
PAGELARAN SEWU LELEMBUT
Part 4 - Pementasan Mayat
Spoiler :
…“I—itu?” Gama terlihat bingung.
Ada api unggun yang besar, ada manusia atau apa yang tak dapat kami lihat dengan jelas dari balik pepohonan di depan kami. Mereka seperti berpesta, namun dengan iringan gamelan dengan irama yang kelam.
“Apa yang mereka lakukan?” Tanyaku.
Budi sepertinya sudah gatal ingin menyambangi mereka, namun Gama menahannya.
“Itu.. Itu ritual, Nan. Persis ritual yang pernah kulihat di desa terpencil di semesta Bara,” Ucap...
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Pagelaran Sewu Lelembut
Selanjutnya
Pagelaran Sewu Lelembut Part 5 - DARANG
11
5
Pagelaran Sewu LelebutPart 5 - DarangSpoiler :… “Jika Bara bisa menggunakan wayangnya untuk mewujudkan Jogorawu, maka aku juga bisa mewujudkanmu sesaat dengan bayangan rembulan ini, Wanasura..” Cahyo melibatkan sarungnya di leher sambil menyatukan seluruh kesadaranya dengan Wanasura. Seketika biji mata Cahyo memerah, kedua taring menyeruak dari giginya, dan bulu putih halus mulai tumbuh. GRAAAOOORRR!!!! Suara Wanasura terdengar mengaum dari mulut Cahyo. Aku mulai panik, Cahyo seperti berubah menjadi siluman kera. Dan wujudnya begitu mengerikan, namun ia bergumam dan tetap berada di atas pohon itu. KRAKKKK!!! Panggung batu itu tiba-tiba hancur. Aku menoleh dan sosok bayangan hitam berwujud Wanasura berdiri bagai raksasa yang ingin melumat pertunjukan itu. “BRENGSEK!! Bagaimana makhluk sakral ini bisa ada di sini?! Ternyata kalian bukan manusia biasa!” Ki tunjung merasa menyesal meremehkan kami. Bayangan Wanasura itu mengamuk, ia menumbangkan pepohonan untuk menghalangi pementasan yang akan diulang itu. Namun Ki Tunjung tidak diam. Dok dok.. dok dok dok… Ia memukul dodogan dan menoleh ke arah demit yang sedari tadi hanya menonton pementasan. “Sopo sing arep nonton kudu melu mateni menungso-menungso sing ra diundang…” (siapa yang ingin menonton harus ikut membunuh manusia-manusia yang tidak diundang) Saat itu seketika setan-setan yang berkumpul menyaksikan pementasan Darang itu mengincar kami. Roh-roh yang merasuk ke mayat di panggung merasuk ke tubuh Ki Tunjung dan membuat kekuatan hitam menyelimuti tubuhnya. Tubuhnya membesar dengan kulit-kulitnya yang robek. Matanya tak lagi terlihat seperti mata manusia. Aku hampir panik dengan situasi ini, namun sekelebat ada selendang yang melayang di antara setan-setan itu. Ada sedikit bau yang kukenal dari benda itu. Sebelum setan-setan itu sempat menyerang kami, aku membuka sebuah botol kecil yang pernah diberikan Gama padaku. Bau itu adalah bau yang sama dengan wewangian yang diwariskan Ki Langsamana pada Gama. Bau itu menyebar ke sekitar kami dan membuat roh-roh di sekitar kami mulai tenang. “Bau sang ulama…” Gumam Marni. Aku menoleh ke arah Marni. Seperti yang kuduga. Sosok ulama yang pernah meruwat desa ini adalah Ki Langsamana. Tak kusangka, walau hidup di zaman yang berbeda ia tetap menolong kami. “Bau ini! Harusnya ulama keparat itu sudah menghilang! Sudah Mati!!” Umpat Ki Tunjung….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan