
“Siapa kau?”
“Aku menawarkan pernikahan kontrak. Hidupmu akan membaik sebagai satu-satunya keturunan keluarga bangsawan runtuh di masa lalu.”
Thea, wanita berambut merah itu menampar wajah Claude saat pertemuan pertama mereka di celah gudang penyimpanan anggur di ladang anggur di pedesaan yang asri di Skotlandia.
Meski diwarnai hubungan yang kerap kali dimulai dengan pertengkaran yang disulut oleh Thea, namun tekad Claude untuk pernikahan kontrak itu terlalu gigih bagi Thea.
Claude melemparkan kartu...
Beberapa bulan setelah pertemuan di Reliaquary. Kastil Eldford. Birmingham.
Hujan mengguyur lebat tengah malam itu disusul dengan suara guntur yang menggelegar. Inggris telah memasuki curah hujan yang cukup tinggi pada musim itu hingga suasana terasa lebih lembap dari biasanya. Di antara Sutton dan Erdington, di bagian utara terdapat kawasan luas jauh dari kota metropolitan Birmingham, bersama tanah di atas berbukitan tenang dan hijau berdiri kokoh sebuah kastil abad pertengahan di atas bukit. Setiap turis yang melintas dari Sutton menuju Birmingham selalu terpesona dengan bangunan megah kastil itu bagai melihat jejak masa lalu yang berdiri menentang badai dan angin modern. Mereka selalu membawa cerita kastil yang mereka lewati saat tiba di London. Kastil indah yang dikelilingi hamparan rumput hijau dan langit cerah. Namun bagi mereka yang mengetahui Eldford, tak satupun dari mereka ingin mengusik kastil itu apalagi mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Kastil indah yang tertutup persis seperti semak mawar merah berduri yang mengelilingi gerbangnya. Bahkan ketika malam pekat dengan hujan lebat tak mengurangi keindahan bangunan itu.
Hal yang terjadi di dalam kastil amat berbanding terbalik dengan apa yang dilihat di luar. Setidaknya seperti itulah yang dianggap oleh penghuni kastil. Eldford memiliki ruang bawah tanah yang redup dan panjang di bagian timur. Lembap dan nyaris tak memiliki jendela satupun. Ruangan itu terlarang bagi siapapun kecuali sang pemilik dan kepala pengurus rumah tangga saja yang bisa memasuki area itu. Seperti malam berhujan itu, tampak sosok jangkung berotot tengah berdiri di tengah kamar luas salah satu banyak ruangan yang ada di ruang bawah tanah. Kamar kosong melompong dengan ubin yang dingin menusuk tulang, tanpa pencahayaan terang dan hanya beberapa lilin yang menerangi tiap sudut dinding kamar itu. Jeruji besi menutupi kamar serta tak ada satupun jendela. Di sanalah sosok berambut pirang keemasan itu berdiri tegak, hanya punggungnya yang seakan berbicara tentang rasa sakit yang dirasakannya. Di salah satu tangannya terdapat bangkai burung yang mati tercabik olehnya. Sementara di bawah kakinya telah menumpuk bangkai-bangkai burung dan kelinci yang mati mengenaskan. Semua tercabik dan berlumuran darah. Bau kamar itu pekat dan asin. Sosok itu mencengkeram kepalanya dan sedetik kemudian burung mati di tangannya itu terlempar keras di dinding kamar.
Darah. Bunuh yang lebih besar! Beri kami makan. Kami butuh tumbal yang lebih besar! Ayolah keturunan Rosewood! Lakukan seperti leluhurmu! Manusia! Bunuh!
“Aaaargh!!!”
Raungan sosok itu menyeramkan sekaligus menyedihkan. Suara-suara berisik di kepalanya terus berkumandang, mendorongnya untuk membinasakan lebih dari binatang lemah. Sosok itu terduduk di lantai yang dingin dan menggerus lantai dengan jari-jarinya hingga berdarah karena telah kehabisan objek yang ingin dibunuh. Saat itulah Niles Gardner membuka kunci gembok jeruji dan menerobos masuk. Dia menahan pemilik tubuh itu yang bertindak seakan ingin membunuh diri sendiri karena tumbal hewan telah habis sebelum ledakan kegilaan itu mereda.
“Tuan! Mereka sudah tak bersisa lagi!” Niles bisa merasakan sosok yang dipegangnya bukanlah tuannya yang biasa. Penyakit itu meledak melewati kapasitas yang mereka perhitungkan.
Suntik aku jika aku meledak melewati batas yang kita perhitungkan.
Niles mengingat pesan sang tuan jika terjadi hal seperti ini. Maka dengan cepat dia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah suntikan. “Maafkan saya, Tuan Claude.” Dengan gerakan tanpa keraguan sedikitpun, Niles menusuk bagian lengan Claude.
Reaksi cairan yang masuk ke dalam pembuluh darah Claude seketika menghentikan gerakan menggila pria itu. Tubuh yang keras dan kokoh itu terjatuh di lengan Niles dalam keadaan pingsan. Butler itu mengembuskan napas lega dan mengusap keringat di dahinya. Dia mulai berdiri untuk memapah tubuh sang Tuan dan akan segera membersihkan tubuh yang penuh darah hewan itu. Saat Niles membalikkan tubuhnya, dia menoleh ke arah pintu kamar berjeruji itu. Alisnya berkerut dan mendapati keadaan sepi tanpa seorangpun selain dirinya dan sang tuan.
Mengabaikan perasaan sebelumnya seperti ada seseorang yang mengintip, Niles mulai memapah Claude keluar dari kamar lembap itu dan menuju lorong rahasia yang langsung menembus kamar utama Claude. Tentu saja Niles tidak menyadari siapa yang mengintip di tengah malam itu. Tubuh kecil berambut pirang panjang sedang berlari menaiki tangga ruang bawah tanah itu dengan napas memburu.
Ivy kembali ke kamarnya dan bersembunyi di dalam selimut. Suara guntur memekakkan telinga dan hujan keras menerpa kaca jendela kamarnya yang hangat dan nyaman. Namun perasaan Ivy sedang bersedih. Papa! Mengapa banyak burung dan kelinci yang mati? Mengapa Papa penuh darah? Apakah papa sakit sampai disuntik? Mengapa hanya Niles yang menolong Papa?
Ivy menyingkap selimut dan duduk di ranjangnya dengan menyingkirkan rasa takutnya akan guntur dan hujan lebat. Dia akan melihat keadaan papa! Tekad Ivy mengalahkan rasa takutnya melintasi kastil yang luas menuju kamar ayahnya yang berada di bagian timur. Itu artinya Ivy harus berjalan melalui banyak lorong remang dan menghindari bayang-bayang menyeramkan dari semua lukisan dan patung-patung yang ada di tiap sudut.
Dia melompat dari ranjang dan mengaduk isi laci bermainnya yang ada di seberang ranjang dan menemukan sebuah senter. Helena pasti sudah tidur nyenyak seperti babi, pikir Ivy saat dengan pelan membuka pintu kamarnya. Satu-satunya yang harus dihindarinya adalah Niles! Pria itu tidak boleh menangkapnya yang sedang berkeliaran di tengah malam seperti ini.
Ivy memasang cahaya senter paling redup dan meneliti tiap lorong dan bagian kastil. Aman. Tidak ada satupun pekerja yang bangun dan kaki-kakinya yang mungil berlari cepat menembus lorong demi lorong serta banyak tangga untuk mencapai kamar sang ayah. Ivy merasa bangga pada dirinya sendiri bahwa dia berhasil melewati semua lorong sepi dan remang itu saat telah berada di depan pintu kamar ayahnya. Jika saja Ivy menoleh ke belakang, seharusnya dia menyadari bahwa dia hanyalah anak kecil yang naif karena sejak pertengahan dia berlarian di antara lorong kastil, Niles sudah mengamatinya dalam diam.
Ivy menatap pintu kokoh berukir di depan matanya. Dia menarik napas untuk menenangkan pikirannya dan mematikan lampu senternya. Dia mendorong pintu itu dan melonjak girang mendapati benda itu tak terkunci. Dia melongokkan sedikit kepalanya dan mendapati suasana kamar ayahnya yang remang dan tenang seperti biasanya. Namun kali ini sepertinya sang ayah memasang aromaterapi yang lebih pekat dari malam-malam sebelumnya.
Ivy menutup hidungnya. Ini bau cerutu ayah! Tapi kenapa aromanya lebih tajam dan pahit dari biasanya? Ivy merasa ragu untuk melihat sang ayah ketika suara lembut di dalam menyapanya. Suara berat yang sarat rasa sayang dan kelembutan setiap kali menyebut nama Ivy.
“Apakah kau terbangun?”
Ivy mengangkat kepalanya dan mendapati sosok ayahnya yang sedang duduk di salah satu kursi empuk di kamar yang luas itu sambil mengisap cerutu. Di belakang sang ayah terlihat jendela besar tanpa gorden sehingga terpaan air hujan terlihat jelas. Dengan langkah lambat, Ivy melangkah masuk.
“Apakah aku boleh masuk, papa?” Tubuh Ivy sudah sepenuhnya masuk ke dalam kamar tidur. Kedua tangannya bersembunyi di balik punggung dan sepasang bola matanya yang berwarna biru cerah menatap penuh harap. Dia harus memeriksa bau papa! Apakah papa bau darah ataukah ada luka di tangannya?
Claude tersenyum kecil dari kejauhan melihat keraguan puteri kecilnya. Dia melirik jam di atas perapian. Tengah malam. Niles selalu bergerak cepat seperti setan. Untung saja semuanya berjalan seperti seharusnya. Dia menggerakkan tangannya, menggapai agar puteri kecil itu menghampirinya. “Kemarilah, nak.”
Merasa sang ayah menerima kemunculannya malam itu, Ivy berlari ke arah Claude dengan wajah ceria. Dalam sekejap dia sudah melompat ke atas pangkuan sang ayah dan bersandar nyaman di dada ayahnya yang hangat.
Claude menjauhkan cerutunya dari Ivy dan menghancurkan benda itu di asbak yang ada di depan matanya. Dia melihat anaknya itu menggoyangkan kedua kaki dengan riang. “Mengapa tidak memanggil Helena? Apakah kau tidak tidur dari awal?”
Ivy menjadi waspada mendengar nada teguran halus ayahnya. Dia teringat akan tujuannya. Dia harus memeriksa ayahnya! Ivy mengendus tubuh ayahnya dan mendongak. “Papa tidak tidur?” Dia justru membalikkan pertanyaan.
Alis Claude terangkat dan mendengkus kecil. Dia menjentik pelan dahi Ivy. “Ternyata putri ayah mengabaikan pertanyaan. Siapa yang mengajarimu?”
“Bibi Blair!” Ivy menjawab dengan bangga dengan tertawa lebar. “Kalau bibi ketahuan melakukan sesuatu di belakang paman Arthur, bibi akan balik bertanya hal lain untuk menjebak paman Arthur.”
“Tapi papa tidak akan terjebak seperti paman Arthur.” Claude berdiri seraya menggendong Ivy. Dia membawa anaknya ke arah ranjang dan meletakkan anak perempuan itu di sana dan menyelimutinya. “Sekarang tidurlah. Besok kau sekolah.”
Ivy memegang ujung selimut yang menutupi tubuh hingga mencapai dagunya. Penampilan ayahnya sempurna seperti biasa. Tidak ada darah dan luka. Tapi mata Ivy mengenali sesuatu yang tidak biasa. Jari-jarinya ayahnya terlihat sedang ditutupi plaster.
“Papa terluka?” Dia melontarkan pertanyaan itu dengan tatapan bulat.
Claude yang sedang mengatur bantal di samping anaknya sejenak menghentikan gerakannya. Dia menatap jari-jarinya yang tadinya terluka karena menggerus lantai ruang bawah tanah. “Ya. Papa terluka ketika sedang membuka amplop dokumen.”
“Seluruh jari papa terluka saat membuka dokumen?”
“Ya.” Jawaban singkat itu terdengar tegas tak terbantahkan. Claude melihat sang anak mengunci mulut dan menggantinya dengan senyum lebar.
“Selamat tidur Papa.” Ivy menepuk bagian di sampingnya. “Malam ini banyak guntur.” Dia memejamkan matanya dan merasakan kecupan lembut di dahinya.
“Selamat tidur.” Claude berbaring di samping anaknya dan menatap anak perempuan itu yang telah mengatupkan matanya.
Claude memejamkan matanya sejenak. Tidak bisa dibiarkan lebih lama seperti ini. Itulah yang ada dipikiran Claude. Ivy telah melihat apa yang dilakukan Claude saat meledak. Seperti yang dikatakan Niles saat merawat lukanya setelah tersadar dari pengaruh suntikan yang berisi cairan bellburn. Cairan herbal yang berasal dari bunga hitam yang terdapat di daratan tinggi Skotlandia. Selama ini suntikan itu cukup bisa menekan ledakan yang dialami tubuh Claude namun belakangan ini perhitungan waktunya mulai diluar kendali.
Claude membuka matanya dan menatap langit-langit kamarnya. Ini sudah semakin parah! Suara-suara bising di kepalanya semakin meningkat. Hasrat membunuh mulai tak cukup dengan hewan-hewan kecil.
Ponselnya berdenting di antara sunyi kamar dan dengan hati-hati Claude beranjak dari ranjang setelah memastikan Ivy tidur nyenyak. Dia meraih ponselnya dan membaca pesan dari Arthur.
“Niles menghubungiku melalui Hugo. Kau meledak lagi? Kali ini katanya waktunya di luar kendali? Jangan menunda lagi! Segera pergi ke Malmore! Temui keturunan Vaughan! Ini semua demi dirimu dan Ivy.” - Arthur.
Claude berjalan ke arah salah satu rak buku di dekat perapian, tangannya bergerak ke salah satu sekat bagian tengah, menarik satu buku tebal bersampul merah dan tangannya masuk ke dalam. Terdengar suara klik yang halus dan rak buku itu berputar ke arah jarum jam.
Ada satu ruang di balik rak buku itu dan Claude melangkah masuk. Secara otomatis rak buku tersebut kembali ke posisi awal. Lampu di ruangan itu menyala otomatis berdasarkan sensor tubuh Claude. Meski Eldford merupakan kastil yang mempertahankan jejak masa lalunya, namun beberapa tempat telah dimodifikasi Claude dengan hal-hal komputerisasi. Termasuk ruangan rahasia dibalik rak buku yang awalnya sudah ada sejak dulu dan Claude memodifikasinya sedikit.
Solar Cover adalah ruangan rahasia dimana Claude mencari dan mendapatkan informasi rahasia dalam bisnis maupun urusan Rosewood. Salah satu yang diselidiki Claude adalah informasi tentang Thea Darcie Vaughan. Semua data wanita itu ada dalam satu tumpukan. Paul Hansen mendapatkan semua data itu seperti yang diinginkan Claude.
Sambil menyalakan cerutu, Claude duduk dan melembari kembali semua dokumen itu. Thea Darcie Vaughan. Malmore. Salah satu desa yang indah di dataran tinggi Skotlandia. Entah apa yang dipikirkan kakeknya sehingga dia harus menikahi wanita yang tak dikenalnya untuk menekan kutukan Rosewood. Lama Claude termenung dan dengan lambat dia menarik laci mejanya, sebuah pigura seorang wanita cantik berambut pirang sedang menatapnya.
Alicia Grey. Wanita indah yang mencintai Claude hingga pada akhirnya meninggal karena kebusukan Rosewood. Claude juga mencintai Alicia namun jejak sang istri terasa samar di sekitarnya. Kerap kali dia selalu menyalahkan dirinya hingga Alicia berakhir menyedihkan. Tak ada sisa Alicia di Eldford yang bisa dipandang Claude selain pigura yang ada di tangannya. Semua benda yang berhubungan dengan Alicia telah berada jauh di satu lantai bergembok di Eldford. Pintu itu digembok oleh Niles atas perintah Claude dan kuncinya berada di bagian laci terdalam meja kerjanya.
Jika dia harus menikah lagi, Claude tak akan menjanjikan cinta dalam hubungan tersebut. Hubungan itu haruslah berdasarkan keuntungan kedua belah pihak. Keluarga bangsawan yang runtuh. Bangsawan yang membutuhkan penawar kutukan. Claude mengembalikan pigura Alicia ke dalam laci dan menatap surat wasiat kakeknya. Apa yang dimiliki keluarga Vaughan sehingga kakek menawarkan pernikahan ini? Claude mengusap rambutnya dan mendongak menatap langit-langit Solar Cover. Dia sama sekali tidak mengantuk. Kepalanya terasa hening. Suara-suara yang menghantuinya hilang sejenak. Inilah hidupnya. Seperti mayat hidup. Aku butuh sesuatu yang bisa membuatku tidur. Claude kembali mengisap cerutunya. Ah, Alicia. Apa yang harus aku lakukan?
****
Ivy berlari menuruni tangga putar Eldford menuju ruang makan untuk sarapan bersama ayahnya sebelum berangkat sekolah. Meski setiap hari dia sarapan dengan sang ayah, Ivy selalu merasa gembira. Ayahnya yang sibuk dengan perusahaan rokok itu terkadang begitu sulit mencari waktu untuk berjalan-jalan meski demikian, ayahnya selalu duduk di meja sarapan bersama Ivy.
“Selamat pagi Nona.” Para pelayan menyapa sang Nona yang terlihat girang menuju ruang makan sambil menarik ransel berodanya di lantai kastil.
“Selamat pagi!!”
“Nona, jangan berlari. Tuan selalu berpesan agar Nona selalu bersikap anggun.” Helena berlari mengikuti Ivy yang tertawa membahana. Anak perempuan itu bagai iblis kecil yang memiliki dua wajah. Saat berada di luar apalagi ketika berada di antara Rosewood, sikap tubuhnya menampilkan sikap tuan puteri yang memiliki tata krama tingkat tinggi. Namun saat anak itu kembali ke Eldford, perilakunya benar-benar seperti anak kuda lepas kendali.
Ivy membuka pintu ruang makan dengan kedua kaki terbuka lebar dan menyapa sang ayah yang sudah duduk tenang di kursi makan.
“Selamat pagi, Papa!” Dengan sepasang kakinya yang mungil, Ivy menuju kursi makannya.
“Selamat pagi, anakku.” Claude tersenyum membalas sapaan Ivy. Dia bisa melihat Helena yang sedang mengatur napas mendekati meja makan dan mulai berbicara dengan salah satu pelayan agar segera mengeluarkan sarapan khusus sang Nona.
“Selamat pagi, Nona.” Niles yang memasangkan serbet di kerah seragam Ivy melemparkan senyuman manis. “Tidur anda nyenyak?”
Bola mata Ivy membulat. Dia menatap Niles dengan lekat. Bagaimanapun dia masih penasaran terhadap Niles yang mampu menghentikan teriakan ayahnya tadi malam. Apakah Niles tak ingin memberitahunya jika papa ternyata sakit? Tapi melihat wajah tersenyum Niles yang tanpa dosa, Ivy sangat yakin pria itu akan menutup rapat mulutnya dari semua pertanyaan Ivy.
“Tidur di kamar papa selalu membuatku nyenyak.” Ivy menjawab dengan nada suara pongah.
“Apa? Bagaimana anda bisa pindah ke kamar Tuan?” Helena yang sedang meletakkan menu sarapan Ivy -white chocolate and chestnut- menatap dengan sinar mata kaget dan takut.
Claude yang menggantikan Ivy menjawab sang pengasuh. “Tadi malam terdengar banyak guntur. Sepertinya kau tidur sangat nyenyak.” Dia menelengkan kepalanya sambil memegang garpu, ada senyum mengejek di wajahnya yang datar.
Helena membungkuk minta maaf. “Maafkan saya Tuan.” Wajahnya memerah dan dia mendengar suara tawa kecil Ivy sambil mengunyah kastanye.
Claude melirik beberapa pelayan yang tampak tenang mendampingi mereka. Dia berkata, “Bisakah tinggalkan aku dan Ivy? Kecuali Niles yang lainnya keluarlah.”
Mendengar perintah sang Tuan, semua pelayan keluar dengan patuh. Hanya tinggal Niles yang menemani kedua ayah dan anak itu dengan berdiri diam di tempatnya. Claude mengusap ujung bibirnya dengan serbet dan menjauhkan piring sarapannya. Dia menatap Ivy yang masih asyik menyantap sarapannya.
“Ivy. Bagaimana jika kau memiliki seorang ibu? Apakah kau akan senang?”
Ivy yang sedang menyuap potongan cokelat yang besar seketika tersedak saat mendengar pertanyaan ayahnya. Niles segera memberikan air putih pada Ivy dan menatap Claude dengan tatapan menegur.
“Anda membuat Nona tersedak. Bisakah anda bertanya dengan cara lain?” Niles mengelap bibir Ivy dengan serbet dan menepuk pelan punggung anak itu dengan cemas.
Claude memberikan gelas air putihnya pada Ivy dan berdiri dengan wajah khawatir. “Apakah ada yang menyangkut di tenggorokanmu?”
Ivy mengusap airmata akibat tersedak dan menatap sang ayah dengan penasaran. “Seorang mama? Papa ingin memberiku Mama?”
Seorang mama. Itu adalah hal yang diimpikan Ivy. Seorang mama bukanlah seperti boneka yang bisa didapatkan oleh Ivy dalam sekejap. Ivy mengerti bahwa jika seorang anak memiliki mama maka ayahnya harus menikah seperti paman Arthur dan Bibi Blair. Ivy menguping di dapur dan mendengar para pelayan wanita yang kerap kali membicarakan ayah dengan menggebu-gebu dan penasaran siapa yang akan dinikahi ayahnya suatu hari. Siapa yang akan menjadi ibu bagi Ivy. Tapi Ivy menyadari bahwa ayahnya itu tidak menyukai orang lain selain keluarga paman Arthur. Dan pagi ini papa ingin memberiku mama? Apa telingaku tidak salah dengar?
Claude bisa melihat wajah tidak percaya Ivy. “Iya. Seorang mama. Papa ingin memberimu seorang mama yang akan membuatmu menikmati banyak hal sebagai anak perempuan. “ Dia mencoba tersenyum sambil menoleh ke arah samping. “Paul. Muncullah.”
Seorang pria berambut cokelat terang dan berwajah ramah muncul dari balik pintu samping ruang makan. Ajudan Claude yang merupakan bodyguard dan pencari informasi itu berada di samping Claude. Pria itu menghampiri Ivy dan mencium punggung tangan anak perempuan itu dengan riang.
“Selamat pagi Nona.”
Ivy melebarkan senyumnya dan membalas sapaan itu. Tiap kali Paul muncul itu tandanya paman berambut cokelat itu akan membawa minimal satu dokumen untuk dibaca ayahnya dan keduanya akan terlibat percakapan tentang pekerjaan. Biasanya Ivy akan segera disingkirkan karena pembicaraan mereka hanya membuat Ivy mengantuk.
“Papa dan Paul akan berangkat ke Skotlandia besok pagi.” Claude mengabaikan sejenak dokumen bisnis yang diserahkan Paul.
Bola mata Ivy membulat. “Papa akan ke Skotlandia?” Dia melihat ayahnya beranjak dari kursi dan merapikan jas. Itu adalah tanda ayahnya menyudahi sarapan dan akan mengantar Ivy ke sekolah bersama Paman Paul. Untung saja sarapanku sudah selesai, ucap Ivy melirik piringnya kosong.
Ivy meraih gelas susunya dan sekali lagi menyemburkan susunya dari mulutnya saat mendengar Paul yang menggantikan jawaban ayahnya.
“Ayah anda akan menjemput mama baru untuk Nona.” Dan hasilnya Ivy melihat Niles memukul kepala Paman Paul dan paman mendapatkan tatapan menusuk dari Papa.
Ivy tertawa meski sekali lagi Niles harus membersihkan bibirnya dengan serbet. Ayahnya menunggunya di dekat pintu keluar ruang makan. Ivy melompat dari kursi makan dan berlari menggenggam tangan sang ayah. Dia mendongak menatap Claude.
“Aku tidak terlalu menginginkan seorang mama. Bagiku cukup papa saja. Tapi jika mama baru bisa membuat papa lebih baik, aku akan sangat senang. Tapi aku juga tidak menolak seorang mama. Hehe.”
Sejenak Claude menatap anaknya dengan terdiam. Ucapan Ivy lebih mengarah padanya ketimbang untuk anak itu sendiri. Claude tidak berbohong saat mengatakan jika seorang anak perempuan akan menikmati hal-hal lain dengan seorang ibu dibanding dengan ayahnya. Claude bisa memberikan apa saja di dunia ini untuk Ivy namun ada bagian tertentu yang tak bisa diberikan Claude. Kasih sayang khas ibu. Bukan berarti dia tak mencintai Ivy, namun ada di waktu tertentu anak itu merindukan sosok seorang ibu. Meskipun ada hal lainnya dibalik urusan memiliki seorang ibu.
Claude mengusap rambut Ivy dengan penuh sayang. “Papa sudah sangat bahagia hanya dengan memiliki Ivy.”
Paul yang dibelakang tersenyum lebar. “Dasar budak cinta pada anak.” Dia bergumam pelan dan disikut dengan keras oleh Niles.
****
“Jadi anda sudah memutuskan untuk menikahi Nona dari Skotlandia ini kan?” Paul yang sedang menyetir menatap Claude yang duduk diam di kursi penumpang.
“Ya. Waktuku cukup mendesak.” Claude menjawab singkat.
Paul Hensen menatap kembali ke arah jalanan lurus. Saat itu mereka sedang menuju perusahaan dan akan mengadakan rapat direksi. Setelahnya mereka akan meninjau pabrik. Claude Rosewood. Paul mengeja nama sang tuan di dalam hati. Rosewood yang berbeda dari Rosewood lainnya. Claude tak terlihat superior seperti Arthur Rosewood dan lebih tenang dari Christopher Rosewood yang kerap kali membuat masalah dan skandal. Tetapi siapapun yang mengenal Claude Rosewood, mereka akan setuju pada pendapat Paul bahwa pria itu adalah manusia paling dingin dan kejam pada orang lain yang tidak sesuai dengan aturannya.
Claude bisa menghancurkan bisnis seseorang tanpa berdiskusi dan mampu membunuh musuhnya tanpa bersuara. Pekerja pabrik bahkan sangat takut pada Claude jika melakukan kesalahan. Claude pernah memberikan penawaran sinting ketika seseorang yang mencuri bahan-bahan campuran cerutu. Dibanding memecat, Claude justru meletakkan kapak dan pistol di atas meja dan meminta orang yang bersalah itu memilih salah satu dari benda itu untuk mati di depannya. Meski tingkahnya seperti iblis, Paul harus mengakui bahwa Claude memberikan gaji yang besar bagi semua yang bekerja dengannya. Hanya saja mereka harus patuh pada semua aturan Claude. Selain itu jika mereka meneliti lebih dalam, Claude Rosewood itu sangat budak cinta anak perempuannya. Cukup bawa Ivy saja di depan Claude saat marah maka semua kekejaman itu akan hilang seketika dan orang lain pun selamat.
Paul saja hampir mati saat bertemu Claude pertama kali. Lima tahun lalu Paul dikirim oleh lawan bisnis Claude untuk membunuh Claude tetapi malah sebaliknya Paul yang nyaris mati di tangan Claude yang saat itu tepat pria itu meledak. Seiring waktu justru Paullah yang memutuskan untuk datang pada Claude karena organisasinya mengkhianatinya. Tentu saja Claude menyiksanya terlebih dahulu untuk membuktikan kesetiaan Paul dan akhirnya pria gila itu mempercayai Paul sebagai ajudannya dan memberi nama Paul Hensen untuknya.
“Kenapa kau cengar cengir seperti itu?” Claude menegur Paul dengan nada bicara geli.
Paul menyeringai lebar. “Saya hanya teringat kejahatan anda saat menerima saya.”
“Konyol!” Claude mendengkus seraya menatap jalanan dari jendela. “Apa semua sudah kau atur?”
“Sudah.” Paul membelokkan setir memasuki kawasan bisnis di jantung Birmingham. “Apa anda sama sekali tidak ingin tahu ciri-ciri calon istri anda?”
“Jaga mulutmu! Aku bahkan datang menemuinya dengan tujuan berbisnis.” Claude memasang kancing manset.
“Wanita khas Skotlandia yang kental. Berambut merah menyala dan bermata hijau terang.”
“Bukan itu yang terpenting.”
“Ahli tumbuhan herba dan sekarang bekerja di ladang anggur orang lain untuk membayar hutang keluarganya. Ayahnya di penjara atas tuduhan penipuan.”
Gerakan tangan Claude terhenti. Dia menatap mata Paul dari kaca mobil. Senyum Paul terkembang.
“Anda tertarik. Itu poin penting yang anda tunggu.” Paul mengetuk ujung jari pada permukaan setir. “Titik lemah lawan bisnis yang anda genggam. Saya menyimpannya untuk waktu yang tepat.” Paul tertawa bangga.
“Urus semuanya hingga beres.” Claude membuka pintu mobil dan melangkah keluar menatap gedung Tobacco Rosewood yang menjulang.
Paul menjawab dengan pongah. “Tentu saja, Sir! Semua sudah beres saat anda duduk di pesawat.” Dia menatap punggung yang berjalan tenang memasuki perusahaan. Tubuh jangkung yang menyimpan luka dalam diam. Pemilik yang sangat kesepian namun kuat dan tegar. “Anda bisa menikmati pemandangan laut di sana untuk menenangkan pikiran karena menghadapi keturunan Vaughan harus punya stamina berkelahi yang terisi penuh.” Paul terkekeh senang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
