
Bagi Denzel, inilah hal yang sangat ditunggunya selama ini.
“Terus sekarang gue harus ngapain?”
"Apa lagi?" Denzel menatap sosok di hadapannya yang terkapar di lantai dengan darah menggenang di sekeliling tubuhnya. "Keluarin lah surat wasiat yang udah lo bikin," lanjutnya dengan menekankan pada kata surat wasiat sambil menatap pada Raven—sosok yang sebelumnya bertanya dan masih berdiri di sampingnya. Memperhatikan sosok di depan mereka dengan ekspresi datar.
"Banyak juga ya kerjaan gue hari ini," gumam Raven sambil mengeluarkan sesuatu dari tas kecil yang dibawanya. Denzel hanya terkekeh saja. Dia merogoh sarung tangan dari dalam saku celananya. Kemudian menghampiri Raven yang sibuk melakukan sesuatu dengan sosok yang sudah tidak bernyawa itu.
"Hurry up, Rav. We almost ran out of time," Denzel mengingatkan.
"Sabar! Gue capek dari tadi gue mulu yang kerja." Denzel kembali terkekeh mendengar Raven menggerutu. Meski begitu, tangannya tetap cekatan melakukan tugasnya. "Here." Raven menyerahkan sebuah kertas yang langsung disambarnya dengan cepat kemudian meletakkannya di meja kerja.
"Done. Let's go out now." Denzel langsung mengajak Raven untuk keluar dari ruangan ini segera. Waktu mereka hanya satu menit lagi sebelum CCTV dan segala alat keamanan di rumah ini menyala kembali.
Kali ini Raven tidak membalas dengan kata-kata. Hanya mengangguk kemudian menyambar tasnya. Lewat tatapan mata, keduanya seolah saling mengatakan sesuatu dan dua detik setelahnya, keduanya langsung melesat pergi dari ruangan itu. Sama seperti kehadiran mereka yang mengendap dan tidak diketahui orang lain, keduanya berharap kepergian mereka pun akan seperti itu.
"Gue yang nyetir!" Raven tiba-tiba saja melemparkan tas kecil yang dibawanya. Denzel hanya berdecak dan tetap mengikuti lelaki itu yang lekas berlari menuju lokasi mobil mereka di parkirkan.
"Pulang kemana kita?" Raven bertanya saat mereka sudah berada di dalam mobil. Denzel tidak langsung menjawab. Memilih melepaskan sarung tangan dan masker di wajahnya lebih dulu.
"Kayaknya mending ke rumah—" Denzel menghentikan ucapannya saat mendengar suara sirine ambulans dan mobil polisi yang bersahut-sahutan. Dia memberikan kode pada Raven untuk melajukan mobil mereka agar sedikit menjauh dari iring-iringan kendaraan yang sepertinya sedang dalam misi darurat itu.
"Wow cepet juga ya," komentar Raven yang Denzel yakini merujuk pada iring-iringan ambulance dan mobil polisi beberapa menit lalu.
"Indeed." Denzel menyetujui. "Dan itu artinya lo harus ngebut supaya gue bisa sampe di rumah dalam lima me—RAVEN BERENGSEK!" Denzel langsung mengumpat karena Raven mengubah kecepatan mobil dalam sekejap mata. Sementara yang diumpati hanya tertawa tanpa dosa. Berlaku seolah-olah sedang mengemudikan mobil di ajang balapan. Memang Raven sialan.
"Awch!" Denzel mengaduh karena Raven menghentikan mobilnya tiba-tiba. Tidak tiba-tiba sebenarnya karena mereka memang sudah tiba di belakang rumahnya. Hanya memang dasarnya Raven sialan, seringkali melakukan sesuatu seenaknya saja.
“Keluar sana buruan. Lo harus pura-pura lagi tidur dan kaget pas ada yang hubungin lo nanti.”
Denzel mendelik karena Raven terdengar seperti mengusirnya. Namun, perkataannya memang benar. Makanya Denzel langsung keluar dari mobil dan menyelinap masuk ke kamarnya sendiri. Meninggalkan Raven yang sempat berdiam selama beberapa detik sambil memperhatikan tangannya yang masih mencengkeram kemudi. Setelahnya, dia langsung memutar balik dan memacu mobilnya pergi menjauh. Sementara di dalam rumah, Denzel langsung melepaskan pakaiannya dengan cepat dan berganti memakai baju tidur. Kemudian melompat ke atas ranjang dan mengubur diri di dalam selimut.
Raven benar. Dia harus tidur dan pura-pura terkejut saat ada orang yang menghubunginya nanti. Orang yang akan mengabarkan bahwa ayahnya telah meninggal karena bunuh diri. Dan tebakannya tidak meleset. Kurang dari dua menit, ponselnya menyala. Denzel sengaja tidak langsung menjawabnya. Menunggu sampai panggilannya berhenti dan datang untuk kedua kali. Baru dia pun menjawabnya.
Denzel sudah belajar berakting nyaris sepanjang hidupnya. Berpura-pura sedih atas kematian ayahnya adalah hal yang mudah. Semua orang tidak akan tahu bahwa bahkan ketika keesokan harinya berita kematian ayahnya memenuhi laman media massa, Denzel tertawa keras dalam hatinya.
Dia sudah menantikan kematian ayahnya sejak lama.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
