
Udin hanya ingin membahagiakan keluarganya. Tanpa sengaja, di tengah usahanya itu, ia harus berhadapan dengan kekuatan misterius.
Musim Barat di Desa Sumur selalu berat. Udin melangkahkan kaki ke penginapan, mencari pelanggan. Ia perlu uang untuk memutar modal di warung milik ia dan istrinya. Di musim begini banyak sekali orang berhutang, namun sedikit sekali yang mampu melunasi hutang mereka dengan cepat. Akibatnya, modal macet, hingga Udin tidak mampu menyuplai kembali dagangan di warungnya.
Ia tentu saja maklum. Di Musim Barat, orang tidak dapat melaut; ombak terlalu berbahaya dan ikan seperti menghilang dari air. Salah satu yang dapat dijadikan tempat bergantung di musim semacam ini adalah menawarkan jasa kepada para turis. Sekali mengantar orang ke pulau Bedul, Umang atau Oar sangat lumayan hasilnya bagi Udin.
Penginapan rupanya sepi, hanya ada dua kamar terisi. Salah satu kamar dihuni oleh tiga orang muda-mudi, satu kamar lagi berisi satu keluarga lengkap, ada ayah, ibu dan tiga orang anaknya.
Ia mendatangi para muda mudi ketika mereka sedang duduk santai di beranda. Setelah mengobrol sejenak, tahulah ia kalau ketiga orang itu hendak kembali ke kota hari ini, liburan sudah mereka habiskan di Taman Jaya, desa sebelah. Mereka mengeluhkan jalan rusak dari Sumur ke Taman jaya yang membuat perjalanan mereka jadi molor berjam-jam. Udin mengiyakan, memang sudah seharusnya jalan antar desa itu diperbaiki oleh pemerintah. Jalanan itu sudah sangat berbahaya. Udin berseloroh bahwa kalau para petani mau, mereka bisa memandikan kerbau mereka di tengah jalan. Muda-mudi itu tertawa lepas. Meski tidak berhasil menawarkan jasanya, ia senang sekali ketika seorang dari mereka menawarkan sebungkus rokok untuk ia bawa pulang. Dengan santun ia minta diri dan beranjak ke beranda tempat keluarga itu sedang berkumpul. Rupanya mereka sekeluarga belum memutuskan untuk untuk wisata ke pulau di hari itu. Setelah perjalanan jauh yang melelahkan, mereka bermaksud untuk tinggal dulu barang satu malam di penginapan.
Setelah meninggalkan nomor telepon, Udin dengan sopan minta diri. Ia melenggang santai ke luar penginapan sambil mengepulkan asap rokok ke udara. Mungkin besok mereka berubah pikiran, katanya dalam hati. Udin mengepulkan cincin asap dan menuntaskan sebatang lagi rokok. Ia mendapat sebungkus rokok dengan cuma-cuma, dan berpikir dalam hati kalau selalu ada hari baik seperti ini sekali waktu.
Uang yang ia miliki saat ini masih cukup untuk ia gunakan melélé dari bagan ke bagan. Dengan bekal lima puluh ribu di tangan, ia berharap dapat memutar uang yang sekedarnya itu dan membawa pulang setidaknya dua ratus ribu rupiah.
Maka pergilah ia menyambangi bagan-bagan. Tiga tempat sudah ia datangi, dan ia mendapati kalau tangkapan hari itu seluruhnya ikan waliran, itu pun tidak banyak. Ikan waliran adalah ikan termurah. Di musim seperti ini, membeli ikan tersebut dari bagan dan menjualnya lagi di pengepul mungkin malah akan membuatnya rugi. Ia berpikir, selisih dari penjualannya tentu tidak akan terlalu besar. Terlebih lagi, ia tidak tahu apakah harga yang ditentukan pengepul hari itu lebih murah dari yang di bagan atau tidak. Ia tidak akan pernah tahu, para pengepul selalu menetapkan harga yang berbeda-beda setiap hari, begitu juga dengan para pemilik bagan.
Udin pulang menyusuri jalanan becek penuh lubang. Desa ini semakin terpencil sejak jalanan antar desa rusak berat. Motor bebeknya susah payah meliuk-liuk di antara lubang yang menjelma kolam kubangan di antara aspal. Sesampainya di rumah, ia mendapati istrinya sedang duduk di teras rumah, menunggunya pulang. Air muka Udin berubah seketika. Ratu, istrinya, segera paham kalau Udin sudah mengupayakan yang terbaik, ia sudah melalui hari yang panjang.
“Tu, aku minta maaf… Hari ini aku pulang tidak bawa uang.” Ucap Udin, dengan lemas.
Ratu tersenyum lesu. Bagaimanapun, menyambung hidup sehari-hari di Musim Barat memanglah berat. “Sudah, tidak apa-apa. Hari ini sudah cukup ngider-nya. Ini, kamu minum dulu teh manisnya.”
Ratu menuangkan teh hangat dari poci tanah liat. Poci ini membuat rasa teh yang ia buat menjadi istimewa, cocok untuk diminum bersama orang kesayangannya itu di setiap penghujung sore, momen sehari-hari yang selalu ia nikmati.
“Ratu, sayang, kita makan sate biawak, yuk!” Udin memecah kesunyian.
Air muka Ratu berubah, “kamu apa nggak capek? Sudah seharian mondar-mandir begitu?”
“Capek, sih. Tapi, kupikir, kita berdua butuh makan enak sekali-sekali, biar hati tetap gembira.” Ujar Udin.
Wajah Ratu berubah cerah. Ia tersenyum dan mengangguk penuh semangat.
Malam itu, Udin berangkat dengan membawa bekal teh hangat di termos dan sekotak pisang goreng, hangat seperti cinta mereka berdua. Udin menuntaskan sebatang rokok dan berangkat ke muara. Waktu sudah hampir pukul sembilan, waktunya para biawak berkeliaran mencari mangsa.
Udin sudah tiba di muara sejak setengah jam lalu, membawa jerat leher yang ia buat dari onderdil bekas rem motor. Di kantung plastik yang ia bawa, Udin sudah menyiapkan jeroan ayam untuk umpan; biawak sangat senang dengan bau amis dari hati dan ampela ayam. Biasanya tidak butuh waktu lama untuk menjerat mereka.
Udin memasang jerat di bagian muara yang cukup gelap. Sambil sesekali melamun, ia duduk di pinggir muara, menyaru di antara tanaman yang menyemak.
Udin menatap sekeliling. Air sedang surut dan suasana sangat sepi, cuma ada sayup suara ombak dari kejauhan. Ia ingat cerita dua orang kawannya yang berburu biawak beberapa hari lalu. Kabarnya mereka diganggu setan di muara. Ia bergidik ngeri setelah ingatan soal cerita mereka kembali nyata di kepala.
Sebatang rokok ia sulut untuk menghalau takut. Ia tahu, hanya daging biawak yang dapat menghibur istrinya. Perempuan itu suka sekali daging biawak. Ia berharap dengan pulang membawa seekor biawak yang besar, ia dapat mengalihkan perhatian istrinya dari kekhawatiran berkepanjangan akan kondisi keuangan mereka yang semakin memburuk. Mau bagaimana lagi, pikirnya, musim barat selalu berat bagi siapapun yang tinggal di Ujung Kulon.
Begitulah malam itu, ketika Udin sedang duduk menunggu biawak datang menghampiri jeratnya, ia menengadah ke langit dan mendapati langit malam itu sangat indah bermandikan cerah terang bulan. Ia tersenyum sambil menikmati bentuk-bentuk cahaya bermain di atas alir sungai yang bergemericik ke arah muara. Ia berharap ketika ketika air sedang tinggi-tingginya dan bulan sempurna begini, para biawak akan lebih lapar dari biasanya. Selewatan ia melihat sesuatu bersinar terang memantulkan sinar bulan, jauh di seberang sungai. Langit malam itu mencurahkan limpah cahayanya pada permukaan air, juga pada apapun yang berada di luar naung rimbun pohon bakau.
Saat itulah mereka muncul di pandangannya. Mereka diam seperti dua batang kayu yang teronggok bersebelahan. Warna punggungnya keperakan di terang cahaya purnama.
Udin sedang menyaksikan sepasang buaya putih sedang mandi cahaya. Mereka berpendar sebagaimana terang bulan di angkasa. Di sekeliling mereka, cahaya-cahaya kecil beterbangan menari. Udin tahu kalau itu bukan kunang-kunang, karena mereka hanya betah beterbangan di pesawahan.
Sendirian ia tertegun. Ia tahu bahwa sejak masa yang diagungkan, zaman para sultan masih bertahta di tanah Banten, penampakan buaya putih adalah pertanda bagi suatu perubahan besar. Selalu kehadirannya merupakan pertanda bagi kabar baik yang sebentar lagi tiba. Dalam takjub Udin mengucapkan syukur kepada Allah, sang Pencipta Alam Semesta.
Rabu pagi itu ada keramaian di Desa Sumur. Kabar cepat tersebar ke seluruh desa, bahwa semalam Udin melihat buaya putih di muara sungai. terlebih lagi, buaya yang ia lihat bukan hanya satu, melainkan sepasang. Kabar tersebut menggelitik orang-orang desa yang memiliki kepercayaan kuat terhadap Sang Ratu Kidul. Menurut kepercayaan setempat, sepasang buaya tersebut tidak lain adalah para Abdi Tengah Keraton pantai Selatan, tidak lain tidak bukan, merekalah Punggawa Joleno dan Joleni. Kisah turun-temurun tentang sepasang buaya putih tersebut selalu berkaitan dengan kebaikan hati mereka, juga tentang berbagai keberuntungan bagi mereka yang melihatnya. Untuk itu mereka memuji-muji Udin dan memberinya selamat, sebab ia adalah salah satu dari orang yang beruntung sedemikian itu.
Dalam hati Udin menerka-nerka, keberuntungan apa kiranya yang akan datang menghampirinya sebentar lagi. Musim Barat baru saja tiba dan akan berlangsung setidaknya sampai bulan Mei yang akan datang. Hal baik apa yang mungkin datang di musim sepi melaut seperti sekarang ini.
Udin menghela nafas dan kembali menghirup cangkir kopi hitam kedua yang ia pesan pagi itu. Pagi itu ia memutuskan untuk beringsut ke warung kopi, tempat para nelayan menghabiskan waktu luang yang berlimpah di bulan-bulan ini. Pasalnya, ia lelah menanggapi para tetangga yang penasaran dan terus menanyai Udin dengan pertanyaan yang itu-itu lagi soal buaya putih yang ia lihat tadi malam. Rupanya kabar cepat merambat seperti api pada bensin. Begitu Udin muncul di muka warung kopi, spontan kawan-kawan nelayan memburunya dengan bertubi pertanyaan mengenai kejadian semalam. Ia tidak berkutik ketika pertanyaan dari kawan-kawannya mulai kelewat tidak masuk akal. Ada saja kawannya yang bertanya apakah buaya putih tersebut menyampaikan sesuatu kepada udin, seperti petunjuk harta karun atau semacamnya. Menurut beberapa orang tua yang turut berkumpul di warung, buaya putih memberikan harta karun berlimpah bagi mereka yang paham maksud dari kemunculan mereka. Seisi warung menyayangkan Udin yang terus menggeleng dan tidak mampu menangkap pesan tersembunyi dari sepasang buaya putih yang ia temui. Konon katanya, kemunculan mereka adalah kabar baik. Bagi mereka yang cukup pandai akan diberikan petunjuk dari harta karun yang berlimpah ruah, cukup untuk membuat orang itu kaya tujuh turunan.
Udin merasa bodoh ketika obrolan terus berputar-putar pada soal betapa sayangnya kalau ia tidak dapat menangkap pesan-pesan tersembunyi dari kedua makhluk gaib tersebut.
Ia berusaha keras mengingat kembali kejadian semalam, tapi tidak menemukan apapun yang istimewa selain penampakan sepasang buaya putih itu sendiri. Ia mengenang kembali punggung mereka yang putih gading menyala keperakan ditempa cahaya malam, indahnya tidak dapat ia ungkapkan dengan baik kepada orang lain. Kenangan yang istimewa adalah selalu kenangan yang sepi, mustahil untuk dibagi bersama orang lain.
Selain daripada malam penuh cahaya dan punggung buaya yang terang menyala, Udin tidak dapat mengingat apapun yang dapat mengantarnya kepada petunjuk mengenai harta tersembunyi sang buaya putih.
Ia meraih selipatan koran pagi yang memang disediakan untuk dibaca bersama. Pagi itu, terpampang berita dengan huruf kapital lebih besar dari biasanya, bahwa selasa kemarin, sang Gubernur telah resmi dijadikan tersangka kasus korupsi yang nilainya sangat besar.
Udin berulang kali menggelengkan kepalanya saat melalap habis kabar berita yang datang jauh dari jakarta tersebut.
Di sela hiruk-pikuk warung kopi pagi itu, Udin menghirup rokoknya dalam-dalam, kemudian mengepulkan cincin asap yang bulat sempurna. Dalam hati ia berkata pada dirinya sendiri, bahwa setiap kali ada tikus yang tertangkap, tentu kejadian itu akan memberi kesempatan untuk pejabat yang lebih baik untuk memimpin.
Udin membayangkan pejabat pengganti si korup itu, pejabat yang lebih baik akan lebih peduli pada nasib orang-orang di kampung ini. Mereka tentu akan membangun jalan raya yang lebih baik ke daerah terpencil ini.
Malam tadi, setelah menyaksikan penampakan gaib itu, Udin berhasil menangkap biawak yang besar, ia juga membawa pulang lima ekor ikan sembilang yang gemuk-gemuk, dan sekantung penuh udang rawa. Ratu senang bukan kepalang saat subuh itu ia datang dengan segala tangkapannya.
Sore itu, Udin dan Ratu akan makan sate biawak sepuasnya. Mungkin Ratu juga akan sekalian memasak ikan sembilang goreng yang sangat lezat, mungkin juga peyek udang yang gurih, garing dan renyah.
Udin tersenyum simpul, di hatinya ia bergumam, selalu ada hari baik bagi semua orang, sekali waktu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
