
*** Kewan adalah bahasa Jawa untuk hewan***
Ketika tengah backpacking ke pedalaman Jawa, tiga orang pendaki tersesat dan bertemu dengan seorang pemuda yang mengajak mereka ke desa kampung halamannya yang telah ia tinggalkan selama bertahun-tahun. Namun siapa sangka, kejadian-kejadian aneh mulai mereka temui semenjak memasuki desa tersebut.
Bagas menghentikan mobilnya ketika melihat sekumpulan anak muda itu. Mereka ada tiga, satu di antaranya perempuan yang memakai topi pendaki.
“Kalian butuh bantuan?” Bagas menurunkan kaca jendelanya.
“Fiuh ... untunglah anda datang. Apa ada bus yang lewat daerah sini?”
“Kalian mau kemana?
“Kami mau ke Kulonprogo.”
“Hmmm ...” Bagas berpikir sebentar. “Dulu ada bus yang lewat daerah ini, namun sekarang aku tak tahu. Setelah semua orang punya motor, kurasa bus itu tak lagi beroperasi soalnya penumpangnya juga sedikit.”
Salah seorang pemuda menyikut temannya, “Ini salahmu mengikuti saran blog bodoh itu.”
“Hei, kan aku sudah bilang postingan di blog itu sudah berumur 10 tahun . Mungkin informasinya sudah tak akurat lagi.”
“Bagas hanya tertawa melihat kebingungan mereka, “Kalian mau kuantar ke desa terdekat?
Mungkin di sana kalian bisa mencari kendaraan.”
“Oh, terima kasih banyak.” ujar si gadis. Mereka bertigapun naik ke mobil.
“Aku Bagas,” katanya, “Apa kalian pendaki?” walaupun Bagas sendiri tak yakin begitu melihat pakaian minim yang dipakai si gadis.
“Namaku Alfan. Ini Sheila dan Roy. Kami bertiga cuma backpackeran di sini. Anda asli penduduk sini?”
“Dulu,” ujarnya, “Sekarang aku tinggal di Jakarta. Apa kalian dari sana?”
“Aku dan kakakku dari Bandung.” ujar Sheila.
“Ah baguslah,” Bagas tertawa sambil melihat gadis itu dari spion depan, “Dekat berarti.”
“Apa tempat ini selalu sesepi ini?” tanya Alfan. Sepertinya ia pemimpin mereka.
“Iya, aku juga tak melihat siapapun sejak tadi. Hanya Anda orang pertama yang kami temui.” ujar Roy, pemuda satunya
“Padahal ada banyak sawah.” Sheila menoleh ke jendela, “Tapi kenapa tak ada yang merawatnya?”
“Biasanya tak sesepi ini.” Bagas menatap awan mendung yang mulai berarak di langit, mendekati desanya. “Mungkin karena mau hujan. Tapi entahlah, aku juga sudah lama tidak pernah pulang ke sini.”
Ya, ini adalah kali pertama Bagas pulang sejak meninggalkan rumah 5 tahun lalu. Tak hanya ingin mengejar impiannya di Jakarta, namun juga karena ia berselisih paham dengan orang tuanya.
Sejak pertengkaran itu, ia memutuskan pergi.
“Kenapa Anda kembali?” tanya Roy ingin tahu, “Ini juga bukan liburan kantor yang panjang kan?”
Bagas tertawa “Kalian pasti mahasiswa. Pantas libur kalian panjang hingga punya waktu luang jalan-jalan ke sini. Yah, aku memang mengambil cuti karena khawatir pada sepupuku.”
“Kenapa memangnya dengannya?”
“Oh, dia sudah sebulan ini tak pernah membalas SMS-ku. Teleponku pun tak pernah diangkat.
Kami sudah dekat semenjak kecil dan ia tak pernah begini. Maka dari itu aku khawatir sesuatu terjadi dengannya.”
“Mungkin gara-gara di sini nggak ada sinyal.” Sheila menatap layar handphone-nya dengan kesal.
“Jangan khawatir, Sheila. Di desa nanti kalian pasti dapat sinyal.” lagi-lagi Bagas meliriknya lewat kaca spion di atas kemudi.
“Panggil aja aku Ella.” sahut Sheila dengan senyum manis. “Hei apa itu desamu?”
Keempat orang itu mulai melihat bangunan-bangunan rumah berjejer rapat. Mulai banyak bangunan yang mereka lihat. Namun semuanya masih sama, sepi.
“Aneh,”pikir Bagas. Tak ada satupun kendaraan lalu lalang. Tak ada angkot maupun motor. Bahkan ia tak melihat siapapun. Tak masuk akal.
“Aku akan mencoba lewat depan pasar. Siapa tahu di sana ada angkot ngetem.”
Bagas memutar mobilnya melewati pasar. Namun di sana juga sepi. Kios-kios tutup. Tak ada satupun orang berjualan. Biasanya ia melihat delman lalu lalang di sini atau menanti penumpang di jembatan di atas sungai, namun tak ada kehidupan satupun di sini. Sungguh ganjil.
“Apa yang terjadi di sini?”
Pemuda itu akhirnya menghentikan mobilnya, “Rumahku ada di dekat sini. Aku akan mencoba menanyakannya pada orang tuaku.”
Bagas keluar dari mobil, diikuti ketiga anak muda itu. Mereka juga keheranan melihat desa itu seperti mati tanpa ada sedikitpun tanda aktivitas warga.
“Kau sudah dapat sinyal?” tanya Roy pada Sheila.
“Belum, ini aneh sekali.” jawab Sheila.
“Ada kios isi ulang pulsa di sana!” tunjuk Alfan ke arah sebuah bangunan kecil yang mencolok dengan logo sebuah provider. “Jadi pasti dulunya ada sinyal di sini.”
“Tower.” Bagas menunjuk ke puncak bukit yang ada di kejauhan, “Aku ingat sekali ada tower pemancar sinyal di sana. Tapi sekarang tak ada. Apa mungkin tersambar petir?”
“Itu sebabnya. Mungkin karena tempat ini sudah nggak ada sinyal makanya semua penduduknya pindah?” komentar Ella.
“Yeeee emang mereka kayak kita. orang kota nggak bisa hidup tanpa sinyal dan wifi?” celoteh Roy.
“Roy benar. Mustahil mereka pindah hanya karena alasan sepele seperti itu.” sahut Alfan.
“AAAAAAA!!!” tiba-tiba Sheila menjerit. Tiba-tiba tirai di jendela di depannya tersibak dan terlihat seutas wajah mengawasi mereka.
“Pak Wanto!” panggil Bagas. Ia mengenali pria tua itu sebagai salah satu warga di sini.
Namun wajah di jendela itu kembali lenyap ketika tirai diturunkan kembali.
“Aneh sekali. Jelas-jelas ada orang di sini, namun mengapa mereka tak mau keluar?” tanya Bagas dalam hati.
“Hei, aku mau ke tempat orang tuaku. Apa kalian mau ikut?” tanya Bagas.
Mereka bertiga mengangguk. Mereka rasa itu lebih baik ketimbang berada di situasi aneh seperti ini.
TO BE CONTINUED
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
