-1- Sejak awal, aku tidak ada di hati Mama

1
0
Deskripsi

Kini seorang anak kecil berjalan pelan di depannya, masih dengan muka khas bangun tidur sambil mengucek sebelah matanya. 

“Mamaaaa….” 

Anak itu, Ardinata Sanjaya, yang tahun ini genap berusia 6 tahun, berjalan mendekati Mentari. Suara serak putra kecilnya sempat mengalihkan atensi wanita itu. Sejenak, sebelum ia memilih mengabaikan. 

post-image-67d028c7a1391.jpeg

Bab 1 

Sejak awal, aku tidak ada di hati Mama

“Jadi sekarang gue bakal jadi janda single parent?” Wanita itu, Mentari Sanjaya, mendecih pada dirinya sendiri. Bersamaan dengan bulan yang berlindung di balik awan gelap malam itu. Mentari menertawakan jalan hidupnya sendiri. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, melihat bayangannya sendiri di sana. Ia pusatkan atensi kedua netra beningnya pada perut. Lama sekali. Menyelami fokusnya hingga seakan bisa melihat makhluk kecil yang kini ada di dalam sana. Hingga tanpa sadar, tangan pucatnya tergerak menyentuh perut.

“Ternyata setelah tahu ‘kamu’ ada. Nggak bisa merubah keputusan Andrean buat pergi.” Gumamnya, seakan sesuatu yang Mentari sebut ‘kamu’ itu bisa mendengar apa yang ia katakan. 

Kemarin, ia dan suami nya - kini telah menjadi mantan suami - Andrean Wijaya, resmi bercerai. Padahal, mereka baru membina rumah tangga selama satu tahun. Mentari pikir, memberi tahu Andrean bahwa kini ia tengah mengandung buah hatinya, akan membuat Andrean sadar dan membatalkan perceraian. Tapi, nyatanya tidak. Hasutan dari mantan Ayah mertuanya lebih kuat sehingga Andrean tetap memilih berpisah. 

Dulu ia pikir menikah di usia muda dengan pria yang baik adalah keputusan terbaik yang telah ia ambil. Padahal saat itu ia masih berusia dua puluh tahun dan masih menempuh kuliah S1. Kini, ia hanya bisa menyesali keputusannya dulu. Setelah sang Ayah meninggal satu tahun yang lalu, ia hanya mengandalkan Andrean, pria baik yang bahkan rela meninggalkan keluarga demi mempersunting dirinya. Lelaki yang menjajikan akan memberikan segalanya untuknya, tapi berakhir mengingkari. Sekarang ia tak punya apa-apa, karena ibu nya pun sudah lanjut usia dan hanya bertahan hidup dengan membuka toko kelontong kecil. Bahkan sekarang kuliahnya pun terancam tidak selesai karena Mentari belum punya sumber penghasilan, lalu bagaimana ia bisa merawat anaknya nanti? 

Semakin lama waktu berlalu, isak tangis Mentari semakin jelas terdengar. Wanita itu duduk di lantai bersandar pada ranjang. Ia menekuk kedua lututnya dan menenggelamkan wajah disana. Kepalanya sakit luar biasa karena semua tekanan yang ia alami akhir-akhir ini. Pikirannya kacau dan tidak bisa berpikir jernih. Apalagi saat ingatannya kembali membawa ucapan Hartono kemarin siang setelah  persidangan selesai. 

“Memang begini seharusnya, dari dulu saya memang tidak pernah merestui hubungan kamu dengan Andrean.” 

“Kalau saja, waktu itu kamu tidak bersikeras ingin menikah dengan Andrean, mungkin Ayah mu juga masih hidup.” 

Kalimat-kalimat itu seakan menjelma menjadi panah yang menembus dada Mentari sedemikian rupa, hingga membuatnya sesak bukan main. Jadi, meninggalnya Ayah pun juga kesalahannya? 

“Kamu pikir dengan kamu hamil akan membuat Andrean bertahan? Tidak akan saya biarkan.”

“Segala sesuatu itu harus setara. Kamu tidak setara dengan keluarga kami.” 

Mentari berteriak keras. Mengacak-acak rambut panjangnya frustasi. Tangisannya semakin terdengar pilu. 

