
Bagian Kedua (Terakhir) tentang Martabat Lima
BAGIAN #2
Al-Farghani memandang dua hal ini sebagai martabat pertama dan kedua dalam hirarki tajallinya Tuhan. Dia menulis,
Martabat alam semesta ada lima, dua di antaranya berhubungan dengan Tuhan, dan tiga lainnya berkaitan dengan eksistensi yang diadakan (al-kawn). Martabat keenam mencakup semuanya.
Karena martabat adalah wadah manifestasi atau tajalli, apapun yang terwujud di dalamnya pasti terdiri dari dua segi: yakni, hanya kelihatan oleh Tuhan saja dan tidak kelihatan oleh hal-hal yang diwujudkan oleh-Nya, atau tampak oleh Tuhan dan tampak oleh hal-hal yang diciptakan.
Martabat pertama disebut “martabat gaib,” sebab segala sesuatu hanya dapat diketahui oleh Tuhan saja. Jadi di sini segala sesuatu kelihatan hanya di mata Tuhan. Tetapi tajalli mungkin tidak maujud melalui dua cara. DI satu sisi, entitasnya ditolak seluruhnya karena “Hanya ada Tuhan dan tak ada sesuatupun bersama-Nya.” Jadi manifestasi dari sesuatu itu diabaikan dalam Pengetahuan dan eksistensi, sebab entitasnya sepenuhnya tidak dikehendaki untuk diwujudkan. Lokus teofani atau tajalli ini adalah Entifikasi Pertama (ta’ayyun awwal) atau Martabat Gaib Pertama. Di sisi lain, sifat dari manifestasi mungkin tidak diwujudkan [dalam eksistensi lahir], namun diwujudkan, dibedakan dan diejawantahkan di dalam Pengetahuan Abadi. Sifat-sifat itu hanya diketahui oleh Tuhan Yang Mahamengetahui … seperti sesuatu yang kita bayangkan di pikiran saja hanya akan diketahui/dilihat oleh kita sendiri, bukan orang lain. Ini adalah Entifikasi Kedua, Alam ma’nawi…”
Sedangkan yang merupakan lokus manifestasi atau tajalli, yang di dalamnya hal-hal yang ditajallikan menjadi kelihatan oleh makhluk, terdiri dari tiga martabat. Pertama, ia bisa menjadi lokus manifestasi di mana hal-hal yang ditajallikan akan menjadi tampak bagi ciptaan (makhluk) yang masih dalam bentuk esensi yang satu, atau belum terbagi-bagi. Ini adalah martabat alam arwah. Kedua, lokus manifestasi di mana hal-hal yang ditajallikan menjadi kelihatan bagi mahkluk yang beragam, yang terdiri dari bagian-bagian unsur. Unsur-unsur itu bisa berupa unsur kehalusan (lathifah) (yakni unsur yang tidak mengalami pembagian, pembedaan), atau unsur-unsur yang mengalami pembagian atau pemisahan. Dalam kedua kasus itu, lokus manifestasinya dan tempat di mana segala sesuatu menjadi kelihatan bagi makhluk disebut martabat alam mitsal. Wujud yang beragam ini punya hubungan yang tidak jernih dengan hal-hal yang rohani dan hakikat, sebab wujud itu berbeda-beda, terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Lokus manifestasi dan tempat di mana hal-hal yang ditajallikan bagi mereka menjadi tampak dalam dirinya sendiri di sebut martabat alam syahadah atau alam jasmani (ajsam). Kemudian, insan kamil merangkum semua itu. Di tempat lain al-Farghani memasukkan Entifikasi Pertama dan Kedua ke dalam Kehadiran Pertama, seperti yang dilakukan gurunya, al-Qunawi.
Wadah tajalli itu disebut “martabat,” “alam” dan “hadarat.” Semua wadah itu ada empat tingkatan atau maratib, sedangkan martabat kelima mencakup semuanya baik dari segi rincian maupun global.
Al-Qunawi dan pengikutnya membagi Alam Imajinasi atau alam mitsal menjadi dua jenis, namun biasanya mereka menggabungkan keduanya ketika berbicara tentang Lima Kehadiran Ilahiah. Jenis pertama disebut munfassil (terpisah) dan yang kedua disebut muttasil (tersambung). Jenis pertama terpisah dari kesadaran manusia dan memantulkan alam arwah secara langsung. Oleh karena itu, Ibn ‘Arabi memberi judul bab 9 kitab Fusush dengan “Hikmah Cahaya sebagaimana terdapat dalam Logos Yusuf.” Namun, alih-alih mendiskusikan Nama Tuhan al-Nur, dia membahas alam mitsal. Para pensyarah menjelaskan bahwa dia sedang membahas alam imajinasi yang terpisah, yang jelas keterpisahannya dalam relasinya dengan alam materi/jasmani, tetapi samar dalam relasinya dengan arwah. Sedangkan untuk imajinasi yang tersambung, ia adalah alam imajinasi yang menjadi terkait dengan manusia dan dibatasi oleh keterbatasan kemampuan-kemampuan manusia. Al-Qunawi menjelaskan jenis imajinasi ini sebagai berikut:
Alam mitsal berhubungan dengan bentuk lahir dunia – yang merupakan wadah tajalli untuk Nama al-Zahir … Dalam alam mitsal, Pengetahuan dan Kekuasaan Tuhan tampil tanpa kekurangan. Kekuatan atau kekuasaan daya-daya makhluk adalah salinan (nukhsa) dari Kekuasaan/Kekuatan Tuhan … jadi semua bentuk lahiriah itu sudah ada dalam Pengetahuan Tuhan. Pengetahuan Tuhan itu sempurna, tak satupun yang luput dari pengetahuan-Nya. Jadi bentuk-bentuk imajinal pasti sesuai [dengan hakikat sesuatu dalam Pengetahuan-Nya].
Hal yang sama juga dapat dikatakan untuk dunia spiritual (alam arwah). Tetapi situasinya berbeda pada manusia sebab daya imajinasinya tunduk pada cahaya rohnya dan sesuai dengan apa yang sudah diketahui oleh rohnya. Roh manusia mendiktekan pengetahuannya kepada daya imajinasi, dan daya imajinasi menyalinnya sesuai dengan kondisi kemampuan otaknya, menurut kondisi sehat atau tidaknya badannya, dan sesuai dengan waktu dan tempat tertentu.
Hubungan antara imajinasi manusia yang terbatas dengan alam mitsal (alam imajinasi) adalah seperti hubungan antara arus sungai yang besar dengan cabang-cabang sungai. Jadi setiap aspek imajinasi manusia adalah dekat dan terhubung dengan alam mitsal.
Dalam konteks inilah al-Jandi mendeskripsikan Kehadiran Ilahiyyah:
Pertama, Alam Maknawi. Ini adalah bentuk-bentuk makna dari objek Pengetahuan Tuhan yang abadi, tanpa awal. Sufi menyebutnya sebagai a’yan tsabit.
Kedua adalah Alam Arwah, yang berhubungan dengan sifat-sifat seperti tinggi, terpuji, suci, esa, tak terbagi, mulia.
Ketiga adalah Alam Mitsal. Di sini tajalli Tuhan menjadi terwujud (dimaterialisasikan), entitas yang belum berbentuk menjadi berbentuk/dipersonifikasikan, Nama dan Sifat memperoleh bentuknya, dan makna serta roh diejawantahkan sebagai bentuk dan penampilan imajinasi atau khayal. Di alam ini, semua bentuk-bentuk imajinatif tersebut memiliki kekuatan untuk termaterialisasikan, memperoleh bentuk lahir dan menampilkan diri dalam imajinasi. Semua itu dapat dilihat sebagai benda-benda material, walaupun dalam dirinya sendiri adalah tidak berbentuk atau bersifat spiritual.
Dalam Kehadiran atau Martabat Keempat, Alam arwah dan makna tersebut dilihat oleh makhluk yang memiliki daya khayal sebagai bentuk-bentuk khayal (imajinal). Bentuk dan makna dari roh itu sesuai dengan persepsi yang beragam. Perbedaan antara Kehadiran Ketiga dan Keempat adalah pada Kehadiran Ketiga terdiri dari bentuk-bentuk imajinal dan kondisi di mana roh, makna dan tajalli turun dan menjadi terejawantahkan. Bentuk dan kondisi itu adalah “tubuh cahaya” roh dan makna dan tidak berkaitan dengan persepsi. Pada Kehadiran Keempat, bentuk tersebut memperoleh wadah untuk menjadi tampak oleh persepsi (manusia). Kehadiran Kelima adalah Alam Jasmani.
Meskipun al-Jandi tidak membahas tentang Insan Kamil sebagai Kehadiran atau martabat terpisah, dia membahasnya dalam bagian lain di karyanya sebagai martabat yang mengkombinasikan kelima martabat/kehadiran di atas.
Pengikut Ibn ‘Arabi lainnya, Al-Kashani, meringkaskan pandangannya tentang Kehadiran Ilahiyyah ini dalam salah satu syarahnya terhadap Fusush:
Menurut pandangan sufi, ada lima alam, masing-masing adalah Kehadiran (Martabat) di mana Tuhan bertajalli: (1) Martabat Dzat (2) Martabat Sifat dan Nama (3) Martabat Perbuatan, yakni Kehadiran Ketuhanan (Rububiyah) (4) Martabat Alam Mitsal dan (5) Martabat Persepsi Indera dan alam syahadah (yang tampak). Martabat yang lebih bawah adalah citra dan tempat manifestasi dari martabat di atasnya. Yang tertinggi adalah martabat Dzat mutlak, atau disebut juga ghaib al-ghaib (paling gaib dari yang gaib).
Jadi di sini kita lihat al-Kashani menjadikan Non-entifikasi sebagai martabat atau Kehadiran, sedangkan sufi lain biasanya tidak memandangnya sebagai bagian dari martabat. Kehadiran Pengetahuan menjadi martabat kedua, atau ta’ayyun tsani (entifikasi kedua). Kemudian yang ketiga adalah martabat arwah, yang merupakan lokus di mana Tuhan menampakkan (mengejawantahkan) kekuasaan-Nya, tempat yang paling jelas memperlihatkan aspek Ketuhanan. Keempat adalah alam mitsal; dan kelim adalah alam materi. Sedangkan Insan Kamil, oleh al-Kashani, tidak dimasukkan ke dalam skema martabat.
Pandangan Al-Qaysari sebagian besar mirip dengan pandangan al-Qunawi. Menurutnya, martabat yang pertama adalah Kehadiran atau Alam Gaib yang Mutlak. Kemudian Alam Penampakan yang mutlak. Kemudian Alam Kegaiban Relatif. Kemudian Alam Mitsal. Dan terakhir Alam Manusia, yang mencakup semuanya.
Jadi tampak bahwa gagasan tentang teofani atau mode penciptaan/tajalli yang bersumber dari Syeh Ibn ‘Arabi mengalami perkembangan dalam interpretasinya. Selain sufi-sufi di atas, ada banyak tokoh sufi lain yang mengemukakan konsep kehadiran Tuhan atau martabat ini dengan cara berbeda. Misalnya, Hamzah Fansuri, mengemukakan lima martabat, sedangkan al-Burhanpuri mengemukakan tujuh martabat.
●●●
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
