
Kisah seorang PNS yang pindah tugas dari tempat lama yang sudah sangat nyaman baginya. Dia harus pindah ke tempat baru di mana dia menemukan suasana baru
Suara rintik hujan pagi itu seakan mengiringi perasaan sedih yang menggerogoti hatiku. Aku berdiri di depan cermin kamar, merapikan hijab coklat yang kukenakan. Aku menatap wajahku di cermin. Wajah yang menurut rekan dekatku dan orang yang mengenalku Hari ini adalah hari terakhirku di kantor Dinas Sosial, tempat di mana aku telah mengabdi sebagai abdi negara selama hampir lima tahun. Usiaku kini 29 tahun dan telah menikah selama hampir 3 tahun dengan Halid seorang pedagang keliling berusia 32 tahun. Sampai saat ini aku belum di karuniai anak.
"Shaniya, sarapannya sudah siap apa belum?" teriak Halid dari ruang makan.
"Udah bang, bentar kita sarapan bareng!" jawabku sambil menyemprotkan parfum ke kerudungku.
Ketika aku turun ke ruang makan, Halid sudah duduk di depan meja makan. Aku segera membuka tudung saji dan menyiapkan makan.
"Kenapa mukanya kayak kurang semangat gitu, Sayang?" tanya Halid sambil mengelus punggung tanganku lembut.
"Sedih aja, Bang. Gimana nggak sedih, aku harus pisah sama Fatmah dan Nisa. Udah hampir lima tahun kita bareng terus di kantor," jawabku sambil duduk di sebelahnya.
Halid mengangguk paham. "Iya sih, tapi kan ini untuk kebaikan karier kamu juga.”
"Iya sih tapi sedih aja gak sekantor lagi dengan kedua temen dekatku itu..." aku menghela napas panjang.
Selain sedih aku juga agak kurang suka dengan kepindahanku ke Dinas keuangan saat menyadari bahwa aku akan sekantor dengan Ghea dan Cheryl. Aku tidak begitu suka dengan kedua orang itu. Mereka juga seangkatan denganku saat CPNS tapi gaya hidup dan cara berpakaian mereka kurang aku sukai. Seragam Dinas yang kekecilan dan rok span ketat selalu mereka pakai ketika masuk kantor. Mereka pun tak marah ketika bagian tubuhnya 'tersenggol' oleh lawan jenis, kalo aku sih udah aku gampar orang yang nyenggol-nyenggol tubuh aku kayak gitu. Di luar kantor pun mereka selalu memakai pakaian yang seksi seakan-akan senang dengan memamerkan tubuh mereka itu. Sungguh bertolak belakang dengan aku dan kedua teman dekatku yang memakai pakaian muslimah yang cukup syar’i. Tapi yang paling aku tidak suka adalah mereka kayaknya seperti orang-orang yang suka membully orang yang mereka anggap lemah. Itulah yang membuat aku agak segan menerima kenyataan pindahnya aku ke Dinas Keuangan.
Sesampainya di kantor Dinas Sosial, aku langsung menuju meja kerjaku di lantai dua. Fatmah dan Nisa sudah menungguku dengan wajah yang sama sedihnya denganku.
"Shaniya!" Fatmah langsung memelukku erat. "Aku nggak rela kamu pindah!"
"Iya, rasanya kayak kehilangan saudara sendiri," tambah Nisa sambil ikut memelukku.
Kami bertiga memang sangat dekat sejak pertama kali diterima sebagai CPNS lima tahun lalu. Kesamaan latar belakang keluarga yang taat beragama membuat kami mudah akrab. Kami sering menghabiskan waktu istirahat dengan sholat berjamaah di musholla kantor dan juga kadang-akadang kami ikut pengajian-pengajian dari ustadz dan ustadzah di luar kantor.
"Kalian lebay banget sih," kataku sambil tersenyum getir. "Nanti kalau pulang kantor kita masih bisa ketemu kok."
"Tapi nggak sama dong, kita nggak bisa seruangan lagi. Kita beda gedung kantor Shaniya," protes Fatmah.
"Eh, ngomong-ngomong," Nisa menurunkan suaranya, "kemarin aku lihat si Ghea sama Cheryl itu lagi jalan-jalan di mall. Astafirullah, bajunya makin nggak karuan aja!"
"Gimana maksudnya?" tanyaku penasaran.
"Mereka pakai crop top sama celana jeans ketat gitu. Perutnya sampai kelihatan, Shaniya! Masa iya PNS kayak gitu kelakuannya, udah punya suami juga keduanya." jawab Nisa dengan nada jijik.
Fatmah mengangguk setuju. "Iya, kan kita ini representasi pemerintah. Harusnya bisa jadi teladan masyarakat. Eh malah kayak gitu."
"Makanya aku gak nyaman banget harus sekantor sama mereka," gerutuku. "Gimana nanti kalau aku ketularan tingkah laku mereka?"
"Astaghfirullah, jangan sampai!" seru Fatmah. "Kamu mah kuat imannya, Shaniya. Nggak bakal terpengaruh sama orang-orang kayak gitu."
"Iya, lagian kamu gak bakalan cocok ama mereka. Aku yakin deh." tambah Nisa.
Kami menghabiskan sisa hari itu dengan membereskan meja kerjaku dan mengobrol tentang berbagai hal. Setiap kali membahas masa depan, perasaan cemas tentang tempat kerja baruku selalu muncul.
Keesokan harinya, aku berdiri di depan gedung Dinas Keuangan dengan perasaan campur aduk. Gedung berlantai empat itu tampak lebih megah dibanding kantor lamaku. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk.
"Selamat pagi, Mbak!" sapa seorang satpam ramah di pintu masuk.
"Selamat pagi, Pak," jawabku sambil tersenyum.
Ketika aku sampai di lobby, seorang perempuan berusia sekitar 50-an mendekatiku. Dia mengenakan blazer hitam dan rok selutut, terlihat sangat profesional.
"Kamu Shaniya ya? Yang baru pindah dari Dinas Sosial?" tanyanya dengan suara yang tegas tapi ramah.
"Iya, Bu. Saya Shaniya," jawabku sambil sedikit membungkuk sopan.
"Saya Bu Wulan, Kepala Bidang Anggaran. Ayo, saya antar ke ruangan kamu."
Kami naik lift ke lantai tiga. Sepanjang perjalanan, Bu Wulan menjelaskan struktur organisasi dan tugas-tugas yang akan aku kerjakan. Aku mendengarkan dengan seksama sambil mencoba menenangkan degup jantungku yang masih berdebar.
"Ruangan kamu di sini," kata Bu Wulan sambil membuka pintu ruangan yang cukup luas dengan enam meja kerja. "Kamu akan bergabung dengan tim Perencanaan Anggaran."
Ketika aku melangkah masuk, mata langsung tertuju pada dua sosok yang sudah sangat kukenal. Ghea dan Cheryl duduk di meja yang berseberangan, keduanya sedang asyik mengobrol sambil tertawa.
"Astaga, Shaniya!" seru Ghea dengan suara yang cukup keras. "Beneran kamu yang pindah ke sini?"
Cheryl ikut menoleh dan langsung berdiri dari kursinya. "Wah, nggak nyangka! Akhirnya kita satu kantor juga!"
Aku tidak menyangka mereka kenal namaku padahal kami hanya pernah sama-sama ikut diklat prajabatan dan tidak begitu akrab. Mereka berdua mendekatiku dengan senyum lebar. Aku memaksa tersenyum sambil menjawab, "Iya, mulai hari ini aku kerja di sini."
"Ini pasti takdir!" kata Cheryl sambil menepuk bahuku. "Kita dulu satu angkatan waktu ikut prajab CPNS, sekarang bisa kerja bareng lagi!"
Ghea mengangguk antusias. "Iya betul! Shaniya, nanti kalau ada yang nggak ngerti, tanya aja sama kita ya. Kita udah tiga tahunan di sini."
"Terima kasih," jawabku singkat.
Bu Wulan kemudian memperkenalkanku kepada tiga rekan kerja lainnya: Pak Budi, Pak Ardi, dan Mbak Sari. Mereka semua menyambutku dengan ramah, tapi pikiranku masih terpaku pada kenyataan bahwa aku harus bekerja setiap hari dengan dua orang yang tidak aku sukai ini.
Gila, asli gak nyangka sifat mereka ternyata cukup ramah. Aku pikir mereka wanita yang suka membully karena melihat karakter mereka yang seperti arogan dan angkuh. Selama ini aku telah salah sangka saja. Aku pun mulai sedikit nyaman dengan sikap mereka ke aku.
Seminggu sudah berlalu sejak aku memulai perjalanan baruku di Dinas Keuangan. Suasana baru, rekan kerja baru, dan dinamika yang berbeda membuat hari-hariku terasa lebih berwarna. Aku mulai bisa menerima sekantor bahkan seruangan dengan Ghea dan Cheryl. Bahkan boleh dibilang mulai dekat.
Namun, kedekatanku dengan mereka rupanya menarik perhatian Fatmah dan Nisa, dua sahabat lamaku dari tempat kerja sebelumnya. Mereka tampak sedikit bingung, bahkan mungkin cemas, melihatku begitu cepat menjalin keakraban dengan Ghea dan Cheryl.
"Kamu jadi dekat ya sama Ghea dan Cheryl?" tanya Fatmah suatu siang, saat kami bertiga janjian makan siang di sebuah resto yang dekat dengan kawasan perkantoran Pemda. Suaranya terdengar penasaran, tapi ada sedikit nada was-was di dalamnya.
Aku tersenyum sambil menyeruput es teh manis yang baru saja kuminum. "Iya, ternyata mereka baik kok, Fat. Awalnya aku juga ragu, tapi setelah kenal lebih dalam, mereka asyik banget."
Nisa, yang duduk di sebelah Fatmah, langsung mengerutkan kening. "Asyik? Apa kamu gak khawatir kamu jadi kayak mereka—pakai baju ketat, rok mini, dan dekat dengan yang bukan muhrim meski udah punya suami." ujarnya dengan nada menggurui.
Aku menggeleng sambil tertawa kecil. "Santai aja, Fat. Gue—eh, aku nggak akan kayak mereka kok."
"Lho, tuh kan! Kamu mulai 'lu-gue' ngomongnya! Pasti gara-gara pengaruh mereka!" Nisa memotong dengan suara yang semakin tinggi, matanya menyala tanda kesal. "Seriusan, Shan, jangan terlalu deket-deket sama mereka. Mereka tuh pasti bawa pengaruh buruk!"
Aku menghela napas. Rasanya agak kesal mendengar penilaian mereka yang terkesan gegabah. "Apaan sih, Nis. Aku bisa jaga diri kok. Lagian, kalian bahkan belum pernah ngobrol lama sama mereka. Mereka baik, jauh dari gambaran yang selama ini kalian bayangkan."
Fatmah dan Nisa saling pandang, seolah tidak yakin dengan pembelaanku. Tapi aku sudah memutuskan untuk tidak terjebak dalam prasangka. Aku percaya bahwa setiap orang punya sisi baik, dan Ghea serta Cheryl telah membuktikan bahwa stereotip tidak selalu benar.
Setelah selesai makan siang bersama Fatmah dan Nisa kami kembali dengan naik taksi online ke kawasan perkantoran. Kami berhenti di Dinas Sosial. Setelah bercakap-cakap sejenak, aku pun bergegas meninggalkan kantor Dinas Sosial dan menuju gedung Dinas Keuangan tempatku bekerja sekarang. Jaraknya tidak terlalu jauh jadi bisa jalan kaki. Pikiranku masih sedikit penuh dengan percakapan tadi—tentang Ghea, Cheryl, dan kekhawatiran kedua sahabat lamaku. Tapi aku mencoba mengabaikannya. Bagaimanapun, aku punya hak untuk memilih teman sendiri.
Baru saja aku melangkah masuk ke lobi kantor, tiba-tiba suara familiar memanggil namaku.
"Shan, sini duluuu!"
Aku menoleh dan melihat Ghea sedang berdiri di dekat sofa lobi bersama Cheryl. Mereka dikelilingi oleh beberapa rekan kerja pria—sekitar lima orang—yang tampak asyik mengobrol. Aku menghampiri mereka dengan senyum kecil.
"Nih, gue kenalin temen baru gue yang sering gue ceritain ke kalian," kata Ghea sambil menepuk pundakku. "Namanya Shaniya!"
Mereka semua langsung menatapku, dan satu per satu mulai memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Aku mengenal wajah mereka, tapi belum pernah benar-benar berinteraksi sebelumnya. Biasanya, aku selalu menghindari bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram. Tapi entah mengapa, kali ini, tanpa pikir panjang, aku justru menjabat tangan mereka satu per satu.
Ada Rangga, Bram, Teguh, Rully, dan Anwar—masing-masing menyebutkan namanya dengan ramah.
"Gue Shaniya," balasku tanpa sadar.
Wait—what? "Gue"?
Aku sendiri kaget mendengar kata itu keluar dari mulutku. Lagi-lagi, aku terpengaruh gaya bicara Ghea dan Cheryl. Ternyata benar kata Nisa—pergaulanku dengan mereka sedikit demi sedikit mengubah kebiasaanku. Tapi anehnya… aku sama sekali tidak merasa terganggu. Malah, ada rasa lega karena bisa lebih santai.
Obrolan pun mengalir begitu cair. Aku, yang biasanya canggung di antara banyak orang, kini justru ikut tertawa lepas mendengar lelucon Rangga dan Bram yang memang terkenal humoris. Bahkan, tanpa kusadari, kata "gue-lu" sudah begitu natural keluar dari mulutku.
Tapi ada satu hal yang membuatku agak tersadar—beberapa kali, Rangga, salah satu dari mereka, melirik ke arahku dengan tatapan yang agak berbeda. Aku tahu itu bukan sekadar tatapan biasa. Padahal, aku sudah bersuami. Aku hanya bisa berharap dia tidak salah paham.
Kami begitu larut dalam obrolan sampai-sampai aku sedikit melupakan Fatmah dan Nisa—dua sahabat lamaku yang alim, yang mungkin saat ini sedang menggeleng-gelengkan kepala jika melihatku seperti ini.
Setelah cukup lama ngobrol "ngalor-ngidul", akhirnya kami berpisah. Aku, Ghea, dan Cheryl berjalan bersama menuju ruang kerja kami. Di sepanjang koridor, kami terus bercanda dan tertawa, layaknya sahabat yang sudah bertahun-tahun akrab.
Tapi ada satu hal yang tiba-tiba membuatku tersenyum sendiri—pemandangan kami bertiga pasti terlihat sangat unik di mata orang lain.
Aku, dengan jilbab lebar dan rok panjang yang rapi, berjalan di antara Ghea dan Cheryl, yang berseragam ketat dan terlihat begitu percaya diri. Dulu, aku, Fatmah, dan Nisa selalu memandang rendah gaya berpakaian mereka. Tapi sekarang? Aku sama sekali tidak merasa risih.
Aku bahkan tidak lagi memikirkan pakaian ketat mereka. Yang kurasakan hanyalah kebahagiaan karena punya teman-teman yang menyenangkan.
Dan sekali lagi, aku menyadari—aku benar-benar sudah berubah.
Tapi apakah perubahan ini buruk?
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
