
LANGGAR TANAH TULAH
Part Akhir
Spoiler :
" Ada seorang perempuan tua berambut panjang duduk di tengah-tengah langgar. Ia terlihat sedang mengelus-elus sesuatu sambil menggumamkan tembang.
Tak lelo, lelo, lelo ledung,
Cep meneng aja pijer nangis
Anakku sing ayu rupane,
Yen nangis ndak ilang ayune
Aku tahu rasa takut yang kurasakan berasal dari sosok itu. Tembang yang seharusnya menenangkan itu terdengar begitu mencekam di malam itu.
Saat semakin mendekat, aku dapat melihat...
LANGGAR TANAH TULAH
21
9
3
Berlanjut
-PATI 1995-LANGGAR TANAH TULAHProlog :“Asih! Pulang! Sudah Maghrib!” Teriak seorang ibu yang memanggil anaknya untuk segera pulang sebelum matahari terbenam. “Iyo, Bu. Sebentar! Aku panggil Didit dulu!” Teriak Asih yang menyempatkan diri untuk memanggil teman mainnya yang sedari tadi bermain petak umpet bersamanya. Asih berteriak memanggil nama Didit, namun tak ada jawaban. Asih mengira Didit masih bersembunyi karena menganggap permainan belum selesai. “Dit! Ayo pulang! Aku sudah dipanggil ibu!” Teriak Asih. Walau begitu, sama sekali tidak ada jawaban dari Didit. Asih terus mencari ke kebun hingga lapangan, namun tidak menemukan Didit. Ia pun memutuskan untuk pulang mengira Didit sudah pulang lebih dulu karena disuruh orang tuanya. Namun sebelum sempat untuk kembali, Asih melihat sesuatu yang tidak biasa ia lihat. Ada seseorang di sebuah langgar yang sudah lama tidak digunakan untuk beribadah. Ia mendekat dan melihat Didit berada di sana. “Dit! Ngapain kamu disana, Dit! Kan ndak oleh dolan mrono!” Teriak Asih sambil segera menghampiri Didit untuk mengajaknya keluar. Saat itu langit sudah memerah. Ia melihat langgar yang sudah tua itu benar benar sudah rapuh seolah bisa hancur kapan saja. Ia melihat Didit berdiri di sana menatap langit-langit ruangan kecil yang sangat rapuh itu. Wajah Didit pucat. Ia menoleh ke arah asih dengan tubuh gemetar. “Tolong aku, Asih…” Mendengar itu, Asih mendekat dan melihat langit-langit langgar. Saat itu seketika asih terjatuh dengan tubuh yang lemas. “Dit.. i—itu apa, Dit!” Ucap Asih gemetar. Ia melihat mayat-mayat dengan sisa kafan merayap di langit-langit bangunan itu. Didit terlihat ketakutan dan menangis, Asih baru sadar ada makhluk serupa yang mencengkeram kaki Didit dan menggigitinya. “Dit! Lari, Dit!” Teriak Asih. Asih benar-benar ketakutan, tubuhnya gemetar. Namun di ujung ketakutannya itu tiba-tiba ia mendengar langkah seseorang. “Asih?! Ngapain di sini? Kan nggak boleh main di sini?” Asih menoleh dan mendapati Didit ada di belakangnya. Ia kembali menoleh ke arah langgar itu, dan ia tak melihat apapun selain bangunan tua yang sudah tak terurus. “Dit? Ka—kamu?” Asih masih terlihat bingung. “Mukamu pucet banget. Ngeliat apaan?” Didit yang curiga menatap ke arah langgar itu. Saat itu aku berusaha untuk berdiri dan buru-buru mengajak Didit meninggalkan tempat itu. “Wis, Dit! Mulih cepet!” Perintahku. “Kamu ngeliat yang aneh-aneh ya?” Asih hanya mengangguk tanpa berani berkata apapun. Sepertinya Didit juga merasakan perasaan yang tidak nyaman sehingga tidak berani bertanya macam-macam. Saat sudah cukup jauh, Didit masih sesekali menoleh ke arah langgar yang sudah hampir tak terlihat dari mata kami. “Eyangku pernah main ke desa ini, dia ngeliat langgar itu dan langsung merinding. Katanya jangan dekat-dekat ke langgar itu kalau malam. Katanya itu bukan tempat untuk manusia lagi…” ***
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Langgar Tanah Tulah
Selanjutnya
PERANG TANAH DANYANG Part 3 - Jeritan Alam Terkutuk
7
3
PERANG TANAH DANYANGPart 3 - Jeritan Alam TerkutukSpoiler :…Pendopo Kunci Jagat, itu adalah nama tempat yang baru saja kami singgahi. Eyang Wirabumi dan leluhur kami yang lain menggunakan tempat itu sebagai tempat aman untuk singgah dari perburuan ratusan tahun mereka. Aku menoleh bangunan itu. Entah bagaimana bangunan itu bisa ada di alam ini, namun aku menduga sesuatu yang hebat memindahkannya dari alam manusia. Kami meninggalkan Pendopo Kunci Jagat mengikuti arahan Eyang Wirabumi. Baru saja beberapa langkah aku meninggalkan wilayah itu, tiba-tiba aku terjatuh. Sesuatu mencoba merasuki kepalaku. “Danan!” Teriak Mas Jagad. Paklek Pun terjatuh berlutut berusaha menahan kesadaran Jagad Segoro demit mengambil alih pikirannya. Saat itu Eyang Wirabumi menghentikan langkahnya, mengerti apa yang terjadi. “Selemah ini kah penerusku saat ini?!” Ucapnya berbalik. Ia tak membantu kami dan hanya duduk bersila selama di tanah sambil memandangi kami bertiga yang susah payah menahan pengaruh itu. “Aarrrgghh!! Pergiii!!” Mas Jagad mulai terpengaruh. Ia beberapa kali mencoba membenturkan kepalanya ke tanah. “Kalau kalian tak bisa bertahan dari ini, sebaiknya kalian kembali. Jagad Segoro demit bukan tempat makhluk lemah!” Balas Eyang Wirabumi. “Sial!! Jangan remehkan kami!” Aku beberapa kali memukul tanah berusaha mempertahankan kesadaranku. Berbeda dengan aku dan Mas Jagad yang mencari pelampiasan, Paklek justru bermeditasi untuk menenangkan kesadaran yang berkecamuk di dalam kepalanya. Apa? Apa yang harus kulakukan? Di tengah kebingunganku itu aku teringat tentang Cahyo yang pernah terjebak seorang diri di alam ini. Ia berhasil bertahan dengan bantuan keberadaan wanasura dan wanasudra. Aku tahu bahwa kedua roh panglima kera itu tidak memiliki kemampuan untuk melindungi kesadaran kami seperti Nyi Sendang Rangu. Saat itu aku berkali-kali mengulang ayat-ayat suci di kepalaku menghindarkan aku dari hasrat dan nafsu yang mencoba merasuki pikiranku. Tidak mudah, namun perlahan aku kembali mendapatkan kesadaranku. “Mas Jagad?!” Aku menoleh ke arahnya, namun saat itu hawa panas terpancar dari tubuhnya. Aku sempat khawatir, namun beberapa saat kemudian ia kembali membuka mata dengan tenang. Sepertinya ia sudah menemukan caranya sendiri untuk melindungi kesadarannya. Begitu juga paklek. “Sudah selesai?” Tanya Eyang Wirabumi. Kami mengangguk. Benar-benar tidak ada pertolongan apapun dari leluhur kami itu. “Kita lanjutkan..” Kami berjalan menelusuri padang gersang yang tak berujung. Bahkan setiap kami berjalan, terkadang apa yang kami lihat berubah begitu saja. Benar-benar tak mungkin ada manusia yang bisa bertahan di sini. Setiap makhluk yang menemukan kami selalu berusaha mencoba untuk menjadikan kami mangsa mereka. Perjalanan kami berhenti di sebuah rawa dengan air yang hitam pekat. Aku terperanjat saat mendengar suara teriakan dan tangisan anak-anak kecil dari sekitar kami. “Suara ini?” Tanyaku. “Kalian akan tahu sebentar lagi!” Kami berjalan mengambil jalur setapak diantara rawa-rawa di sekitar kami. Suara teriakan dan rintihan itu terdengar semakin jelas, namun kami belum menemukan wujudnya. Saat hampir sampai di sisi seberang rawa, tiba-tiba gumpalan asap hitam muncul jauh dari hadapan kami. Srekkk… srekk…. Srekk… Suara sesuatu yang besar terdengar terseret dari gumpalan asap hitam itu. Kini terdengar jelas bahwa suara itu berasal dari arah itu. “Danan! itu!” Mas Jagad menyadarinya. Ada dua sosok makhluk bertubuh besar dengan wajah yang hancur. Ia mengenakan perhiasan tua seperti dari zaman kerajaan, namun ada rantai hitam mengikat lehernya. Di belakangnya, tangannya menggenggam tambang berwarna hitam pekat yang mengikat roh-roh yang terus meronta untuk menyelamatkan diri. “Ampun!! Lepaskan kami…” “Sakit! kami tidak salah apapun…” “Mengapa kami harus menanggung ini semua?!!” Roh-roh itu terikat dan terus menangis berusaha untuk pergi, namun kedua buto itu justru mempermainkan mereka dengan sadis. Wajah mereka dihancurkan, tubuh mereka dibanting, mereka diseret seperti binatang. Mbah Wirabumi melangkah menuju sosok itu. “Mereka adalah…”…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan