
Dalam sisa-sisa senja, Pak Arga dan Nimas mengumpulkan keberanian melintasi hutan untuk pulang ke desa Kamujan. Banyak hal mendebarkan menanti mereka, dan di sinilah kisah bermula …
Pada jaman dahulu kala...
Bayangan pepohonan jatuh menyusur tanah, tersorot cahaya matahari dari ufuk Barat. Sebuah pedati kayu ditarik dua ekor sapi berjalan perlahan. Gemertak roda menggilas dedaunan dan semak kecil sepanjang jalur yang dilewati. Kegelapan hutan mulai membuat sapi-sapi penarik pedati mendengus gelisah, meski tetap patuh pada penghelanya.
Sepasang suami istri yang duduk berdampingan di bagian depan pedati, saling menguatkan diri untuk memasuki hutan jati. Sesekali tubuh mereka ikut terlonjak ketika roda pedati melindas bebatuan yang agak besar. Mereka sedikit terlambat, tertinggal dari rombongan lain, dan juga kemalaman.
Pak Arga berusaha memasang mimik tenang agar istrinya, Ni- mas, tak khawatir. Padahal dalam hatinya ia tak kurang cemasnya. Diliriknya sang istri yang beringsut merapatkan duduknya, wajahnya terlihat tegang.
“Tenang, Bu,” Arga berbisik pada istrinya. “Tidak akan terjadi apa-apa. Kita akan segera sampai di ujung hutan sebelum matahari benar-benar menghilang.”
“Tapi, perasaanku tak enak, Pak.” Nimas melingkarkan tangan pada lengan suaminya. Ia kembali menggeser duduknya, merapat pada pria bertubuh kurus itu. “Bapak tahu kan kalau hutan ini banyak perampoknya, dan kita sendirian di sini. Ah, seandainya tadi roda pedati ini tidak terperosok di lumpur, kita pasti masih bersama-sama rombongan kepala desa.”
“Ya, namanya juga musibah, Bu. Kita kan juga tidak tahu kalau akan terjadi seperti itu,” Pak Arga menengok ke belakang, “Jangan khawatir, di belakang kita masih ada rombongan lima pedati kecil dari desa Pajamu. Mereka juga akan lewat sini. Mereka pasti akan segera menyusul kita. Atau kamu mau menunggu mereka saja?”
“Tidak ... tidak. Terus saja. Berhenti di sini justru membuatku tambah khawatir.”
Pak Arga kembali menghela tali kekang, mengarahkan kedua sapi agar berjalan lebih cepat. Mereka baru saja kembali dari desa Gurebang. Kepala desa di sana mengadakan pesta besar pernikahan anaknya. Desa-desa sekitar diundang, termasuk desa Kamujan, tempat Pak Arga dan istrinya tinggal. Rombongan desa Kamujan berangkat pagi-pagi sekali, semuanya berjumlah dua puluh pedati yang masing-masing ditarik dua ekor sapi.
Pesta berlangsung meriah, dengan makanan lezat berlimpah. Perempuan-perempuan desa Kamujan yang terkenal dengan kemahiran menarinya mempersembahkan Tari Kencana. Tarian ini merupakan tarian legendaris yang hanya bisa dilakukan perempuan Kamujan, dan Nimas adalah penari terbaik di antara semuanya.
Tamu-tamu yang hadir di acara tersebut begitu terpukau oleh keindahan gerakan, selendang warna-warni yang dikenakan para penari, juga musik pengiringnya. Sambutannya sangat antusias.
Pesta baru berakhir ketika bayangan matahari mulai merendah. Rombongan dua puluh pedati desa Kamujan kembali beriringan pulang. Sialnya, roda pedati milik Pak Arga terperosok dan patah sehingga harus diperbaiki. Khawatir seluruh rombongan terjebak malam di hutan, kepala desa Kamujan memutuskan agar yang lain tetap meneruskan perjalanan, sementara dua orang diminta tinggal untuk membantu Pak Arga.
Untungnya tak makan waktu lama untuk memperbaiki roda pedati yang patah. Namun mereka harus bergegas. Hutan jati yang terletak di antara desa Gurebang dan desa Kamujan ini tidak ramah, ada kawanan perampok yang suka menyerang. Penduduk kedua desa dilarang melintas saat gelap jika tak ingin nyawanya melayang.
****
Pak Arga melongok ke dalam gerobak. Di dalam, Pak Timan dan Pak Pukan, tetangganya tertidur pulas. Mungkin mereka kekenyangan, dan juga kelelahan setelah bahu membahu memperbaiki roda pedati. Tubuh keduanya tergolek, bergoyang- goyang mengikuti irama gerobak. Pak Arga kembali menghela tali kekang, mengendalikan kecepatan kedua sapi. Suasana hutan sepi, hanya gemerisik daun-daun kering di tanah terpijak kaki-kaki hewan.
“Tak akan ada apa-apa ... tak akan ada apa-apa,” Pak Arga berkata dalam hati.
Hanya sesaat setelah ia menenangkan diri, sudut matanya menangkap bayangan berkelebat di antara pepohonan. Jantungnya seolah berhenti, keringat mulai membasahi kening. Ia mengeratkan kain penutup kepalanya.
Nimas melihat perubahan mimik wajah suaminya, dan tahulah ia bahwa apa yang dikhawatiran akan terjadi. Tak berani mengeluarkan sepatah kata pun, ia mencengkram erat lengan Arga, memejamkan mata rapat-rapat dan merapal doa.
Pak Arga segera memecut sapi-sapi agar berlari, dan tampaknya kedua hewan itu tak keberatan sebab mereka juga merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Pedati melaju lebih kencang, dan bergoyang lebih keras, membangunkan kedua pria di dalamnya. Mereka melongok ke luar.
