
Dalam sayup-sayup ingatan Ardinata, di tengah-tengah kalimat sihir yang Eyang bisikan saat ia menjelang tidur. Di satu waktu, Eyang pernah berkata pada nya untuk tetap menyayangi Mama meski nanti Eyang tidak bisa ia temukan dimana-mana.

Bab 3
Kehilangan adalah awal dari luka
Dalam sayup-sayup ingatan Ardinata, di tengah-tengah kalimat sihir yang Eyang bisikan saat ia menjelang tidur. Di satu waktu, Eyang pernah berkata pada nya untuk tetap menyayangi Mama meski nanti Eyang tidak bisa ia temukan dimana-mana.
“Eyang mau kemana?”
Tanya Ardinata kala itu, yang tidak pernah mendapat jawaban hingga kini. Bukan karena Rahayu tidak menjawab. Tapi karena ia sengaja menjawab disaat Ardinata sudah lelap dalam tidurnya. Rahayu, disetiap detik dalam hidupnya, ada doa yang tidak pernah lupa ia panjatkan. Sebuah doa untuk putri dan cucunya agar selalu berbahagia.
Jam satu siang. Rutinitas Rahayu setiap hari Senin hingga Jum’at untuk menjemput Ardinata di Taman Kanak-kanak tempat anak itu bersekolah. Rahayu menunggu di depan gerbang bersama dengan orang tua murid yang lain. Sedangkan Pak Rahmat sang sopir, tetap di dalam mobil. Seharusnya Ardinata sudah keluar, tapi sepertinya akan molor beberapa menit karena belum ada satu pun siswa yang nampak keluar kelas.
Setelah sekitar lima belas menit berlalu, barulah terlihat satu anak yang keluar kelas, lalu di ikuti oleh siswa-siswa yang lain. Di sanalah juga Ardinata, tangan kecilnya sudah melambai ceria sambil berjalan ke arah Rahayu.
“Assalamu’alaikum Eyang.” Ucap Ardinata kemudian mengulurkan tangan, dan di sambut senang hati oleh Rahayu.
“Wa’alaikumsalam cucu gantengnya Eyang.”
Rahayu menerima uluran tangan Nata, kemudian mendaratkan ciuman bertubi-tubi di kening dan pipi sang cucu. Tidak adanya sikap dan ucapan keberatan dari Ardinata membuat Rahayu gemas sendiri dan berakhir mencubit lembut hidung mungil cucunya.
“Tadi Bu Guru ngasih tebakan dulu jadi pulangnya agak terlambat.”
“Terus Nata bisa jawab?”
“Tadinya nggak bisa, makanya Nata nggak pulang-pulang. Tapi terus bisa, jadinya bisa pulang. Maaf ya Eyang jadi nunggu lama.”
“Nggak apa-apa dong sayang.”
Percakapan itu berakhir disana. Karena selanjutnya mereka berjalan berdampingan menuju mobil dimana Pak Rahmat menunggu. Tapi, langkah Ardinata berhenti saat kedua maniknya melihat hal yang menarik. Itu adalah kumpulan balon helium karakter yang melayang-layang tepat di depan matanya.
“Eyang, Nata mau balon, boleh? Mau balon Patrick.”
Rahayu, wanita tua itu. Mana mungkin tega tidak mengiyakan setelah melihat mata berbinar milik cucunya.
“Boleh.”
Maka setelah memekik girang dan membuat Rahayu terkekeh di belakangnya. Ardinata berlari kecil mendekati penjual balon. Ransel kuning di punggungnya pun bergerak naik turun seirama dengan langkah kaki anak itu.
Senyumnya merekah setelah balon keinginnnya berada dalam genggaman. Fokusnya belum teralih dari Patrick yang melayang di udara sembari tangan kirinya sibuk memegang pemberat balon.
“Balon nya sudah, sekarang kita pulang ya.”
“Iya Eyang, terima kasih Eyang.”
“Sama-sama sayang…”
Setelah itu, keduanya kembali berjalan ke arah mobil. Tapi belum juga sampai disana, tanpa sengaja Ardinata tersandung batu dan membuat genggamannya pada tali balon terlepas. Balon itu terbang terbawa angin menyebrangi jalan yang ramai dengan kendaraan.