“Harusnya kamu nggak usah ada dulu. Bahkan aku belum tentu bisa mengurus diri sendiri. Gimana caranya aku bisa urus kamu.” 

Wanita itu terus-terusan menunjuk perutnya sendiri. Seakan janin di dalam sana bisa mendengar apa yang ia tumpahkan. 

Lalu, ia bergerak cepat, mengambil sesuatu dari dalam laci dengan tergesa. Setelah botol itu ada dalam genggaman, segera ia menumpahkan pil-pil dalam jumlah banyak pada telapak tangannya yang gemetar. Ia menatap nanar benda berwarna putih itu, haruskah ia melakukannya? Entah janinnya saja yang mati atau justru mereka berdua akan mati bersama? Haruskah ia melakukannya? 

Mentari memejamkan mata, bersiap memasukkan semua pil itu ke dalam mulut. Tapi, suara pintu yang terbuka dengan keras membuatnya terkejut. Rahayu, sang Ibu, datang tepat waktu setelah berlari sekuat tenaga karena mendengar suara teriakan Mentari tadi. Dengan segera Rahayu menarik tangan Mentari sehingga semua pil obat tidur itu jatuh ke lantai begitu saja. 

Rahayu tidak mengatakan apapun kecuali kalimat penenang. Ia peluk putri semata wayangnya dengan erat. Ia usap lembut punggung rapuh putrinya. Wanita tua itu terus menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, berkali-kali, seakan memengaruhi Mentari untuk melakukan hal yang sama. Hingga dinginnya lantai tempat mereka menumpahkan emosi itu pun tak lagi terasa dingin. 

“Jangan menyerah, masih ada Ibu yang selalu ada buat Mentari. Jangan nyerah. Kita berjuang lagi sama-sama.” 

***

Hampir tujuh tahun berlalu. Mentari kini tengah mengejar gelar S2 nya. Meskipun dulu sempat cuti kuliah selama satu tahun karena hamil dan fokus memperbaiki kondisi psikis serta mencari pekerjaan, namun akhirnya kuliah S1 nya bisa selesai dengan beasiswa yang ia dapat. Bahkan S2 nya sekarang pun juga di tempuh dengan beasiswa. 

Siang ini wanita dua puluh tujuh tahun itu akan menghadapi sidang untuk mendapat gelar Magister nya. Untuk itu sejak pagi tadi ia cukup sibuk menyiapkan banyak hal. Sekarang sudah pukul sembilan pagi dan ia ingin segera sampai di kampus untuk menyiapkan perlengkapan presentasi dan lebih menyiapkan mental. 

“Udah siap semua, Tari?” Tanya Rahayu yang tengah sibuk menyiapkan makanan di meja makan untuk keluarga kecilnya.

“Udah, Bu. Tinggal sarapan aja trus aku mau berangkat.” Mentari duduk di salah satu kursi makan kemudian menuangkan air putih ke gelasnya.

“Eh, bentar dulu. Nata masih tidur, Ibu bangunin dulu deh. Nanti dia nangis kalau bangun kamu udah nggak ada.” 

Mentari menaikkan alisnya, malas, lebih ke tidak peduli. “Tiap hari juga nangis dia.” Jawabnya.

Rahayu nampak kecewa. Tapi, memilih diam dan melangkahkan kaki ke kamar sang cucu. Tak lama, Rahayu kembali ke meja makan. Kini seorang anak kecil berjalan pelan di depannya, masih dengan muka khas bangun tidur sambil mengucek sebelah matanya. 

“Mamaaaa….” 

Anak itu, Ardinata Sanjaya, yang tahun ini genap berusia 6 tahun, berjalan mendekati Mentari. Suara serak putra kecilnya sempat mengalihkan atensi wanita itu. Sejenak, sebelum ia memilih mengabaikan. 

Sehingga ketika tangan kecil Ardinata menarik pelan telapak tangan Mentari untuk meminta perhatian, alih-alih menanggapi sang buah hati, wanita itu justru berdecak. 

“Tadi malam Nata nggak bisa tidur, Ma. Jadi tidurnya seperti cuma sebentar terus bangun lagi.” 

Suara serak khas bangun tidur milik anak itu yang terdengar begitu polos dan lucu nyatanya tak bisa menggetarkan hati Mentari barang sebentar. 

Mentari tak acuh. Ia melepas genggaman tangan anaknya begitu saja, kemudian mengambil nasi ke atas piringnya. Tapi, bocah berusia enam tahun itu tampak biasa saja. Karena nyatanya bocah itu sudah terlalu terbiasa.

Rahayu yang sudah hafal dengan perangai Mentari segera mengalihkan perhatian cucunya.

“Kalau nggak bisa tidur kenapa nggak bilang Eyang? Kan Eyang bisa nemenin.” Ucapnya sambil menggendong anak itu kemudian mendudukkannya di kursi.

“Nata maunya sama Mama.”

Mendengar rengekan cucunya, Rahayu hanya mendesah pasrah. Layaknya anak kecil berusia enam tahun. Sudah wajar jika ia ingin tidur bersama sang Mama. Tapi bagaimana, bahkan sejak anak itu berada dalam kandungan, ibu kandungnya sudah lebih dulu menjaga jarak

“Ya udah, sekarang cucu Eyang sarapan dulu aja. Hari ini susu nya rasa cokelat ya.” 

Nata memekik girang. Seakan rasa kecewanya tadi hanya ilusi yang akan menghilang hanya dengan menikmati susu cokelat kesukaannya.

Tak perlu waktu lama hingga susu cokelat itu kini sudah berkurang setengah gelas. Ardinata tampak begitu lucu dengan sisa-sisa susu di ujung bibirnya, Rahayu sampai gemas sendiri. 

“Mama, nanti Nata ikut Mama pergi, boleh?” 

“Nggak.” 

Jawaban dingin Mentari membuat Nata seketika murung dan menunduk. Lagi-lagi Eyang miris dengan hubungan ibu dan anak di depannya ini. Ia sangat tidak tega melihat Nata kecewa seperti ini. 

Tapi, Rahayu harus bisa menjadi penengah. Diusapnya sisa-sisa susu di ujung bibir sang cucu. 

“Mama hari ada keperluan penting sekali. Jadi Nata tidak ikut dulu ya. Di rumah sama Eyang.” 

Masih dengan wajah murungnya, Nata menatap Eyang. “Tapi Mama memang tidak pernah mengajak Nata kemana-mana Eyang.” 

Siapa sangka, kalimat polos Ardinata mampu membuat dada Rahayu berdenyut nyeri. Kemudian, kedua netra murni milik anak itu mulai basah, dengan hidung yang mulai turut memerah. 

Lalu, hal yang paling di benci Mentari pun terjadi. Ardinata menangis.

“Aku mau ikut Mamaaa.., ya, Ma.” Air mata sudah membanjiri pipi bocah enam tahun itu. Tangan kecilnya menggoyang-goyangkan tangan Mama, tapi segera di tepis oleh si pemilik. 

“Mama bilang enggak ya enggak. Udah Mama bilang kalau Mama lagi di rumah jangan nangis. Nggak dengar Mama bilang gitu?” 

Mendengar bentakan Mentari, tangis Nata justru semakin keras. Mentari spontan menutup kedua telinganya.

Haissh… Ngerepotin banget pagi-pagi.” 

Ssssttt. Jangan di bentak terus anak kamu, Tari. Nata masih enam tahun. Wajar anak enam tahun itu nangis.”

Kehadiran Eyang bagaikan payung di derasnya hujan dalam hidup Ardinata. Wanita tua itu langsung memeluk sang cucu. Menepuk-nepuk punggungnya pelan. Hingga tangisan anak itu perlahan mereda. 

“Nata mau ikut Mama, Eyang. Nata janji nggak akan merepotkan Mama.” Ucapnya di tengah sisa-sisa isak tangis. 

“Ya udah, boleh. Tapi, Eyang juga ikut ya. Nanti Nata dekat-dekat Eyang terus aja. Tidak boleh mengganggu Mama.” 

Mendengar itu, spontan Nata melepas pelukan Eyang dan memekik girang. Secepat itu perubahan emosi anak kecil. Ia tersenyum lebar sekali sampai menampilkan gigi-gigi kecilnya yang rapi.

