ENCELADUS | PROLOG

4
2
Deskripsi

Tahun 2170 ….

Sebuah misi pencarian kehidupan di laut bawah es Enceladus dimulai. Dengan memulai pembuatan lubang hingga tembus ke lautan di kedalaman empat kilometer, sebuah tim terjun, namun terjadi insiden hingga menyebabkan timnya terpisah-pisah di lautan gelap. 

Dalam kondisi lemah dan nyaris kritis, bagaimana tim dapat bertahan hidup ketika mereka menghadapi kenyataan bahwa mereka tak dapat kembali ke stasiun luar angkasa karena rusak? Bagaimana Vi, dr. Salma, dkk harus berbuat? Apa hasil dari...

Enceladus fact:

Sebelum pergi menjelajah, harap baca poster agar tidak tersesat. Credits: NASA

___

Perempuan hebat di luar angkasa

 

PROLOG

Cahaya mentari pagi terlihat elok, membentuk berkas-berkas cahaya di antara butiran-butiran air. Langit gelap gulita bagai malam kelam. Samalah rasanya seperti rembulan di kesunyian malam. Sedangkan pemandangan spektakuler terlampau indah di sisi lain. Seperti tergantung bola raksasa kuning bercincin. Garis-garis putih melingkari bola raksasa itu, membuat bayangan melengkung di permukaan bola kuning itu. Garis samar-samar mengikuti arah horizontal. Ya, itulah planet terbesar kedua di Tata Surya, planet Saturnus.

Itu yang terlihat dari jendela bundar beralumunium.

“Vi ....” Terdengar suara yang memanggil dirinya.
Wajah itu menoleh dari dekat jendela, memperhatikan seorang perempuan muda berbaju medis di tengah modul ruang angkasa bersamanya. 

“Tenang, mereka sudah kami cari. Tak perlu tergesa-gesa menyusul.” Perempuan berambut panjang itu menelan ludah. Wajahnya terburu-buru. 

Perempuan yang diajak bicara hanya terdiam seperti menyimak, namun seperti sayu. Tangannya ditarik dari menyentuh jendela kaca bundar itu. Tubuhnya tertambat oleh sebuah tali agar tidak pindah dari tempatnya.

“Zen sudah memastikan mereka di kedalaman empat kilometer?” Perempuan itu akhirnya bertanya, menghapus kebisuan. Matanya mungkin menatap pemandangan eksotis di luar, namun hatinya tidak berada di situ.

“Ya.” Petugas medis itu mengangguk. Di seragam biru dada kanannya tertulis ‘dr. Salma’. “Kita berharap water jet-nya tidak rusak.”

Wajah perempuan yang diajak bicara itu menjadi cemas. Memang benar dirinya ikut dalam misi gila ini. Harapan di tengah bekunya dunia lain, jauh dari hiruk-pikuk dunia manusia. Dengarlah keputusan manusia saat memutuskan untuk menyebarkan diri di alam semesta sejak awal abad ini. Kelanjutan dari proses penyebaran manusia di Tata Surya semakin masif. Walau sebenarnya tujuan itu bukan hal yang utama, namun efeknya benar-benar besar. Sumberdaya di planet dan asteroid dikuras habis-habisan. Bahkan ada sebuah asteroid yang nyaris hancur menjadi puing-puing akibat habis ditambang. Pangkalan-pangkalan stasiun luar angkasa dibangun. Ada lima tempat yang menjadi destinasi seperti Bumi, Bulan, Phobos, Callisto, dan Rhea. Sisanya berupa proyek gigantik semacam generation ship. Hari ini, ada dua buah yang sudah jadi. Ini demi men-support misi-misi yang akan datang.

“Pihak pengelola sudah tahu?”

“Tentu saja,” dr. Salma menjawab cepat. “Namun, sepertinya bakal kerepotan.”

Perempuan itu menghela napas. Tangannya menggigil. Wajahnya sedikit pucat. “Memangnya tak ada robot yang membantu?”

“Robot yang mana?” dr. Salma balik bertanya. Tangannya meraih palang untuk menjaga posisinya.