“Eyaaaang, balonnya lepas.” Tepat setelah itu, Ardinata berlari mengejar balon yang baru saja ia beli. Tangan Rahayu tidak sempat menghentikan tubuh Nata. Hingga akhirnya ia berlari dengan tubuh ringkihnya mengejar sang cucu.
“Nata tunggu Eyang, jangan lari ke jalan!” Teriak Rahayu.
Sayangnya suara Rahayu melebur bersama suara kendaraan yang sibuk berlalu lalang. Suara klakson mulai terdengar ketika Ardinata menginjakkan kaki di jalan raya. Tapi sayangnya, fokus Ardinata belum juga teralih dari Patrick yang kini terbang mengudara dengan bebasnya. Bocah laki-laki itu terus berjalan, seakan tuli pada suara-suara di sekitar.
Rahayu memberikan isyarat kepada para pengendara untuk memelankan kendaraan sembari berusaha mencapai Ardinata yang kini sudah berada di tengah jalan. Para orang tua yang masih berada di depan sekolah pun ikut membantu berteriak setidaknya memberi tanda kepada pengendara untuk mengurangi kecepatan.
Jalanan kala itu ramai sekali. Suara klakson tumpang tindih menyeruak memekakkan telinga. Rahayu membawa kaki ringkihnya beradu kecepatan dengan kaki kecil sang cucu. Hingga ketika Ardinata sampai di seberang, dan Patrick yang kini terbang semakin tinggi. Rahayu masih sibuk beradu lincah dengan kendaraan yang terus berlalu-lalang.
Tatapan kecewa tampak jelas di wajah Ardinata, merelakan Patrick yang kini melambung tinggi tak terjangkau. Bocah itu berbalik menatap jalanan. Dimana Rahayu bersusah payah menjangkau dirinya di seberang jalan. Ia lambaikan tangan pada Rahayu dan berbalas dengan sebuah kalimat perintah.
“Tunggu di situ.”
Namun, di detik selanjutnya. Dada bocah kecil itu seakan di pukul dengan benda tumpul keras sekali. Ketika terdengar di telinganya suara decitan ban yang begitu mengerikan sebelum sebuah mobil pick up menabrak tubuh sang nenek.
“E-eyang.”
Ardinata melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika tubuh Rahayu terpelanting beberapa meter ke depan. Darah tercecer dimana-mana, dan menggenang di sekitar tubuh sang nenek yang kini diam tak bergerak.
Ardinata terduduk lemas saat beberapa orang mulai berkerumun mendekati tubuh Rahayu. Tatapapannya kosong, dengan air mata yang sudah berderai entah sejak kapan. Otak bocah kecil itu sibuk mencerna apa yang terjadi. Dadanya sesak luar biasa. Tarikan napas dalam yang terus ia ambil seakan tak cukup untuk mengisi paru-parunya.
“E-eyang..?”
***
Ardinata sudah tidak tahu berapa lama ia duduk di bangku ini. Disebelah Mama yang sedari tadi masih menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Mama masih terisak, sejak kedatangannya beberapa saat yang lalu dan kemudian turut duduk di sebelah Ardinata, menunggu para tenaga medis berusaha menyelamatkan Rahayu di ruang operasi.
Ardinata menatap Mentari dengan nanar. Mama tampak kacau sekali. Kedua mata yang bengkak akibat menangis. Pakaian kerja yang sudah tidak rapi. Juga sepatu Mama yang sudah tak terpakai entah sejak kapan.
Sejak kedatangan Mama tadi, wanita itu belum mengucapkan sepatah katapun pada sang putra. Seolah keberadan Ardinata tidak kasat mata. Padahal jika saja Mentari mau memerhatikan sedikit saja. Keadaan bocah itu, sama kacaunya. Mata yang sembab, seragamnya yang sudah tidak rapi, juga kaki kirinya yang sudah tidak memakai sepatu, berganti dengan perban yang membalut luka di dalamnya.
Ardinata memerhatikan Mama lama sekali, dari ujung rambut sampai ujung kaki, tidak luput dari perhatian bocah kecil itu. Kemudian perhatian kedua matanya ia bawa ke kakinya sendiri. Ardinata ingin mengeluh, ingin bilang pada Mama bahwa kakinya perih dan sakit. Akibat sepatunya lepas saat tergopoh-gopoh berlari mengikuti Eyang yang di dorong menuju ambulance, dan mungkin terluka karena bergesekan dengan aspal atau bebatuan.
“Mama…”
Perlu nyali yang besar sekali bagi Ardinata untuk sekedar memanggil Mama. Karena sejatinya ia ketakutan. Jauh dilubuk hatinya, ia ingin dipeluk. Setidaknya, setelah semua hal mengerikan yang ia saksikan hari ini. Ia hanya ingin Mama menatapnya dengan lembut. Oleh karena itu, setelah beberapa detik menunggu jawaban dari Mama berakhir nihil. Ia ingin mencobanya sekali lagi.
“Mama..”
Kali ini, Mentari menoleh. Menatap sang putra yang duduk disebelahnya. Namun, sepertinya harapan Ardinata untuk sekedar menerima tatapan hangat dari Mama harus pupus. Karena wanita itu justru merespon panggilan putranya dengan tatapan sinis dan nada suara tinggi.
“Apa? Mau apa kamu?” Hardiknya.
“Kaki Nata perih, Ma. Tadi sepatunya hilang satu pas Nata lari.”
Untuk sejenak, Mentari melirik kaki kiri Ardinata yang berbalut perban. Tapi kemudian Mentari memejam. Wanita itu menghirup napas dalam kemudian mengeluarkannya dengan kasar.
“Kamu nggak lihat Eyang kamu di dalam kesakitan?”
“Sekarang cuma lecet gini aja ngadu kamu? Ibu saya kritis gara-gara kamu kan?! Gara-gara ngejar kamu!”
Ardinata berjengit mendengar kalimat demi kalimat tajam dari Mama. Nyali bocah itu semakin ciut. Kedua matanya menatap Mama dengan nanar, dimana air mata sudah tumpah ruah disana, tanpa suara. Ardinata menangis dalam diam. Dengan dada sesak luar biasa.
Andai saja Mentari memahami. Ardinata, bocah kecil itu, hanya tidak mengerti rasa sakit yang ia punya. Ia hanya bisa mencerna luka dan sakit yang tampak jelas di pandangan matanya. Sehingga hanya keluhan perihal luka kecil itulah yang muncul dari bibir mungilnya. Padahal, jika Mentari mau menyelami sedikit saja, ia akan menyadari bahwa ada luka yang lebih dalam, yang meraung-raung lebih menyakitkan. Sayang, Mentari terlalu buta untuk melihat bahwa putranya juga kesakitan.
Mentari mengusap wajahnya kasar. Disaat dirinya terpuruk seperti saat ini, biasanya selalu ada Rahayu yang menemani, yang menenangkan dirinya, yang mengatakan semuanya pasti akan baik-baik saja. Tapi sekarang, bagaimana jika sosok yang biasanya menjadi penenang itu sekarang justru menjadi alasannya terpuruk. Mentari kebingungan, kepada siapa lagi ia bisa bersandar.
Detik demi detik yang berlalu tanpa suara terasa sama menyakitkan bagi Mentari dan Ardinata. Menanti tenaga medis keluar ruangan memberikan kabar bahagia atau justru sebaliknya. Mentari tatap pintu pesakitan itu lama sekali. Sembari membayangkan kondisi sang ibu berbaring disana berjuang untuk tetap hidup.
Suara derap langkah yang menggebu sedikit mengalihkan perhatian ibu dan anak itu. Kemudian Rendy muncul disana, menggendong Ditya karena anak itu pasti tidak bisa menyeimbangi langkah sang Papa.
Sesampainya disana, Rendy menurunkan Ditya dan langsung berjongkok di depan Mentari dan Ardinata.
“Gimana keadaan Ibu Rahayu, Tari?”
“Gimana keadaan kamu sayang, Om dengar tadi kamu ada di sana juga?”
Lelaki itu bertanya bertubi-tubi, tampak kalut sekali sampai tidak bisa menentukan ingin menenangkan Mentari atau Ardinata lebih dulu. Ditya menghembuskan napas kasar, kemudian memanggil Papa nya sembari mengelus punggung lelaki itu dengan halus.
“Pa…” Panggilnya. Panggilan dari Ditya membuat Rendy tersadar, ia turut menghembuskan napas kasar. Pelan-pelan dia berusaha menyeimbangkan ritme napasnya sendiri, sebelum kembali bertanya.
“Gimana keadaan Ibu?” Tanya Rendy sekali lagi. Dan disaat itulah, tangis Mentari pecah sejadi-jadinya. Ia luapkan semua air mata yang tertahan sedari tadi.
Rendy, lelaki itu tak berkata apapun, namun tubuhnya tergerak memeluk Mentari. Menepuk-nepuk pelan punggung wanita itu. Membiarkan Mentari menumpahkan semua emosi di pundaknya.
Sedangkan Ditya sudah duduk disebelah Ardinata. Menggenggam telapak tangannya, berusaha menyalurkan ketenangan sebaik yang ia bisa.
Suara pintu terbuka mengejutkan empat orang disana. Kemudian dokter dan beberapa tenaga medis keluar dari ruangan pesakitan itu. Mentari dan Rendy sontak berdiri. Mentari takut dengan pikirannya sendiri. Bagaimana jika apa yang ia takutkan terjadi? Bagaimana jika rentetan doa yang ia panjatkan tidak terkabul?
“Bagaimana dok?” Tanya Mentari terbata-bata.
Ketika sosok lelaki paruh baya didepannya melepaskan masker yang menutup wajahnya, kemudian menunjukkan ekspresi yang begitu Mentari takuti, disitulah wanita itu tak lagi mampu menahan berat tubuhnya sendiri.
Maka ketika sosok itu memberikan gelengan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Mentari. Disitulah Mentari benar-benar luruh. Semuanya terasa begitu tidak tanya. Isakan tangis Mentari terdengar menggema di lorong itu. Pikirannya mengawang, hingga akhirnya kesadarannya pun ikut terenggut paksa.
***
Setelah acara pemakaman selesai, Mentari mengurung diri di kamar. Sedangkan di luar ada Rendy dan Luna yang membantu menyambut tamu yang melayat sebisanya. Ditya sudah diberi pesan oleh Rendy untuk menemani Ardinata bermain di kamar.
“Kak Ditya?”
“Hmm?”
“Mau ketemu Mama.”
Suara lirih Nata membuat Ditya spontan menghentikan aktifitasnya menyusun lego. Tadi, kata Papa, Nata pasti sedang sedih sekali, dan tante Mentari sedang tidak bisa di ganggu. Oleh karena itu Papa memberi tugas Ditya untuk menemani Nata. Bocah yang hanya terpaut satu tahun dari Nata itupun beralih posisi dari tengkurap menjadi duduk. Membuat dirinya berhadapan dengan yang lebih muda.
“Tapi Mama nya Nata lagi istirahat di kamar. Nata main dulu sama kakak, ya.” Bujuk bocah itu.
Namun, seketika Ditya menyesali perkataannya sendiri. Ketika ia melihat raut wajah Ardinata, kemudian setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Rasanya, jantung Ditya seperti ada yang meremas sakit sekali.
Masalahnya, sudah terhitung tiga kali Ardinata mengucapkan keinginan yang sama. Dan sekarang, Ditya sudah kehabisan alasan untuk membujuknya. Kenyataanya Ditya juga masih berusia tujuh tahun. Dan bocah berusia tujuh tahun itu juga sudah mengerahkan semua usahanya untuk menghibur Ardinata, membantunya membunuh waktu untuk sejenak melupakan duka.
“Kak Ditya…, mau ketemu Mama..”
Maka ketika suara serak Nata kembali ia dengar. Ditya tidak lagi bisa mengelak. Dan ketika ia lihat air mata Nata sudah jatuh semakin deras dengan suara tertahan, disitulah pertahanan Ditya kalah.
“Iya udah ayok, Kakak antar ke kamar Mamanya Nata ya.”
***
“Di ketuk dulu pintunya, Nat.”
“Takut, kak.”
Ditya melirik jam tangan di lengannya lagi. Sudah genap lima menit mereka berdiri di depan pintu kamar Mentari.
“Ya udah kak Ditya aja yang ketuk, ya.”
Lalu, tanpa menunggu persetujuan Nata, Ditya mengetuk pintu. Sekali dua kali tetap tidak ada jawaban. Membuat mereka berdua berpikir untuk menyerah.
“Aku ketuk sekali lagi ya, Nat. Kalau Mama nya Nata nggak keluar juga, berarti mungkin Mama nya Nata lagi capek banget. Masih mau istirahat dulu, ya.”
Meski harus terdengar hembusan napas kecewa terlebih dulu, akhirnya Nata mengangguk juga.
Tapi, bahkan sebelum Ditya mengalihkan pandang dari Ardinata. Pintu yang terbuka tiba-tiba mengagetkan keduanya. Mentari muncul dari balik pintu dengan mata sembab, rambutnya yang sudah tidak rapi, juga dress hitam yang sama dengan yang wanita itu pakai ke pemakaman tadi.
Namun lagi-lagi, Ardinata harus kecewa karena setelah Mentari mengetahui bahwa sosok yang sedari tadi mengetuk pintu kamarnya adalah sang putra, Mentari justru berdecak pelan dan berniat menutup pintunya lagi.
“Mama…” Panggil Ardinata. Panggilan pelan sebagai bentuk usaha untuk menahan Mama.
“Nata mau sama Mama, boleh ya?” Rengek bocah itu.
“Enggak.”
Hanya satu kata. Tapi mampu membuat hati Ardinata hancur sedemikian rupa. Ia ingin berada di dekat Mama, melihat Mama, ingin di peluk Mama, ingin di tenangkan Mama sebagaimana Eyang melakukannya. Oleh karena itu, sebelum Mentari bergerak menutup pintunya lagi, dengan cepat Ardinata menarik ujung dress yang di pakai Mama.
“Ijinkan Nata masuk sama Mama, ya Ma.” Suara Ardinata semakin lirih dan serak, bahkan nyaris tidak terdengar. Kendati begitu, kenyataannya, suara memilukan Ardinata masih belum bisa melunakkan hari Mentari yang sekeras batu karang. Justru, hal yang terjadi selanjutnya adalah Mentari menolak Ardinata dengan suara yang sangat tinggi nan tegas, bersamaan dengan hempasan tangannya pada tangan sang putra.
“Saya bilang enggak ya enggak!!!”
Tubuh Ardinata yang tidak seberapa itu terhempas hingga jatuh ke lantai, tidak keras, tapi cukup untuk membuatnya terkejut dan ketakutan setengah mati. Ditya juga sama terkejutnya, lalu dengan cepat menghampiri Ardinata, memeluk anak kecil itu.
“MENTARI.. !!!”
Teriakan namanya yang begitu menggelegar sarat dengan amarah membuat Mentari sontak menoleh ke sumber suara. Andrean berlari cepat ke arahnya di ikuti Rendy dari belakang. Siapa sangka niat Rendy mengantar Andrean menemui Ardinata justru disuguhkan dengan keadaan seperti ini.
“Nata kamu apain, sih?!”
Andrean berdiri di depan Mentari, menunjuk-nunjuk wanita itu dengan amarah membuncah di dada. Namun, Mentari justru berdecih sembari bersedekap, muak dengan sikap mantan suaminya ini.
“Begini kamu memerlakukan anak kamu sendiri? Nggak punya hati ya kamu?”
“Memangnya bagaimana seharusnya saya memperlakukan anak saya? Sejak dia hadir semua hal buruk terjadi, dan sekarang Ibu saya juga meninggal gara-gara dia. Dia selalu membawa hal buruk ke dalam hidup saya. Itu semua gara-gara dia anak kamu!”
Rendy yang sudah berjongkok di depan Ardinata, kini semakin yakin untuk membawa Ardinata dan Ditya menjauh dari sana.
“Jadi selama ini begini cara kamu memperlakukan anak kamu sendiri? Kalau tau begini lebih baik Ardinata ikut saya.”
Mentari tertawa terbahak-bahak. Jelas ia meremehkan kalimat yang baru saja terucap dari bibir Andrean. Apa tadi dia bilang? Ikut dirinya?
“HAHAHA…ikut kamu? Dasar lelaki nggak tau malu. Bahkan kamu udah ninggalin dia semenjak dia masih di kandungan. Harta bapak kamu lebih penting kan?!”
Sudah cukup. Rendy tidak mau lagi berada di sini. Ardinata dan Ditya tidak seharusnya mendengar pertengkaran dua orang dewasa ini. Dengan cepat ia menggendong Ardinata dan menggenggam tangan Ditya untuk segera pergi dari sana. Berharap Ardinata belum memahami apa yang ia dengar atau indra dengarnya yang murni tidak menangkap hal-hal buruk yang tidak seharusnya ia dengar.
***

Mulai bab depan, kita akan ketemu sama Ardinata usia remaja…
Kasih Like dan Komentarnya doong, biar aku tau semangatku buat nulis sebanding sama semangat kalian buat baca, hehehe
18 Maret 2025
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