Sebaliknya, Mentari terlihat sangat tidak suka. Terbukti dari alis wanita itu yang menukik tajam. 

“Bu, kok dia dibiarin ikut, sih? Aku mau sidang loh.” 

“Nanti Ibu sama Nata nunggu di luar aja, Insya Allah nggak ganggu.” 

Mentari berdecak, tapi tidak mengatakan apa-apa. 

“Ya sudah sekarang cucu Eyang mandi dulu, yuk.” 

Senyum Nata semakin lebar, lalu dengan semangat berlari menuju kamarnya di ikuti Rahayu. 

***

Ujian akan dimulai tiga puluh menit lagi. Mentari sudah siap di ruangan dan tinggal menunggu dosen pembimbing dan dosen penguji nya datang. Sudah banyak do’a ia panjatkan agar semuanya lancar. Sesuai janji dan rencana awal, Ardinata dan Rahayu menunggu di luar agar tidak mengganggu. Mentari sudah tidak melihat ibu dan anaknya itu sejak tiga puluh menit yang lalu. 

Suara pintu ruangan yang terbuka membuat Mentari terkejut dan sontak menoleh. Lega dan heran menjadi satu saat tahu bahwa yang membuka pintu itu ternyata Rahayu sambil menggandeng tangan kecil putranya. Anak itu juga menenteng milkshake cokelat yang tampak masih berkurang sedikit isinya. 

“Dia ngerengek mau liat Mama nya dulu.” Ucap Rahayu. 

Meski harus diawali dengan desahan tidak suka. Mentari memilih untuk tidak peduli karena tidak mau merusak mood-nya sendiri.

“Ujiannya mulai sekitar tiga puluh menit lagi.” 

Seakan tahu Mamanya tidak mau diganggu. Ardinata berusaha meyakinkan bahwa ia hanya ingin melihat Mama sebentar. Ia meletakkan milkshake nya di atas meja dan mendekat ke arah Mama. 

“Nata cuma sebentar kok, Ma. Setelah ini keluar lagi sama Eyang.” 

Semula, semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Anak itu hanya duduk di salah satu kursi audience dengan tenang. Suara dering ponsel Mentari menjadi satu-satunya suara yang terdengar sebelum wanita itu mengangkatnya. 

“Halo. Iya, pak. Baik, pak. Saya sudah siap di ruangan.”

Sibuk dengan ponsel di telinga membuat Mentari lengah pada Nata. Layaknya anak enam tahun, Nata juga punya rasa penasaran yang besar. Tiba-tiba anak itu penasaran pada laptop Mentari yang menyala menampilkan PPT yang siap ia presentasikan. Dengan polosnya Nata mendekat dan menekan salah satu tombol keyboard. Sebenarnya tak ada yang berubah setelahnya. Tapi karena Mentari memang sangat sensitif jika itu sudah menyangkut Nata, maka dengan segera ia menarik tangan anak itu dengan kasar karena takut PPT nya rusak. 

“Apaan sih kamu!” 

Tapi, hal yang lebih tidak diinginkan terjadi. Tangan Nata yang di tarik Mentari tidak sengaja menyenggol milkshake yang terletak di sana hingga tumpah dan membuat laptopnya terkena tumpahan itu. Dan hal itu tentu membuat Mentari panik bukan main.

“Aaarrgggh!” 

“Gimana sih kamu!!!” Hardik wanita itu, kemudian segera membereskan kekacauan yang terjadi. 

Sedangkan Ardinata kini sudah gemetar. Ia terkejut setelah tangannya di tarik Mama, dan kini ia takut akan dimarahi Mama karena kecerobohan yang ia lakukan. 

Rahayu segera menarik Nata mendekat ke arahnya. Anak itu sudah akan menangis, kedua mata dan wajahnya sudah memerah. Rahayu berusaha menenangkan. Ia mengelus pelan pipi cucunya. 

“Eyang, aku nggak sengaja.” Ucap anak itu dengan terbata-bata menahan tangis.

