit. Matanya terasa panas, namun harus dia tahan, agar tak ada airmata yang mengalir. “Iya, Sayang. Jaga mama, ya. Papa kerja dulu,” bohong Firman. Dipeluknya buah hati tersayangnya. Tak lama Romi juga berlari menghampiri dan memeluk kaki Firman. Firman semakin tak dapat menahan emosinya. Suara Rara digendongan Mba Susi dengan celotehan bayinya turut memanggil-manggilnya. Kepala Firman menjadi terasa pening. Namun, harus dia tahan. Setelah mencium satu-satu kening anak-anak tercintanya, Firman pergi meninggalkan rumah. Tanpa pelukan dan ambaian tangan Citra yang biasa mengiringi kepergiannya. Sementara, Citra menatap kosong kepergian Firman dari balik jendela kamar Rara. Ditariknya nafas panjang dan dikeluarkannya kembali. Waktulah yang akan dapat menyembuhkan lukanya. ***ETW***Firman usai merapikan baju-bajunya ke dalam lemari di apartemennya. Dia terduduk termenung di sisi ranjang. Hanya kesunyian yang dia rasakan. Enam tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama Citra, dia tak pernah merasakan sesunyi ini. Tahun pertama, rengekan manja dan cerewet Citra selalu memenuhi hari-harinya.Tahun berganti bertambah suara anak-anak yang selalu menambah keceriaannya. Meskipun lelah seharian bekerja, gelayut manja anak-anak dan istrinya adalah pengobat kepenatannya. Hingga, Firman merasakan silaunya kenikmatan sesaat di saat dia merasa kesepian di Surabaya. Harusnya, dia bisa menahan semua itu.Firman baru menyadari, lima bulan lamanya dia hidup dalam kebohongan. Dan kini, setelah semuanya terbongkar, tak ada lagi tempat baginya bersembunyi. Hanya kesunyian yang dia dapat. Firman mendesah. Dua hari lagi Rani akan pindah ke Jakarta? Bagaimana kalau orang tua Rani mendesak agar ia segera mengurus dokumen pernikahan sah nya? Firman mengusap wajahnya dengan kasar. --BAB 7Firman masih diam mematung di kamarnya, ketika bel apartemennya berbunyi. Mungkin hanya pengelola apartemen, batinnya. Karena hanya mereka yang bisa langsung naik. Tamu yang tak punya kartu akses tak bisa langsung ke atas. Firman beranjak, bergegas membuka pintu.“KEJUTAN!” teriak Rani. Wanita muda itu sudah berdiri di depan pintu membawa dua buah koper besar dengan kedua tangan terentang siap memeluknya.Mata Firman terbelalak. Tak menyangka, secepat itu istri mudanya datang. Untungnya Citra segera menyuruhnya pergi. Jika tidak? Bagaimana kalau Rani sampai tahu sebenarnya dia tak tinggal di tempat itu. “Aku pindah Jakarta, Mas. Aku bahagia akhirnya bisa bersamamu!” Rani memeluk Firman yang masih mematung. “Kenapa? Kamu kaget ya?” tanya Rani sambil mendorong kopernya masuk ke dalam. Firman masih seperti bangun dari mimpi. Berkali-kali dia mengerjap, namun kemudian dia tersadar dan membantu Rani memasukkan barangnya ke apartemen. “Aku sengaja nggak ngabarin kamu, Mas. Aku pengen ngasih kamu kejutan,” sambung Rani. Nada bicaranya sangat bersemangat. Dia sangat senang. Impiannya hidup bersama dengan Firman menjadi kenyataan. “Lusa aku mulai kerja. Jadi, aku harus siap-siap,” jelas Rani. Firman memperhatikan Rani, tapi ia tetap bungkam. Lidahnya terasa kelu meski sekedar hanya menanggapi ucapan Rani. Beruntung hari ini dia segera memindah barangnya, kalau tidak? Apa yang harus dikatakannya kepada Rani. “Wah, bajumu banyak juga. Kemaren hampir ngga ada,” kata Rani saat akan membereskan bajunya ke lemari. Satu persatu baju dikeluarkan dari koper dan dipindahkan ke lemari yang ada di kamar utama. “Aku masukin laundry, Ran,” jawab Firman berbohong. Kini, Firman menyadari, kehadiran Rani justru menimbun kebohongannya. Dari hal kecil, hingga hal besar. Sampai kapan dia bertahan dalam kepalsuan? Rani menyelesaikan urusan perlengkapan pribadinya, sebelum kemudian dia pindah ke dapur. Bagi wanita yang sudah berumah tangga, dapur adalah istananya. “Mas, kayaknya kamu nggak punya apa-apa di kulkas. Sepertinya kita harus belanja,” kata Rani sambil mengecek kondisi dapur. Dibukanya satu persatu lemari kitchen set. Dia mulai membuat daftar di kepalanya, apa saja yang diperlukan. “Besok aja, Ran. Sudah malam,” sahut Firman. Dia merasa sangat lelah dengan pikiran yang mendera. Tidak mood melakukan appaun. Ia ingin segera dituntaskan masalah pelik hidupnya, namun bagaimana caranya, Firman belum menemukan jalannya. ***ETW***Pagi-pagi Firman sudah siap-siap mau ke kantor. Biasanya, dia minum kopi dan sarapan bersama anak-anak selama ada di Jakarta. Namun, hari ini, batinnya harus menjerit mengingat hal manis itu tidak dirasanya pagi ini.Sebenarnya Firman sudah terbiasa dinas keluar kota. Tapi hari ini, kehilangan itu sangat terasa. “Mas, aku mau buatkan kamu kopi, ternyata kita belum belanja,” kata Rani sambil duduk di sebelah Firman, seolah paham apa yang dipikirkan suaminya. Lima bulan bersama, saat ke Surabaya, Rani sudah hafal apa yang harus dilakukan di pagi hari. “Hari ini aku belum kerja, jadi aku bisa belanja,” kata Rani kemudian. Sebagai bukan wanita rumahan, meski pun tinggal di kota yang baru baginya, namun tak membuatnya tak tahu apa-apa. Dia bisa mencari informasi lewat internet, dimana harus berbelanja, tanpa tergantung pada Firman. Firman hanya mengangguk. “Mas, aku ingin kita segera mengurus pernikahan kita. Nggak enak kita sudah tinggal berdua, tapi aku nggak pegang surat nikah.” Rani mengingatkan. Saat sudah pindah begini, pasti urusan jauh lebih mudah. Tidak ada lagi gangguan komunikasi. Ucapan Rani seperti mengoyak hati Firman. Cepat atau lambat, pasti Rani akan segera minta dokumen pernikahan sah itu. Sebagai wanita terpelajar dan pegawai kantoran, pasti melaporkan status barunya sangat penting. Tak mungkin kalau dia harus mengatakan hanya menikah secara siri. Hanya mereka yang buta oleh cinta yang melakukannya, termasuk Firman!Kepala Firman berdenyut. Sedangkan masalahnya dengan Citra saja belum dia tuntaskan. Mengurus dokumen pernikahan kedua, bukanlah hal mudah. Bahkan berlipat-lipat rumitnya. Dan itu tak pernah terbayangkan oleh Firman sebelumnya. Dia terlalu larut oleh kenyamanan semu yang selama ini diperoleh dari Rani. Kalau boleh memilih, tentu Firman akan mempertahankan Citra. Wanita yang teramat dicintainya. Selain cinta pertamanya, Citra sudah berkorban mendampinginya dari dia belum siapa-siapa. Cita pula yang selama ini menghadirkan kebahagiaan, yang telah memberinya tiga anak-anak yang lucu dan pintar. Hanya kebodohannyalah yang menghancurkan semuanya. Tapi, Firman pun tidak bisa begitu saja meninggalkan Rani. Gadis cerdas dengan karir gemilang yang begitu penuh harap mendapatkan jodoh yang diimpikannya. Dengan karirnya yang bersinar, hanya pria mapan yang berani mendekatinya. Dan Firman melakukan kesalahan besar untuk itu. “Mas, kamu kok malah melamun?” tanya Rani. Dia sedikit heran dengan perubahan Firman. Sama sekali tak menunjukkan antusias dengan kedatangannya. Apa kehadirannya merepotkan Firman, gumam Rani. “Aku nanti bantu mengurus semua dokumenmu jika kamu ngga sempat,” ujar Rani seantusias mungkin. Sepertinya alasan sibuk sudah tak dapat lagi Firman gunakan sebagai senjata untuk menghindar. Firman sudah mati kutu. Dia serasa di ujung tanduk. “Setelah aku pindah ke sini, pastinya akhir pekan kita bisa mengunjungi orang tuamu 'kan?” kata Rani lagi. Darah Firman serta merta berdesir. Ketakutannya seperti menjadi kenyataan. Benar, sekarang tak lagi ada alasan menghindar. Apakah dia akan terus-terusan beralasan sibuk? Bagaimana dia akan menceritakan kepada orang tuanya jika dia telah menikah dengan Rani? “Ran, aku berangkat dulu. Kalau butuh sesuatu, kamu bisa lihat diaplikasi dimana mendapatkannya,” kata Firman sambil beranjak pergi. Dia harus segera menghindar sebelum pembicaraan Rani semakin rumit. Biasanya, Firman akan mengecup kening Citra sebelum berangkat. Tapi, rasanya enggan melakukannya dengan Rani. Ada rasa yang berbeda karena itu bukan di Surabaya. Selama ini, suasana Jakarta adalah milik Citra dan anak-anaknya. Firman menuruni apartemennya. Rasa kehilangan Citra menjadi semakin besar. Di saat dia tertimpa masalah, biasanya Citra akan hadir menenangkan dan memberikan solusi. Paling tidak, menjadi temannya berbagi.Bagaimanapun, hidup enam tahun dengannya bukan waktu yang sikat. Membangun semuanya dari belum punya apa-apa, bertahan hidup bersahaja, hingga saat ini menjadi sedikit mapan. Sayangnya, Firman menodainya dengan hati yang mendua. Kini, masalah yang dihadapi Firmanpun amat besar. Tapi, Citra tak ada disampingnya. Perih sangat dirasa. ***ETW***Jam makan siang telah tiba. Biasanya Citra akan mengirimkan pesan mengingatkan untuk makan siang pada Firman. Tapi, sejak peristiwa itu, hampir Citra tak pernah mengirim pesan. Apalagi menelponnya. Citra seperti hilang ditelan bumi. Drttttt. Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Firman. Buru-buru ia mengeceknya. Sebuah pesan dari Citra!Buru-buru Firman membuka pesan itu. Kerinduannya sangat membuncah. Firman seperti sedang dilanda kasmaran. Sangat merindukan pesan dan panggilan dari Citra. Tapi, tiba-tiba tangannya bergetar, saat membaca pesan. [Papa dan Mama dari Bandung akan berlibur ke sini. Berlakulah biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Kesehatan papa adalah yang utama] Mata Firman membola. Mama dan Papanya? Citra memang sangat dekat dengan mertuanya. Bahkan, mengabari akan datang ke Jakarta saja ke Citra. Bukan ke Firman yang notabene adalah putranya. Rasa bersalah kembali menguar dari relung hati Firman. Rasa bersalah telah menodai kepercayaan papa dan mamanya. Firman merasa dirinya benar-benar seorang pecundang!Firman menjadi merasa malu. Malu kepada semua orang. Malu kepada keluarga besarnya. Lebih malu lagi kepada anak-anaknya. [Jangan lupa, nanti sore papa mama sudah di rumah.] Pesan dari Citra kembali menyusul masuk ke ponsel Firman.Firman memegang erat ponselnya. Ada rasa kalut dan takut menyergap sekaligus rasa bersalah. “Pak Firman, rapat sebentar lagi. Sudah ditunggu di ruang meeting.” Suara sekretarisnya dari balik pintu membuyarkan lamunan Firman. Bergegas dia beranjak ke ruang meeting. --BAB 8Setiba di apartemen, Firman segera membuka koper dan memasukkan baju-bajunya.“Mau ke mana, Mas?” tanya Rani yang baru keluar dari kamar mandi. Wanita itu menatap Firman dengan tatapan keheranan.“Ada pekerjaan,” jawab Firman singkat. Dalam hati dia mendesah, Mengapa hidupku penuh dengan kebohongan. Beginikah akibat dari pengkianatan? “Mendadak sekali....” timpal Rani seraya tak lepas menatap setiap gerakan Firman. Padahal dirinya baru tiba kemarin dari Surabaya, dan besok adalah hari pertamanya kerja. Jakarta adalah kota baru baginya. Meskipun taksi online mudah dipesan. Tapi, tetap saja ditinggal sendiri bukan hal yang diharapkan. “Berapa hari, Mas? Kok bawa baju banyak banget?” tanya Rani penasaran. Biasanya yang Rani lihat sewaktu di Surabaya, Firman hanya membawa beberapa potong baju setiap datang ke sana. Sejenak Fiman berfikir, lalu ia menjawab, “Mungkin seminggu.”Bahkan, dia tak tahu tepatnya berapa lama akan pergi. Karena, papa dan mamanya kadang tidak dapat ditebak keinginannya. “Ke kota mana?” Rani kembali memberondong pertanyaan. Wanita itu lalu duduk di sisi ranjang. Hatinya mendadak merasa tak enak dengan tingkah Firman.Pertanyaan sederhana itu, sontak membuat Firman gelagapan. Ya, dulu Citra memang tak pernah bertanya, karena dia akan lebih dulu bercerita kemana dia akan dinas. Kini, otak Firman tiba-tiba harus menyiapkan jawaban. “Nanti aku kabari kalau sudah sampai. Kalau butuh apa-apa, kamu tinggal pesan aja,” kata Firman sambil menutup kopernya. Ada rasa enggan untuk berbohong. Tapi, bagaimana bisa menjawab yang sesungguhnya. Firman segera meninggalkan unit apartemennya diiringi tatapan mata penuh tanya dari Rani. Rani merasakan ada hal yang aneh. Firman tidak sehangat ketika di Surabaya. Apakah semua ini karena tekanan pekerjaan? Hingga membuat Firman kehabisan waktu untuk dirinya?Rani hanya bisa menghela nafas. Berharap dengan kehadirannya, mampu sedikit mengurangi beban yang diderita oleh Firman. Rani pun tak akan banyak menuntut waktu Firman jika itu akan membuatnya semakin terbebani. ***“Dari luar kota, Man?” Wanita paruh baya yang terlihat masih cantik itu menatap putranya yang tengah menggeret koper memasuki rumah.Firman segera mencium tangan kedua orang tuanya. “Papa habis kerja jauh, Eyang,” celoteh Rio. Ia lalu mengekor di belakang Firman. Mendengarkan celetuk Rio saja, hati Firman seakan teriris. Ayah macam apa aku, tega mengkianati anak-anakku yang begitu pintar dan penurut, gumamnya dalam hati.“Cape, Sayang.” Tiba-tiba Citra yang sedang menggendong Rara mengalungkan tangan di lehernya. Sebuah kecupan mesra mendarat di kening Firman, dan sontak membuat pria itu kaget. Desiran aneh kembali menjalar di sekujur tubuhnya. Ah, sayang semua ini hanya drama. Drama di depan orangtua Firman agar semua terlihat baik-baik saja.“Mama papa mungkin agak lama di Jakarta. Rumah di Bandung mau direnovasi. Sudah dua puluh tahun tidak pernah direnovasi,” ujar papa saat bercengkrama di ruang tengah.Citra dan Firman bertatapan. Artinya, mereka harus mengulur sandiwara hingga waktu yang tak bisa ditentukan.  ***Terpaksa, Citra tidak bisa mengungsi tidur di kamar Rara selama ada mama dan papa mertuanya. “Besok, kamu boleh alasan dinas keluar kota, Mas,” kata Citra sebelum merebahkan dirinya di sebelah Firman. Tak disangkal, Firman merasakan jantungnya berpacu lebih cepat. Dadanya bergemuruh. Kegugupan yang dia rasa seperti saat malam pertama, setelah sekian lama tidak tidur seranjang bersama Citra. “Mas tidak mau terus-terusan bohong, Dik,” jawab Firman sambil memiringkan tubuhnya. Menatap Citra adalah sesuatu yang dia rindukan. Sayangnya, Citra memilih untuk membuang muka dan memunggunginya. “Aku kangen, Dik,” bisik Firman sambil merapatkan tubuhnya. Dulu, bisikan itu menandakan mereka menginginkan satu sama lain. Tapi kini bisikan itu hanya menyisakan pedih di hati Citra. Bisikan itu hanya mampu menghadirkan luka dan genangan air mata. “Aku masih suamimu, dan akan terus menjadi suamimu. Ijinkan aku memelukmu malam ini,” bisik Firman seolah tidak memperdulikah hati Citra yang sedang menangis pilu. Citra hanya terdiam, meski sebetulnya dia merasa enggan berada dalam rengkuhan Firman. Bayang-bayang Rani menghantuinya. Itu sangat menyakitkan. Menyakiti sahabatnya sendiri. Mungkin, di sana sahabatnya sedang menanti kehadiran Firman. Saat yang ditunggu untuk berkumpul bersama, tapi ternyata itu masih menjadi mimpi. Tragisnya, Firman malah sedang memeluk Citra. Maafkan aku, Rani, desah Citra dalam hati. ***[Citra ini hari pertamaku bekerja. Apakah kamu bisa membagi lokasi kantormu? Siapa tau kita bisa makan siang bersama.] Rani mengirimkan pesan singkat kepada Citra. Menjadi pegawai baru di kota yang asing bagi Rani memang tidak lah mudah. Citra adalah satu-satunya sahabat yang dia miliki di kota itu, selain suaminya, Firman. Sayangnya, jika Firman sedang sibuk dengan pekerjaannya, ponselnya selalu dimatikan. Sehingga Rani merasa kesepian. [Kamu ngga makan siang sama mas Firman?] balas Citra. Citra penasaran, kira-kira apa alasan yang diberikan ke Rani ketika Firman menghabiskan waktu di rumahnya. [Mas Firman sedang di luar kota, Cit.]Ah, kasihan kamu, Rani. Bahkan, di hari bahagiamu ada di Jakarta, suamimu harus membohongimu, gumam Citra. [Maaf, Rani. Aku hari ini ada meeting. Besok aja, ya. Aku janji.] balas Citra.Dia masih belum ingin bertemu Rani. Paling tidak untuk saat itu. Dia tak ingin bangkai itu tercium sebelum waktunya. Citra bahkan tak dapat memprediksi seandainya dia keceplosan berbicara hal yang membuat Rani penasaran. Lebih baik, sementara waktu untuk menghindar. ***“Bu, teleponnya bunyi-bunyi terus,” kata mbok Sumi sambil menyerahkan ponsel Citra saat mereka sedang makan malam bersama anak-anak, mertua dan juga Firman. “Makasih, Mbok. Citra menerima ponsel itu, lalu membuka notifikasi yang masuk. Alangkah terkejutnya saat dibuka, ada 12 kali panggilan tak terjawab dari Rani. “Ya, Ran, ada apa?” tanya Citra begitu terdengar nada sambung. Mendengar nama Rani disebut, wajah Firman tampak cemas. Ada kekawatiran tergambar disana. “Tenang, ya. Kamu tunggu. Aku ke sana.” Citra segera menutup ponselnya. Dengan tergesa ia lari ke kamar mengambil dompet dan kunci mobilnya. “Pah, Mah, Citra mau ke tempat teman. Ada yang sakit!” pamit Citra sambil berjalan cepat ke luar rumah. Mendengar ucapan Citra, Firman spontan bergegas mengejar Citra yang sudah berada di teras. “Rani kenapa, Dik?” tanya Firman sesaat sebelum Citra mengeluarkan mobil dari halaman rumahnya. “Biar aku yang urus. Kamu tenang aja di rumah. Jangan sampai orang rumah curiga,” sahut Citra sambil bergegas melajukan mobilnya ke arah apartemen Rani. ***Begitu sampai apartmen Rani, Citra kaget. Rupanya Rani terjatuh di kamar mandi. Ada bercak darah membuat Citra sedikit panik. Sebagai ibu beranak tiga, Citra punya firasat yang tak baik. Bergegas Citra membawa sahabatnya itu ke klinik terdekat setelah bertanya pada satpam apartemen. “Selamat ya, Bu. Ibu positif. Sudah 8 minggu,” kata ibu berseragam dokter yang sedang bertugas di klinik. Kegembiraan terlukis di wajah Rani. “Citra, aku hamil,” ucap Rani sambil menggengam tangan sahabatnya. Berbeda dengan Rani, pikiran Citra langsung terbang menerawang jauh. Kehancuran keluarganya pun seperti tergambar jelas di depan matanya. Berita ini seperti ucapan selamat tinggal untuknya kepada Firman. “Tapi, sepertinya ibu harus istriahat. Benturan di kamar mandi menimbulkan sedikit luka. Disarankan untuk bed rest dulu, ya, Bu sampai sudah tidak keluar flek-fleknya,” nasehat dokter. Rani mengangguk mengerti. Dia menoleh pada sahabatnya, yang dari tadi hanya terdiam. “Cit, kok kamu melamun?” tanya Rani karena Citra tidak merespon kegembiraannya atau pun merespon perkataan dokter. Citra tak kelihatan antusias. Apa sedang ada masalah? batin Rani. “Aku bahagia Rani, aku turut bahagia,” ulang Citra sambil menyeka air matanya.BERSAMBUNG 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan