
Akhirnya tiba waktunya ketika janji itu harus dipenuhi …
Hei, Renggas!
Musang itu lari ke arah sana. Cepat, kita harus menangkapnya. Jangan sampai lolos!” teriak seorang gadis remaja sambil berlari. Di tangannya, ada sebilah bambu berujung runcing yang biasa digunakan penduduk desa Kamujan untuk berburu.
Pemuda bertubuh tinggi yang dipanggil Renggas tadi melesat dengan cepat di antara semak belukar. Ia bukan pemburu, namun larinya secepat kijang. Matanya mencoba mengikuti bayangan musang di depannya, ingin sekali ia menangkap hewan yang sudah memakan dua ekor ayam peliharaannya semalam.
Namun musang itu memang licik. Meski perutnya kekenyangan dan seharusnya tak berlari secepat biasanya, ia berhasil bersembunyi di rimbunnya semak. Renggas menarik ketapel, tapi ia tidak berhasil mendapatkan bidikan bersih. Sebatang pohon kecil menghalangi. Namun ia tetap melepas tembakan. Batu kecil yang ia lepas terlontar, lalu memantul dan hampir mengenai gadis remaja yang mengejar musang itu dari sisi lain
“Heh!!!” teriaknya. Untung ia cukup gesit untuk merunduk. Batu ketapel Renggas berdesing beberapa sentimeter melewati dagunya. Sambil menghindar, ia melihat musang buruannya memanjat pohon.
Gadis itu melempar bambu runcing seperti ia melempar lembing, namun hanya menancap pada tanah di bawah pohon sasaran. Musang beruntung itu berhasil lolos dari kejaran dua remaja yang memburunya sejak tadi. Remaja yang sekarang duduk bersisian di pinggir hutan, penuh keringat dan tersengal-sengal.
“Awas kalau kau tembak ketapelmu sembarangan lagi!” ujar si gadis sambil meninju lengan Renggas. Pemuda itu hanya tertawa.
“Maaf! Nggak sengaja,” katanya. “Musang kurang ajar. Awas kalau sampai kutangkap,” ujar Renggas dengan wajah kecewa yang dibuat-buat.
“Sudahlah, kapan-kapan kita pasti bisa menangkapnya. Lagipula, besok aku mau buat lembing bambu yang lebih bagus. Pasti dapat!” Gadis di sebelahnya mencoba menghibur. Setelah mampu mengatur napas, ia berdiri dan mengibaskan tanah dari pakaiannya.
“Kamu mau pulang sekarang, Kirana?” tanya Renggas.
“Iya, aku harus pulang sebelum matahari turun. Tadi ibu berpesan agar pulang lebih awal hari ini. Mungkin mau memasak sambal terasi andalannya... dengan tempe. Hmm, sedap...” katanya sambil tertawa.
“Gembul!” kata Renggas sambil tertawa. Kedua sahabat ini penggemar masakan ibu Kirana. Hampir setiap hari Renggas makan di rumah gadis itu. Sambal terasinya memang luar biasa.
“Baiklah, aku juga harus segera ke rumah Pak Giyat sore ini. Dia memintaku memperbaiki atap.” Renggas ikut beranjak. “Kita bertemu lagi besok pagi. Jangan lupa bawa alat pancingmu, ya? Dan jangan habiskan sambal terasinya, besok kalau kita dapat ikan, kita bakar! Enak tuh pakai sambal buatan ibumu.”
Kirana mengangguk sambil melambaikan tangannya. Ia segera berlari pulang. Kirana selalu suka berlari kecil di jalan setapak di kampungnya itu. Sesekali dilompatinya bebatuan di tepi jalan. Ia memang akan berumur 17 tahun besok, tapi kesukaannya berlari kecil dan melompat-lompat di jalan tak hilang juga. Renggas, sahabatnya sejak kecil, kadang meledeknya dengan panggilan Kancil. Kirana selalu tertawa mendengar nama panggilannya ini.
Ia senang bersahabat dengan pemuda itu. Mereka memiliki kesukaan yang sama, yaitu berburu dan memancing. Rumah mereka berdekatan, dan sejak kecil mereka sering bermain bersama. Kedua orangtua Renggas meninggal beberapa tahun lalu ketika wabah penyakit menyerang desa itu. Pemuda itu sebatang kara. Ayah dan ibu Kirana lah yang mengurusnya, mereka menganggap Renggas sebagai anak sendiri.
Hampir setiap hari Renggas mampir ke rumah Kirana, entah untuk membantu ayah gadis itu bekerja atau menemani mencari kayu bakar. Ibu Kirana selalu memasak dalam jumlah banyak agar Renggas bisa makan di rumah mereka setiap hari.
Sesampainya di rumah, Kirana merasa agak heran. Suasana rumah agak sepi. Ibu, yang biasanya duduk di depan membersihkan sayuran yang akan dijual besok, tak terlihat. Ayam-ayam peliharaan Pak Arga, sekarang penduduk desa mengenalnya sebagai Ki Arga, juga tak tampak berkeliaran.
Gadis itu masuk rumah mencari ibunya, dan kembali terheran-heran melihat kedua orangtuanya sedang duduk bersisian di ruang tengah dengan wajah sedih. Masih terlihat sisa-sisa air mata di sudut mata ibunya.
“Ibu, mengapa menangis?” tanya Kirana khawatir. Bergegas, digantungnya tas kecil yang selalu ia bawa berburu pada kait kayu di dekat pintu. Ia mendekati sang ibu untuk memeluknya. Sang ibu diam saja, hanya terisak-isak tak berhenti. Ki Arga pun memeluk mereka berdua dalam diam.
Setelah beberapa waktu, akhirnya Ki Arga melepas pelukan, dan mulai bercerita.
“Anakku, besok usiamu genap tujuh belas tahun. Ada satu hal yang harus kami ceritakan padamu.” Bapak berkata perlahan dengan suara parau menahan sedih. Diajaknya Kirana duduk, lalu diceritakannya peristiwa saat ia bertemu dengan raja Jobuta malam itu.
*****
Kirana terdiam lama setelah Ki Arga selesai bercerita. Begitu lama hingga membuat orangtuanya khawatir.
“Kenapa diam saja, Kirana? Apa yang engkau pikirkan?” tanya Nimas. Kirana masih terdiam. Tangannya mengepal keras, dan kelopak matanya sesekali terpejam agak lama.
“Sebaiknya engkau segera pergi saja sejauh mungkin agar raja Jobuta tidak dapat menemukanmu.” Tiba-tiba Ki Arga memberi usul. “Aku tidak mau engkau menderita jika harus kukembalikan kepada raja Jobuta. Aku tidak tahu apa rencananya, bisa saja ia ingin memakanmu.”
Nimas segera menyetujui usul suaminya. “Benar, jika engkau pergi maka raksasa itu tidak akan dapat menemukanmu, dan ia tidak akan bisa memakanmu.”
Kirana membuka mata, dikendurkan kepalan tangannya. Gadis itu menarik napas panjang, lalu menghela perlahan lewat mulut. Mimik wajah yang tadi mengeras sudah menghilang, berganti dengan keseriusan.
“Jika hanya ingin memakanku, untuk apa raja Jobuta memberikan biji mentimun itu pada Bapak?” Kirana akhirnya buka suara. “Bukankah lebih mudah menangkap anak-anak kecil di desa apabila itu yang sang raja kehendaki.”
Orangtuanya mengangguk-angguk setuju. Selain lincah dan gesit, Kirana juga berpikiran tajam.
“Lagipula, Bapak tadi bilang bahwa raja itu dengan mudah menyetujui permintaan Bapak supaya menunggu hingga aku dewasa... jadi rasanya ada sesuatu yang sedang ia rencanakan. Ia tidak mungkin ia akan memakanku,” lanjut Kirana. “Raja Jobuta pasti membutuhkanku. Entah untuk apa... maka dari itu, aku akan pergi menghadapnya.”
Ucapan terakhir Kirana membuat kedua orangtuanya terkejut bukan kepalang. Mereka tahu bahwa putri kesayangan mereka adalah anak pemberani, tapi tak menyangka bahwa ia seberani itu menghadapi raja raksasa sendirian.
“Jangan Kirana, Bapak dan Ibu tidak membesarkanmu hanya untuk mengabdi pada Jobuta yang kita tidak tahu apa maunya,” kata Arga.
“Tapi Bapak dan Ibu juga tidak membesarkan aku menjadi orang yang ingkar janji bukan? Bapak dan Ibu sudah berjanji pada Jobuta, maka janji itu harus ditepati. Kalau aku lari, aku akan jadi seorang anak pengecut.” Kirana berhenti sebentar untuk menarik napas.
“Lagipula, kalau aku lari, dengan mudah Jobuta mengejarku,” lanjutnya. “Bukan tidak mungkin ia jadi murka dan menghancurkan desa kita. Bapak dan Ibu akan dikenang oleh penduduk desa sebagai orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Tidak, Pak, Bu. Aku akan menghadap raja raksasa itu. Aku akan tanya, apa maunya”
Ki Arga dan Nimas saling bertatapan. Berat sekali rasanya. Tapi mereka tahu, semua kata-kata Kirana ada benarnya.
“Bapak dan Ibu jangan terlalu khawatir, ya? Bekali saja aku dengan makanan yang cukup, dan juga doa. Semoga para dewa masih sayang pada kita, seperti selama ini ...” Kirana memeluk kedua orang tuanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