“Pak Arga, ada apa?” tanya Pak Timan.
“Stttt ... diam! Jangan bicara!” Pak Arga memberi isyarat dengan dagunya ke arah semak-semak di sisi jalan. Ia mencoba berkonsentrasi mengendalikan kedua sapi-sapi agar berlari cepat. Kedua lelaki yang baru saja terbangun itu langsung memahami situasi. Mereka pun bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk.
Sebelum berangkat tadi pagi, kepala desa sudah mengingatkan agar setiap pria dalam rombongan membawa golok. Benda itulah yang mereka ambil dari balik tumpukan barang di dalam gerobak untuk melindungi diri. Pak Timan menyuruh Nimas untuk masuk ke dalam, agar ia dan Pak Pukan bisa duduk siaga di samping Pak Arga. Di sela-sela pepohonan bayangan hitam berkelebat semakin banyak. Semakin dekat.
Kedua sapi terus mempercepat larinya mengikuti arahan sang tuan, tapi sekonyong-konyong gerakan kaki mereka terhenti. Arga menarik kuat-kuat tali kekang agar pedatinya seimbang. Di depan mereka, lima orang berbadan kekar menghadang.
“Gusti Mahadewa! Perampok!” Nimas menjerit tercekat. Ketakutan menguasai, membuatnya hanya bisa memejamkan mata. Tak dilihatnya suami dan kedua tetangganya turun mencoba menghadapi para perampok, meski kalah dalam jumlah. Nimas terus memejamkan mata, memeluk lutut, mencoba menyembunyikan tubuh kecilnya di antara barang-barang.
Telinga Nimas mendengar dentingan suara golok dan pekikan perkelahian yang terjadi di luar sana. Penduduk Kamujan memang petani, tapi para lelaki biasanya diajari bertarung dengan golok sejak muda, agar mampu mempertahankan diri apabila suatu saat desa diserang bahaya. Tapi yang dihadapi kali ini adalah perampok-perampok hutan jati yang terkenal kejam.
Air mata Nimas mulai mengalir deras, ia hanya mampu berdoa agar mereka semua selamat. Tiba-tiba dirasakannya gerobak berayun liar. Nimas berusaha menggapai peti besar berisi pakaian menari untuk berpegangan. Perempuan itu sempat melihat beberapa perampok melepas dan membawa lari sapi penghela pedati sambil berteriak-teriak. Akibatnya pedati berayun makin keras.
Tahu-tahu, pedati meluncur ke belakang tak terkendali, sema- kin lama semakin cepat. Nimas hanya bisa menjerit sambil terus memeluk peti kayu. Sebuah benturan keras membuat roda pedati, yang baru saja diperbaiki, patah. Nimas dapat mendengar gemertak keras patahnya roda pedati tersebut.
Pedati oleng ke samping, dan terguling bersama Nimas di dalamnya. Entah apa yang terjadi, perempuan itu hanya bisa menje- rit semakin keras sambil melindungi kepala dengan kedua tangan. Ia merasakan punggung dan pinggulnya menghantam sisi-sisi gerobak yang terbuat dari kayu keras. Sakit sekali.
Ketika gerobak berhenti terguling, Nimas tak mampu menggerakan tubuh sama sekali. Perempuan itu menangis sambil berteriak minta tolong, meski tahu barangkali usahanya sia-sia. Dari kejauhan ia bisa mendengar suara orang-orang berteriak semakin riuh. Suara-suara gaduh, dan suara-suara lain yang perlahan-lahan berubah menjadi sayup-sayup.
Nyeri pada bagian punggung terasa amat menyakitkan dan mulai menjalar ke seluruh tubuh. Panas seolah membakar dari da- lam kulit. Perlahan, yang bisa dilihatnya hanyalah kegelapan. Ni- mas tak mampu membuka matanya.
****
Tatkala Nimas tersadar, ia sudah berada di sebuah ruangan hangat berdinding kayu. Terdengar gemertak halus suara ranting kayu terbakar, memunculkan rasa aman dan tenang di hati perempuan mungil itu.
Bau jejamuan tercium di udara, amat khas, membuat jalan napasnya lega. Tahulah ia bahwa ini adalah rumah Ki Lamis, tabib satu-satunya di desa Kamujan. Nimas menarik napas panjang.
“Apa yang terjadi?” Nimas bertanya lirih demi dilihatnya Ki Lamis duduk di sampingnya. “Punggungku sakit sekali.” Nimas meraba pinggang, dan merasakan kain bebat yang direndam cairan jejamuan melilit hingga ke pinggul.
“Makanya jangan bergerak dulu sampai sembuh, berbaringlah.” ujar Ki Lamis dengan suara tenang.
“Di mana suamiku?” tanya Nimas seketika ia mengingat apa yang terjadi.
“Dia ada di luar. Jangan khawatir semua selamat. Para perampok memang berhasil membawa lari sapi dan beberapa barang, tapi kalian berempat tak ada yang sampai kehilangan nyawa. Bersyukurlah bahwa rombongan dari desa lain juga melewati tempat itu, sehingga perampok-perampok sialan itu segera lari dan tak membunuh kalian.”
“Syukurlah,” Nimas menghela napas lega.
“Suamimu hanya terluka ringan, Timan dan Pukan juga,” Ki Lamis melanjutkan, tetapi suaranya mendadak berubah lirih, “Sayangnya tidak demikian denganmu.”
“Aku? Apa... apa yang terjadi denganku, Ki Lamis?” suara Nimas bergetar, membayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi pada dirinya.
Ki Lamis, menghela napas sambil memberikan semangkuk cairan hitam beraroma tajam. Nimas merasa dunianya seolah berakhir ketika Ki Lamis menjelaskan semuanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