Belum sempat Rahayu menjawab. Tangan kecil Ardinata sudah di tarik lagi oleh Mentari dengan kasar. Lalu, suara tamparan terdengar. Telapak tangan Mentari sukses mendarat dengan keras di pipi lembut putranya. Ardinata, anak kecil itu langsung menangis sambil memegang pipinya yang terasa panas.

Rahayu sangat tidak menyangka Mentari akan bermain tangan. Ia langsung mendekat dan menggendong cucunya, berusaha menenangkan anak itu dulu. Ardinata jelas terlihat takut, ia menyembunyikan wajahnya di leher Eyang sambil terus terisak. 

“Lihat apa yang udah kamu lakukan! Sudah saya bilang tunggu di luar aja, kenapa juga masih ngeyel?”

“Kamu itu kenapa sih, Tari? Nata nggak sengaja. Lagian laptop kamu juga nggak kenapa-kenapa. Kenapa harus di pukul kayak gitu.” Rahayu sudah tidak habis pikir dengan putri semata wayangnya ini.

“Ibu terus belain dia. Ujian ini penting buat aku, Bu. Aku nggak mau ujian ini ada masalah sekecil apapun.” 

“Lihat laptop kamu? Ada yang salah? Enggak kan? Kamu yang membesar-besarkan masalah.” 

Dada Mentari terasa penuh. Rasanya ingin ia berteriak. Tapi cukup tahu diri bahwa ia sedang berbicara dengan ibu kandungnya sendiri. Terlebih lagi, ia tidak mau menarik perhatian orang di luar lebih banyak lagi. Ia yakin suara tangisan Ardinata tadi sudah cukup menarik perhatian banyak orang di luar ruangan. 

“Ibu doa’in ujian kamu sukses. Tapi ibu cukup kecewa dengan kamu hari ini.” Setelah itu Rahayu berlalu, masih mengusap-usap punggung kecil cucu semata wayangnya dengan lembut. 

Tanpa ada yang tahu, setelah Rahayu pergi, Mentari menengadahkan wajahnya, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh. 

***

post-image-67d02938cd888.jpeg

 

Halo, semuanya, aku datang membawa cerita baru. Kali ini aku membawa perjalanan hidup Ardinata Sanjaya untuk menemani teman-teman semua. 

Genre nya? Masih tetap, Family, Sad, Angst, Brothership. Jadi ya, siap-siap nangis-nangis lagi. 

Gimana sejauh ini?

Kedepannya nanti akan ada tokoh-tokoh baru yang akan mendukung cerita ini juga. Rencananya nanti akan ada kurang lebih 30 Bab, bisa lebih bisa kurang sih. 

Teruuss, hmm, cerita ini nantinya akan aku rilis di dua platform, Wattpad dan Karyakarsa. Tapi, tenang, untuk Bab yang ‘terkunci’ di Karyakarsa hanya segelintir kok dan mungkin (masih mungkin) hanya bab-bab terakhir aja, tapi kalau misalkan di tengah cerita aku rasa ada yang layak untuk di rilis eksklusif 'terkunci', ya tidak menutup kemungkinan. Rencana nya sih hanya 5-6 bab aja. Dan aku usahain banget, yang ‘terkunci’ itu akan 2x lebih panjang dari bab biasanya. 

Biasanya aku nulis tuh 1 bab rata-rata 2000+ an kata guys, nah nanti yang di rilis eksklusif ‘terkunci’ di Karyakarsa tentu lebih banyak dari itu, bisa 2x atau bahkan 3x lipat lebih panjang. Pokoknya aku berusaha supaya kalian enggak kecewa membaca ceritaku. 

Jadi, yah. Segitu dulu perkenalannya. Boleh kasih love dan komentar nggak sih, soalnya kalau ada yang vote atau kasih komentar tuh, semangat nulisnya naik banget, serius deh… 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya -2- Di mata Mama, aku selalu salah
2
0
Sayangnya, dari semua pilihan kalimat penenang yang bisa di ucapkan Mentari, wanita justru memilih kalimat tanya penuh ketidakpercayaan. Nyatanya, bocah enam tahun itu juga sudah bisa merasakan kecewa. Kecewa karena ternyata Mama tidak memercayainya. Kecewa karena ternyata Mama masih meragukannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan