
Pecahan kaca beling memekakkan telinga. Hari baru subuh, tapi terasa siang terik di musim hujan. Persetan. Kulihat ayah menampar ibu. Ingin membelanya tapi tak kuasa. Aku hanya anak SMP yang tak bisa berbuat apa-apa. Ibu mengambil sapu untuk memukul tubuh ayah, tapi laki-laki diciptakan untuk menjadi kuat. Ayah merebut sapu itu dan memukul balik ibu. Suara gebukan keras ku dengar. Apa mereka tak sadar ada anak mereka yang menyaksikan? Aku mencoba menenangkan adik perempuanku yang menangis melihat itu.
Pecahan kaca beling memekakkan telinga. Hari baru subuh, tapi terasa siang terik di musim hujan. Persetan. Kulihat ayah menampar ibu. Ingin membelanya tapi tak kuasa. Aku hanya anak SMP yang tak bisa berbuat apa-apa. Ibu mengambil sapu untuk memukul tubuh ayah, tapi laki-laki diciptakan untuk menjadi kuat. Ayah merebut sapu itu dan memukul balik ibu. Suara gebukan keras ku dengar. Apa mereka tak sadar ada anak mereka yang menyaksikan? Aku mencoba menenangkan adik perempuanku yang menangis melihat itu.
Sudah satu minggu kita tidak makan. Mengurung diri di kamar takut keluar nanti dihantam ayah. Sebenarnya ini hal sepele. Ibu mendapat surat undangan pernikahan dari mantan pacarnya saat SMA. Tapi ayah mengira itu hanya alasan agar bisa bertemu dengan laki-laki brengsek itu, perusak rumah tangga orang. Tak mau kalah. Mama mengambil pisau dapur lalu menodongnya ke wajah ayah. Suaminya. Ayahku. Aku hanya melihat dari celah pintu yang kamar yang kubuka sedikit. Berharap semoga perang ini berakhir. Tapi nampaknya akan sia-sia. Mereka seperti anak kecil. Saling berebutan pisau dapur itu. Sudah kubilang, laki-laki terlahir kuat. Pisau beralih ke tangan ayah.
Tak perlu aba-aba, tak perlu hitungan detik dan menit. Sabetan pisau diperut mama berhasil menembus kulitnya. Menyayat kulit perut mama dan mengeluarkan janin kecil berwarna merah. Apa itu calon adikku. Ku peluk erat adikku yang manis. Ini salah siapa? Bukankah jika ibu hamil, ayahlah yang bertanggung jawab. Atau laki-laki, mantan ibu pelakunya. Bumi berputar pada porosnya. Ada yang mati lalu muncul kelahiran baru ditempat lain di bumi. Hari ini aku menyaksikan pembunuhan ibu yang dilakukan ayah.
Entah mengapa hatiku sakit. Tapi aku juga merasa itu menyenangkan. Memperlihatkan bahwa manusia bisa kuat dan lebih hebat dari siapa pun yang ada dibawah. Adik manisku tertidur. Aku berpikir. Apa aku coba juga apa yang dilakukan ayah tadi. Mengeluarkan janin dari perut ibu. Siapa tahu anak janin di dalam perut adik manisku juga. Ku tutup pintu kamarku dan menidurkan adikku di kasur. Tidak ada suara sabetan dari pisau. Mungkin ayah sudah memotong kepala mama. Ku berbalik dan membuka sedikit pintu kamar. Sepi. Tidak ada ayah. Jika kau anak normal. Kau pasti menangis melihat ibumu mati tragis di depan matamu. Tapi entah kenapa hatiku terdorong untuk mendekat. Pisau dapur yang tergeletak ku gengam. Aku potong pergelangan tangan mama. Dua-duanya. Melengok kanan-kiri tak ada siapapun. Ku masuk ke kamar lagi lalu menutup kunci. Ku cari kotak berwarna hitam. Kuletakkan tangan itu kedalamnya. Sangat indah tangan ibu. Adik manis masih tertidur. Pisau yang masih ku gengam kuarahkan padanya. Kau adalah targetku.
Ku tindih tubuhnya dan menekan lehernya dengan pisau. Dia membuka mata lalu berteriak. Semakin ku berteriak semakin ku tekan pisau yang ada dilehernya. Darah merah mengalir di sprei dan bajunya. Tangannya memukul-mukul bahuku. Aku muak. Memang tenagaku tak sebesar ayah, tapi tekadku yang besar. Ku tancapkan pisau ke dadanya. Darah memuncrat. Aku melihat semburan jus strawberry yang menyengarkan. Ku lihat matanya telah memejam. Aku bangga. Aku puas. Aku senang. Ku cabut pisau lalu kuiris tangannya. Kedua tangan. Sebagai kenang-kenangan manis dari adikku yang manis. Kotak hitam telah terisi empat tangan. Dua tangan yang berukuran besar dan dua tangan berukuran kecil mungil. Sangat manis dan imut melihatnya. Tangan yang pucat dan bercak-bercak merah membuatnya seperti karya seni yang berharga mahal.
Ayah mendobrak pintu kamar dengan marah. Wajahnya merah. Dia melirik kasur mendapatkan anak manisnya tergeletak tak berdaya. Dia manatapku tajam mengajak mengancam. Aku tak takut. Kuarahkan pisau ke arahnya. Dia mundur perlahan. Coba ku tanya ini salah siapa. Salah dia. Salah ayah. Ayah mengeluarkan pistol di sakunya. Pisau aku lepaskan tak kuat. Aku takut. Dia menatapku lagi. Aku bisa membaca tatapan itu. Tatapan penyesalan. Ayolah. Apa yang perlu disesalkan? Kau sudah membunuh ibu dan aku telah membunuh adik manis, bukankah itu menakjubkan. Ia mengarahkan pistol ke kepalanya. Aku tak tahu apa yang dimaksud sampai suara tembakan menggelegar. Kuliat ayah sudah tergeletak di lantai. Kepalanya dipenuhi darah. Kepalanya berlobang hingga ku bisa melihat otaknya yang berwarna putih.
Oh. Lihatlah.otaknya terlihat begitu lezat. Kupotong tangannya. Dua-duanya. Sepertinya aku terobsebsi dengan tangan-tangan keluargaku. Kusimpan tangan itu ke kotak hitam. Lumayan banyak tapi sangat sedikit. Oke. Aku mulai lapar. Tunggu. Apa yang tadi kulihat sesuatu yang lezat. Otak. Ya. Otak. Ku belah kepala ayah mengambil otaknya. Begitu dengan adik manis dan ibu. Kini malam ku terasa hangat di musim hujan. Sop otak-otak sangat lezat hanya dengan tambahan irisan bawang dan cabai. Ini sungguh lezat. Mungkin kau bisa mencobanya di rumah. Jika kau takut makan otak keluargamu. Kau bisa mencoba otak tikus ataupun babi untuk merasakan awal nikmatnya otak keluargamu. Sungguh ini enak. Aku harus mencari lagi. Agar aku bisa bertahan hidup. Aku tersenyum dalam musim dingin yang merah.
Pagi sejuk. Ku hirup udara pagi yang sejuk. Ku lihat mata biru diseberang sana. Berjalan kemari. Ke rumahku yang tak berpenghuni kecuali diriku. Kutemui dia yang membawa sekotak kue coklat yang manis, semanis senyum dirinya. Rindu. Sepertinya itu yang ia rasanya setelah sepuluh tahun kami berpisah. Aku juga rindu kepadanya. Ku mengajaknya masuk dan kami menonton televisi sambil memakan kue coklat yang nikmat. Dia menatap langit-langit rumahku hingga ia bertanya dimana keluargaku, lantas kujawab mereka di peti hitam. Dia tersenyum. Apa ia tidak berpikiran lain. Dia tidak tahu kebenarannya. Ia menuju dapur. Mengambil dua cangkir teh lalu memanaskan air di teko. Kuhampiri dirinya hingga aku terpatung saat ia membuka suara. “Aku akan menikah,” dirinya mengatakan itu. Lantas apa arti hubungan kita ini. Oh Tuhan. Dia seperti setan.
Ku pegang gagang teko lalu ku siram wajahnya dengan air panas. Dia berteriak. Aku tak peduli. Kompor yang masih menyala seterang ide cemerlangku. Ku arahkan wajahnya ke kompor. Dia meronta. Semakin ku dekatkan dirinya ke api itu. Rasakan iblis. Luar malaikat hati iblis. Kau tak tahu bagaimana rasa sakitnya menunggumu.
Wajahnya mulai melepuh dan suaranya sudah tak terdengar lagi. Ku banting dirinya ke lantai lalu kuinjak wajah cantiknya. Setelah rasa ia sudah meninggal dan berdaya tak bernapas. Ku ambil pisau dan memotong pergelangan tangannya. Keduanya. Ku bopoh dirinya menuju gudang rumah. Ku masukkan dirinya ke peti hitam besar bersama keluargaku. Bukankah tadi dia menanyakan dimana keluargaku. Ku sekat keringat di dahiku. Lelah juga hanya melakukan hal sepele ini. Dua tangan baru aku masukkan ke kotak hitam di kamarku.
Ketukan pintu membangunkan singa jantan. Siapa yang menganggu tidur berharga ditengah musim hujan ini. Ku buka pintu terlihat dua orang berseragam bak polisi mendatangiku. Ada apa mereka kemari. Mereka menanyakan keberadaan kedua orangtuaku karena disinyalir tidak ada kabar dan tetangga sebelah menayakan. Tidak terlihat sejak kemarin. Kujawab mereka sedang berlibur. Mereka tak percaya. Ku marah dan ku tendang mereka. Untung para tetangga pergi kerja. Mereka akhirnya pergi dan berpesan bahwa mereka akan kembali besok pagi. Bukan siang. Mereka takut akan menganggu tidurku.
Berganti sore lalu malam datang menyambut. Lagi. Gangguan suara bising membangunkan diriku. Ku tahan emosiku agar tak beruap. Mencoba memejamkan dua mata ini agar lelah di tubuh hilang. Tetapi bising itu tak henti-hentinya. Ku bangkit dan menuju sumber itu. Tak lupa ku membawa gergaji mesin kesayanganku. Siapa yang berani mengganggu tidurku? Ku nyalakan mesin dan keluar dari rumah. Lagi-lagi orang tua itu, tetanggaku. Sekaligus ayah dari pacarku. Memperbaiki mobil di tengah malam, bodoh. Langsung kuarahkan gergajiku ke lehernya hingga kepalanya jatuh ke tanah. Membelah tubuhnya menjadi dua bagian layaknya seekor ayam. Ku potong lagi bagian kaki dan tangan menjadi dua. Rasakan itu pengganggu tidur. Tak berselang lama ada pengendara yang lewat. Segera ku matikan gergaji mesinku, mengambil dua potongan tangan lalu menyelinap masuk ke dalam rumah tanpa sepengetahuan orang. Ku masuk potongan tangan itu ke kotak penyimpanan. Lima pasang tangan yang kusimpan sebagai kenangan-kenangan dari para pengganggu hidupku. Aku tertawa dalam rasa tidak berdosa.
Jam menunjukkan pukul empat pagi. Sebentar lagi para polisi sok tegas itu datang. Mereka pasti akan tahu ada seorang psikopat di kota ini. Terbukti nantinya oleh jasad orangtua penganggu tidurku yang sudah ku bagi-bagi tubuhnya hingga ia terpecah belah. Kenapa aku jadi seperti ini? Aku tak merasa berdosa. Aku hanya merasa hatiku kosong saja. Tidak ada orang yang mengelilingi. Yang menyanyangiku. Atau mungkin karena hatiku sudah menjadi batu hingga aku tak mudah percaya pada siapapun. Oh tuhan, aku berdosa besar. Ku ambil silet. Ku bedah pergelangan tanganku. Ternyata rasanya sakit. Meski tak sesakit hati yang kurasa. Ini sakit. Ku berpikir bagaimana rasanya perut ibu ditusuk oleh ayah, ku tusuk jantung adik manisku, ayah yang menembak kepalanya, pacarku yang melepuh wajah cantiknya, hingga tetangga yang ku belah-belah tubuhnya. Oke. kutarik tangan kanan hingga terputus. Tangan kiriku menyayat kaki kiri. Ku tarik hingga terputus. Ku menangis. Ternyata sakit. Sangat sakit. Tiga jam berlalu. Hal yang kuharapkan adalah aku mati sebelum polisi itu datang. Tapi kenyataannya aku belum mati. Bunyi bel dan ketukan pintu berbunyi berulang-ulang. Tak kurespon. Aku tidak bisa berjalan. Bersuara? Aku merintih kesakitan. Suara gebrakan terdengar. Mereka masuk memanggil diriku. Membuka semua pintu kamar yang ada di rumah ini hingga mereka menemukan aku dalam keadaan yang sulit dikatakan. Mereka mengarahkan pistol ke wajahku. Aku terseyum dalam kesakitan yang aku rasa. Perihnya. Darah mengalir keluar sangat banyak.
“Tembaklah aku,” memohon kepada polisi. Tangan mereka gemetaran.
“Aku yang membunuh tetangga itu. Aku juga yang membunuh pacarku dan adik manisku.”
Mereka tak percaya. Lantas mereka bertanya dimana ayah dan ibuku. “Ibuku dibunuh ayahku. Ayahku bunuh diri.”
“Jadi tolong. Tembaklah aku dan ambil sebelas telapak tangan ini sebagai bukti.” “Biarkan satu tangan yang menggantung di tubuhku. Agar aku bisa bertanggung jawab di alam sana.”
“Jadi, tembaklah aku sekarang.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