“Bukannya kita memiliki banyak robot di sini?” Perempuan itu melipat dahi.

“Sejak kalian menghabiskan waktu di bawah, dia pergi ke stasiun luar angkasa Rhea.” Dr. Salma menjawab perlahan. Ia menatap grafik di layar di dinding di depannya. Itu tak lain grafik posisi seluruh misi yang ada saat ini. Namun, yang terpampang saat ini hanyalah misi di bulan-bulan Saturnus dan Yupiter. Sebulan sebelumnya, tim misi yang ia jalani sudah mendengar dari misi tetangga di orbit Yupiter—dan sukses.

“Artinya mereka tak mungkin kembali?” Perempuan itu kembali bertanya.

“Ya, begitulah,” dr. Salma menjawab pelan sembari menatap wajah dingin perempuan di depannya.

Perempuan itu menghela napas panjang, seperti ada yang membuah gelisah di hatinya.

“Kau belum makan?” Dr. Salma menghela napas berat. Astaga, kenapa jadi begini misinya? Seluruh manusia pasti akan sibuk mengomentari kabar buruk ini.

Perempuan itu kembali menatap dirinya lamat-lamat. Ia masih terngiang-ngiang dengan kejadian itu. “Entahlah. Kupikir lebih enak melupakan masalah itu sejenak.”

Dr. Salma mengangguk. Memang benar kata Vi ini. Dirinya juga tahu masalah itu. Tidak hanya dirinya, namun juga seluruh kru yang ada.

“Aku pergi dulu, Vi.” Terdengar suara dr. Salma sedikit menjauh.

Vi mengangguk, menatap punggung dokter muda itu keluar dari ruangan sempit ini. Tampangnya tidak rumit penuh kabel-kabel seperti modul zaman-zaman abad 21 lalu. Yang ada, hari ini hanya terdapat lubang-lubang sistematis dan kontrol layar ataupun kontrol melalui pikiran dan sentuhan tangan.

Perempuan itu sekilas menatap ke arah jendela. Eksotisme planet Saturnus memang sangat menakjubkan. Bagai bola oranye raksasa bercincin yang tergantung di langit gelap. Pantulan cahaya membuat dalam ruangan ini sedikit terang. Hanya saja ia cemas dengan rekan-rekannya yang berada di dalam sana, jauh di lautan di bawah lapisan es beku. Ia rasa-rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya.

***

Gelap gulita. Bagai tinta yang amat pekat. Hanya seberkas cahaya yang sangat samar membayang di dalam air. Boleh dikatakan ketiadaan cahaya. Hanya fotografi dengan shutter speed panjang yang dapat menangkapnya. 

Tangannya terasa mengambang. Beruntung? Entahlah. Yang masih beruntung hanyalah perangkat elektronik yang masih berfungsi. Pakaian luar angkasa saat ini lebih mirip seperti pakaian renang saja daripada baju luar angkasa beneran. Tabung oksigen di punggung serasa melayang bersama dirinya. Jari-jemarinya terasa dingin, seperti ada yang sedikit rusak pakaian di bagian situ. Pengap. Napasnya satu-dua kali dihela lebih keras. Bayangan hipotermia membayangi benaknya. Sedikit saja melakukan kesalahan dapat berakibat fatal. Atau mungkin bakal membeku bersama lautan ini? Mohon maaf sekali dia terkurung di dalam dunia lain.
Ia menatap selubung kaca helmnya yang tak terlihat. Pikirannya menyuruh sistem baju mengaktifkan layar hologram yang sleep lima belas detik lalu. Sekejap muncul filamen cahaya.
Tiga puluh persen? Okelah, baterai masih cukup untuk dua jam.

Ia termenung lagi. Entah harus melakukan apa. Es di atas kepalanya terasa keras bagai baja, tak tertembus dengan tenaga tangan. Siapa tahu malah bisa membuat pakaiannya bocor. Bahaya. Ia menggigit bibir. Tak ada cara. Samudera gelap dan dingin menyelimuti jiwa-raganya.

“Aldy ...!” ia berseru lemah, berharap ada yang mendengar teriakannya di dalam samudera ini. 
Sudah satu jam lebih ia tertahan di sini, samudera bawah es laut tebal. Gerakan tangannya lunglai dalam ketiadaan cahaya. Ia takut dengan dehidrasi sebagaimana ia takut dengan hipotermia. Apa mungkin dia bakal membuka helm untuk meminum air samudera ini? Jangan-jangan ia mati keracunan. Tangan dan kakinya bergerak-gerak di tempat. Mengayunkan diri cukup menyusahkan.

“Tolonglah .... Plis ....” Ia tak kuasa menahan keluhannya. Bagaimanapun, ini juga tentang nyawa, tentang hidup dan mati. Mau misi ini berhasil atau tidak, nyawa adalah harga mati.
Ada empat kru lain yang entah bagaimana nasibnya. Mereka meluncur tanpa pasti tanpa hambatan. Mungkin mereka terombang-ambing di dalam sunyinya dalam samudera. Harapan yang tersisa hanyalah menggapai ujung-ujung es lancip. Gelap bagai kebutaan. Sepi. Seperti dirinya.

Perempuan itu entah kenapa kembali teringat dengan planet biru jauh di sana. Juga kenangan keberhasilan misi-misi sebelum ini. Eksplorasi yang cukup mudah, yakni hanya di permukaan bulan-bulan planet gas. Tak perlu penetrasi berkilo-kilo meter.

Ia merapatkan tangannya. Sekujur tubuh serasa menggigil. Rasa-rasanya tak ada kerennya memakai baju luar angkasa bertuliskan ‘ELIS’ dengan tulisan ‘Enceladus Life Search’ sebagai kepanjangan di dada kirinya.

Ia terdiam. Hatinya resah setengah pasrah. Mau bagaimana lagi? Bagai karakter superhero yang bertekuk lutut di depan musuh bebuyutannya. Gagal total. Kesunyian di dalam air terasa membunuh segalanya. Napasnya terasa dingin, mungkin saja membuat embun di kaca helm. Semoga saja tidak pecah. Ia tak tahu harus menjerit atau menangis. Dunia seperti berbelas kasihan. Hatinya merana pada sebuah asa. Apapun dan sekecil apapun itu. Atau mungkin ini hanyalah mimpi? Entahlah. Namun, sepertinya mimpi buruk di dunia nyata.

Ia sempurna hanya menatap sayu kegelapan yang menyelimutinya. Tak mungkin ia menembus es berkilo-kilo meter. Ia menelan ludah. Pengap. Sial, ternyata persentase oksigen terus menurun sangat perlahan.

Dengan memandang dari permukaan, lubang sedalam empat kilometer itu muncul semburan air. Sebagian membeku di sisi dekat dinding lubang itu sehingga lubang menyempit. Dengan suhu nyaris mencapai minus dua ratus derajat Celsius, tak pelak menyentuh es sama saja dengan tindakan membekukan diri. Sebagian butiran es melayang ke luar angkasa, membentuk kabut tipis yang indah di tengah gelapnya alam semesta. Matahari bersinar redup kecil nun jauh di sana. Dengan jarak lebih dari satu miliar kilometer, orang-orang Bumi menaruh kasihan dengan misi-misi jauh yang terisolasi dari hiruk-pikuk manusia.

Dengarlah, Kawan. Atau siapapun itu. Tolong, dengarkan jeritan mereka di bulan ber-es beku ini. Hatinya meronta-ronta meminta belas kasihan. Mereka tak peduli dengan indahnya cincin Saturnus atau sabit-sabit bulannya. Tolong mengertilah .... Di situ gelap, dingin .... Sepi sendiri ....

Krak ...! 

Ujung es yang ia raih patah seketika. Dirinya merasa mengambang bebas di dalam samudera sebagaimana hatinya juga mengambang oleh ketidakpastian.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ENCELADUS | 1
1
0
Dunia es dalam genggaman misi manusia.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan